BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Keberadaan peradilan perdata
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat. Sengketa
yang terjadi berbagai ragam, ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau
pemecahan perjanjian (breach of contract),
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad), sengketa hak milik (property
right), perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang
merugikan hak tertentu, dan sebagainya.[1] Timbulnya
sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan keberadaan peradilan perdata,
menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili, yang disebut yuridiksi (jurisdiction) atau kompetensi maupun
wewenang mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu
sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan
kekuasaan atau yuridiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor seperti
faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding
dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor
ini dengan sendiri menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional.[2] Perkara
yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah, tidak dapat diajukan langsung
kepada peradilan yang lebih tinggi. Sengeketa yang
harus diselesaikan lebih dahulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat
langsung diajukan kepada peradilan banding atau kasasi dan sebaliknya.
Apa yang
mejadi kewenangan atau yuridiksi peradilan yang lebih tinggi, tidak dapat
diminta penyelesaiannya kepada peradilan yang lebih rendah. Ada juga faktor
perbedaan atau pembagian yuridiksi berdasarkan lingkungan peradilan, yang
melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolut bagi masing-masing lingkungan
peradilan yang disebut juga atribusi kekuasaan (attributive competentie, attributive jurisdiction). Selain perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan
factor kewenangan khusus (specific
jurisdiction) yang diberikan undang-undang kepada badan extra judicial, seperti Arbitrase atau
Mahkamah Pelayaran. Bahkan masalah yuridiksi, dapat juga timbul dalam satu
lingkungan peradilan, disebabkan faktor wilayah (locality) yang membatasi kewenangan masing-masing peradilan dalam
lingkungan wilayah hukum atau daerah hukum tertentu, yang disebut kewenangan
relatif atau distribusi kekuasaan (distributive jurisdiction).[3]
Pada bagian
ini, fokus pembahasan berkenaan dengan kewenangan megadili ditinjau dari segi
absolut dan relatif. Sedangkan yang menyangkut kewenangan ditinjau dari
faktor peradilan yang lebih tinggi (superior
court) dan yang lebih rendah (inferior
court), dibahas secara singkat.Tinjauan utama membahas yuridiksi atau
kewenangan mengadili, adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah
pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau
kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada peradilan tidak
keliru. Sebab apabila pengajuannya keliru, mengakibatkan
gugatan tidak dapat diterima atas alasan pengadilan yang dituju, tidak
berwenang mengadilinya. Atau dengan kata lain, gugatan yang diajukan berada
diluar yuridiksi pengadilan tersebut.
Salah satu putusan yang dikeluarkan oleh Hakim
Pengadilan Negeri Pekanbaru adalah dalam Putusan No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR. Dari
gugatan penggugat maka pihak tergugat telah memberikan jawaban atau eksepsi dari gugatan yang diajukan oleh
penggugat tersebut, dimana pada eksepsinya yang berbunyi sebagai berikut :
Eksepsi Tentang Kewenangan Absolut (Absolute Competency)
1.
Bahwa
pada dalil-dalil gugatan penggugat pada point 4 halaman 2 menyebutkan :
“ Bahwa selanjutnya dihadapan Notaris
Oktalinda,S.H.,M.Kn, dibuatlah kesepakatan kerjasama antara Penggugat dengan
Pihak Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III yang telah dituangkan dalam
3(tiga) Akta Perjanjian Kerjasama, masing-masing sebagai berikut :
1)
Perjanjian
Kerjasama Akta No. 04 antara Penggugat dengan Tergugat I (Vide Bukti P.I)
2)
Perjanjian
Kerjasama Akta No. 05 antara Penggugat dengan Tergugat II (Vide Bukti P.II)
3)
Perjanjian
Kerjasama Akta No. 06 antara Penggugat dengan Tergugat III (Vide Bukti P.III)
2.
Bahwa
didalam perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat-I (berdasarkan surat
perjanjian kerjasama akta No. 04)
Tergugat-II (berdasarkan surat perjanjian
kerjasama akta No. 05) dan Tergugat-III (berdasarkan surat
perjanjian kerjasama akta No. 06),
dimana didalam pasal 9 masing-masing akta tersebut menyebutkan :
:”……Semua
perselisihan yang mungkin timbul/atau terjadi antara para pihak dalam(sebab)
perjanjian ini, baik yang bersifat teknis maupun non teknis yang tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak sendiri secara musyawarah, tidak akan diajukan ke
Pengadilan, akan tetapi akan diurus dan diselesaikan/diputuskan secara
Arbitrage (perdamaian) oleh para pendamai………….dst.
3. Bahwa
berdasarkan pasal 9 (Sembilan)
klausula
masing-masing perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat-I, Tergugat-II, dan
Tergugat-III tersebut, para pihak baik pihak Penggugat dan Pihak Tergugat-I,
II, dan III, belum pernah menempuh upaya hukum penyelesaian dalam perkara aquo secara Arbitrage (perdamaian), akan tetapi penggugat langsung mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru.
4. Bahwa
dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak terdapat klausula yang menentukan bahwa
“perselisihan yang timbul antara pihak diserahkan kepada Badan Arbitrase”
sesuai dengan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, telah digariskan bahwa
Klausula Arbitase yang ada didalam suatu perjanjian itu termasuk kewenangan
Absolut dan jika para pihak tidak menyinggungnya, maka Hakim Pengadilan Negeri
karena jabatannya harus menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili gugatan tersebut.
5. Klausula
Arbitrase merupakan suatu kesepakatan para pihak tentang tata cara penyelesaian
sengketa perdata melalui Lembaga Arbitrase yang mereka inginkan bersama.
Yurisprudensi tetap mengakui bahwa Arbitrase sebagai “Extra Yudicial” yang lahir dari Klausula Arbitrase dalam perjanjian mempunyai legal effect yang memberikan kewenangan
absolut kepada Badan Arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul dari perjanjian berdasar atas berlakunya asas “Pacta Sunt Servanda”.
Bahwa kewajiban Hakim yang bersifat ex-officio untuk menyatakan diri tidak
berwenang mengadili, hal ini juga dijelaskan dalam putusan MA No. 317K/Pdt/1984
antara lain :
1.
Eksepsi
tidak berwenang mengadili berdasarkan klausul arbitrase adalah bersifat
absolut, atas alasan, dengan adanya klausula arbitrase secara total lingkungan
peradilan umum tidak berwenang mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian.
2.
Sehubungan
dengan itu, sekiranya pihak tergugat tidak mengajukan eksepsi hakim secara ex-officio, mesti menyatakan diri tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
6.
Dengan
demikian Badan Arbitrase sebagai badan Extra
Judicial telah menggeser kewenangan Pengadilan Negeri sebagai Peradilan
Negara untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut (Vide Jurisprudensi MA-RI No.013 PK/N1999
dan No.019 K/N/1999), maka Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang dalam
mengadili perkara aquo.
7.
Bahwa
berdasrkan uraian-uraian tersebut diatas, dengan ini mohon kepada Majelis Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara aquo
untuk dapat mengabulkan eksepsi dari Tergugat-I s/d Tergugat IV dengan
memberikan Putusan Sela, yang amarnya berbunyi :”Menyatakan Pengadilan Negeri
Pekanbaru tidak berwenang mengadili, dan menghentikan pemeriksaan pokok perkara
ini”.[4]
Akan tetapi
dalam hal ini pihak tergugat menolak gugatan yang diajukan oleh pihak
penggugat, termasuk pihak tergugat menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Pekanbaru
tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara aquo, sebab perkara ini merupakan kewenangan dari Lembaga Arbitrase
untuk menangani perkara tersebut.
Berdasarkan
eksepsi dari para tergugat tersebutlah maka Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru
memberikan putusan sela. Pada putusan sela tersebut berbunyi sebagai berikut
:bahwa dalam jawabannya para tergugat telah mengajukan eksepsi mengenai
kewenangan absolut dan setelah majelis hakim meneliti, yang menjadi pokok
perkara dalam gugatan penggugat adalah mengenai perselisihan hak, dimana
didalam gugatan dikatakan bahwa para Tergugat telah melakukan Wanprestasi.
Namun demikian, didalam perjanjian sebelumnya dikatakan bahwa apabila terjadi
perselisihan antara para pihak maka akan diselesaikan secara Arbitrase.
Kemudian dengan memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku dan
bersangkutan, maka hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru telah menjatuhkan putusan
sela yang pada pokonya sebagai berikut :
1.
Mengabulkan
eksepsi para Tergugat.
2.
Menyatakan
Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang mengadili perkara ini.
3.
Menghukum
Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.724.000,- (tujuh ratus dua
puluh empat ribu rupiah).[5]
Didalam
perkara ini yang menjadi alasan tergugat menolak gugatan penggugat adalah salah
satunya mengenai kewenangan pengadilan atau kewenangan absolut, pengadilan
negeri berwenang memeriksa, memutus dan mengadili perkara-perkara baik perkara
pidana maupun perkara perdata ditingkat pertama. Pengadilan Negeri terletak
disetiap kabupaten atau kota dan kewenangannya meliputi wilayah Kabupaten atau
Kota (Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 08-AT.01.10 tahun 1994).
Didalam
suatu perkara perdata tidak jarang kita menemui adanya bantahan ataupun eksepsi
yang diajukan oleh pihak Tergugat, dimana pihak Tergugat selalu berdalil bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut karena
alasan bahwa perkara tersebut adalah wewenang dari Lembaga Arbitrase
dikarenakan sudah disepakati diperjanjian sebelumnya jika terjadi perselisihan
maka akan diselesaikan secara Arbitrase. Menurut penulis, ketika penggugat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri bukankah gugatan tersebut sudah di cek
terlebih dahulu, nah ketika perkara tersebut sudah di cek mengapa tidak
langsung ditolak saja dikarenakan memang perkara tersbut bukan wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus perkara yang didaftarkan
tersebut. Atau seharusnya dilakukan sebuah pengecualian khususnya untuk perkara
perdata mengenai wanprestasi, karena ketika tidak diatur mengenai klausula arbitrase
didalam sebuah perjanjian antara para pihak, ujung-ujungnya juga perkara
mengenai wanprestasi tersebut memang wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa
dan mengadili. Jika tidak menemukan solusi untuk masalah diatas, pihak
Penggugat akan merasa sangat dirugikan, hak yang ingin diperjuangkan tidak
terpenuhi ditambah lagi buang-buang uang, tenaga, pikiran dan waktu saja.
Berdasarkan
hal-hal yang penulis uraikan diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan
penelitian yang akan dituangkan didalam sebuah karya ilmiah berupa skripsi yang
berjudul :“Tinjauan Yuridis Terhadap
Kompetensi Absolut Lembaga Peradilan Pada Perkara Perdata N0.
177/PDT.G/2014/PN.PBR (STUDI KASUS)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan penulis pada
latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan pokok masalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimanakah Kompetensi Absolut dalam perkara perdata
No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR ?
2.
Bagaimanakah
Pertimbangan
hukum dalam memutus perkara perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR ?
C. Tujuan
dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan fokus permasalahan yang telah
dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui kewenangan lembaga peradilan dalam menangani suatu perkara.
2.
Untuk
mengetahui perkembangan lembaga peradilan dalam menangani perkara kompetensi
absolut.
Dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
teoritis maupun manfaat praktis :
1.
Manfaat
Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang kewenangan
peradilan dalam menangani suatu perkara, juga menambah referensi kepustakaan.
2.
Manfaat
Praktis
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pencerahan atas
kesalahpahaman yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
D. Tinjauan
Pustaka
I.
Hukum Perdata
Hukum
Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara
individu-individu dalam masyarakat. Dalam
tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua
yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata.[6]
Dapat
dikatakan bahwasannya hukum perdata ini merupakan hukum yang mengatur hubungan
antara individu satu dengan individu yang lainnya lagi.
Didalam
hukum perdata ini juga di kenal istilah gugatan yang merupakan suatu surat yang
di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan negeri yang berwenang, yang memuat
tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan
dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Gugatan ini
terbagi menjadi 2, yakni :
a.
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Hoge
Raad menyatakan bahwa pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW,
termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain, bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan. Didalam gugatan perbuatan melawan hukum
ini, lebih cenderung sengketa yang terjadi bukan berawal dari adanya sebuah
perjanjian.
b.
Gugatan Wanprestasi
Istilah
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi
dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang
diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang
diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan.[7]
Pakar
hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban
yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak
yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian,
atau meminta ganti kerugian pada debitur.
Bedanya
antara gugatan perbuatan melawan hukum dan gugatan wanprestasi adalah seseorang
dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang telah
disepakati dengan pihak lain. Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian
sebelumnya.
Sedangkan
seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya
bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
II.
Perjanjian
Perjanjian
merupakan suatu kesepakatan yang di buat antara dua belah pihak atau lebih yang
di dalamnya memuat tentang hak-hak yang harus di penuhi dan kewajiban yang
harus di jalankan. Syarat sah nya perjanjian ini di atur di dalam pasal 1320
KUHPerdata :
a) Adanya
kesepakatan kedua belah pihak
Maksud sepakat disini
adalah kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal pokok
didalam perjanjian.
b) Kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum
Merupakan orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ada
2 pendapat mengenai ketentuan dewasa, menurut KUHPerdata dewasa adalah berumur
21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut UU No1
Tahun 1974 dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita.
c) Adanya
objek
Sesuatu hal yang
diperjanjikan didalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang
cukup jelas.
d) Suatu
sebab yang halal
Menurut pasal 1335
KUHPerdata suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau
dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak memiliki kekuatan
hukum.
III.
Kompetensi
Mengenai kewenangan mengadili dapat dibagi dalam
kekuasaan kehakiman atribusi (atributie
van rechtsmacht) dan kekuasaan kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht). [8]Atribusi
kekuasaan kehakiman adalah kewenangan mutlak atau kompetensi absolut ialah kewenangan badan pengadilan didalam memeriksa jenis
perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan
lain, misalnya Pengadilan Negeri pada umumnya berwenang memeriksa jenis perkara
tertentu yang diajukan dan bukan Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Agama.
Biasanya kompetensi absolut ini tergantung pada isi gugatan dan nilai daripada
gugatan.[9]
Mengenai distribusi kekuasaan Pengadilan atau apa yang
dinamakan kompetensi relatif atau kewenangan nisbi ialah bahwa Pengadilan
Negeri tempat tergugat tinggal (berdomicilie)
yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak. Jadi, gugatan harus
diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal.[10] Bagi
perkara pidana adalah pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat
terjadinya peristiwa pidana.
IV.
Eksepsi atau Perlawanan
Pasal 113 Reglement
Rechtsvordering bagi Raad yustisi dahulu
menentukan, bahwa bantahan harus disertai dengan alasan-alasan. Reglement Indonesia tidak memuat
penetapan demikian, akan tetapi sudah selayaknya tergugat harus menjawab dengan
mengemukakan alasan-alasan apa sebabnya ia membantah gugatnya penggugat.
Bantahan yang tidak disertai dengan keterangan-keterangan, tidak dapat di
anggap serius dan oleh sebab itu tak perlu diperhatikan (putusan Raad Yustisi Jakarta, tanggal 1 April
1938 Nomor. 148/1937).
Apabila tergugat tidak mengakui dan tidak membantah, melainkan
hanya menyerahkan saja kepada kebijaksanaan hakim (“Referte
aan het oordeel des rechtters”) , maka jawaban demikian tidak boleh
disamakan dengan pengakuan, sehingga jika gugatnya penggugat dikabulkan,
tergugat masih berhak mengajukan bantahan di dalam tingkat bandingan.
Eksepsi yang sekiranya hendak di majukan oleh tergugat,
tidak boleh dimajukan dan ditimbang satu persatu, kecuali eksepsi yang mengenai
tidak berkuasanya hakim. Semua eksepsi harus dimajukan, diperiksa dan diputus
bersama-sama dengan pokok perkara. Eksepsi adalah bantahan yang menangkis
tuntutan penggugat sedang pokok perkara tidak langsung di singgung misalnya
bantahan yang mengatakan, bahwa hakim tidak berkuasa memeriksa gugat yang di
ajukan oleh penggugat.[11]
Ilmu pengetahuan Hukum Acara Perdata Eropa menyebut
eksepsi yang berdasar atas hukum acara. Eksepsi yang berdasar atas hukum
materiil, materiele exceptie dan materiele exceptie ini dibagi-bagi atas
: dilatoire exceptie, dan peremptoire exceptie.
Definisi Eksepsi Menurut para ahli[12] :
Menurut Yan Pramadya Puspa Eksepsi adalah pembelaan yang tidak menyinggung
tentang isinya surat tuduhan atau gugatan dari pengadilan, tetapi pembelaan
atau sekaligus berfungsi sebagai tangkisan tadi memohon kepada pengadilan agar
tidak menerima perkara yang diajukan oleh pihak lawan misalnya; eksepsi tentang kadaluarsa nya penuntutan atau gugatan,
eksepsi tentang
tidak diputusnya perkara dengan putusan pengadilan yang telah memproleh
kekuatan hukum tetap (nebis in idem),
eksepsi tentang tidak berkuasanya pengadilan ( Hakim ) untuk mengadili karna yang berhak adalah pengadilan pada wilayah hukum yang
lain.
Kemudian Menurut Rd Achmad S. Soeman Di Praja Memberikan
batasan eksepsi atau keberatan dengan istilah “tangkisan” itu adalah “alat
pembelaan dengan tujuan yang utama untuk menghindarkan diadakannya putusan
tentang pokok perkara, karena apabila ada tangkisan ini diterima oleh
pengadilan, pokok perkara tidak perlu diperiksa dan diputus”.
Menurut Yahya Harahap “Sifat eksepsi adalah suatu upaya yang diberikan kepada
terdakwa dalam hal yang berhubungan dengan masalah formil, oleh karena itu
eksepsi harus diajukan sebelum pokok perkaranya diperiksa”.
Menurut Lilik Mulyadi Bahwa keberatan adalah merupakan
salah satu upaya yang bersifat incidental
berupa tangkisan sebelum dilakukan pemeriksaan materi pokok perkara dengan
tujuan utama guna menghindarkan diadakannya pemeriksaan dan putusan akhir pokok
perkaranya.
Jika tergugat megajukan jawaban yang berupa tangkisan atau eksepsi, maka menurut ketentuan
pasal 136 HIR, kecuali tangkisan tentang tidak berwenangnya pengadilan, tangkisan itu tidak boleh
diajukan dan dipertimbangkan terpisah, melainkan harus diperiksa dan diputus
bersama-sama dengan pokok perkara. Mengenai apa yang dimaksud dengan tangkisan
atau eksepsi itu, Undang-undang ( HIR dan RBg) tidak memberikan definisi dan penjelasannya. Tetapi dapat
disimpulkan bahwa tangkisan atau eksepsi itu sebagai jawaban yang tidak
langsung mengenai pokok perkara.[13]
Ada sarjana yang berpendapat bahwa, eksepsi dalam pasal 136 HIR itu sebagai
perlawanan tergugat yang tidak mengenai pokok perkara, jawaban yang berupa tangkisan atau
eksepsi itu tidak menyinggung mengenai pokok perkara. Karna itu, jawaban
seperti ini harus diputus terlebih dahulu sebelum hakim mengarahkan pemeriksaan
kepada pokok perkara. Jadi tidak perlu harus diperiksa dan diputus bersama-sama
dengan pokok perkara menurut pasal 136 HIR.
Maksud pasal 136 HIR itu ialah untuk menghindari
kelambatan yang tidak perlu atau yang dibikin-bikin, supaya proses berjalan
lama. Berdasarkan yurisprudensi juga, pasal tersebut melarang adanya putusan formal mengenai eksepsi yang bukan putusan akhir
yang hanya akan mengulur waktu saja. Tetapi seandainya eksepsi yang menyatakan
bahwa hal yang diperkarakan itu telah diputus oleh hakim adalah tepat, maka jika eksepsi itu tidak boleh diputus
seketika, hakim hanya akan membuang waktu saja meneruskan pemeriksaan terhadap
pokok perkara yang pada akhirnya juga tudak akan diterima, karena perkara iru
telah diputus pada waktu lampau, dan hakim adalah aktif menurut sistem HIR dan RBg.,[14]
Didalam hukum acara perdata, Faure mengatakan tangkisan
atau eksepsi dibedakan menjadi dua macam, yaitu :[15]
1.
Eksepsi Prosesuil yaitu upaya yang menuju kepada tuntutan tidak
diterimanya gugatan. Pernyataan ini tidak diterima berarti suatu penolakan in limine litis, berdasarkan
alasan-alasan diluar pokok perkara. Hanya dalam hal ketidakwenangan hakim atau
batalnya gugatan, hakim bukannya menyatakan tidak diterimanya gugatan,
melainkan menyatakan dirinya tidak wenang atau menyatakan gugatan batal.
Termasuk eksepsi prosesuil ialah
tangkisan yang bersifat mengelakkan (eksepsi
declinatoir) seperti eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, eksepsi bahwa
gugatan batal, dan eksepsi bahwa perkara telah di putus serta eksepsi bahwa
pihak penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat (eksepsi disqualificatoir).
2.
Eksepsi materiil merupakan bantahan
lainnya yang didasarkan atas ketentuan hukum materiil. Termasuk eksepsi
materiil ialah eksepsi yang bersifat menunda (eksepsi dilatoir) seperti eksepsi bahwa tuntutan penggugat memberi
penundaan pembayaran, dan eksepsi peremptoir
yang sudah mengenai pokok perkara, seperti eksepsi karena lampaunya waktu
(kadaluarsa) atau karena tergugat dibebaskan dari membayar.[16]
V.
Sistem Peradilan
Dikenal
adanya 2 macam putusan yang diatur didalam pasal 185 ayat 1 HIR, yaitu :
1. Putusan
Akhir
Putusan
akhir ialah putusan yang bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu sengketa
atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
2. Putusan
Sela
Putusan
sela ialah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang di adakan dengan
tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
VI.
Arbitrase
Menurut
pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan :
“Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang di buat sevara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.”[17]
Menurut Black's Law
Dictionary: "Arbitration. An arrangement for taking an abiding by the
judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it
to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities,
the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal
1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada
dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
2. Suatu
perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa
(Akta Kompromis).
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun
1999 disebutkan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.”
Dari
ketentuan undang-undang ini memberikan pengertian kepada kita bahwa arbitrase
itu lembaga yang menangani perkara-perkara perdata dan dagang dan tidak
termasuk dalam perumusan ini sengketa yang didasarkan atas hukum pidana. Para
pihak telah memufakati secara tertulis bahwa mereka, apabila terjadi perkara
mengenai perjanjian yang telah mereka buat, akan memilih jalan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dan tidak berpekara di hadapan peradilan umum yang
biasa sehari-hari.
Sebelum Undang-undang
Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651
Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14
Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
Dengan demikian
arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum
keluarga. Arbitase hanya
dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan
pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan mereka.[18] Dalam banyak perjanjian perdata,
klausula arbitrase
banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang
diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat
yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut).
Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut
berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan
perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Objek dari arbitrase
ini sendiri merupakan permasalahan yang timbul karena sengketa antara para
pelaku usaha, dan yang sering menjadi objek arbitrase adalah sengketa di bidang
perdagangan, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 5 ayat 1
disebutkan bahwa yang menjadi Objek arbitrase adalah hanya sengketa dibidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Hanya saja
tidak diberikan penjelasan yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut.
Akan tetapi, jika
ketentuan ini dihubungkan dengan Penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999, maka kita akan mengetahui ruang lingkup perdagangan tersebut adalah
kegiatan kegiatan antara lain dibidang : perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. Jadi yang menjadi objek dari arbitrase
adalah sengketa perdata yang meliputi diantaranya adalah mengenai perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, dalam bidang industri dan sengketa yang
menyangkut hak kekayaan intelektual. Dan juga sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Dasar
daripada arbitrase ini adalah perjanjian dari para pihak sendiri sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 1338 BW yang menyatakan bahwa apa yang diperjanjiikan
oleh para pihak mengikat mereka ini sebagai undang-undang. Oleh kerena mereka
telah memufakati, jika terjadi perselisihan dikemudian hari berdasarkan kontrak
ini maka kami menyetujui untuk membawanya kepada arbitrase untuk diselesaikan.[19]
Adanya
pilihan oleh para pihak akan forum arbitrase ini dihormati oleh si pembuat
undang-undang. Maka mereka dibenarkan memilih jalan arbitrase tersebut. Dalam
penjelasan umum ditambahkan sebagai berikut : “Arbitrase yang diatur dalam undang-undang
ini merupakan cara penyelesaian sengketa diluar peradilan umum yang didasarkan
atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua
sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa
mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang
bersengketa atas dasar kata sepakat menyetujui mem-“by pass” peradilan biasa”
Peradilan
umum ini mencakup peradilan umum biasa, Peradilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
Mahkamah Agung yakni yang memakai ketentuan hukum pada umumnya. Juga termasuk
Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara serta Pengadila Militer
(sepanjang berkenaan dengan masalah-masalah perdata yang tidak bersifat
pidana).[20]
Pada
dasarnya tidak ada satu pihakpun
sebenarnya yang menginginkan terjadinya perselisihan atau pertikaian yang
timbul disebabkan hubungan kesepakatan yang di adakan oleh para pihak
sebelumnya. Malahan yang acapkali kita perhatikan bahwa masing-masing pihak
mengharapkan hasil kesepakatan yang mereka perbuat dapat berjalan dengan baik
tanpa adanya hambatan maupun rintangan yang menghalangi pemufakatan yang mereka
lakukan.[21]
Pengertian
Arbitrase menurut para ahli [22]:
Subekti
mengatakan Arbitrase adalah
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang Hakim atau para Hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang
diberikan oleh hakim yang mereka pilih.
Menurut H. Priyatna Abdurrasyid Arbitrase adalah suatu proses
pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para
pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti
yang diajukan oleh para pihak.
H.M.N.
Purwosutjipto Menggunakan
istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan
perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak
pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim
yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya
mengikat bagi kedua belah
pihak.
Lembaga
Arbitrase Indonesia :
1.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI)
Yang
didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada tanggal 3
Desember 1977.Tujuan Pendirian BANI yakni Untuk dapat menyelesaikan
perselisihan dengan adil dan cepat atas persengketaan yang timbul di bidang
perdata mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan baik yang
bersifat nasional maupun internasional.[23]
2.
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI)
Merupakan
salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia.
Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil
Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai
dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.
Peresmian
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober
1993.Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris
oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat
yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai
Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono
dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono
Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun 2003.
3.
Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS)
BASYARNAS
merupakan perubahan dari BAMUI berdasarkan keputusan rapat Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003
nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil
RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat
organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
E. Konsep
Operasional
Agar Penelitian ini mudah dipahami oleh para pembaca
dan memiliki penafsiran yang sama dengan penulis, maka penulis memberikan
batasan-batasan terhadap judul dari penelitian ini, sebagai berikut :
Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah
menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).[24]
Yuridis adalah segala hal yang memiliki arti hukum dan
sudah di-sahkan oleh pemerintah.
Kompetensi Absolut adalah kewenangan lingkungan peradilan
tertentu untuk memriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara
yang akan diperiksa dan diputus. Sebagaimana diketahui bahwa menurut
Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 2
ditetapkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.[25]
Lembaga Peradilan adalah alat perlengkapan negara yang
diberi tugas mempertahankan tetap tegaknya hukum nasional. Apabila
terjadi pelanggaran hukum atau pelanggaran hak maka yang bersangkutan
dihadapkan ke muka pengadilan. Pengadilan atau badan peradilan adalah lembaga
penegakan hukum di Indonesia.[26]
Perkara Perdata adalah meliputi baik perkara yang
mengandung sengketa (contentius) maupun yang tidak mengandung sengketa
(voluntair).
F. Metode
Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini dapat menggunakan metode
penelitian sebagai berikut :
1.
Jenis dan sifat Penelitian
Dilihat
dari sudut jenisnya, maka penelitian ini tergolong kedalam jenis penelitian
hukum normatif yaitu penelitian hukum yang berasal dari bahan pustaka belaka.[27]
Dengan cara studi kasus yaitu mempelajari putusan perkara No.
177/PDT.G/2014/PN.PBR yang merupakan perkara gugatan wanprestasi yang
seharusnya diselesaikan secara Arbitrase namun diajukan ke Pengadilan Negeri
Pekanbaru.
Dilihat
dari sudut sifatnya, maka penelitian ini tergolong kedalam penelitian yang
bersifat deskriptif yang berarti penelitian yang dimaksud memberikan gambaran
secara rinci, jelas dan sistematis.
2.
Sumber Data
Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan
Hukum Primer adalah bahan hukum berupa putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru N0.
177/PDT.G/2014/PN.PBR, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penelitian yang penulis lakukan.
b. Bahan
Hukum Sekunder merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan-bahan primer berupa buku-buku, teori-teori atau pendapat-pendapat para
ahli yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan.
c. Bahan
Hukum Tersier merupakan bahan-bahan yang mendukung terhadap bahan hukum Primer
dan bahan hukum Sekunder berupa kamus maupun artikel-artikel.
3.
Analisis Data
Setelah
data yang penulis peroleh dari berkas putusan perkara No.
177/PDT.G/2014/PN.PBR, kemudian data tersebut diolah dengan mempelajari lalu
disajikan dengan cara menguraikan dalam bentuk rangkaian-rangkaian kalimat yang
jelas, rinci dan mudah dipahami kemudian dilakukan pembahasan-pembahasan dengan
tetap memperhatikan teori-teori hukum, undang-undang, dokumen-dokumen, dan
data-data lainnya serta dengan membandingkan pendapat para ahli.
4.
Metode Penarikan Kesimpulan
Didalam
penarikan kesimpulan ini, penulis menggunakan metode Induktif yakni dengan
menyimpulkan dari hal-hal khusus kepada hal-hal yang umum terjadi, dan juga
dihubungkan berdasarkan dengan teori-teori atau pendapat para ahli serta
ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A.
Tinjauan
Umum Tentang Kompetensi Pengadilan
Keberadaan
peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara
anggota masyarakat.Sengketa yang terjadi sangat beraneka ragam.Ada yang
berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian, perbuatan melawan
hukum, sengketa hak milik, perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh
penguasa yang merugikan pihak tertentu dan sebagainya. Timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan
dengan keberadaan peradilan perdata, menimbulkan permasalahan mengadili, yaitu
pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan
yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan.
Apa
yang disengketakan berada diluar kompetensi atau yurisdiksi absolut peradilan
yang bersangkutan, karena perkara yang disengketakan termasuk kewenangan
absolut lingkungan peradilan lain misalnya, peradilan agama atau peradilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri yang bersangkutan secara relatif
tidak berwenang mengadili, karena meskipun secara absolut termasuk
yurisdiksinya namun secara relatif jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri lain. Misalnya tempat tinggal
tergugat berada diluar wilayah hokum Pengadilan Negeri tersebut sehingga sesuai dengan
asas actor sequitur forum rei yang
digariskan pasal 118 (1) HIR, yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Negeri dimana tergugat tinggal. Apabila
hakim berpendapat dengan kasus perkara yang secara absolut atau relatif berada
diluar yurisdiksinya, dia harus menjatuhkan putusan yang berisi amar :
-
Tidak berwenang mengadili
-
Menyatakan gugatan tidak dapat diterima[28]
Permasalahan
kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor, seperti
faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding
dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court ) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan
sendirinya menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional.
Perkara yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah , tidak dapat di
ajukan langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Sengketa yang harus
diselesaikan lebih dulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat di ajukan
pada peradilan tingkat banding ataupun kasasi dan sebaliknya. Apa yang menjadi kewenangan atau
yurisdiksi peradilan yang lebih tinggi, tidak dapat diminta penyelesaianya kepada peradilan yang lebih rendah.
Ada
juga faktor perbedaan atau pembagian yurisdiksi berdasarkan lingkungan
peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolut bagi masing-masing
lingkungan peradilan yang disebut juga atribusi kekuasaan. Selain perbedaan lingkungan ditambah
lagi faktor kewenangan khusus yang diberikan undang-undang kepada badan extra judicial, seperti arbitrase atau
mahkamah pelayaran. Bahkan
masalah yurisdiksi ini dapat juga timbul karena faktor wilayah yang membatasi
kewenangan masing-masing pengadilan dalam lingkungan wilayah hukum atau daerah
hukum tertentu yang disebut kewenangan relatif atau distribusi kekuasaan.[29]
Berbicara
mengenai kekuasaan mengadili, maka hal ini berkaitan dengan kompetensi dari
badan peradilan tersebut. Suatu
gugatan harus di ajukan kepada badan peradilan yang benar-benar berwenang untuk
mengadili persoalan ini. Hukum acara perdata mengenal dua macam kompetensi,
yaitu :
1.
Kompetensi
Absolut
Kompetensi
absolut ialah kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara antar
badan-badan peradilan berdasarkan pada pembagian wewenang dan pembebanan tugas
(yurisdiksi). Misalkan badan
peradilan umum kompetensi absolutnya ialah memeriksa dan mengadili
perkara-perkara pidana dan perdata pada umumnya, sedangkan pengadilan Tata
Usaha Negara berwenang memeriksan dan mengadili sengketa-sengketa berkaitan
dengan keputusan Tata Usaha Negara.[30]
Berdasarkan
sistem pembagian lingkungan peradilan, Pengadilan Negeri berhadapan dengan kewenangan Absolut
lingkungan peradilan lain. Menurut amandemen pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan
pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana di ubah dengan UU No. 35
Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4
Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman yang berada dibawah Mahkamah Agung,
dilaksanakan dan dilakukan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari
:
a. Peradilan
Umum
b. Peradilan
Agama
c. Peradilan
Militer dan
d. Peradilan
Tata Usaha Negara
Keempat
lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung ini, merupakan
penyelenggaraan kekuasaan Negara dibidang yudikatif. Secara konstitusional bertindak
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan dalam kedudukannya
sebagai pengadilan negara.
Mengenai
sistem pemisahan yurisdiksi dianggap masih relevan dasar-dasar yang dikemukakan
dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagai berikut :
1. Didasarkan
pada lingkungan kewenangan
2. Masing-masing
lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu
3. Kewenangan
tertentu tersebut, menciptakan terjadinga kewenangan absolut atau yurisdiksi
absolut pada masing-masing lingkungan.
4. Oleh
karena itu masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus
yang dilimpahkan undang-undnag kepadanya.
Sepintas
lalu, kewenangan masing-masing lingkungan adalah :
1. Peradilan
umum sebagaimana yang digariskan pasal 50 dan pasal 51 UU No. 2 Tahun 1986
(Tentang peradilan umum), hanya berwenang mengadili perkara-perkara sebagai
berikut :
a. Pidana
umum dan khusus
b. Perdata
umum dan niaga
2. Peradilan
Agama berdasarkan pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 (Tentang Peradilan agama) hanya
berwenang mengadili perkara bagi rakyat yang beragama islam mengenai :
a. Perkawinan
b. Kewarisan
(meliputi wasiat hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam)
c. Wakaf
dan shadaqah
3. Peradilan
Tata Usaha Negara, Menurut pasal 47 UU No. 5 Tahun
1986, kewenangan nya terbatas dan tertentu untuk mengadili sengketa Tata Usaha
Negara.
4. Peradilan
militer sesuai dengan ketentuan pasal 40 UU No. 31 Tahun 1997, hanya berwenang
mengadilui perkara pidana yang terdakwa nya terdiri dari prajurit Tentara Nasional Indonesia berdasarkan pangkat Tertentu.
Setelah
memperhatikan uraian di atas, ditinjau dari segi pembagian lingkungan kekuasaan
kehakiman, undang-undang telah menentukan batas yurisdiksi masing-masing. Sengketa yang dapat di ajukan ke Pengadilan Negeri sesuai keberadaan dan kedudukannya
sebagai lingkungan peradilan umum hanya terbatas pada perkara pidana dan
perdata.[31]
Dalam
praktik sering terjadi kekaburan dalam menentukan batas yang jelas dan terang
tentang yurisdiksi absolut, terutama pada peradilan umum pada satu pihak dengan
peradilan agama atau peradilan Tata
Usaha Negara pada pihak lain. Maka dari itu sebelum mengajukan gugatan
hendak nya diteliti lebih dahulu apakah perkara itu termasuk yurisdiksi absolut
Pengadilan Negeri peradilan umum atau tidak agar
pengajuan gugatan tidak melanggar batas kompetensi absolut yang digariskan
undang-undanag. Pelanggaran
batas wewenang yurisdiksi, mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima atas alasan tidak berwenang mengadili.
2.
Kompetensi
Relatif
Kompetensi
relatif berkaitan dengan kewenangan mengadili/memeriksa perkara dari suatu
pengadilan negeri berdasarkan pembagian daerah hukumnya. Untuk pengadilan negeri daerah hukumnya
meliputi daerah tingkat
kabupaten/kota ditempat pengadilan negeri itu berada. Kompetensi relatif mengatur pembagian
kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat
tinggal tergugat. Pasal
118 HIR menyangkut kekuasaan relatif. Asasnya
adalah “yang berwenang adalah pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal tergugat.[32]
Setiap
Pengadilan Negeri terbatas daerah hukumnya, hal itu sesuai dengan kedudukan
Pengadilan Negeri. Hanya
berada pada wilayah tertentu. Menurut pasal 4 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 :
-
Pengadilan Negeri berkedudukan di
Kotamadya atau di Ibukota
Kabupaten, dan
-
Daerah hukumnya meliputi wilayah
kotamadya atau kabupaten yang bersangkutan
Berdasarkan
pasal itu, kewenangan mengadili Pengadilan Negeri hanya terbatas pada daerah
hukumnya, diluar itu tidak berwenang. Daerah hukum masing-masing Pengadilan
Negeri hanya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tempat ia berada dan
berkedudukan. Contoh Pengadilan Negeri yang berkedudukan di daerah bekasi, daerah
hukum nya terbatas meliputi wilayah kabupaten bekasi. Daerah hukum yang menjadi
kewenangan setiap Pengadilan Negeri mengadili perkara, sama dengan wilayah
kotamadya atau kabupaten, tempat ia berada atau berkedudukan.
Tempat
kedudukan daerah hukum, menentukan batas kompetensi relatif mengadili bagi
setiap Pengadilan Negeri. Meskipun
perkara yang disengketakan termasuk yurisdiksi absolut lingkungan peradilan
umum, sehingga secara absolut Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya, namun
kewenangan absolut itu, dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relatif. Jika perkara yang terjadi di luar
daetrah hukumnya secara relatif Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang
mengadilinya.Apabila terjadi pelampauan batas daerah hukum, berarti Pengadilan
Negeri yang bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan. Tindakan itu berakibat, pemeriksaan dan
putusan yang dijatuhkan dalam perkara itu, tidah sah. Oleh karena itu harus
dibatalkan atas
alasan pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan, dilakukan oleh Pengadilan
Negeri yang tidak berwenang untuk itu.
Patokan
menentukan kewenangan mengadili
dihubungkan dengan batas daerah hukum Pengadilan Negeri, merujuk kepada
ketentuan pasal 118 HIR pasal 142 Rbg, untuk memperjelas pembahasan nya,
sengaja berorientasi juga kepada pasal 99 Rv.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan itu, dapat dijelaskan beberapa patokan
menetukan kompetensi relatif. Sehubungan dengan itu agar pengajuan gugatan
tidak salah dan keliru, harus diperhatikan patokan yang ditentukan
undang-undang seperti :[33]
a. Actor
sequitur forum rei (actor rei forum sequitur)
Patokan
ini digariskan pada pasal 118 ayat (1) HIR yang menegaskan :
-
Yang berwenang mengadili suatu perkara
adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat
-
Oleh karena itu, agar gugatan yang di
ajukan penggugat tidak melanggar batas kompetensi relatif, gugatan harus di ajukan
dan dimasukan kepada Pengadilan Negeri yang berkedudukan diwilayah atau daerah
hukum tempat tinggal tergugat.
Mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Negeri diluar wilayah tempat tinggal tergugat, tidak
dibenarkan. Dianggap sebagai
pemerkosaan hukum terhadap kepentingan tergugat dalam membela diri. Rasio penegakan actor sequitur forum rei
atau forum domisili,
bertujuan untuk melindungi tergugat. Siapapaun tidak dilarang untuk menggugat
seseorang, tetapi kepentingan tergugat harus dilindungi dengan cara melakukan
pemeriksaan di Pengadilan Negeri tempat tinggalnya, bukan ditempat tinggal
penggugat. Kalau patokannya ditempat tinggal penggugat akan menimbulkan
kesengsaraan dan kesulitan terhadap tergugat, apabila tempat tinggal penggugat
jauh dari tempat tinggal tergugat.
Yang
dimaksud dengan tempat tinggal tergugat menurut hukum yang di anggap sebagai
tempat tinggal seseorang ialah :
-
Tempat kediaman atau
-
Tempat alamat tertentu
-
Tempat kediaman sebenarnya
Yang
dimaksud kediaman sebenarnya atau sebenarnya berdiam adalah tempat secara nyata
tinggal.[34]
b. Sumber
menentukan tempat tinggal tergugat yang sah dan resmi dijadikan sumber
menentukan tempat tinggal tergugat, terdiri dari beberapa jenis akta atau
dokumen , yang terpenting ialah :
-
Berdasarkan KTP
-
Kartu Rumah Tangga
-
Surat Pajak, dan
-
Anggaran Dasar Perseroan
c. Perubahan
tempat tinggal setelah gugatan di ajukan, apabila terjadi perubahan tempat
tinggal, setelah gugatan di ajukan :
-
Tidak mempengaruhi keabsahan gugatan
ditinjau dari kompetensi relatif
-
Hal ini demi menjamin kepastian hukum,
dan melindungi kepentingan penggugat dari kesewenangan dan itikhad buruk
tergugat.
Apabila
hukum membenarkan bahwa perubahan alamat mempengaruhi keabsahan gugatan secara
relatif, hal itu dapat dimanfaatkan tergugat dengan berpindah tempat tinggal
kewilayah Pengadilan Negeri lain, agar gugatan tidak sah. Oleh karena itu,
perubahan tempat tinggal setelah gugatan di ajukan, tidak merubah kompetensi
relatif semula.[35]
d. Kompetensi
relatif berdasarkan pemilihan domisisli
Menurut
pasal 18 ayat (4) HIR, para pihak dalam perjanjian dapat menyepakati domisili
pilihan yang berisi klausul, sepakat memilih Pengadilan Negeri tertentu yang
akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Pencantuman
klausul harus berbentuk akta tertulis :
-
Dapat langsung dicantumkan sebagai
klausul dalam perjanjian pokok atau
-
Dituangkan dalam akta tersendiri yang
terpisah dalam perjanjian pokok
Mengenai
penerapan domisili pilihan harus benar-benar didasarkan pada rumusan pasal 118 ayat (4) HIR itu sendiri. Domisili pilihan itu tidak mutlak
mengenyampingkan asas actor sequitur forum rei, persetujuan para pihak mengenai
pilihan domisili pada
prinsipnya tunduk kepada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang
digariskan pasal 1338 KUHperdata, oleh karena itu kesepakatan tersebut mengikat
kepada para pihak untuk menaati dan melaksanakan. Namun
demikian ketentuan pasal 118 ayat (4 HIR) itu sendiri, membatasi tingkat
derajat kekuatannya, tidak
bersifat mutlak, tetapi bersifat sukarela.
e. Negara
atau pemerintah dapat digugat pada setiap Pengadilan Negeri
HIR
maupun RBG tidak mengatur forum kompetensi relatif suatu perkara, apabila
pemerintah indonesia bertindak sebagai penggugat atau tergugat mewakili negara.
Oleh karena itu tidak jelas Pengadilan Negeri mana yang berwenang dalam hal
ini, apakah Pengadilan Negeri Jakarta
pusat atau dapat di ajukan pada setiap Pengadilan Negeri.
Pasal
99 ayat (18) Rv menngatur
secara khusus kompetensi relatif penyelesaian sengketa yang melibatkan negara
sebagai pihak penggugat ataupun tergugat. Ketentuan itu berbunyi :
“dalam
hal pemerintah indonesia mewakili negara bertindak sebagai penggugat atau
tergugat maka jakarta di anggap sebagai tempat tinggal nya.”
Apabila
berpedoman pada ketentuan tersebut dikaitkan dengan patokan kompetensi relatif
berdasarkan tempat tinggal tergugat maka Pengadilan Negeri yang berwenang
mengadilinya adalah Pengadilan Negerijakarta pusat[36]
B.
Tinjauan
Umum Tentang Arbitrase
Keberadaan
arbitrase di indonesia sudah dikenal sejak lama sebelum perang dunia kedua,
namun masih jarang digunakan oleh masyarakat karena di samping kurang
dimengerti juga masih diragukan manfaat nya. arbitrase merupakan salah satu
bentuk penyelesaian sengeketa alternatif diluar pengadilan. E. Wedekind
menyebutkan model sengketa demikian sebagai pengadilan informal. Di amerika
serikat dan kanada dikenal istilah multidoor
corthouse, yaitu pemeriksaan perkara yang dilakukan di luar pengadilan atau
disebut sebagai informal court. Pemeriksaan melalui pengadilan informal
ini dapat berbentuk negoisasi, mediasi dan pencari fakta oleh para ahli hukum
netral. Arbitrase merupakan salah satu bentuk
pengadilan informal.[37]
Pada
awal nya keberadaan arbitrase bersifat insidentil, yakni dibentuk khusus untuk
menangani setiap sengketa yang terjadi. Di
inggris arbitrase di atur dalam undang-undang untuk pertama kalinya pada tahun
1889. Kemudian dibeberapa negara dibentuk
lembaga tetap yang bertindak sebagai badan arbitrase yang menjadi perantara
dalam penyelesaian sengketa. Lembaga
arbitrase pada umum nya merupakan suatu badan yang dibentuk dan diorganisisr
oleh kamar dagang atau perusahaan. Di indonesia pada tanggal 3 desember 1977
dibentuk badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdasarkan surat keputusan
KADIN No. SKEP/152/DPH/1977 tanggal 30 November 1977. Bani merupakan badan
arbitrase tetap dalam menangani sengketa perdata yang timbul di bidang perdagangan,
industri dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun internasional.[38]
Keberadaan
arbitrase sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebenarnya sudah lama di kenal dalam
sitem hukum di indonesia Arbitrase diperkenalkan di indonesia bersamaan dengan
diberlakukanya RV (reglement op de
burgelijke rechtsvordering) pada tahun 1847, karena semula arbitrase ini di
atur dalam ketentuan pasal 615 sampai 651 Rv. Ketentuan-ketentuan tersebut
sekarang ini tidak berlaku lagi dengan diterbitkannya undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Meskipun
demikian, berdasarkan perkembangan arbitrase di indonesia, institusionalisasi
arbitrase mendapatkan momentumnya dengan terbentuk nya Badan Arbitrase Nasional
(BANI) pada tanggal 3 desember 1977 yang didirikan oleh KADIN.[39]
Jadi
arbitrase atau sering juga disebut perwasitan adalah suatu prosedur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan persetujuan para
pihak diserahkan kepada seorang wasit atau lebih. Arbitrase
merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar lembaga
peradilan. Pilihan tersebut
dilakukan karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan berjalan lambat dan
memakan biaya besar. Pemeriksaan perkara perdata di pengadilan dilakukan dalam
tiga tingkat yaitu, tingkat pertama di pengadilan negeri, tingkat kedua di pengadilan tinggi, dan tingkat
ketiga di mahkamah agung, dan masih ada kemungkinan tingkat keempat yakni
peninjauan kembali. Lambannya
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan itu dinilai kontraproduktif
oleh para pelaku usaha, karena dapat mengganggu kegiatan usaha. selain itu
pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka sehingga membuka peluang
terjadinya konflik berkepanjangan di antara pelaku usaha.[40]
Sedangkan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan secara konfidensial
(Putusanya tidak dipublikasikan) dan dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak. Dengan model
pemeriksaan sengketa demikian memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa untuk
tetap memelihara hubungan dagang dan bisnis yang telah terjali sebelumnya. Di
samping itu, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sehingga tertutup
peluang bagi para pihak untuk mengajukan upaya hukum seperti yang terjadi pada
proses peradilan. Putusan arbitrase dapat diperoleh dalam waktu yang relatif
singkat cepat, yakni paling lama 6 bulan sejak pengangkatan arbiter (pasal 620
Rv dan pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999). Apabila terjadi keterlambatan dalam
menjatuhkan putusan maka para arbiter dapat dikenai sanksi membayar ganti rugi
kepada para pihak (pasal 20 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbiter dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa)[41]
Berikut
ini merupakan asas-asas umum dalam arbitrase, yaitu antara lain:[42]
1. Asas
final dan mengikat (binding)
Asas final dan mengikat (binding)
terhadap putusan arbitrase, jelas diatur pada
pasal 60 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, pada bab
VI mengenai pelaksanaan
putusan arbitrase, yang menyatakan:
“putusan arbitrase bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak” dan dalam
ketentuan pasal 68 ayat
1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang menyatakan
bahwa: “terhadap putusan
ketua pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud dalam pasal
66 huruf
d yang mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase
internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi”. Menurut
asas ini, putusan
dari arbitrase tidak
dapat diganggu gugat walaupun oleh
pengadilan, karena dalam
putusan arbitrase tidak
dapat dilakukan upaya banding dan
kasasi. Di sini pengadilan hanya
berfungsi sebagai eksekutor, yang
hanya meneliti apakah
ada pelanggaran atas
asas-asas tersebut, maka pengadilan dapat menolak pemberian
eksekutor.
2. Asas
resiprositas
Asas
ini tercermin dalam
ketentuan pasal 66
huruf a, Undang-undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang menyatakan bahwa putusan
arbitrase internasional hanya
diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hokum Indonesia. Asas ini mempunyai arti
adanya ikatan hubungan timbal balik
antara suatu negara dengan
negara lain dimana
dalam hubungan tersebut antara
negara sama-sama mengakui
putusan arbitrase negara, begitu juga
sebaliknya. Menurut asas resiprositas tidak
semua putusan arbitrase asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement), hanya terbatas pada
putusan yang diambil
di negara asing
yang mempuyai ikatan bilateral
dengan Indonesiadan terkait bersama
dengan negara Indonesia
dalam suatu konvensi
internasional.[43]
3. Asas
ketertiban umum
Asas
ketertiban umum tercermin
dalam ketentuan pasal
66 huruf
c, Undang-Undang No.30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang menentukan bahwa
putusan arbitrase internasional hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia
terbatas pada ketentuan
yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum. Asas ini
mempunyai arti, bahwa
apabila ada putusan arbitrase
yang bertentangan dengan ketertiban
umum di Indonesia, permintaan eksekusinya dapat
ditolak.
4. Asas
separabilitas
Dalam
suatu perjanjian yang
dibuat oleh, para
pihak dapat memasukan perjanjian arbitrase
yang berupa klasula
arbitrase, yang merupakan
bagian dari perjanjian tersebut
atau merupakan perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok. Apabila perjanjian
arbitrase menjadi bagian dari
perjanjian, maka hal
ini sering disebut klausul
arbitrase. Asas separabilitas atau
lebih dikenal dengan severable clauseini, mempunyai arti
bahwa dalam suatu perjanjian,
jika ada salah
satu perikatan dalam perjanjian
tersebut batal, maka
pembatalan tersebut tidak
mengakibatkan perikatan yang lain
menjadi batal. Penerapan asas
ini pada perjanjian
arbitrase artinya jika perjanjian
pokok tersebut berakhir atau
batal, klausul atau
pasal mengenai arbitrase masih tetap eksis.[44] Mengenai
perjanjian arbitrase Undang-undang
Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, telah mengatur
dalam pasal 10
Tentang suatu perjanjian arbitrase
tidak menjadi batal
disebabkan oleh keadaan, yaitu :
a. Meninggalnya
salah satu pihak
b. Bangkrutnya
salah satu pihak
c. Novasi
d. Insolvensi
salah satu pihak .
e. Pewarisan
f. Berlakunya
syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. Bilamana pelaksanaan
perjanjian tersebut dialihtugaskan pada
pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian
arbitrase tersebut; atau
h. Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.
Jadi, apabila
suatu perjanjian pokok
batal, tidak
menjadikan klausul arbitrase yang ada
didalam perjanjian pokok
tersebut ikut batal
namun klasul arbitrase harus
tetap dilaksanakan. Karena
klausul arbitrase adalah
independen terhadap pemenuhan
kewajiban atau perikatan
lain dalam perjanjian
tersebut dan karenanya berlakulah
asas separabilitas terhadapnya.
Arbitrase
merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sengeketa
yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak
dalam bentuk sebagai berikut :
1. Perbedaan
penafsiran (disputes) mengenai
pelaksanaan perjanjian, berupa :
A. Kontroversi
pendapat (controversy)
B. Kesalahan
pengertian (misunderstanding)
C. Ketidaksepakatan
(disagreement)
2. Pelanggaran
perjanjian (breach of contract)
a. Sah
atau tidaknya kontrak
b. Berlaku
atau tidaknya kontrak
3. Pengakhiran
kontrak
4. Klaim
mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum[45]
Dalam suatu hubungan
bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa
yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan
klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.[46] Menyelesaikan
sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi,
pengadilan dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8
Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun
1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.”
Menurut Black's Law
Dictionary: "Arbitration. An arrangement for taking an abiding by the
judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it
to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities,
the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal
1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada
dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
2. Suatu
perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa
(Akta Kompromis).
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun
1999 disebutkan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.”
Sebelum UU Arbitrase
berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata
(Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal
3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
penyelesaian perkara di luar Pengadilan
atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
Dengan demikian
arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum
keluarga. Arbitase hanya
dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan
pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan mereka.[47] Dalam banyak perjanjian perdata,
klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa.
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding)
oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga
arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum
yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan
perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Objek dari arbitrase
ini sendiri merupakan permasalahan yang timbul karena sengketa antara para
pelaku usaha, dan yang sering menjadi objek arbitrase adalah sengketa di bidang
perdagangan, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 5 ayat 1
disebutkan bahwa yang menjadi Objek arbitrase adalah hanya sengketa dibidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Hanya saja
tidak diberikan penjelasan yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut.
Pelaksanaan putusan arbitrase dapat
dibagi menjadi 2, yakni :
1.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan
putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus
melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan
pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada
kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli
atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan
arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan
Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang
mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut. Kewenangan
memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan
secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase. Berdasarkan
Pasal
62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan
memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus
untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan
Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada
upaya hukum apapun.
2.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional
Semula
pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara
peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah
Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya PERMA tersebut
hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa
diatasi.Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi
putusan arbitrase asing.
Adapun kewenangan
Pengadilan memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya,
lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang
termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak
ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitrase, hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement (prinsip yang mengatakan
keterlibatan pengadilan yang terbatas). Dalam prakteknya masih saja ditemukan
pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah
menjatuhkan putusannya.[48]
Keunggulan arbitrase
dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999
dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1.
kerahasiaan sengketa para pihak terjamin
;
2.
keterlambatan yang diakibatkan karena
hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
3.
para pihak dapat memilih arbiter yang
berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,
serta jujur dan adil ;
4.
para pihak dapat menentukan pilihan
hukum untuk penyelesaian masalahnya ;
5.
para pihak dapat memilih tempat
penyelenggaraan arbitrase ;
putusan arbitrase
merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun
dapat langsung dilaksanakan. Para
ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase.
Menurut Prof. Subekti
bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau
perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan
cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto
mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1. Penyelesaian
sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2. Para
wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang
diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3. Putusan
akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4. Putusan
peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan
perusahaan yang
bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki
oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan
arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase,
antara lain :
1. Dari
praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya
upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi
putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
2. Bahwa
untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa untuk membawanya ke
badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua para pihak harus sepakat, padahal untuk
dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-kadang memang sulit dan
forum arbitrase mana yang dipilih.
3. Tentang
pengakuaan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini, dibanyak Negara, masalah
tentang pengakuaan dan pelaksanaan keputusan asing ini masih menjadi soal yang
sulit.
4. seperti
telah dimaklumi, dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum atau
keterikatan kepada purtusan-putusan arbitrase sebelumnya. Jadi, setiap sengketa
yang mengandung argumentasi-argumentasi hukum para ahli-ahli hukum kenamaan.
Karena tidak adanya preseden ini, maka adalah logis kemungkinan timbulnya
keputusan-keputusan yang saling berlawanan. Artinya fleksibilitas didalam
mengeluarkan keputusan yang sulit dicapai.
5. Arbitrase
ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitive terhadap semua sengketa
hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang berbeda di setiap
Negara.
6. Bagaimanapun
juga keputusan arbitrase selalu bergantung kepada bagaimana arbitrator
mengeluarkan keputusan yang memuaskan para pihak.
Setelah apa yang
penulis jelaskan diatas, Lembaga arbitrase
memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan
putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan negeri. Hal
ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap
para pihak untuk menaati putusannya. Peranan
pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar Undang-undang Arbitrase antara lain
mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak
ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase
nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem
peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan
autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Proses
pemeriksaan perkara dalam arbitrase pada hakekatnya secara umum sama dan tidak
jauh berbeda dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Karena
baikarbitrase maupun litigasi sama-sama merupakan mekanisme ajudikatif, yaitu
pihak ketiga yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa tersebut sama-sama
mempunyai kewenangan memutuskan sengketa tersebut. Arbitrase termasuk ajudikatif privat
sedangkan litigasi termasuk ajudikatif publik. Sehingga baik arbitrase maupun
litigasi sama-sama bersifat win-lose solution.
Meskipun demikian, pada umum nya dalam dunia bisnis orang lebih banyak memilih
arbitrase untuk penyelesaian sengketa dikemudian hari jika ada, karena
arbitrase memiliki beberapa keunggulan daripada cara litigasi, seperti yang
dijelaskan sebelum nya. Dengan demikian, perbedaanya terutama terletak pada
otonomi atau kebebasan para pihaknya dimana dalam arbitrase para pihak
mempunyai kebebasan atau otonomi yang lebih luas dari acara litigasi.
Pasal
130 HIR dan pasal 154 Rbg menyebutkan bahwa apabila pada hari sidang yang
ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim berkewajiban mendamaikan mereka.[49]
Menurut Frank Elkuory
dalam bukunya “How Arbitration Works”
: Disebutkan bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela
yang ingin agar perkara nya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan
pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalail dalam perkara
tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara
final dan mengikat.
Menurut
Pasal 1 (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa menyebutkan : “Arbitrase adalah cara Penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak”
Dari
ketentuan undang-undang ini memberikan pengertian bahwa arbitrase itu lembaga
yang menangani perkara-perkara perdata dan dagang dan tidak termasuk dalam
perumusan ini sengketa yang didasarkan atas hukum pidana. Para pihak telah
memufakati secara tertulis bahwa mereka, apabila terjadi perkara mengenai
perjanjian yang telah mereka buat, akan memilih jalan penyelesaian sengeketa
melalui arbitrase dan tidak berpekara di hadapan peradilan umum yang biasa
sehari-hari. Jadi dengan adanya klausula arbitrase ini, maka para pihak telah
menyetujui tidak menyelesaikan sengketa mereka dengan cara berpekara di
pengadilan umum biasa.[50]
Adalah
suatu kenyataan yang sudah disadari oleh banyak kalangan bahwa, penyelesaian
perkara yang ditempuh melalui lembaga peradilan umum atau pemerintah
menghabiskan masa yang tidak singkat. Karena
lembaga peradilan ini banyak mekanisme acara nya. Akibatnya
tentu akan menyita energi, bahkan banyak menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Tidak hanya sekedar itu yang lebih dilematis lagi yaitu beban psoikologis yang
harus dipikul oleh para pihak sebelum ada nya keputusan yang mempunyai kekuatan
hukum yang pasti.[51]
Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan
“bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Para pihak yang mencari keadilan dan kepastian
hukum serta mengharapkan penyelesaian sengketa yang dihadapi akan menempuh
berbagai jalur hukum dalam hal
ini merupakan perkara perdata untuk mempertahankan hak-hak pihak
yang merasa dirugikan atau
pihak-pihak yang merasa
haknya tidak dipenuhi oleh pihak lain maka akan mengajukan Gugatan kepengadilan apabila upaya
perdamaian atau mediasi yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa tidak
menemui kesepakatan, gugatan yang diajukan penggugat kepengadilan untuk
mendapatkan kepastian hukum tidak dapat ditolak pengadilan baik mengenai
kompetensi absolut pengadilan karena pengadilan terikat dengan Undang-undang
maka perkara yang diajukan akan diregister dahulu, selanjutnya ditentukan dalam
proses pemeriksaan perkara setelah sidang berjalan meskipin proses pemeriksaan
perkara berhenti sampai dikeluarkannya putusan sela maupun penetapan dan
ahkhirnya putusan akhir mengenai perkara dapat diterima maupun ditolak.
Dalam hal adanya permohonan pembatalan putusan
arbitrase, UU Arbitrase telah menetapkan secara limitatif jenis putusan yang
dapat diajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung. Upaya hukum banding hanya
dapat diajukan, apabila Majelis Hakim membatalkan putusan arbitrase yang
menjadi objek dalam permohonan pembatalan tersebut.
Pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara
terkait telah dilakukannya pendaftaran terhadap suatu putusan arbitrase,
merupakan hal yang wajib untuk dilakukan oleh arbiter atau kuasanya. Penjelasan
lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini :
1) Permohonan
pembatalan putusan arbitrase merupakan hal yang umum diajukan oleh pihak yang
kalah dalam perkara arbitrase. Dalam beberapa perkara, hal ini dilakukan untuk
menunda pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut. Tentunya
permohonan pembatalan tersebut harus diajukan atas dasar alasan-alasan yang
telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“Undang-undang Arbitrase”), yaitu:
a. surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan
oleh pihak lawan; atau
c. putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Namun ada kalanya putusan dari permohonan pembatalan
tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pihak pemohon. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 72 ayat (4) Undang-undang
Arbitrase, putusan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat
diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan “banding”
adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 Undang-undang
Arbitrase.
Dengan demikian menurut Undang-undang Arbitrase upaya hukum
banding ke Mahkamah Agung, hanya dapat diajukan dalam hal Majelis Hakim yang
memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase membatalkan putusan arbitrase
tersebut. Sedangkan jika Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dan putusan
arbitrase tetap berlaku, maka seharusnya menurut Undang-undang Arbitrase tidak ada
upaya hukum yang dapat diajukan.
Faktanya berdasarkan preseden yang ada, walaupun
putusan pada tingkat pertama menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase,
bagi pihak yang tidak puas atas putusan tersebut tetap dapat mengajukan banding
ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang memeriksa permohonan tersebut
pada tahap pertama. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum yang
ada, sehingga memberikan celah bagi pihak lawan untuk mengajukan eksepsi atau
keberatan dari segi formil atas permohonan banding tersebut.
2) Terkait
pendaftaran Putusan BANI ke Pengadilan Negeri setempat, ini merupakan tanggung
jawab dari arbiter/lembaga arbitrase atau kuasanya. Hal tersebut sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase, yaitu sebagai berikut:
“Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri.”
BANI berkewajiban untuk melakukan pendaftaran atas
putusan arbitrase tersebut. Adapun pengadilan negeri yang dimaksud yaitu
pengadilan negeri yang termasuk dalam domisili hukum pihak termohon arbitrase.
Setelah BANI melakukan pendaftaran putusan di pengadilan negeri, BANI akan
melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara. Pemberitahuan
tersebut dilakukan dengan mengirimkan salinan putusan BANI yang telah memuat
cap keterangan telah dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan PN dengan memuat
tanggal dan nomor pendaftarannya.
Setelah pemberitahuan ini dilakukan, barulah pihak
yang tidak puas dan ingin membatalkan putusan arbitrase, dapat mengajukan
permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase. Hal tersebut sebagaimana
diatur dalam Pasal 71 Undang-undang
Arbitrase yang menyebutkan sebagai berikut:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri.”
Dengan
demikian walaupun putusan arbitrase tersebut telah dibacakan dalam persidangan
dan salinan putusan telah dikirimkan kepada para pihak yang berperkara, BANI
tetap berkewajiban untuk melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang
berperkara, setelah putusan arbitrase tersebut didaftarkan.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Kompetensi Absolut Pada Perkara Perdata No.177/PDT.G/2014/PN. PBR
Perkara
Perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR diputus dengan putusan sela dengan
mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh pihak Tergugat mengenai kewenangan
mutlak dari lembaga Peradilan atau Kompetensi Absolut Lembaga Peradilan dalam
memeriksa dan mengadili perkara Perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR. Hal tersebut
dikarenakan didalam
perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat-I (berdasarkan surat
perjanjian kerjasama akta No. 04)
Tergugat-II (berdasarkan surat perjanjian
kerjasama akta No. 05) dan Tergugat-III (berdasarkan surat
perjanjian kerjasama akta No. 06),
dimana didalam pasal 9 masing-masing akta tersebut menyebutkan :[52]
:”……Semua perselisihan yang mungkin timbul/atau
terjadi antara para pihak dalam (sebab)
perjanjian ini, baik yang bersifat teknis maupun non teknis yang tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak sendiri secara musyawarah, tidak akan diajukan ke
Pengadilan, akan tetapi akan diurus dan diselesaikan/diputuskan secara
Arbitrage (perdamaian) oleh para pendamai………….dst.
Berdasarkan hal
tersebut Pihak Tergugat didalam salah satu Petitumnya meminta agar Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara aquo untuk menghentikan pemeriksaan
pokok perkara karena Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perkara aquo.
Eksepsi tersebut diterima oleh Majelis Hakim dan menyatakan bahwasannhya
Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak Berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara aquo, sehingga perkara
tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Kompetensi
absolut ialah kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara antar
badan-badan peradilan berdasarkan pada pembagian wewenang dan pembebanan tugas
(yurisdiksi).[53]
Misalkan badan peradilan umum kompetensi absolutnya ialah memeriksa dan
mengadili perkara-perkara pidana dan perdata pada umumnya, sedangkan pengadilan
Tata Usaha Negara berwenang memeriksan dan mengadili sengketa-sengketa
berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara.[54]
Kekuasaan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata
meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya
atau hak-hak keperdataan lainnya (Pasal 2 ayat 1 RO), kecuali apabila dalam
undang-undang ditetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya,[55]
misalnya seperti Perkara Perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR yang seharusnya
menjadi wewenang lembaga arbitrase untuk memeriksa dan memutus perkara
tersebut.
Berdasarkan
sistem pembagian lingkungan peradilan, Pengadilan Negeri berhadapan dengan
kewenangan Absolut lingkungan peradilan lain. Menurut amandemen pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana di ubah
dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan pasal 2 jo. Pasal 10
ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman yang berada dibawah
Mahkamah Agung, dilaksanakan dan dilakukan oleh beberapa lingkungan peradilan
yang terdiri dari :
a. Peradilan
Umum
b. Peradilan
Agama
c. Peradilan
Militer dan
d. Peradilan
Tata Usaha Negara
Keempat
lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung ini, merupakan
penyelenggaraan kekuasaan Negara dibidang yudikatif. Secara konstitusional
bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam
kedudukannya sebagai pengadilan negara.[56]
Adanya kewenangan dari masing-masing badan peradilan
tersebut dapat menimbulkan sengketa mengenai kewenangan mengadili. Dalam Pasal
56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa
sengketa kewenangan mengadili terjadi:
1.
Jika
2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang sama;
2.
Jika
2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang
sama.
Adanya kewenangan mengadili yang berbeda mengakibatkan
apabila suatu tuntutan pemenuhan hak (gugatan) ditujukan kepada badan peradilan
yang tidak berwenang mengadilinya, maka gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke verklaard) tanpa memeriksa substansi perkaranya.
Sehingga tidak jarang dalam suatu proses perkara khususnya perkara perdata, di
mana secara substansi seharusnya gugatan dapat dikabulkan akan tetapi oleh
karena tidak dipenuhinya formalitas prosedural dalam beracara (hukum acara)
maka akan menggagalkan penegakkan hukumnya.[57]
Dapat dilihat, permasalahan kewenangan mengadili
merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Kekeliruan mengajukan gugatan kepada
lingkungan peradilan atau pengadilan yang tidak berwenang, mengakibatkan
gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima
atas alasan gugatan yang diajukan tidak termasuk kewenangan absolut atau
relatif pengadilan yang bersangkutan.
Masalah kompentensi absolut Pengadilan Negeri ini diatur
dalam Pasal 134 HIR jo. Pasal 160 RBg dan mengenai kewenangannya dapat diajukan
setiap saat selama perkara masih berjalan. Eksepsi kompetensi diperiksa dan
diputus oleh Hakim sebelum memeriksa pokok perkara (vide Pasal 136 HIR), yang
dituangkan oleh Hakim dalam Putusan Sela (interlocutory) atau dituangkan dalam
Putusan Akhir (eind vonnis, final judgement). Bahkan Hakim yang memeriksa perkara
itupun karena jabatannya wajib menyatakan bahwa tidak berwenang mengadilinya
walaupun tidak ada tangkisan (eksepsi/exception) dari Tergugat.[58]
Perkara
perdata yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri merupakan kompetensi absolut
dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus. Meski demikian tidak semua
perkara perdata menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutus suatu perkara, terdapat beberapa pengecualian perkara perdata yang
menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Negeri, diantaranya yaitu:[59]
1. Perkara
perdata mengenai wanprestasi yang didalam perjanjaian terdapat kalusula penyelesaian sengketa
melalui
Arbitrase;
2. Perkara
mengenai perselisihan perburuhan, yang dalam hal ini merupakan wewenang
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI);
3. Perkara
Perdata mengenai kewarisan,wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum
Islam;
4. Perkara
perdata mengenai perkawinan bagi orang muslim;
Mengenai
sistem pemisahan yurisdiksi dianggap masih relevan dasar-dasar yang dikemukakan
dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagai berikut :
1. Didasarkan
pada lingkungan kewenangan
2. Masing-masing
lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu
3. Kewenangan
tertentu tersebut, menciptakan terjadinya
kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan.[60]
Pasal
118 ayat (1) HIR/142 ayat (1) Rbg menyatakan gugatan-gugatan perdata dalam
tingkat pertama menjadi wewenang pengadilan negeri dilakukan oleh Penggugat
atau oleh seorang kuasanya dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani
olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri
yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tergugat atau jika tempat
tinggalnya tidak diketahui ditempat tinggal yang sebenarnya. Dari ketentuan
pasal 118 ayat (1) HIR tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pengajuan
gugatan perdata harus diperhatikan unsur-unsur yaitu :[61]
1. Diajukan
oleh penggugat sendiri atau diwakili oleh wakil kuasanya
2. Diajukan
dengan suatu surat permohonan atau gugatan
3. Diajukan
kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang berdasarkan wilayah hukum tempat
tinggal tergugat.
Oleh karena itu masing-masing
lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Kewenangan dari masing-masing lembaga
peradilan yang penulis uraikan diatas merupakan kewenangan absolut yang tidak
dapat di tawar-tawar lagi. Kewenangan pengadilan dalam mengadili suatu perkara
yang menyangkut perkara tertentu merupakan kewenangan mutlak dari suatu
pengadilan sehingga pengadilan lain juga secara mutlak tidak dapat memeriksa
dan mengadili perkara tersebut dikarenakan memang bukan kewenangannya.
Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “semua persetujuan yang dibuat
secara sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.[62]
Kata semua menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat
perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh
hukum. Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati oleh
para pihak mengikat dan wajib
dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi
kepada pihak yang tidak melaksanakan prestasi tersebut. Kalimat yang dibuat secara sah diartikan
bahwa apa yang disepakati berlaku sebagai undang-undang jika tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila bertentangan,
maka kontrak batal demi hukum.[63]
Dengan
demikian perjanjian kerjasama pengadaan barang antara Penggugat dan Tergugat
menjadi suatu aturan yang harus di taati dan dipenuhi oleh para pihak yang
membuatnya, baik mengenai hak dan kewajiban para pihak maupun mengenai
penyelesaian sengketa yang timbul akibat perjanjian yang telah disepakati oleh
para pihak tersebut, dengan artian penyelesaian sengketa tersebut harus
ditempuh melalui cara penyelesaian sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam
perjanjian tersebut.
Didalam
perjanjian antara Penggugat dan Tergugat terdapat klausula yang menentukan bahwa
“perselisihan yang timbul antara
para
pihak diserahkan kepada Badan Arbitrase” dengan demikian, sesuai dengan yurisprudensi tetap
Mahkamah Agung, telah digariskan bahwa Klausula Arbitase yang ada didalam suatu
perjanjian itu termasuk kewenangan Absolut dan jika para pihak tidak
menyinggungnya, maka Hakim Pengadilan Negeri karena jabatannya harus menyatakan
diri tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili gugatan tersebut.
Klausula Arbitrase merupakan suatu
kesepakatan para pihak tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui
Lembaga Arbitrase yang mereka inginkan bersama. Yurisprudensi tetap mengakui
bahwa Arbitrase sebagai “Extra Yudicial”
yang lahir dari Klausula Arbitase dalam perjanjian mempunyai legal effect yang memberikan kewenangan
absolut kepada Badan Arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul dari perjanjian berdasar atas berlakunya asas “Pacta Sunt Servanda”.
Hakim memiliki kewajiban yang bersifat ex-officio untuk menyatakan diri tidak
berwenang mengadili, hal ini juga dijelaskan dalam putusan MA No. 317K/Pdt/1984
antara lain :
1)
Eksepsi
tidak berwenang mengadili berdasarkan klausul arbitrase adalah bersifat
absolut, atas alasan, dengan adanya klausula arbitrase secara total lingkungan
peradilan umum tidak berwenang mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian.
2)
Sehubungan
dengan itu, sekiranya pihak tergugat tidak mengajukan eksepsi hakim secara ex-officio, mesti menyatakan diri tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Dengan
demikian Badan Arbitrase sebagai badan Extra
Judicial telah menggeser kewenangan Pengadilan Negeri sebagai Peradilan
Negara untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut (Vide Jurisprudensi MA-RI No.013 PK/N1999 dan No.019 K/N/1999), maka
Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang dalam mengadili perkara aquo.[64]
Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.[65]
Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dilakukan secara konfidensial (Putusanya tidak dipublikasikan) dan
dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dengan model pemeriksaan sengketa
demikian memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa untuk tetap memelihara
hubungan dagang dan bisnis yang telah terjali sebelumnya. Di samping itu,
putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sehingga tertutup peluang bagi
para pihak untuk mengajukan upaya hukum seperti yang terjadi pada proses
peradilan. Putusan arbitrase dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat
cepat, yakni paling lama 6 bulan sejak pengangkatan arbiter (pasal 620 Rv dan
pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999). Apabila terjadi keterlambatan dalam menjatuhkan
putusan maka para arbiter dapat dikenai sanksi membayar ganti rugi kepada para
pihak (pasal 20 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbiter dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa).[66]
Melihat kepada data yang diperoleh
dari putusan perkara Perdata No. 177/PDT/2014/PN.PBR bahwa Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan tersebut penulis nilai keputusan
tersebut memang tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikarenakan antara Pengadilan Negeri dan lembaga Arbitrase merupakan
dua buah lembaga yang berbeda, Pengadilan Negeri merupakan suatau penyelesaian
perkara secara litigasi sedangkan Arbitrase merupakan suatu penyelesaian
perkara secara non litigasi. Maka dari itu apabila pengadilan negeri tetap
memeriksa dan mengadili perkara tersebut hingga akhir maka putusan yang
dikeluarkan oleh pengadilan negeri merupakan putusan yang tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat karena putusan tersebut dikeluarkan oleh lembaga
yang tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili. Dan nantinya putusan
pengadilan negeri yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut juga akan
dibatalkan oleh pengadilan pada tingkat yang lebih tinggi lagi.
Penulis
berpendapat bahwa Pihak Tergugat telah melakukan upaya-upaya hukum dengan benar
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketika terjadi perselisihan, pasti telah
dilakukan mediasi sebelumnya oleh para pihak namun tidak menemukan kesepakatan
dan maka dari itu Pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
Pekanbaru untuk mempertahankan hak-haknya yang telah dicurangi oleh Para
Tergugat. Karena peradilan tidak memiliki wewenang untuk menolak setiap berkas
perkara yang diajukan kepadanya, maka gugatan yang diajukan oleh Pihak
Penggugat diterima dan di register untuk selanjutnya akan dilakukan proses
pemeriksaan dalam persidangan. Bahkan ketika persidangan di mulai, tentu para
pihak juga telah dianjurkan untuk melakukan mediasi terlebih dahulu karena
memang sudah seharusnya dilakukan agar menghemat waktu, tenaga, biaya ketika
mediasi berjalan lancar
dan menuai kesepakatan.
Jadi
memang perkara wanprestasi ini merupakan wewenang dari Lembaga Arbitrase bukan
wewenang dari Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk memeriksa dan mengadili
dikarenakan telah diatur dalam perjanjian sebelumnya dan perjanjian tersebut
sah menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Terhadap perjanjian tersebut apabila
terdapat pihak yang merasa dirugikan maka pihak yang dirugikan terebut dapat
menyelesaikan perselisihan secara musyawarah dan menggunakan Lembaga Arbitrase
Setelah
apa yang telah diterangkan diatas, penulis juga telah melakukan wawancara
mengenai pengertian Arbitase terhadap Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru dan
terhadap Notaris kota Pekanbaru yang nantinya akan digunakan sebagai bahan
pembanding, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pengertian Arbitrase Menurut
Notaris
Menurut Notaris
sekaligus PPAT dalam hal ini menyatakan bahwa, Arbitrase merupakan penyelesaian
suatu sengketa hukum perdata yang di lakukan di luar pengadilan, karena
terlebih dahulu telah membuat klausula yang tercantum di dalam perjanjian yang
dibuat secara tertulis. Beliau menambahkan bahwa Arbitrase bisa dikatakan
sebagai sebuah lembaga, apabila menyelesaikan suatu perkara perdata menggunakan
BANI yang notabene nya adalah produk pemerintah, maka dapat menggunakan badan
ini yang bertindak secara otonom dan independent dalam penegakan hukum dan
keadilan. Namun, beliau kembali menegaskan bahwasanya beliau menganggap
Arbitrase bukanlah sebuah lembaga dikarenakan Arbitrase merupakan penyelesaian
perkara perdata diluar pengadilan melalui mediasi dan konsoliasi, jadi beliau
menyimpulkan bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, beliau berpendapat mediasi dan arbitrase itu sama karena pengertian
arbitrase itu menyelesaikan perkara dengan metode mediasi dan konsoliasi yang
merupakan penyelesaian di luar persidangan.[67]
2. Pengertian Arbitrase Menurut Hakim
Arbitrase menurut Hakim
di Pengadilan Negeri Pekanbaru, berpendapat bahwa Pengertian Arbitrase
merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata yang diselesaikan di luar
peradilan umum yang di dasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat terlebih
dahulu oleh para pihak yang dibuat secara tertulis juga oleh para pihak,
merujuk pada pengertian Arbitrase menurut pasal 1 (1) Undang-undang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999. Selanjutnya Hakim
mengatakan Arbitrase juga termasuk lembaga, karena Arbitrase ini dibagi kedalam
dua bagian yakni Arbitrase Ad hoc dan Arbitrase Intitutional.
Arbitrase ad hoc merupakan Arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk
meneyelesaikan suatu perkara, bentuk perkara nya biasanya disebut dengan
Arbitrase perseorangan dan apabila sengketa telah selesai maka akan dibubarkan.
Sedangkan Arbitrase institutional merupakan suatu lembaga atau badan Arbitrase
yang bersifat permanen dan tidak bubar meskipun sengketa telah diputus. Lebih
lanjut Hakim menyatakan bahwasanya Mediasi berbeda dengan Arbitrase, hal ini
dikarenakan Mediasi dan Arbitrase merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Jika dilihat dari segi penyelesaian nya maka dapat dibedakan bahwa
Mediasi dapat dilakukan diluar pengadilan dan juga dapat dilakukan melalui
pengadilan dengan proses persidangan., sedangkan Arbitrase sudah jelas
dilakukan diluar pengadilan dikarenakan merupakan bentuk penyelesaian masalah
yang akan diputus oleh arbiter (Non Litigasi).
Berdasarkan
fenomena-fenomena yang dikemukakan tadi sudah tentu tidak dikehendaki oleh
kalangan dunia usaha, yang ingin mencari penyelesaian yang adil, tidak
menghabiskan banyak waktu maupun energi, apalagi kalaulah hanya diperiksa tidak
masuk kepada pokok perkara dikarenakan berbenturan dengan kewenangan absolut
suatu pengadilan, terlebih lagi dengan peradaban dunia yang global saat ini,
dituntut segala sesuatu nya bersifat profesional, praktis, akurat, efektif dan
efesien.[68]
Sesuatu
yang menarik dari Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ini adalah tidak hanya dengan
mengedepankan penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik semata
dari masing-masing pihak, melainkan juga mengutamakan sikap sportif atau
berjiwa besar terhadap apapun hasil putusan yang di ambil nantinya.[69]
Maka
dari itu dapat disimpulkan bahwasannya Hakim bependapat bahwa Arbitrase
merupakan lembaga penyelesaian sengketa diluar peradilan melalui BANI,
Arbitrase dan Mediasi itu berbeda dikarenakan Arbitrase merupakan cara
penyelesaian diluar persidangan sedangkan mediasi merupakan cara penyelesaian
suatu sengketa yang dapat dilakukan di dalam maupun diluar persidangan. Lebih
lanjut lagi Notaris berpendapat bahwa arbitrase merupakan sebuah lembaga
apabila proses penyelesaian suatu sengketa melalui BANI namun adakalanya
Arbitrase bukan sebuah lembaga dikarenakan Arbitrase menggunakan cara
penyelesaian sengketa secara mediasi dan konsoliasi, arbitrase dan mediasi itu sama dikarenakan pengertian
arbitrase itu menyelesaikan perkara dengan metode mediasi dan konsoliasi yang
merupakan penyelesaian di luar persidangan.
Menurut
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 Tahun 2016 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan pengertian mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki
sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Dalam
hal ini, timbul perbedaan antara pendapat Hakim dan Pendapat Notaris. Jika
arbitrase merupakan Lembaga, maka sudah cocok bahwasannya apabila terdapat
klausula arbitrase didalam perjanjian dan terjadi perselisihan antara para
pihak maka penyelesian hanya bisa dilakukan melalui Lembaga Arbitrase saja dan
Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk memeriksa dan
mengadili perkara perdata yang didalam perjanjian antara para pihak terdapat
klausula arbitrase.
Kemudian
apabila dilihat dari cara penyelesaiannya, Arbitrase menyelesaiakan perkara
yakni dengan metode mediasi dan konsoliasi. Jika demikian sah-sah saja apabila
para pihak menyelesaiakan perselisihan yang terjadi melalui jalur mediasi baik
diluar maupun didalam persidangan, karena yang terpenting adalah para pihak
yang berselisih dapat berdamai dan tidak ada pihak yang dilanggar haknya yang
kemudian dapat melanjutkan isi dari perjanjian kerjasama tersebut ataupun
menghentikan perjanjian kerjasama tersebut.
Tidak
hanya itu, putusan arbitrase tidak berkekuatan hukum apabila tidak di daftarkan
ke kepaniteraan Pengadilan Negeri. Maka dari itu setiap putusan dari
kesepakatan Arbitrase haruslah didaftarkan ke kepaniteraan pengadilan Negeri
agar putusan arbitrase tersebut berkekuatan hukum mengikat dan memiliki
kekuatan eksekutorial.
Dari
pernyataan diatas, seharusnya Pengadilan Negeri dapat memeriksa dan memutus
perkara yang diajukan kepadanya yang berkaitan dengan pilihan hukum arbitrase,
karena ketika tidak ada klausul arbitrase didalam perjanjian yang disepakati
oleh para pihak, perkara perdata mengenai wanprestasi sudah jelas merupakan
wewenang Pengadilan Negeri juga untuk memeriksa dan memutus. Hal ini jelas
dapat merugikan Pihak Penggugat, tidak hanya waktu tapi uang, tenaga dan
pikiran juga terbuang sia-sia. Meski demikian apabila terdapat 2 pilihan hukum,
maka itu bukan merupakan sebuah penyelesaian tapi itulah problematika yang
terjadi saat ini.
Yang menjadi permasalahn disini adalah, ketika
terjadi perselisihan antara para pihak tentu para pihak juga telah mengupayakan
jalan perdamaian melalui jalur mediasi terlebih dahulu tentunya. Kemudian
ketika sarana mediasi diluar persidangan tidak memecahkan masalah, ketika pihak
yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk menuntut
hak nya yang tidak terpenuhi, bukankah ketika sidang berjalan, sebelum memasuki
pada pemeriksaan pokok perkara Majelis Hakim juga telah mengupayakan agar para
pihak yang berselisih melakukan mediasi terlebih dahulu.
Jika
begitu, apakah prosedur mediasi di dalam persidangan hanyalah formalitas saja,
hal ini penulis nilai hanya akan buang-buang waktu, tenaga dan pikiran saja
karena sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri para pihak juga telah
mengupayakan jalur perdamaian melalui mediasi oleh para pihak di luar
persidangan.
B.
Pertimbangan
Hukum Dalam Memutus Perkara Perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR.
Pertimbangan
Majelis Hakim berdasarkan data yang diperoleh dari putusan perkara perdata
gugatan wanprestasi sebagai berikut :
1.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Pekanbaru menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan yang diajukan oleh
Penggugat yang pada pokoknya adalah mengenai perbuatan wanprestasi yang telah
dilakukan oleh para tergugat.
2.
Tergugat mengajukan eksepsi dalam surat
jawabannya yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang
dalam memeriksa dan memutus perkara gugatan wanprestasi tersebut, karena perselisihan yang terjadi seharusnya
di selesaikan secara musyawarah oleh para pihak dan/ melalui jalur arbitrase
oleh para pendamai bukannya di ajukan ke Pengadilan karena memang perkara
tersebut bukan wewenang Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk memeriksa dan memutus
perkara melainkan wewenang Lembaga Arbitrase.
3.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Pekanbaru menimbang bahwa terhadap eksepsi yang diajukan oleh tergugat tersebut
penggugat tidak menanggapi di dalam repliknya.
4.
Atas eksepsi yang diajukan oleh tergugat
maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru berpendapat bahwa apa yang
disampaikan dan dimintakan penggugat tersebut dalam eksepsinya dapat diterima
dengan pertimbangan bahwa setelah pengadilan mencermati lebih dalam mengenai
gugatan, yang menjadi objek gugatan pihak penggugat adalah mengenai wanprestasi
yang dilakukan oleh pihak tergugat. Meski demikian di dalam perjanjian
sebelumnya yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak di hadapan
notaris, yakni didalam akta perjanjian pasal 9 yang intinya dinyatakan bahwa
apabila terjadi perselisihan antara para pihak maka akan diselesaikan secara
Musayawarah dan secara Arbitrase, maka dari itu gugatan yang diajukan bukan
kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus melainkan kewenangan
Badan Arbitrase.
5.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Pekanbaru menimbang bahwa eksepsi yang diajukan oleh tergugat beralasan
sehingga harus dikabulkan dengan demikian Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak
berwenang memeriksa dan memutus perkara aquo.
6.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Pekanbaru menyatakan apabila terjadi perselisihan antara para pihak dan ada
pihak yang merasa dirugikan maka dapat di selesaikan secara musyawarah oleh
para pihak dan apabila tidak menemukan titik terang maka dapat diselesaikan
secara Arbitrase.
Putusan pengadilan adalah merupakan salah satu dari dari
hukum acara formil yang akan dijalani oleh para pihak yang terkait dalam
perkara perdata. Dari beberapa proses yang dilakukan oleh para pihak yang
berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu dilaksanakan adalah tahapan yang
menjadi tujuan. Karena apabila terdapat suatu yang belum atau tidak terpenuhi
sesuai dengan ketentuan atau syarat yang telah ditetapkan oleh undang – undang
maka putusan yang dihasilkan menjadi cacat hukum dan bahkan akan menjadi batal
demi hukum.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Putusan hakim adalah : “suatu pernyataan yang
oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan
dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
para pihak”.[70]
Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah
putusan pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para
pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan
hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka
hadapi.[71] Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan
yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan
yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada
suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu
perbuatan yang harus ditaati.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG,
apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan
musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan
dianggap selesai apabila telah menempu tahap jawaban dari tergugat sesuai dari
pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat
berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan
proses tahap pembuktian dan konklusi.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting
dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga
mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan
hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan
hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari
pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah
Agung.[72]
Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya
juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
a.
Pokok
persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
b.
Adanya
analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua
fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c.
Adanya semua bagian dari petitum Penggugat
harus di pertimbangkan/ diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat
menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya
tuntutan tersebut dalam amar putusan.[73]
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga
didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan
praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana
hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak
ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang
tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah
tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan
putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak
berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU
No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”.
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan
keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus
menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya
kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya
dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan
terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga
tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan
kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16
ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.[74]
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan
unruk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal
(doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28
ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”[75].
Dalam
hal ini, adapun pertimbangan yang diberikan Majelis Hakim dalam memberikan
putusan merupakan suatu keharusan seperti tercantum didalam pasal 25 ayat (1)
Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Segala putusan pengadilan selain harus
membuat alasan-alasan dan putusan tersebut, memuat pula pasal-pasal tertentu
dari peraturan-peraturan yang berasangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili”[76].
Maka dari itu untuk memenuhi ketentuan pasal diatas maka Majelis Hakim dalam
memutus harus mencari atau menemukan aturan yang mengatur perkara yang diajukan
kepadanya.
Pencantuman
pasal-pasal tertentu dalam pertimbangan dari suatu putusan, apabila terdapat
dalam ketentuan peraturan yang tertulis maka Hakim hanya tinggal
mempertimbangkan dan kemudian menerapkan.[77]
Namun demikian tidak semua perkara yang diajukan untuk diadili dan diperiksa
oleh pengadilan terdapat pengaturannya dalam ketentuan peraturan yang tertulis,
atau perkara yang diajukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
sehingga untuk mencantumkan pasal-pasal yang mengatur permasalahan tersebut
merupakan pekerjaan yang berat bagi hakim, dalam hal ini hakim dituntut harus
aktif menemukan peraturan yang mengatur mengenai permasalahan yang diajukan
kepadanya tersebut.
Pertimbangan
yang diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam menjatuhkan
putusan pada perkara perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR penulis nilai telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski
demikian putusan sela yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Pekanbaru merugikan Pihak Penggugat dikarenakan pihak Penggugat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru pada dasarnya dilakukan semata-mata
karena ingin memperjuangkan hak-haknya yang telah dilanggar oleh Pihak
Tergugat.
Hal ini juga dipertegas dalam pasal
10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya. Maka dari itu,
Pengadilan tidak memiliki wewenang untuk menolak setiap berkas perkara yang
diajukan kepadanya meskipun pada dasarnya gugatan tersebut memang dari awal
adalah memang bukan wewenang dari Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk memeriksa
dan mengadili perkara tersebut.
Dalam
hal ini Pengadilan Negeri dikatakan tidak berwenang dikarenakan memang perkara
tersebut merupakan wewenang dari lembaga arbitrase. Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyebutkan bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah
sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Kata semua menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk
membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak
dilarang oleh hukum. Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah
disepakati oleh para pihak mengikat dan
wajib dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak
tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti
rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan prestasi tersebut. Kalimat yang dibuat secara sah diartikan
bahwa apa yang disepakati berlaku sebagai undang-undang jika tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila bertentangan,
maka kontrak batal demi hukum.
Maka
dari itu, agar perjanjian dapat dikatakan sah maka harus merujuk kepada
peraturan yang berlaku, dalam hal ini adalah pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata :[78]
a. Adanya
kesepakatan kedua belah pihak
Maksud
sepakat disini adalah kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai
hal-hal pokok didalam perjanjian.
b. Kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum
Merupakan
orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.Ada 2 pendapat mengenai ketentuan
dewasa, menurut KUHPerdata dewasa adalah berumur 21 tahun bagi laki-laki dan 19
tahun bagi wanita. Sedangkan menurut UU No1 Tahun 1974 dewasa adalah 19 tahun
bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita.
c.
Adanya objek
Sesuatu
hal yang diperjanjikan didalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang
yang cukup jelas.
d.
Suatu sebab yang halal
Menurut
pasal 1335 KUHPerdata suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang
halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak memiliki
kekuatan hukum.
Jadi memang
perkara wanprestasi ini merupakan wewenang dari Lembaga Arbitrase bukan
wewenang dari Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk memeriksa dan mengadili
dikarenakan telah diatur dalam perjanjian sebelumnya dan perjanjian tersebut
sah menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Terhadap perjanjian tersebut apabila
terdapat pihak yang merasa dirugikan maka pihak yang dirugikan terebut dapat
menyelesaikan perselisihan secara musyawarah dan menggunakan Lembaga Arbitrase.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan
hasil penelitian dari pembahasan penulis, maka dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Penggugat dalam gugatannya tanggal 06 Oktober 2014 yang
diterima dan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam
register No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR didasarkan pada gugatan Wanprestasi yang dilakukan oleh
CV. Cipta Anugerah Perkasa (Tergugat I), CV. Prima Dinamika Teknologi (Tergugat
II), CV. Citra Atmajaya, (Tergugat III), Humalia Sociany Fluriana,(Tergugat
IV), Dwi Yana Juwita, (Tergugat V), Ahmad Fadli, (Tergugat VI), kemudian pihak
Tergugat mengajukan ekasepsi atas gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat
mengenai kompetensi absolut lembaga peradilan.
2. Didalam
proses persidangan yang berlangsung, sebelum memasuki pada pokok perkara Pihak
Tergugat mengajukan eksepsi dalam surat
jawabannya yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang
dalam memeriksa dan memutus perkara gugatan wanprestasi dikarenakan adanya
kalusula Arbitrase didalam akta perjanjian. Pengakuan ini menjadi pertimbangan
majelis
Hakim dalam memutus perkara ini. Terbukti didalam putusannya Majelis Hakim mengabulkan
eksepsi yang diajukan pihak Tergugat didalam jawabannya.
B. Saran
1. Perlunya
ketelitian dan keseriusan bagi pihak yang merasa dirugikan apakah didalam akta
perjanjian yang telah disepakati bersama terdapat klausula tentang penyelesaian
sengketa mealuli arbitrase ketika terjadi perselisihan antara para pihak, agar
tidak terjadi kesalahan pengajuan gugatan ke Pengadilan terkait kewenangan
absolut dari lembaga peradilan.
2. Sebaiknya
Pengadilan Negeri tetap berwenang memeriksa perkara
perdata mengenai wanprsetasi yang didalam perjanjian terdapat kalusula
penyelesaian secara Arbitrase, karena jika tidak ada klausul penyelesaian
arbitrase didalam perjanjian maka perkara perdata mengenai wanprestasi ini
merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadili perkara
tersebut. Hal ini dinilai dapat merugikan pihak Penggugat dari segi uang,
tenaga, waktu dan pikiran saja. Apalagi tujuan penggugat mengajukan gugatannya
ke Pengadilan Negeri adalah karena jalur mediasi tidak menemui titik
kesepakatan, maka pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri agar
hak nya yang tidak terpenuhi dapat dipenuhi kembali oleh Pihak Tergugat.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Buku
Abdurrasyid, H.
Priyatna, Arbitrasedan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
PT. Fikahati Aneka, Jakarta , 2001.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
ABD
Thalib, Arbitrase dan Hukum Bisnis,
UIR Press, Pekanbaru, 2005.
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata Dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, Kencana,
Jakarta, 2011.
Djamanat Samosir, Hukum
Acara Perdata, Nuansa Alia, Bandung, 2011.
Eman Suparman, Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan, Fikahati Aneska, Bandung, 2012.
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2006.
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS. Pengadilan
–Persoalan Kompetensi
(Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai,
Prenada Media, Jakarta, 2008.
Heni Mono, Praktek
Berperkara Perdata, Banyu Media, Malang, 2007.
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata,
PT. Grafitri Budi Utami, Bandung, 2008.
M.
Khoidin, Hukum Arbitrase Bidang Perdata
, CV Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2011.
M. Nur Rasaid, Hukum
Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok
Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
Mukti Arto, Praktek
Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet Ke V, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013.
M.
Yahya Harahap dan Munir Fuadi,
Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003.
Neng Yani Nurhayani, Hukum
Acara Perdata, Pustaka Setia, Bandung, 2015.
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Fikahati Aneska, Jakarta, 2011.
Retnowulan Sutantio dan Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
Mandar Maju, Bandung, 2007.
R. Soeroso, Praktik
Hukum Acara Perdata ( Tata Cara dan Proses Persidangan ), edisi kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011.
R. Supomo, Hukum
Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984.
Sarwono, Hukum
Acara Perdata Teori Dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Soejono Soekanto. Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja
Grafindo Persada, Cet-8, 2004.
Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006.
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian
Sengketa Arbitrase, Prenada Media Group (kencana), Jakarta,
2015.
Syafrinaldi,
Buku Panduan Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Riau,
Uir press, Pekanbaru, 2013.
Tim
Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online,
BPHN- KEMENKUMHAM RI,Jakarta, 2010.
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenadamedia
Group, Jakarta,2015.
B. Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1974 Tentang Peradilan
Ulangan Untuk Jawa Dan Madura.
Undang-undang
No. 4 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
C. Internet
Http://serenityyuria.blogspot.co.id/2012/01/pengertian-eksepsi-menurut-para-ahli.html?m=1
, Diakses pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 13.26 WIB.
Http://edefinisi.com/tag/pengertian-tinjauan,
diaksespadatanggal 20 november 2015 Pukul 13.20 Wib.
Http://www.tugassekolah.com/2016/01/pengertian-dan-peranan-lembaga-peradilan.html,diakses
padatanggal 20 november 2015 pukul 13.33 Wib.
[1]M.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, 2013, hlm. 179.
[4]Putusan Sela No.
177/PDT.G/2014/PN.PBR.hlm. 12-14.
[5]Putusan Sela No.
177/PDT.G/2014/PN.PBR.hlm. 36.
[8]R.
Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata (
Tata Cara dan Proses Persidangan ), edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hlm. 8.
[9]Lihat
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1974 Tentang Peradilan Ulangan Untuk Jawa
Dan Madura
[11]R.
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan
Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 48.
[12]Diakses
dari http://serenityyuria.blogspot.co.id/2012/01/pengertian-eksepsi-menurut-para-ahli.html?m=1
, pada tanggal 28 desember 2015 pukul 13.26
[13]Bambang
Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata
Dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 54.
[14]Ibid,
hlm. 55.
[15] Retnowulan
Sutantio dan Oerip Kartawinata, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung,
2007, hlm. 79.
[17]ABD.Thalib, Arbitrase dan hukum bisnis, UIR Press, Pekanbaru, 2005, hlm. 5.
[21]Abdurrasyid, H.
Priyatna, Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneka, Jakarta ,
2001, hlm 17.
[22] Diakses Dari
http://mhunja.blogspot.co.id/2012/03/arbitrase-pengertian-keunggulan-dan.html ,
Pada Tanggal 28 Desember 2015 pukul 15.14.
[24] Internet http://edefinisi.com/tag/pengertian-tinjauan, diakses pada tanggal
20 november 2015 Pukul 13.20 Wib.
[25] Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenadamedia
Group, Jakarta,2015, hlm. 84.
[26]Internet http://www.tugassekolah.com/2016/01/pengertian-dan-peranan-lembaga-peradilan.html,
diakses pada tanggal 20 november 2015 pukul 13.33 Wib.
[27]Soejono Soekanto. Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Cet-8, 2004, hlm 13.
[28]M. Yahya Harahap dalam Munir
Fuadi, Arbitrase Nasional Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.
889
[30]Bambang Sugeng A.S Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Dokumen
Litigasi, Kencana, jakarta, 2012, hlm. 18
[31]M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 182
[32]Bambang Sugeng A.S Sujayadi, Op.Cit, hlm 19
[37]Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa(APS), Fikahati Aneska, Jakarta, 2011, hlm. 78.
[38]M. Khoidin, Hukum Arbitrase Bidang Perdata , CV Aswaja Pressindo, Yogyakarta,
2011, hlm. 7-8
[39]Priyatna Abdurrasyid, Op. cit., hlm 89.
[40]Ibid, hlm 8
[42]Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS.
Pengadilan –Persoalan Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai,
Prenada Media, Jakarta, hlm.188.
[43]Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online,
(Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI, 2010), hlm.20
[44]Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia,
Gramedia PustakaUtama, Jakarta, 2006, hlm. 25.
[45]M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 11
[46]Gatot Soemartono, Op.Cit,
hlm 3.
[48]Eman Suparman, Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan,
Fikahati Aneska, Bandung, 2012, hlm 68.
[49]Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, PT. Grafitri Budi
Utami, Bandung, 2008, hlm. 78
[50]ABD Thalib, Op. Cit, hlm. 5
[65] Lihat Pasal
1 Angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[66] Susanti Adi
Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase,
Prenada Media Group (kencana),
Jakarta, 2015, hlm. 113.
[67] Wawancara dengan Tati Nengsih,
Oktalinda, Hamler, Notaris/PPAT Pekanbaru, pada hari kamis tanggal 02 mei 2016.
[72] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan
Agama, Cet Ke V, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 140
[74] Abdul Kadir
Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm . 96.