Senin, 21 Agustus 2017

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KOMPETENSI ABSOLUT LEMBAGA PERADILAN PADA PERKARA PERDAT A NO. 177/PDT.G/2014/PN.PBR (STUDI KASUS



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Keberadaan peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi berbagai ragam, ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan hak tertentu, dan sebagainya.[1] Timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan keberadaan peradilan perdata, menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili, yang disebut yuridiksi (jurisdiction) atau kompetensi maupun wewenang mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan kekuasaan atau yuridiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor seperti faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan sendiri menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional.[2] Perkara yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Sengeketa yang harus diselesaikan lebih dahulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat langsung diajukan kepada peradilan banding atau kasasi dan sebaliknya.
Apa yang mejadi kewenangan atau yuridiksi peradilan yang lebih tinggi, tidak dapat diminta penyelesaiannya kepada peradilan yang lebih rendah. Ada juga faktor perbedaan atau pembagian yuridiksi berdasarkan lingkungan peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolut bagi masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga atribusi kekuasaan (attributive competentie, attributive jurisdiction). Selain perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan factor kewenangan khusus (specific jurisdiction) yang diberikan undang-undang kepada badan extra judicial, seperti Arbitrase atau Mahkamah Pelayaran. Bahkan masalah yuridiksi, dapat juga timbul dalam satu lingkungan peradilan, disebabkan faktor wilayah (locality) yang membatasi kewenangan masing-masing peradilan dalam lingkungan wilayah hukum atau daerah hukum tertentu, yang disebut kewenangan relatif atau distribusi kekuasaan (distributive jurisdiction).[3]
Pada bagian ini, fokus pembahasan berkenaan dengan kewenangan megadili ditinjau dari segi absolut dan relatif. Sedangkan yang menyangkut kewenangan ditinjau dari faktor peradilan yang lebih tinggi (superior court) dan yang lebih rendah (inferior court), dibahas secara singkat.Tinjauan utama membahas yuridiksi atau kewenangan mengadili, adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada peradilan tidak keliru. Sebab apabila pengajuannya keliru, mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima atas alasan pengadilan yang dituju, tidak berwenang mengadilinya. Atau dengan kata lain, gugatan yang diajukan berada diluar yuridiksi pengadilan tersebut.
Salah satu putusan yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru adalah dalam Putusan No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR. Dari gugatan penggugat maka pihak tergugat telah memberikan jawaban atau eksepsi dari gugatan yang diajukan oleh penggugat tersebut, dimana pada eksepsinya yang berbunyi sebagai berikut :
Eksepsi Tentang Kewenangan Absolut (Absolute Competency)
1.    Bahwa pada dalil-dalil gugatan penggugat pada point 4 halaman 2 menyebutkan :
Bahwa selanjutnya dihadapan Notaris Oktalinda,S.H.,M.Kn, dibuatlah kesepakatan kerjasama antara Penggugat dengan Pihak Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III yang telah dituangkan dalam 3(tiga) Akta Perjanjian Kerjasama, masing-masing sebagai berikut :
1)   Perjanjian Kerjasama Akta No. 04 antara Penggugat dengan Tergugat I (Vide Bukti P.I)
2)   Perjanjian Kerjasama Akta No. 05 antara Penggugat dengan Tergugat II (Vide Bukti P.II)
3)   Perjanjian Kerjasama Akta No. 06 antara Penggugat dengan Tergugat III (Vide Bukti P.III)
2.    Bahwa didalam perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat-I (berdasarkan surat perjanjian  kerjasama akta No. 04) Tergugat-II (berdasarkan surat perjanjian  kerjasama akta No. 05) dan Tergugat-III (berdasarkan surat perjanjian  kerjasama akta No. 06), dimana didalam pasal 9 masing-masing akta tersebut menyebutkan :
:”……Semua perselisihan yang mungkin timbul/atau terjadi antara para pihak dalam(sebab) perjanjian ini, baik yang bersifat teknis maupun non teknis yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri secara musyawarah, tidak akan diajukan ke Pengadilan, akan tetapi akan diurus dan diselesaikan/diputuskan secara Arbitrage (perdamaian) oleh para pendamai………….dst.
3.    Bahwa berdasarkan pasal 9 (Sembilan) klausula masing-masing perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat-I, Tergugat-II, dan Tergugat-III tersebut, para pihak baik pihak Penggugat dan Pihak Tergugat-I, II, dan III, belum pernah menempuh upaya hukum penyelesaian dalam perkara aquo secara Arbitrage (perdamaian), akan tetapi penggugat langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru.
4.    Bahwa dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak terdapat klausula yang menentukan bahwa “perselisihan yang timbul antara pihak diserahkan kepada Badan Arbitrase” sesuai dengan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, telah digariskan bahwa Klausula Arbitase yang ada didalam suatu perjanjian itu termasuk kewenangan Absolut dan jika para pihak tidak menyinggungnya, maka Hakim Pengadilan Negeri karena jabatannya harus menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili gugatan tersebut.
5.    Klausula Arbitrase merupakan suatu kesepakatan para pihak tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui Lembaga Arbitrase yang mereka inginkan bersama. Yurisprudensi tetap mengakui bahwa Arbitrase sebagai “Extra Yudicial” yang lahir dari Klausula Arbitrase dalam perjanjian mempunyai legal effect yang memberikan kewenangan absolut kepada Badan Arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian berdasar atas berlakunya asas “Pacta Sunt Servanda”.
Bahwa kewajiban Hakim yang bersifat ex-officio untuk menyatakan diri tidak berwenang mengadili, hal ini juga dijelaskan dalam putusan MA No. 317K/Pdt/1984 antara lain :
1.    Eksepsi tidak berwenang mengadili berdasarkan klausul arbitrase adalah bersifat absolut, atas alasan, dengan adanya klausula arbitrase secara total lingkungan peradilan umum tidak berwenang mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian.
2.    Sehubungan dengan itu, sekiranya pihak tergugat tidak mengajukan eksepsi hakim secara ex-officio, mesti menyatakan diri tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
6.    Dengan demikian Badan Arbitrase sebagai badan Extra Judicial telah menggeser kewenangan Pengadilan Negeri sebagai Peradilan Negara untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut (Vide Jurisprudensi MA-RI No.013 PK/N1999 dan No.019 K/N/1999), maka Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang dalam mengadili perkara aquo.
7.    Bahwa berdasrkan uraian-uraian tersebut diatas, dengan ini mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara aquo untuk dapat mengabulkan eksepsi dari Tergugat-I s/d Tergugat IV dengan memberikan Putusan Sela, yang amarnya berbunyi :”Menyatakan Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang mengadili, dan menghentikan pemeriksaan pokok perkara ini”.[4]
Akan tetapi dalam hal ini pihak tergugat menolak gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat, termasuk pihak tergugat menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara aquo, sebab perkara ini merupakan kewenangan dari Lembaga Arbitrase untuk menangani perkara tersebut.
Berdasarkan eksepsi dari para tergugat tersebutlah maka Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memberikan putusan sela. Pada putusan sela tersebut berbunyi sebagai berikut :bahwa dalam jawabannya para tergugat telah mengajukan eksepsi mengenai kewenangan absolut dan setelah majelis hakim meneliti, yang menjadi pokok perkara dalam gugatan penggugat adalah mengenai perselisihan hak, dimana didalam gugatan dikatakan bahwa para Tergugat telah melakukan Wanprestasi. Namun demikian, didalam perjanjian sebelumnya dikatakan bahwa apabila terjadi perselisihan antara para pihak maka akan diselesaikan secara Arbitrase. Kemudian dengan memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku dan bersangkutan, maka hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru telah menjatuhkan putusan sela yang pada pokonya sebagai berikut :
1.    Mengabulkan eksepsi para Tergugat.
2.    Menyatakan Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang mengadili perkara ini.
3.    Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.724.000,- (tujuh ratus dua puluh empat ribu rupiah).[5]
Didalam perkara ini yang menjadi alasan tergugat menolak gugatan penggugat adalah salah satunya mengenai kewenangan pengadilan atau kewenangan absolut, pengadilan negeri berwenang memeriksa, memutus dan mengadili perkara-perkara baik perkara pidana maupun perkara perdata ditingkat pertama. Pengadilan Negeri terletak disetiap kabupaten atau kota dan kewenangannya meliputi wilayah Kabupaten atau Kota (Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 08-AT.01.10 tahun 1994).
Didalam suatu perkara perdata tidak jarang kita menemui adanya bantahan ataupun eksepsi yang diajukan oleh pihak Tergugat, dimana pihak Tergugat selalu berdalil bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut karena alasan bahwa perkara tersebut adalah wewenang dari Lembaga Arbitrase dikarenakan sudah disepakati diperjanjian sebelumnya jika terjadi perselisihan maka akan diselesaikan secara Arbitrase. Menurut penulis, ketika penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri bukankah gugatan tersebut sudah di cek terlebih dahulu, nah ketika perkara tersebut sudah di cek mengapa tidak langsung ditolak saja dikarenakan memang perkara tersbut bukan wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus perkara yang didaftarkan tersebut. Atau seharusnya dilakukan sebuah pengecualian khususnya untuk perkara perdata mengenai wanprestasi, karena ketika tidak diatur mengenai klausula arbitrase didalam sebuah perjanjian antara para pihak, ujung-ujungnya juga perkara mengenai wanprestasi tersebut memang wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadili. Jika tidak menemukan solusi untuk masalah diatas, pihak Penggugat akan merasa sangat dirugikan, hak yang ingin diperjuangkan tidak terpenuhi ditambah lagi buang-buang uang, tenaga, pikiran dan waktu saja.
Berdasarkan hal-hal yang penulis uraikan diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian yang akan dituangkan didalam sebuah karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul :“Tinjauan Yuridis Terhadap Kompetensi Absolut Lembaga Peradilan Pada Perkara Perdata N0. 177/PDT.G/2014/PN.PBR (STUDI KASUS)”.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan penulis pada latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan pokok masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah Kompetensi Absolut dalam perkara perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR ?
2.    Bagaimanakah Pertimbangan hukum dalam memutus perkara perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR ?


C.       Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan fokus permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1.    Untuk mengetahui kewenangan lembaga peradilan dalam menangani suatu perkara.
2.    Untuk mengetahui perkembangan lembaga peradilan dalam menangani perkara kompetensi absolut.
Dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun manfaat praktis :
1.    Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang kewenangan peradilan dalam menangani suatu perkara, juga menambah referensi kepustakaan.
2.    Manfaat Praktis
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pencerahan atas kesalahpahaman yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
D.       Tinjauan Pustaka
         I.          Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata.[6]
Dapat dikatakan bahwasannya hukum perdata ini merupakan hukum yang mengatur hubungan antara individu satu dengan individu yang lainnya lagi.
Didalam hukum perdata ini juga di kenal istilah gugatan yang merupakan suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan negeri yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Gugatan ini terbagi menjadi 2, yakni :
a.         Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Hoge Raad menyatakan bahwa pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan. Didalam gugatan perbuatan melawan hukum ini, lebih cenderung sengketa yang terjadi bukan berawal dari adanya sebuah perjanjian.
b.        Gugatan Wanprestasi
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.[7]
Pakar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut  pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur.
Bedanya antara gugatan perbuatan melawan hukum dan gugatan wanprestasi adalah seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya.
Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
  II.              Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu kesepakatan yang di buat antara dua belah pihak atau lebih yang di dalamnya memuat tentang hak-hak yang harus di penuhi dan kewajiban yang harus di jalankan. Syarat sah nya perjanjian ini di atur di dalam pasal 1320 KUHPerdata :
a)    Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Maksud sepakat disini adalah kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal pokok didalam perjanjian.
b)   Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
Merupakan orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ada 2 pendapat mengenai ketentuan dewasa, menurut KUHPerdata dewasa adalah berumur 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut UU No1 Tahun 1974 dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita.
c)    Adanya objek
Sesuatu hal yang diperjanjikan didalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
d)   Suatu sebab yang halal
Menurut pasal 1335 KUHPerdata suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak memiliki kekuatan hukum.
III.                   Kompetensi
Mengenai kewenangan mengadili dapat dibagi dalam kekuasaan kehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) dan kekuasaan kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht). [8]Atribusi kekuasaan kehakiman adalah kewenangan mutlak atau kompetensi absolut ialah kewenangan badan pengadilan didalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, misalnya Pengadilan Negeri pada umumnya berwenang memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan dan bukan Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Agama. Biasanya kompetensi absolut ini tergantung pada isi gugatan dan nilai daripada gugatan.[9]
Mengenai distribusi kekuasaan Pengadilan atau apa yang dinamakan kompetensi relatif atau kewenangan nisbi ialah bahwa Pengadilan Negeri tempat tergugat tinggal (berdomicilie) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak. Jadi, gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal.[10] Bagi perkara pidana adalah pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat terjadinya peristiwa pidana.
IV.               Eksepsi atau Perlawanan
Pasal 113 Reglement Rechtsvordering bagi Raad yustisi dahulu menentukan, bahwa bantahan harus disertai dengan alasan-alasan. Reglement Indonesia tidak memuat penetapan demikian, akan tetapi sudah selayaknya tergugat harus menjawab dengan mengemukakan alasan-alasan apa sebabnya ia membantah gugatnya penggugat. Bantahan yang tidak disertai dengan keterangan-keterangan, tidak dapat di anggap serius dan oleh sebab itu tak perlu diperhatikan (putusan Raad Yustisi Jakarta, tanggal 1 April 1938 Nomor. 148/1937).
Apabila tergugat tidak mengakui dan tidak membantah, melainkan hanya menyerahkan saja kepada kebijaksanaan hakim (“Referte aan het oordeel des rechtters”) , maka jawaban demikian tidak boleh disamakan dengan pengakuan, sehingga jika gugatnya penggugat dikabulkan, tergugat masih berhak mengajukan bantahan di dalam tingkat bandingan.
Eksepsi yang sekiranya hendak di majukan oleh tergugat, tidak boleh dimajukan dan ditimbang satu persatu, kecuali eksepsi yang mengenai tidak berkuasanya hakim. Semua eksepsi harus dimajukan, diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Eksepsi adalah bantahan yang menangkis tuntutan penggugat sedang pokok perkara tidak langsung di singgung misalnya bantahan yang mengatakan, bahwa hakim tidak berkuasa memeriksa gugat yang di ajukan oleh penggugat.[11]
Ilmu pengetahuan Hukum Acara Perdata Eropa menyebut eksepsi yang berdasar atas hukum acara. Eksepsi yang berdasar atas hukum materiil, materiele exceptie dan materiele exceptie ini dibagi-bagi atas : dilatoire exceptie, dan peremptoire exceptie.  
Definisi Eksepsi Menurut para ahli[12] :
Menurut Yan Pramadya Puspa Eksepsi adalah pembelaan yang tidak menyinggung tentang isinya surat tuduhan atau gugatan dari pengadilan, tetapi pembelaan atau sekaligus berfungsi sebagai tangkisan tadi memohon kepada pengadilan agar tidak menerima perkara yang diajukan oleh pihak lawan misalnya; eksepsi tentang kadaluarsa nya penuntutan atau gugatan, eksepsi tentang tidak diputusnya perkara dengan putusan pengadilan yang telah memproleh kekuatan hukum tetap (nebis in idem), eksepsi tentang tidak berkuasanya pengadilan ( Hakim ) untuk mengadili karna yang berhak adalah pengadilan pada wilayah hukum yang lain.
Kemudian Menurut Rd Achmad S. Soeman Di Praja Memberikan batasan eksepsi atau keberatan dengan istilah “tangkisan” itu adalah “alat pembelaan dengan tujuan yang utama untuk menghindarkan diadakannya putusan tentang pokok perkara, karena apabila ada tangkisan ini diterima oleh pengadilan, pokok perkara tidak perlu diperiksa dan diputus”.
Menurut Yahya Harahap “Sifat eksepsi adalah suatu upaya yang diberikan kepada terdakwa dalam hal yang berhubungan dengan masalah formil, oleh karena itu eksepsi harus diajukan sebelum pokok perkaranya diperiksa”.
Menurut Lilik Mulyadi Bahwa keberatan adalah merupakan salah satu upaya yang bersifat incidental berupa tangkisan sebelum dilakukan pemeriksaan materi pokok perkara dengan tujuan utama guna menghindarkan diadakannya pemeriksaan dan putusan akhir pokok perkaranya.
Jika tergugat megajukan jawaban yang berupa tangkisan atau eksepsi, maka menurut ketentuan pasal 136 HIR, kecuali tangkisan tentang tidak berwenangnya pengadilan, tangkisan itu tidak boleh diajukan dan dipertimbangkan terpisah, melainkan harus diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Mengenai apa yang dimaksud dengan tangkisan atau eksepsi itu, Undang-undang ( HIR dan RBg) tidak memberikan definisi dan penjelasannya. Tetapi dapat disimpulkan bahwa tangkisan atau eksepsi itu sebagai jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara.[13] Ada sarjana yang berpendapat bahwa, eksepsi dalam pasal 136 HIR itu sebagai perlawanan tergugat yang tidak mengenai pokok perkara, jawaban yang berupa tangkisan atau eksepsi itu tidak menyinggung mengenai pokok perkara. Karna itu, jawaban seperti ini harus diputus terlebih dahulu sebelum hakim mengarahkan pemeriksaan kepada pokok perkara. Jadi tidak perlu harus diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara menurut pasal 136 HIR.
Maksud pasal 136 HIR itu ialah untuk menghindari kelambatan yang tidak perlu atau yang dibikin-bikin, supaya proses berjalan lama. Berdasarkan yurisprudensi juga, pasal tersebut melarang adanya putusan formal mengenai eksepsi yang bukan putusan akhir yang hanya akan mengulur waktu saja. Tetapi seandainya eksepsi yang menyatakan bahwa hal yang diperkarakan itu telah diputus oleh hakim adalah tepat, maka jika eksepsi itu tidak boleh diputus seketika, hakim hanya akan membuang waktu saja meneruskan pemeriksaan terhadap pokok perkara yang pada akhirnya juga tudak akan diterima, karena perkara iru telah diputus pada waktu lampau, dan hakim adalah aktif menurut sistem HIR dan RBg.,[14]
Didalam hukum acara perdata, Faure mengatakan tangkisan atau eksepsi dibedakan menjadi dua macam, yaitu :[15]
1.    Eksepsi Prosesuil yaitu upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan. Pernyataan ini tidak diterima berarti suatu penolakan in limine litis, berdasarkan alasan-alasan diluar pokok perkara. Hanya dalam hal ketidakwenangan hakim atau batalnya gugatan, hakim bukannya menyatakan tidak diterimanya gugatan, melainkan menyatakan dirinya tidak wenang atau menyatakan gugatan batal. Termasuk eksepsi prosesuil ialah tangkisan yang bersifat mengelakkan (eksepsi declinatoir) seperti eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, eksepsi bahwa gugatan batal, dan eksepsi bahwa perkara telah di putus serta eksepsi bahwa pihak penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat (eksepsi disqualificatoir).
2.    Eksepsi materiil  merupakan bantahan lainnya yang didasarkan atas ketentuan hukum materiil. Termasuk eksepsi materiil ialah eksepsi yang bersifat menunda (eksepsi dilatoir) seperti eksepsi bahwa tuntutan penggugat memberi penundaan pembayaran, dan eksepsi peremptoir yang sudah mengenai pokok perkara, seperti eksepsi karena lampaunya waktu (kadaluarsa) atau karena tergugat dibebaskan dari membayar.[16]
V.              Sistem Peradilan
Dikenal adanya 2 macam putusan yang diatur didalam pasal 185 ayat 1 HIR, yaitu :
1.    Putusan Akhir
Putusan akhir ialah putusan yang bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
2.    Putusan Sela
Putusan sela ialah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang di adakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
VI.              Arbitrase
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan :
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang di buat sevara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”[17]
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. An arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.    Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
2.    Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dari ketentuan undang-undang ini memberikan pengertian kepada kita bahwa arbitrase itu lembaga yang menangani perkara-perkara perdata dan dagang dan tidak termasuk dalam perumusan ini sengketa yang didasarkan atas hukum pidana. Para pihak telah memufakati secara tertulis bahwa mereka, apabila terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah mereka buat, akan memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan tidak berpekara di hadapan peradilan umum yang biasa sehari-hari.
Sebelum Undang-undang Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.[18] Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitrase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Objek dari arbitrase ini sendiri merupakan permasalahan yang timbul karena sengketa antara para pelaku usaha, dan yang sering menjadi objek arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa yang menjadi Objek arbitrase adalah hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Hanya saja tidak diberikan penjelasan yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut.
Akan tetapi, jika ketentuan ini dihubungkan dengan Penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kita akan mengetahui ruang lingkup perdagangan tersebut adalah kegiatan kegiatan antara lain dibidang : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. Jadi yang menjadi objek dari arbitrase adalah sengketa perdata yang meliputi diantaranya adalah mengenai perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, dalam bidang industri dan sengketa yang menyangkut hak kekayaan intelektual. Dan juga sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Dasar daripada arbitrase ini adalah perjanjian dari para pihak sendiri sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1338 BW yang menyatakan bahwa apa yang diperjanjiikan oleh para pihak mengikat mereka ini sebagai undang-undang. Oleh kerena mereka telah memufakati, jika terjadi perselisihan dikemudian hari berdasarkan kontrak ini maka kami menyetujui untuk membawanya kepada arbitrase untuk diselesaikan.[19]
Adanya pilihan oleh para pihak akan forum arbitrase ini dihormati oleh si pembuat undang-undang. Maka mereka dibenarkan memilih jalan arbitrase tersebut. Dalam penjelasan umum ditambahkan sebagai berikut : “Arbitrase yang diatur dalam undang-undang ini merupakan cara penyelesaian sengketa diluar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat menyetujui mem-“by pass” peradilan biasa”
Peradilan umum ini mencakup peradilan umum biasa, Peradilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung yakni yang memakai ketentuan hukum pada umumnya. Juga termasuk Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara serta Pengadila Militer (sepanjang berkenaan dengan masalah-masalah perdata yang tidak bersifat pidana).[20]
Pada dasarnya  tidak ada satu pihakpun sebenarnya yang menginginkan terjadinya perselisihan atau pertikaian yang timbul disebabkan hubungan kesepakatan yang di adakan oleh para pihak sebelumnya. Malahan yang acapkali kita perhatikan bahwa masing-masing pihak mengharapkan hasil kesepakatan yang mereka perbuat dapat berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan maupun rintangan yang menghalangi pemufakatan yang mereka lakukan.[21]
Pengertian Arbitrase menurut para ahli [22]:
Subekti mengatakan Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang Hakim atau para Hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.
Menurut H. Priyatna Abdurrasyid Arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
H.M.N. Purwosutjipto Menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
Lembaga Arbitrase Indonesia :
1.        Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada tanggal 3 Desember 1977.Tujuan Pendirian BANI yakni Untuk dapat menyelesaikan perselisihan dengan adil dan cepat atas persengketaan yang timbul di bidang perdata mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun internasional.[23]
2.        Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.
Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993.Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun 2003.


3.        Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BASYARNAS merupakan perubahan dari BAMUI berdasarkan keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
E.       Konsep Operasional
Agar Penelitian ini mudah dipahami oleh para pembaca dan memiliki penafsiran yang sama dengan penulis, maka penulis memberikan batasan-batasan terhadap judul dari penelitian ini, sebagai berikut :
Tinjauan adalah  hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).[24]
Yuridis adalah segala hal yang memiliki arti hukum dan sudah di-sahkan oleh pemerintah.
Kompetensi Absolut adalah kewenangan lingkungan peradilan tertentu untuk memriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan diperiksa dan diputus. Sebagaimana diketahui bahwa menurut Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 2 ditetapkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[25]
Lembaga Peradilan adalah alat perlengkapan negara yang diberi tugas mempertahankan tetap tegaknya hukum nasional. Apabila terjadi pelanggaran hukum atau pelanggaran hak maka yang bersangkutan dihadapkan ke muka pengadilan. Pengadilan atau badan peradilan adalah lembaga penegakan hukum di Indonesia.[26]
Perkara Perdata adalah meliputi baik perkara yang mengandung sengketa (contentius) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair).
F.       Metode Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini dapat menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1.        Jenis dan sifat Penelitian
Dilihat dari sudut jenisnya, maka penelitian ini tergolong kedalam jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang berasal dari bahan pustaka belaka.[27] Dengan cara studi kasus yaitu mempelajari putusan perkara No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR yang merupakan perkara gugatan wanprestasi yang seharusnya diselesaikan secara Arbitrase namun diajukan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Dilihat dari sudut sifatnya, maka penelitian ini tergolong kedalam penelitian yang bersifat deskriptif yang berarti penelitian yang dimaksud memberikan gambaran secara rinci, jelas dan sistematis.
2.        Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari :
a.    Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum berupa putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru N0. 177/PDT.G/2014/PN.PBR, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan.
b.    Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer berupa buku-buku, teori-teori atau pendapat-pendapat para ahli yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan.
c.    Bahan Hukum Tersier merupakan bahan-bahan yang mendukung terhadap bahan hukum Primer dan bahan hukum Sekunder berupa kamus maupun artikel-artikel.
3.        Analisis Data
Setelah data yang penulis peroleh dari berkas putusan perkara No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR, kemudian data tersebut diolah dengan mempelajari lalu disajikan dengan cara menguraikan dalam bentuk rangkaian-rangkaian kalimat yang jelas, rinci dan mudah dipahami kemudian dilakukan pembahasan-pembahasan dengan tetap memperhatikan teori-teori hukum, undang-undang, dokumen-dokumen, dan data-data lainnya serta dengan membandingkan pendapat para ahli.
4.        Metode Penarikan Kesimpulan
Didalam penarikan kesimpulan ini, penulis menggunakan metode Induktif yakni dengan menyimpulkan dari hal-hal khusus kepada hal-hal yang umum terjadi, dan juga dihubungkan berdasarkan dengan teori-teori atau pendapat para ahli serta ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku.

BAB II
TINJAUAN UMUM
A.      Tinjauan Umum Tentang Kompetensi Pengadilan
Keberadaan peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat.Sengketa yang terjadi sangat beraneka ragam.Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian, perbuatan melawan hukum, sengketa hak milik, perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu dan sebagainya. Timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan keberadaan peradilan perdata, menimbulkan permasalahan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan.
Apa yang disengketakan berada diluar kompetensi atau yurisdiksi absolut peradilan yang bersangkutan, karena perkara yang disengketakan termasuk kewenangan absolut lingkungan peradilan lain misalnya, peradilan agama atau peradilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri yang bersangkutan secara relatif tidak berwenang mengadili, karena meskipun secara absolut termasuk yurisdiksinya namun secara relatif jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri lain. Misalnya tempat tinggal tergugat berada diluar wilayah hokum Pengadilan Negeri tersebut sehingga sesuai dengan asas actor sequitur forum rei yang digariskan pasal 118 (1) HIR, yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Negeri dimana tergugat tinggal. Apabila hakim berpendapat dengan kasus perkara yang secara absolut atau relatif berada diluar yurisdiksinya, dia harus menjatuhkan putusan yang berisi amar :
-          Tidak berwenang mengadili
-          Menyatakan gugatan tidak dapat diterima[28]
Permasalahan kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor, seperti faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court ) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan sendirinya menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional. Perkara yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah , tidak dapat di ajukan langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Sengketa yang harus diselesaikan lebih dulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat di ajukan pada peradilan tingkat banding ataupun kasasi dan sebaliknya. Apa yang menjadi kewenangan atau yurisdiksi peradilan yang lebih tinggi, tidak dapat diminta penyelesaianya kepada peradilan yang lebih rendah.
Ada juga faktor perbedaan atau pembagian yurisdiksi berdasarkan lingkungan peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolut bagi masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga atribusi kekuasaan. Selain perbedaan lingkungan ditambah lagi faktor kewenangan khusus yang diberikan undang-undang kepada badan extra judicial, seperti arbitrase atau mahkamah pelayaran. Bahkan masalah yurisdiksi ini dapat juga timbul karena faktor wilayah yang membatasi kewenangan masing-masing pengadilan dalam lingkungan wilayah hukum atau daerah hukum tertentu yang disebut kewenangan relatif atau distribusi kekuasaan.[29]
Berbicara mengenai kekuasaan mengadili, maka hal ini berkaitan dengan kompetensi dari badan peradilan tersebut. Suatu gugatan harus di ajukan kepada badan peradilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili persoalan ini. Hukum acara perdata mengenal dua macam kompetensi, yaitu :        
1.    Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut ialah kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara antar badan-badan peradilan berdasarkan pada pembagian wewenang dan pembebanan tugas (yurisdiksi). Misalkan badan peradilan umum kompetensi absolutnya ialah memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dan perdata pada umumnya, sedangkan pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksan dan mengadili sengketa-sengketa berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara.[30]
Berdasarkan sistem pembagian lingkungan peradilan, Pengadilan Negeri berhadapan dengan kewenangan Absolut lingkungan peradilan lain. Menurut amandemen pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman yang berada dibawah Mahkamah Agung, dilaksanakan dan dilakukan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari :
a.       Peradilan Umum
b.      Peradilan Agama
c.       Peradilan Militer dan
d.      Peradilan Tata Usaha Negara
Keempat lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung ini, merupakan penyelenggaraan kekuasaan Negara dibidang yudikatif. Secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara.
Mengenai sistem pemisahan yurisdiksi dianggap masih relevan dasar-dasar yang dikemukakan dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagai berikut :
1.      Didasarkan pada lingkungan kewenangan
2.      Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu
3.      Kewenangan tertentu tersebut, menciptakan terjadinga kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan.
4.      Oleh karena itu masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undnag kepadanya.
Sepintas lalu, kewenangan masing-masing lingkungan adalah :
1.      Peradilan umum sebagaimana yang digariskan pasal 50 dan pasal 51 UU No. 2 Tahun 1986 (Tentang peradilan umum), hanya berwenang mengadili perkara-perkara sebagai berikut :
a.       Pidana umum dan khusus
b.      Perdata umum dan niaga
2.      Peradilan Agama berdasarkan pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 (Tentang Peradilan agama) hanya berwenang mengadili perkara bagi rakyat yang beragama islam mengenai :
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan (meliputi wasiat hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam) 
c.       Wakaf dan shadaqah
3.      Peradilan Tata Usaha Negara, Menurut pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986, kewenangan nya terbatas dan tertentu untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara.
4.      Peradilan militer sesuai dengan ketentuan pasal 40 UU No. 31 Tahun 1997, hanya berwenang mengadilui perkara pidana yang terdakwa nya terdiri dari prajurit Tentara Nasional Indonesia  berdasarkan pangkat Tertentu.
Setelah memperhatikan uraian di atas, ditinjau dari segi pembagian lingkungan kekuasaan kehakiman, undang-undang telah menentukan batas yurisdiksi masing-masing. Sengketa yang dapat di ajukan ke Pengadilan Negeri sesuai keberadaan dan kedudukannya sebagai lingkungan peradilan umum hanya terbatas pada perkara pidana dan perdata.[31]
Dalam praktik sering terjadi kekaburan dalam menentukan batas yang jelas dan terang tentang yurisdiksi absolut, terutama pada peradilan umum pada satu pihak dengan peradilan agama atau peradilan Tata Usaha Negara pada pihak lain.  Maka dari itu sebelum mengajukan gugatan hendak nya diteliti lebih dahulu apakah perkara itu termasuk yurisdiksi absolut Pengadilan Negeri peradilan umum atau tidak agar pengajuan gugatan tidak melanggar batas kompetensi absolut yang digariskan undang-undanag. Pelanggaran batas wewenang yurisdiksi, mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan tidak berwenang mengadili.
2.    Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif berkaitan dengan kewenangan mengadili/memeriksa perkara dari suatu pengadilan negeri berdasarkan pembagian daerah hukumnya. Untuk pengadilan negeri daerah hukumnya meliputi daerah tingkat kabupaten/kota ditempat pengadilan negeri itu berada. Kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif. Asasnya adalah “yang berwenang adalah pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.[32]
Setiap Pengadilan Negeri terbatas daerah hukumnya, hal itu sesuai dengan kedudukan Pengadilan Negeri. Hanya berada pada wilayah tertentu. Menurut pasal 4 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 :
-          Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau di Ibukota Kabupaten, dan
-          Daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten yang bersangkutan
Berdasarkan pasal itu, kewenangan mengadili Pengadilan Negeri hanya terbatas pada daerah hukumnya, diluar itu tidak berwenang. Daerah hukum masing-masing Pengadilan Negeri hanya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tempat ia berada dan berkedudukan. Contoh Pengadilan Negeri yang berkedudukan di daerah bekasi, daerah hukum nya terbatas meliputi wilayah kabupaten bekasi. Daerah hukum yang menjadi kewenangan setiap Pengadilan Negeri mengadili perkara, sama dengan wilayah kotamadya atau kabupaten, tempat ia berada atau berkedudukan.
Tempat kedudukan daerah hukum, menentukan batas kompetensi relatif mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri. Meskipun perkara yang disengketakan termasuk yurisdiksi absolut lingkungan peradilan umum, sehingga secara absolut Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya, namun kewenangan absolut itu, dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relatif. Jika perkara yang terjadi di luar daetrah hukumnya secara relatif Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadilinya.Apabila terjadi pelampauan batas daerah hukum, berarti Pengadilan Negeri yang bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan. Tindakan itu berakibat, pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan dalam perkara itu, tidah sah. Oleh karena itu harus dibatalkan atas alasan pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan, dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang tidak berwenang untuk itu.
Patokan menentukan  kewenangan mengadili dihubungkan dengan batas daerah hukum Pengadilan Negeri, merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR pasal 142 Rbg, untuk memperjelas pembahasan nya, sengaja berorientasi juga kepada pasal 99 Rv. Berdasarkan ketentuan-ketentuan itu, dapat dijelaskan beberapa patokan menetukan kompetensi relatif. Sehubungan dengan itu agar pengajuan gugatan tidak salah dan keliru, harus diperhatikan patokan yang ditentukan undang-undang seperti :[33]
a.       Actor sequitur forum rei (actor rei forum sequitur)
Patokan ini digariskan pada pasal 118 ayat (1) HIR yang menegaskan :
-          Yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat
-          Oleh karena itu, agar gugatan yang di ajukan penggugat tidak melanggar batas kompetensi relatif, gugatan harus di ajukan dan dimasukan kepada Pengadilan Negeri yang berkedudukan diwilayah atau daerah hukum tempat tinggal tergugat.
Mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri diluar wilayah tempat tinggal tergugat, tidak dibenarkan. Dianggap sebagai pemerkosaan hukum terhadap kepentingan tergugat dalam membela diri. Rasio penegakan actor sequitur forum rei atau forum domisili, bertujuan untuk melindungi tergugat. Siapapaun tidak dilarang untuk menggugat seseorang, tetapi kepentingan tergugat harus dilindungi dengan cara melakukan pemeriksaan di Pengadilan Negeri tempat tinggalnya, bukan ditempat tinggal penggugat. Kalau patokannya ditempat tinggal penggugat akan menimbulkan kesengsaraan dan kesulitan terhadap tergugat, apabila tempat tinggal penggugat jauh dari tempat tinggal tergugat.
Yang dimaksud dengan tempat tinggal tergugat menurut hukum yang di anggap sebagai tempat tinggal seseorang ialah :
-          Tempat kediaman atau
-          Tempat alamat tertentu
-          Tempat kediaman sebenarnya
Yang dimaksud kediaman sebenarnya atau sebenarnya berdiam adalah tempat secara nyata tinggal.[34]
b.      Sumber menentukan tempat tinggal tergugat yang sah dan resmi dijadikan sumber menentukan tempat tinggal tergugat, terdiri dari beberapa jenis akta atau dokumen , yang terpenting ialah :
-          Berdasarkan KTP
-          Kartu Rumah Tangga
-          Surat Pajak, dan
-          Anggaran Dasar Perseroan
c.       Perubahan tempat tinggal setelah gugatan di ajukan, apabila terjadi perubahan tempat tinggal, setelah gugatan di ajukan :
-          Tidak mempengaruhi keabsahan gugatan ditinjau dari kompetensi relatif
-          Hal ini demi menjamin kepastian hukum, dan melindungi kepentingan penggugat dari kesewenangan dan itikhad buruk tergugat.
Apabila hukum membenarkan bahwa perubahan alamat mempengaruhi keabsahan gugatan secara relatif, hal itu dapat dimanfaatkan tergugat dengan berpindah tempat tinggal kewilayah Pengadilan Negeri lain, agar gugatan tidak sah. Oleh karena itu, perubahan tempat tinggal setelah gugatan di ajukan, tidak merubah kompetensi relatif semula.[35]
d.      Kompetensi relatif berdasarkan pemilihan domisisli
Menurut pasal 18 ayat (4) HIR, para pihak dalam perjanjian dapat menyepakati domisili pilihan yang berisi klausul, sepakat memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Pencantuman klausul harus berbentuk akta tertulis :
-          Dapat langsung dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian pokok atau
-          Dituangkan dalam akta tersendiri yang terpisah dalam perjanjian pokok
Mengenai penerapan domisili pilihan harus benar-benar didasarkan pada rumusan pasal 118 ayat (4) HIR itu sendiri. Domisili pilihan itu tidak mutlak mengenyampingkan asas actor sequitur forum rei, persetujuan para pihak mengenai pilihan domisili pada prinsipnya tunduk kepada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan pasal 1338 KUHperdata, oleh karena itu kesepakatan tersebut mengikat kepada para pihak untuk menaati dan melaksanakan. Namun demikian ketentuan pasal 118 ayat (4 HIR) itu sendiri, membatasi tingkat derajat kekuatannya, tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat sukarela.
e.       Negara atau pemerintah dapat digugat pada setiap Pengadilan Negeri
HIR maupun RBG tidak mengatur forum kompetensi relatif suatu perkara, apabila pemerintah indonesia bertindak sebagai penggugat atau tergugat mewakili negara. Oleh karena itu tidak jelas Pengadilan Negeri mana yang berwenang dalam hal ini, apakah Pengadilan Negeri Jakarta pusat atau dapat di ajukan pada setiap Pengadilan Negeri.
Pasal 99 ayat (18) Rv menngatur secara khusus kompetensi relatif penyelesaian sengketa yang melibatkan negara sebagai pihak penggugat ataupun tergugat. Ketentuan itu berbunyi :
“dalam hal pemerintah indonesia mewakili negara bertindak sebagai penggugat atau tergugat maka jakarta di anggap sebagai tempat tinggal nya.”
Apabila berpedoman pada ketentuan tersebut dikaitkan dengan patokan kompetensi relatif berdasarkan tempat tinggal tergugat maka Pengadilan Negeri yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Negerijakarta pusat[36]
B.       Tinjauan Umum Tentang Arbitrase
Keberadaan arbitrase di indonesia sudah dikenal sejak lama sebelum perang dunia kedua, namun masih jarang digunakan oleh masyarakat karena di samping kurang dimengerti juga masih diragukan manfaat nya. arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengeketa alternatif diluar pengadilan. E. Wedekind menyebutkan model sengketa demikian sebagai pengadilan informal. Di amerika serikat dan kanada dikenal istilah multidoor corthouse, yaitu pemeriksaan perkara yang dilakukan di luar pengadilan atau disebut sebagai informal court. Pemeriksaan melalui pengadilan informal ini dapat berbentuk negoisasi, mediasi dan pencari fakta oleh para ahli hukum netral. Arbitrase merupakan salah satu bentuk pengadilan informal.[37]
Pada awal nya keberadaan arbitrase bersifat insidentil, yakni dibentuk khusus untuk menangani setiap sengketa yang terjadi. Di inggris arbitrase di atur dalam undang-undang untuk pertama kalinya pada tahun 1889. Kemudian dibeberapa negara dibentuk lembaga tetap yang bertindak sebagai badan arbitrase yang menjadi perantara dalam penyelesaian sengketa. Lembaga arbitrase pada umum nya merupakan suatu badan yang dibentuk dan diorganisisr oleh kamar dagang atau perusahaan. Di indonesia pada tanggal 3 desember 1977 dibentuk badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdasarkan surat keputusan KADIN No. SKEP/152/DPH/1977 tanggal 30 November 1977. Bani merupakan badan arbitrase tetap dalam menangani sengketa perdata yang timbul di bidang perdagangan, industri dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun  internasional.[38]
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebenarnya sudah lama di kenal dalam sitem hukum di indonesia Arbitrase diperkenalkan di indonesia bersamaan dengan diberlakukanya RV (reglement op de burgelijke rechtsvordering) pada tahun 1847, karena semula arbitrase ini di atur dalam ketentuan pasal 615 sampai 651 Rv. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini tidak berlaku lagi dengan diterbitkannya undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Meskipun demikian, berdasarkan perkembangan arbitrase di indonesia, institusionalisasi arbitrase mendapatkan momentumnya dengan terbentuk nya Badan Arbitrase Nasional (BANI) pada tanggal 3 desember 1977 yang didirikan oleh KADIN.[39]
Jadi arbitrase atau sering juga disebut perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan persetujuan para pihak diserahkan kepada seorang wasit atau lebih. Arbitrase merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar lembaga peradilan. Pilihan tersebut dilakukan karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan berjalan lambat dan memakan biaya besar. Pemeriksaan perkara perdata di pengadilan dilakukan dalam tiga tingkat yaitu, tingkat pertama di pengadilan negeri, tingkat kedua di pengadilan tinggi, dan tingkat ketiga di mahkamah agung, dan masih ada kemungkinan tingkat keempat yakni peninjauan kembali. Lambannya penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan itu dinilai kontraproduktif oleh para pelaku usaha, karena dapat mengganggu kegiatan usaha. selain itu pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka sehingga membuka peluang terjadinya konflik berkepanjangan di antara pelaku usaha.[40]
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan secara konfidensial (Putusanya tidak dipublikasikan) dan dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dengan model pemeriksaan sengketa demikian memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa untuk tetap memelihara hubungan dagang dan bisnis yang telah terjali sebelumnya. Di samping itu, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sehingga tertutup peluang bagi para pihak untuk mengajukan upaya hukum seperti yang terjadi pada proses peradilan. Putusan arbitrase dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat cepat, yakni paling lama 6 bulan sejak pengangkatan arbiter (pasal 620 Rv dan pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999). Apabila terjadi keterlambatan dalam menjatuhkan putusan maka para arbiter dapat dikenai sanksi membayar ganti rugi kepada para pihak (pasal 20 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbiter dan Alternatif Penyelesaian Sengketa)[41]
Berikut ini merupakan asas-asas umum dalam arbitrase, yaitu antara lain:[42]
1.    Asas final dan mengikat (binding)
Asas final dan mengikat (binding) terhadap putusan arbitrase, jelas diatur pada  pasal  60 Undang-Undang  Nomor  30  Tahun  1999  tentang  Arbitrase  dan Alternatif  Penyelesaian  Sengketa,  pada  bab  VI  mengenai  pelaksanaan  putusan arbitrase,  yang  menyatakan:  “putusan  arbitrase  bersifat  final  dan  mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”  dan  dalam  ketentuan  pasal  68 ayat  1  Undang-Undang  Nomor  30  Tahun  1999  Tentang  Arbitrase  dan  Alternatif Penyelesaian   Sengketa,  yang  menyatakan  bahwa:  “terhadap   putusan   ketua pengadilan   Negeri   sebagaimana   dimaksud   dalam   pasal   66   huruf   d   yang mengakui   dan   melaksanakan   putusan   arbitrase   internasional,   tidak  dapat diajukan banding atau kasasi”. Menurut  asas  ini,  putusan  dari  arbitrase  tidak  dapat  diganggu  gugat walaupun  oleh  pengadilan,  karena  dalam  putusan  arbitrase  tidak  dapat  dilakukan upaya banding dan kasasi. Di sini pengadilan hanya  berfungsi sebagai eksekutor, yang  hanya  meneliti  apakah  ada  pelanggaran  atas  asas-asas  tersebut,  maka pengadilan dapat menolak pemberian eksekutor. 
2.      Asas resiprositas
Asas  ini  tercermin  dalam  ketentuan  pasal  66  huruf  a,  Undang-undang No.30  Tahun 1999  tentang  Arbitrase  dan  Alternatif  Penyelesaian  Sengketa  yang menyatakan  bahwa  putusan  arbitrase  internasional  hanya  diakui  serta  dapat dilaksanakan di wilayah hokum Indonesia. Asas ini mempunyai arti adanya ikatan hubungan  timbal  balik  antara suatu  negara  dengan  negara  lain  dimana  dalam hubungan  tersebut  antara  negara  sama-sama  mengakui  putusan  arbitrase  negara, begitu  juga  sebaliknya.  Menurut  asas resiprositas  tidak  semua  putusan  arbitrase asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement), hanya terbatas pada putusan  yang  diambil  di  negara  asing  yang mempuyai  ikatan  bilateral  dengan Indonesiadan  terkait  bersama  dengan  negara  Indonesia  dalam suatu  konvensi internasional.[43]
3.      Asas ketertiban umum
Asas  ketertiban  umum  tercermin  dalam  ketentuan  pasal  66  huruf  c, Undang-Undang   No.30    Tahun    1999    Tentang    Arbitrase    dan    Alternatif Penyelesaian  Sengketa  yang menentukan  bahwa  putusan  arbitrase  internasional hanya   dapat   dilaksanakan   di  Indonesia   terbatas   pada   ketentuan   yang   tidak bertentangan  dengan  ketertiban  umum. Asas  ini  mempunyai  arti,  bahwa  apabila ada  putusan  arbitrase  yang  bertentangan dengan  ketertiban  umum  di  Indonesia, permintaan eksekusinya dapat ditolak.
4.      Asas separabilitas
Dalam  suatu  perjanjian  yang  dibuat  oleh,  para  pihak  dapat  memasukan perjanjian  arbitrase  yang  berupa  klasula  arbitrase,  yang  merupakan  bagian  dari perjanjian tersebut atau merupakan perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok. Apabila  perjanjian  arbitrase menjadi  bagian  dari  perjanjian,  maka  hal  ini  sering disebut klausul arbitrase.  Asas  separabilitas   atau   lebih   dikenal   dengan severable   clauseini, mempunyai  arti  bahwa dalam  suatu  perjanjian,  jika  ada    salah  satu  perikatan dalam  perjanjian  tersebut  batal,  maka  pembatalan  tersebut  tidak  mengakibatkan perikatan  yang  lain  menjadi  batal. Penerapan  asas  ini  pada  perjanjian  arbitrase artinya  jika  perjanjian  pokok  tersebut berakhir  atau  batal,  klausul  atau  pasal mengenai arbitrase masih tetap eksis.[44] Mengenai  perjanjian  arbitrase  Undang-undang  Nomor  30  Tahun  1999 Tentang  Arbitrase  dan Alternatif  Penyelesaian  Sengketa,    telah  mengatur  dalam  pasal  10  Tentang    suatu perjanjian  arbitrase  tidak  menjadi  batal  disebabkan  oleh keadaan, yaitu :
a.    Meninggalnya salah satu pihak
b.    Bangkrutnya salah satu pihak
c.    Novasi
d.   Insolvensi salah satu pihak .
e.    Pewarisan
f.     Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g.    Bilamana  pelaksanaan  perjanjian  tersebut  dialihtugaskan  pada  pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h.    Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Jadi,  apabila  suatu    perjanjian  pokok    batal,    tidak  menjadikan  klausul arbitrase  yang ada  didalam    perjanjian  pokok  tersebut  ikut  batal  namun  klasul arbitrase   harus   tetap  dilaksanakan.   Karena   klausul   arbitrase   adalah   independen terhadap  pemenuhan kewajiban  atau  perikatan  lain  dalam  perjanjian  tersebut  dan karenanya berlakulah asas separabilitas terhadapnya.
Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sengeketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :
1.      Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa :
A.    Kontroversi pendapat (controversy)
B.     Kesalahan pengertian (misunderstanding)
C.     Ketidaksepakatan (disagreement)
2.      Pelanggaran perjanjian (breach of contract)
a.       Sah atau tidaknya kontrak
b.      Berlaku atau tidaknya kontrak
3.      Pengakhiran kontrak
4.      Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum[45]
Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.[46]  Menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. An arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.      Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
2.      Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.[47] Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Objek dari arbitrase ini sendiri merupakan permasalahan yang timbul karena sengketa antara para pelaku usaha, dan yang sering menjadi objek arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa yang menjadi Objek arbitrase adalah hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Hanya saja tidak diberikan penjelasan yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut.
Pelaksanaan putusan arbitrase dapat dibagi menjadi 2, yakni :
1.      Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasarkan Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2.      Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya PERMA tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi.Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
Adapun kewenangan Pengadilan memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement (prinsip yang mengatakan keterlibatan pengadilan yang terbatas). Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya.[48]
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1.      kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
2.      keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
3.      para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;
4.      para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ;
5.      para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan. Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase.
Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1.    Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2.    Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3.    Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4.    Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase, antara lain :
1.      Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
2.      Bahwa untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua para pihak harus sepakat, padahal untuk dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-kadang memang sulit dan forum arbitrase mana yang dipilih.
3.      Tentang pengakuaan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini, dibanyak Negara, masalah tentang pengakuaan dan pelaksanaan keputusan asing ini masih menjadi soal yang sulit.
4.      seperti telah dimaklumi, dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum atau keterikatan kepada purtusan-putusan arbitrase sebelumnya. Jadi, setiap sengketa yang mengandung argumentasi-argumentasi hukum para ahli-ahli hukum kenamaan. Karena tidak adanya preseden ini, maka adalah logis kemungkinan timbulnya keputusan-keputusan yang saling berlawanan. Artinya fleksibilitas didalam mengeluarkan keputusan yang sulit dicapai.
5.      Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitive terhadap semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang berbeda di setiap Negara.
6.      Bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu bergantung kepada bagaimana arbitrator mengeluarkan keputusan yang memuaskan para pihak.
Setelah apa yang penulis jelaskan diatas, Lembaga arbitrase  memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar Undang-undang Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Proses pemeriksaan perkara dalam arbitrase pada hakekatnya secara umum sama dan tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Karena baikarbitrase maupun litigasi sama-sama merupakan mekanisme ajudikatif, yaitu pihak ketiga yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa tersebut sama-sama mempunyai kewenangan memutuskan sengketa tersebut. Arbitrase termasuk ajudikatif privat sedangkan litigasi termasuk ajudikatif publik. Sehingga baik arbitrase maupun litigasi sama-sama bersifat win-lose solution. Meskipun demikian, pada umum nya dalam dunia bisnis orang lebih banyak memilih arbitrase untuk penyelesaian sengketa dikemudian hari jika ada, karena arbitrase memiliki beberapa keunggulan daripada cara litigasi, seperti yang dijelaskan sebelum nya. Dengan demikian, perbedaanya terutama terletak pada otonomi atau kebebasan para pihaknya dimana dalam arbitrase para pihak mempunyai kebebasan atau otonomi yang lebih luas dari acara litigasi.
Pasal 130 HIR dan pasal 154 Rbg menyebutkan bahwa apabila pada hari sidang yang ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim berkewajiban mendamaikan mereka.[49]
Menurut Frank Elkuory dalam bukunya “How Arbitration Works” : Disebutkan bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simpel  yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkara nya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalail dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
Menurut Pasal 1 (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa menyebutkan : “Arbitrase adalah cara Penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak”
Dari ketentuan undang-undang ini memberikan pengertian bahwa arbitrase itu lembaga yang menangani perkara-perkara perdata dan dagang dan tidak termasuk dalam perumusan ini sengketa yang didasarkan atas hukum pidana. Para pihak telah memufakati secara tertulis bahwa mereka, apabila terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah mereka buat, akan memilih jalan penyelesaian sengeketa melalui arbitrase dan tidak berpekara di hadapan peradilan umum yang biasa sehari-hari. Jadi dengan adanya klausula arbitrase ini, maka para pihak telah menyetujui tidak menyelesaikan sengketa mereka dengan cara berpekara di pengadilan umum biasa.[50]
Adalah suatu kenyataan yang sudah disadari oleh banyak kalangan bahwa, penyelesaian perkara yang ditempuh melalui lembaga peradilan umum atau pemerintah menghabiskan masa yang tidak singkat. Karena lembaga peradilan ini banyak mekanisme acara nya. Akibatnya tentu akan menyita energi, bahkan banyak menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Tidak hanya sekedar itu yang lebih dilematis lagi yaitu beban psoikologis yang harus dipikul oleh para pihak sebelum ada nya keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti.[51]
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Para pihak yang mencari keadilan dan kepastian hukum serta mengharapkan penyelesaian sengketa yang dihadapi akan menempuh berbagai jalur hukum dalam hal ini merupakan perkara perdata untuk mempertahankan hak-hak pihak yang merasa dirugikan atau pihak-pihak yang merasa haknya tidak dipenuhi oleh pihak lain maka akan mengajukan Gugatan kepengadilan apabila upaya perdamaian atau mediasi yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa tidak menemui kesepakatan, gugatan yang diajukan penggugat kepengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum tidak dapat ditolak pengadilan baik mengenai kompetensi absolut pengadilan karena pengadilan terikat dengan Undang-undang maka perkara yang diajukan akan diregister dahulu, selanjutnya ditentukan dalam proses pemeriksaan perkara setelah sidang berjalan meskipin proses pemeriksaan perkara berhenti sampai dikeluarkannya putusan sela maupun penetapan dan ahkhirnya putusan akhir mengenai perkara dapat diterima maupun ditolak.
Dalam hal adanya permohonan pembatalan putusan arbitrase, UU Arbitrase telah menetapkan secara limitatif jenis putusan yang dapat diajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung. Upaya hukum banding hanya dapat diajukan, apabila Majelis Hakim membatalkan putusan arbitrase yang menjadi objek dalam permohonan pembatalan tersebut.
Pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara terkait telah dilakukannya pendaftaran terhadap suatu putusan arbitrase, merupakan hal yang wajib untuk dilakukan oleh arbiter atau kuasanya. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini :
1)   Permohonan pembatalan putusan arbitrase merupakan hal yang umum diajukan oleh pihak yang kalah dalam perkara arbitrase. Dalam beberapa perkara, hal ini dilakukan untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut. Tentunya permohonan pembatalan tersebut harus diajukan atas dasar alasan-alasan yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“Undang-undang Arbitrase”), yaitu:
a.    surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b.    setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c.    putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Namun ada kalanya putusan dari permohonan pembatalan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pihak pemohon. Sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) Undang-undang Arbitrase, putusan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-undang Arbitrase.
Dengan demikian menurut Undang-undang Arbitrase upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, hanya dapat diajukan dalam hal Majelis Hakim yang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase membatalkan putusan arbitrase tersebut. Sedangkan jika Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dan putusan arbitrase tetap berlaku, maka seharusnya menurut Undang-undang Arbitrase tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan.
Faktanya berdasarkan preseden yang ada, walaupun putusan pada tingkat pertama menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, bagi pihak yang tidak puas atas putusan tersebut tetap dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang memeriksa permohonan tersebut pada tahap pertama. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada, sehingga memberikan celah bagi pihak lawan untuk mengajukan eksepsi atau keberatan dari segi formil atas permohonan banding tersebut.
2)   Terkait pendaftaran Putusan BANI ke Pengadilan Negeri setempat, ini merupakan tanggung jawab dari arbiter/lembaga arbitrase atau kuasanya. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase, yaitu sebagai berikut:
“Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.”
BANI berkewajiban untuk melakukan pendaftaran atas putusan arbitrase tersebut. Adapun pengadilan negeri yang dimaksud yaitu pengadilan negeri yang termasuk dalam domisili hukum pihak termohon arbitrase. Setelah BANI melakukan pendaftaran putusan di pengadilan negeri, BANI akan melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara. Pemberitahuan tersebut dilakukan dengan mengirimkan salinan putusan BANI yang telah memuat cap keterangan telah dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan PN dengan memuat tanggal dan nomor pendaftarannya.
Setelah pemberitahuan ini dilakukan, barulah pihak yang tidak puas dan ingin membatalkan putusan arbitrase, dapat mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Undang-undang Arbitrase yang menyebutkan sebagai berikut:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.”
Dengan demikian walaupun putusan arbitrase tersebut telah dibacakan dalam persidangan dan salinan putusan telah dikirimkan kepada para pihak yang berperkara, BANI tetap berkewajiban untuk melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara, setelah putusan arbitrase tersebut didaftarkan.

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.      Kompetensi Absolut Pada Perkara Perdata  No.177/PDT.G/2014/PN. PBR
Perkara Perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR diputus dengan putusan sela dengan mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh pihak Tergugat mengenai kewenangan mutlak dari lembaga Peradilan atau Kompetensi Absolut Lembaga Peradilan dalam memeriksa dan mengadili perkara Perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR. Hal tersebut dikarenakan didalam perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat-I (berdasarkan surat perjanjian  kerjasama akta No. 04) Tergugat-II (berdasarkan surat perjanjian  kerjasama akta No. 05) dan Tergugat-III (berdasarkan surat perjanjian  kerjasama akta No. 06), dimana didalam pasal 9 masing-masing akta tersebut menyebutkan :[52]
:”……Semua perselisihan yang mungkin timbul/atau terjadi antara para pihak dalam (sebab) perjanjian ini, baik yang bersifat teknis maupun non teknis yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri secara musyawarah, tidak akan diajukan ke Pengadilan, akan tetapi akan diurus dan diselesaikan/diputuskan secara Arbitrage (perdamaian) oleh para pendamai………….dst.
Berdasarkan hal tersebut Pihak Tergugat didalam salah satu Petitumnya meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara aquo untuk menghentikan pemeriksaan pokok perkara karena Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara aquo. Eksepsi tersebut diterima oleh Majelis Hakim dan menyatakan bahwasannhya Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak Berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara aquo, sehingga perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Kompetensi absolut ialah kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara antar badan-badan peradilan berdasarkan pada pembagian wewenang dan pembebanan tugas (yurisdiksi).[53] Misalkan badan peradilan umum kompetensi absolutnya ialah memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dan perdata pada umumnya, sedangkan pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksan dan mengadili sengketa-sengketa berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara.[54]
Kekuasaan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak-hak keperdataan lainnya (Pasal 2 ayat 1 RO), kecuali apabila dalam undang-undang ditetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya,[55] misalnya seperti Perkara Perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR yang seharusnya menjadi wewenang lembaga arbitrase untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Berdasarkan sistem pembagian lingkungan peradilan, Pengadilan Negeri berhadapan dengan kewenangan Absolut lingkungan peradilan lain. Menurut amandemen pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman yang berada dibawah Mahkamah Agung, dilaksanakan dan dilakukan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari :
a.    Peradilan Umum
b.    Peradilan Agama
c.    Peradilan Militer dan
d.   Peradilan Tata Usaha Negara
Keempat lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung ini, merupakan penyelenggaraan kekuasaan Negara dibidang yudikatif. Secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara.[56]
Adanya kewenangan dari masing-masing badan peradilan tersebut dapat menimbulkan sengketa mengenai kewenangan mengadili. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa sengketa kewenangan mengadili terjadi:
1.      Jika 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang sama;
2.      Jika 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama.

Adanya kewenangan mengadili yang berbeda mengakibatkan apabila suatu tuntutan pemenuhan hak (gugatan) ditujukan kepada badan peradilan yang tidak berwenang mengadilinya, maka gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) tanpa memeriksa substansi perkaranya. Sehingga tidak jarang dalam suatu proses perkara khususnya perkara perdata, di mana secara substansi seharusnya gugatan dapat dikabulkan akan tetapi oleh karena tidak dipenuhinya formalitas prosedural dalam beracara (hukum acara) maka akan menggagalkan penegakkan hukumnya.[57]
Dapat dilihat, permasalahan kewenangan mengadili merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Kekeliruan mengajukan gugatan kepada lingkungan peradilan atau pengadilan yang tidak berwenang, mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan gugatan yang diajukan tidak termasuk kewenangan absolut atau relatif pengadilan yang bersangkutan.
Masalah kompentensi absolut Pengadilan Negeri ini diatur dalam Pasal 134 HIR jo. Pasal 160 RBg dan mengenai kewenangannya dapat diajukan setiap saat selama perkara masih berjalan. Eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus oleh Hakim sebelum memeriksa pokok perkara (vide Pasal 136 HIR), yang dituangkan oleh Hakim dalam Putusan Sela (interlocutory) atau dituangkan dalam Putusan Akhir (eind vonnis, final judgement). Bahkan Hakim yang memeriksa perkara itupun karena jabatannya wajib menyatakan bahwa tidak berwenang mengadilinya walaupun tidak ada tangkisan (eksepsi/exception) dari Tergugat.[58]
Perkara perdata yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri merupakan kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus. Meski demikian tidak semua perkara perdata menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus suatu perkara, terdapat beberapa pengecualian perkara perdata yang menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Negeri, diantaranya yaitu:[59]
1.    Perkara perdata mengenai wanprestasi yang didalam perjanjaian terdapat kalusula penyelesaian sengketa melalui Arbitrase;
2.    Perkara mengenai perselisihan perburuhan, yang dalam hal ini merupakan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial (PHI);
3.    Perkara Perdata mengenai kewarisan,wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam;
4.    Perkara perdata mengenai perkawinan bagi orang muslim;
Mengenai sistem pemisahan yurisdiksi dianggap masih relevan dasar-dasar yang dikemukakan dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagai berikut :
1.    Didasarkan pada lingkungan kewenangan
2.    Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu
3.    Kewenangan tertentu tersebut, menciptakan terjadinya kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan.[60]
Pasal 118 ayat (1) HIR/142 ayat (1) Rbg menyatakan gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama menjadi wewenang pengadilan negeri dilakukan oleh Penggugat atau oleh seorang kuasanya dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tergugat atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui ditempat tinggal yang sebenarnya. Dari ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pengajuan gugatan perdata harus diperhatikan unsur-unsur yaitu :[61]
1.      Diajukan oleh penggugat sendiri atau diwakili oleh wakil kuasanya
2.      Diajukan dengan suatu surat permohonan atau gugatan
3.      Diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang berdasarkan wilayah hukum tempat tinggal tergugat.
Oleh karena itu masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Kewenangan dari masing-masing lembaga peradilan yang penulis uraikan diatas merupakan kewenangan absolut yang tidak dapat di tawar-tawar lagi. Kewenangan pengadilan dalam mengadili suatu perkara yang menyangkut perkara tertentu merupakan kewenangan mutlak dari suatu pengadilan sehingga pengadilan lain juga secara mutlak tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara tersebut dikarenakan memang bukan kewenangannya.
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.[62] Kata semua menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum. Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak  mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan prestasi tersebut. Kalimat yang dibuat secara sah diartikan bahwa apa yang disepakati berlaku sebagai undang-undang jika tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila bertentangan, maka kontrak batal demi hukum.[63]
Dengan demikian perjanjian kerjasama pengadaan barang antara Penggugat dan Tergugat menjadi suatu aturan yang harus di taati dan dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya, baik mengenai hak dan kewajiban para pihak maupun mengenai penyelesaian sengketa yang timbul akibat perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak tersebut, dengan artian penyelesaian sengketa tersebut harus ditempuh melalui cara penyelesaian sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut.
Didalam perjanjian antara Penggugat dan Tergugat terdapat klausula yang menentukan bahwa “perselisihan yang timbul antara para pihak diserahkan kepada Badan Arbitrase” dengan demikian, sesuai dengan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, telah digariskan bahwa Klausula Arbitase yang ada didalam suatu perjanjian itu termasuk kewenangan Absolut dan jika para pihak tidak menyinggungnya, maka Hakim Pengadilan Negeri karena jabatannya harus menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili gugatan tersebut.
Klausula Arbitrase merupakan suatu kesepakatan para pihak tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui Lembaga Arbitrase yang mereka inginkan bersama. Yurisprudensi tetap mengakui bahwa Arbitrase sebagai “Extra Yudicial” yang lahir dari Klausula Arbitase dalam perjanjian mempunyai legal effect yang memberikan kewenangan absolut kepada Badan Arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian berdasar atas berlakunya asas “Pacta Sunt Servanda.
Hakim memiliki kewajiban yang bersifat ex-officio untuk menyatakan diri tidak berwenang mengadili, hal ini juga dijelaskan dalam putusan MA No. 317K/Pdt/1984 antara lain :
1)   Eksepsi tidak berwenang mengadili berdasarkan klausul arbitrase adalah bersifat absolut, atas alasan, dengan adanya klausula arbitrase secara total lingkungan peradilan umum tidak berwenang mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian.
2)   Sehubungan dengan itu, sekiranya pihak tergugat tidak mengajukan eksepsi hakim secara ex-officio, mesti menyatakan diri tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Dengan demikian Badan Arbitrase sebagai badan Extra Judicial telah menggeser kewenangan Pengadilan Negeri sebagai Peradilan Negara untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut (Vide Jurisprudensi MA-RI No.013 PK/N1999 dan No.019 K/N/1999), maka Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang dalam mengadili perkara aquo.[64]
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[65]
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan secara konfidensial (Putusanya tidak dipublikasikan) dan dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dengan model pemeriksaan sengketa demikian memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa untuk tetap memelihara hubungan dagang dan bisnis yang telah terjali sebelumnya. Di samping itu, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sehingga tertutup peluang bagi para pihak untuk mengajukan upaya hukum seperti yang terjadi pada proses peradilan. Putusan arbitrase dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat cepat, yakni paling lama 6 bulan sejak pengangkatan arbiter (pasal 620 Rv dan pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999). Apabila terjadi keterlambatan dalam menjatuhkan putusan maka para arbiter dapat dikenai sanksi membayar ganti rugi kepada para pihak (pasal 20 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbiter dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).[66]
Melihat kepada data yang diperoleh dari putusan perkara Perdata No. 177/PDT/2014/PN.PBR bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan tersebut penulis nilai keputusan tersebut memang tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikarenakan antara Pengadilan Negeri dan lembaga Arbitrase merupakan dua buah lembaga yang berbeda, Pengadilan Negeri merupakan suatau penyelesaian perkara secara litigasi sedangkan Arbitrase merupakan suatu penyelesaian perkara secara non litigasi. Maka dari itu apabila pengadilan negeri tetap memeriksa dan mengadili perkara tersebut hingga akhir maka putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri merupakan putusan yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena putusan tersebut dikeluarkan oleh lembaga yang tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili. Dan nantinya putusan pengadilan negeri yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut juga akan dibatalkan oleh pengadilan pada tingkat yang lebih tinggi lagi.
Penulis berpendapat bahwa Pihak Tergugat telah melakukan upaya-upaya hukum dengan benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketika terjadi perselisihan, pasti telah dilakukan mediasi sebelumnya oleh para pihak namun tidak menemukan kesepakatan dan maka dari itu Pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk mempertahankan hak-haknya yang telah dicurangi oleh Para Tergugat. Karena peradilan tidak memiliki wewenang untuk menolak setiap berkas perkara yang diajukan kepadanya, maka gugatan yang diajukan oleh Pihak Penggugat diterima dan di register untuk selanjutnya akan dilakukan proses pemeriksaan dalam persidangan. Bahkan ketika persidangan di mulai, tentu para pihak juga telah dianjurkan untuk melakukan mediasi terlebih dahulu karena memang sudah seharusnya dilakukan agar menghemat waktu, tenaga, biaya ketika mediasi berjalan lancar dan menuai kesepakatan.
Jadi memang perkara wanprestasi ini merupakan wewenang dari Lembaga Arbitrase bukan wewenang dari Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk memeriksa dan mengadili dikarenakan telah diatur dalam perjanjian sebelumnya dan perjanjian tersebut sah menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Terhadap perjanjian tersebut apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan maka pihak yang dirugikan terebut dapat menyelesaikan perselisihan secara musyawarah dan menggunakan Lembaga Arbitrase
Setelah apa yang telah diterangkan diatas, penulis juga telah melakukan wawancara mengenai pengertian Arbitase terhadap Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru dan terhadap Notaris kota Pekanbaru yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pembanding, antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Pengertian Arbitrase Menurut Notaris
Menurut Notaris sekaligus PPAT dalam hal ini menyatakan bahwa, Arbitrase merupakan penyelesaian suatu sengketa hukum perdata yang di lakukan di luar pengadilan, karena terlebih dahulu telah membuat klausula yang tercantum di dalam perjanjian yang dibuat secara tertulis. Beliau menambahkan bahwa Arbitrase bisa dikatakan sebagai sebuah lembaga, apabila menyelesaikan suatu perkara perdata menggunakan BANI yang notabene nya adalah produk pemerintah, maka dapat menggunakan badan ini yang bertindak secara otonom dan independent dalam penegakan hukum dan keadilan. Namun, beliau kembali menegaskan bahwasanya beliau menganggap Arbitrase bukanlah sebuah lembaga dikarenakan Arbitrase merupakan penyelesaian perkara perdata diluar pengadilan melalui mediasi dan konsoliasi, jadi beliau menyimpulkan bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, beliau berpendapat mediasi dan arbitrase itu sama karena pengertian arbitrase itu menyelesaikan perkara dengan metode mediasi dan konsoliasi yang merupakan penyelesaian di luar persidangan.[67]
2.      Pengertian Arbitrase Menurut Hakim
Arbitrase menurut Hakim di Pengadilan Negeri Pekanbaru, berpendapat bahwa Pengertian Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata yang diselesaikan di luar peradilan umum yang di dasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat terlebih dahulu oleh para pihak yang dibuat secara tertulis juga oleh para pihak, merujuk pada pengertian Arbitrase menurut pasal 1 (1) Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999. Selanjutnya Hakim mengatakan Arbitrase juga termasuk lembaga, karena Arbitrase ini dibagi kedalam dua bagian yakni Arbitrase Ad hoc dan Arbitrase Intitutional. Arbitrase ad hoc merupakan Arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk meneyelesaikan suatu perkara, bentuk perkara nya biasanya disebut dengan Arbitrase perseorangan dan apabila sengketa telah selesai maka akan dibubarkan. Sedangkan Arbitrase institutional merupakan suatu lembaga atau badan Arbitrase yang bersifat permanen dan tidak bubar meskipun sengketa telah diputus. Lebih lanjut Hakim menyatakan bahwasanya Mediasi berbeda dengan Arbitrase, hal ini dikarenakan Mediasi dan Arbitrase merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jika dilihat dari segi penyelesaian nya maka dapat dibedakan bahwa Mediasi dapat dilakukan diluar pengadilan dan juga dapat dilakukan melalui pengadilan dengan proses persidangan., sedangkan Arbitrase sudah jelas dilakukan diluar pengadilan dikarenakan merupakan bentuk penyelesaian masalah yang akan diputus oleh arbiter (Non Litigasi).
Berdasarkan fenomena-fenomena yang dikemukakan tadi sudah tentu tidak dikehendaki oleh kalangan dunia usaha, yang ingin mencari penyelesaian yang adil, tidak menghabiskan banyak waktu maupun energi, apalagi kalaulah hanya diperiksa tidak masuk kepada pokok perkara dikarenakan berbenturan dengan kewenangan absolut suatu pengadilan, terlebih lagi dengan peradaban dunia yang global saat ini, dituntut segala sesuatu nya bersifat profesional, praktis, akurat, efektif dan efesien.[68]
Sesuatu yang menarik dari Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ini adalah tidak hanya dengan mengedepankan penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik semata dari masing-masing pihak, melainkan juga mengutamakan sikap sportif atau berjiwa besar terhadap apapun hasil putusan yang di ambil nantinya.[69]
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwasannya Hakim bependapat bahwa Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa diluar peradilan melalui BANI, Arbitrase dan Mediasi itu berbeda dikarenakan Arbitrase merupakan cara penyelesaian diluar persidangan sedangkan mediasi merupakan cara penyelesaian suatu sengketa yang dapat dilakukan di dalam maupun diluar persidangan. Lebih lanjut lagi Notaris berpendapat bahwa arbitrase merupakan sebuah lembaga apabila proses penyelesaian suatu sengketa melalui BANI namun adakalanya Arbitrase bukan sebuah lembaga dikarenakan Arbitrase menggunakan cara penyelesaian sengketa secara mediasi dan konsoliasi, arbitrase  dan mediasi itu sama dikarenakan pengertian arbitrase itu menyelesaikan perkara dengan metode mediasi dan konsoliasi yang merupakan penyelesaian di luar persidangan.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pengertian mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Dalam hal ini, timbul perbedaan antara pendapat Hakim dan Pendapat Notaris. Jika arbitrase merupakan Lembaga, maka sudah cocok bahwasannya apabila terdapat klausula arbitrase didalam perjanjian dan terjadi perselisihan antara para pihak maka penyelesian hanya bisa dilakukan melalui Lembaga Arbitrase saja dan Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk memeriksa dan mengadili perkara perdata yang didalam perjanjian antara para pihak terdapat klausula arbitrase.
Kemudian apabila dilihat dari cara penyelesaiannya, Arbitrase menyelesaiakan perkara yakni dengan metode mediasi dan konsoliasi. Jika demikian sah-sah saja apabila para pihak menyelesaiakan perselisihan yang terjadi melalui jalur mediasi baik diluar maupun didalam persidangan, karena yang terpenting adalah para pihak yang berselisih dapat berdamai dan tidak ada pihak yang dilanggar haknya yang kemudian dapat melanjutkan isi dari perjanjian kerjasama tersebut ataupun menghentikan perjanjian kerjasama tersebut.
Tidak hanya itu, putusan arbitrase tidak berkekuatan hukum apabila tidak di daftarkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri. Maka dari itu setiap putusan dari kesepakatan Arbitrase haruslah didaftarkan ke kepaniteraan pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut berkekuatan hukum mengikat dan memiliki kekuatan eksekutorial.
Dari pernyataan diatas, seharusnya Pengadilan Negeri dapat memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya yang berkaitan dengan pilihan hukum arbitrase, karena ketika tidak ada klausul arbitrase didalam perjanjian yang disepakati oleh para pihak, perkara perdata mengenai wanprestasi sudah jelas merupakan wewenang Pengadilan Negeri juga untuk memeriksa dan memutus. Hal ini jelas dapat merugikan Pihak Penggugat, tidak hanya waktu tapi uang, tenaga dan pikiran juga terbuang sia-sia. Meski demikian apabila terdapat 2 pilihan hukum, maka itu bukan merupakan sebuah penyelesaian tapi itulah problematika yang terjadi saat ini.
 Yang menjadi permasalahn disini adalah, ketika terjadi perselisihan antara para pihak tentu para pihak juga telah mengupayakan jalan perdamaian melalui jalur mediasi terlebih dahulu tentunya. Kemudian ketika sarana mediasi diluar persidangan tidak memecahkan masalah, ketika pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk menuntut hak nya yang tidak terpenuhi, bukankah ketika sidang berjalan, sebelum memasuki pada pemeriksaan pokok perkara Majelis Hakim juga telah mengupayakan agar para pihak yang berselisih melakukan mediasi terlebih dahulu.
Jika begitu, apakah prosedur mediasi di dalam persidangan hanyalah formalitas saja, hal ini penulis nilai hanya akan buang-buang waktu, tenaga dan pikiran saja karena sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri para pihak juga telah mengupayakan jalur perdamaian melalui mediasi oleh para pihak di luar persidangan.
B.       Pertimbangan Hukum Dalam Memutus Perkara Perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR.
Pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan data yang diperoleh dari putusan perkara perdata gugatan wanprestasi sebagai berikut :
1.        Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan yang diajukan oleh Penggugat yang pada pokoknya adalah mengenai perbuatan wanprestasi yang telah dilakukan oleh para tergugat.
2.        Tergugat mengajukan eksepsi dalam surat jawabannya yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang dalam memeriksa dan memutus perkara gugatan wanprestasi tersebut,  karena perselisihan yang terjadi seharusnya di selesaikan secara musyawarah oleh para pihak dan/ melalui jalur arbitrase oleh para pendamai bukannya di ajukan ke Pengadilan karena memang perkara tersebut bukan wewenang Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk memeriksa dan memutus perkara melainkan wewenang Lembaga Arbitrase.
3.        Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menimbang bahwa terhadap eksepsi yang diajukan oleh tergugat tersebut penggugat tidak menanggapi di dalam repliknya.
4.        Atas eksepsi yang diajukan oleh tergugat maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru berpendapat bahwa apa yang disampaikan dan dimintakan penggugat tersebut dalam eksepsinya dapat diterima dengan pertimbangan bahwa setelah pengadilan mencermati lebih dalam mengenai gugatan, yang menjadi objek gugatan pihak penggugat adalah mengenai wanprestasi yang dilakukan oleh pihak tergugat. Meski demikian di dalam perjanjian sebelumnya yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak di hadapan notaris, yakni didalam akta perjanjian pasal 9 yang intinya dinyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan antara para pihak maka akan diselesaikan secara Musayawarah dan secara Arbitrase, maka dari itu gugatan yang diajukan bukan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus melainkan kewenangan Badan Arbitrase.
5.        Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menimbang bahwa eksepsi yang diajukan oleh tergugat beralasan sehingga harus dikabulkan dengan demikian Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara aquo.
6.        Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan apabila terjadi perselisihan antara para pihak dan ada pihak yang merasa dirugikan maka dapat di selesaikan secara musyawarah oleh para pihak dan apabila tidak menemukan titik terang maka dapat diselesaikan secara Arbitrase.
Putusan pengadilan adalah merupakan salah satu dari dari hukum acara formil yang akan dijalani oleh para pihak yang terkait dalam perkara perdata. Dari beberapa proses yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu dilaksanakan adalah tahapan yang menjadi tujuan. Karena apabila terdapat suatu yang belum atau tidak terpenuhi sesuai dengan ketentuan atau syarat yang telah ditetapkan oleh undang – undang maka putusan yang dihasilkan menjadi cacat hukum dan bahkan akan menjadi batal demi hukum.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.,  Putusan hakim adalah : “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”.[70]
Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.[71] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan  yang harus ditaati.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempu tahap jawaban dari tergugat sesuai dari pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.[72]
Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
a.       Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
b.      Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c.        Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus di pertimbangkan/ diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.[73]
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal  16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[74]
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan  pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam  masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”[75].
Dalam hal ini, adapun pertimbangan yang diberikan Majelis Hakim dalam memberikan putusan merupakan suatu keharusan seperti tercantum didalam pasal 25 ayat (1) Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Segala putusan pengadilan selain harus membuat alasan-alasan dan putusan tersebut, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang berasangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”[76]. Maka dari itu untuk memenuhi ketentuan pasal diatas maka Majelis Hakim dalam memutus harus mencari atau menemukan aturan yang mengatur perkara yang diajukan kepadanya.
Pencantuman pasal-pasal tertentu dalam pertimbangan dari suatu putusan, apabila terdapat dalam ketentuan peraturan yang tertulis maka Hakim hanya tinggal mempertimbangkan dan kemudian menerapkan.[77] Namun demikian tidak semua perkara yang diajukan untuk diadili dan diperiksa oleh pengadilan terdapat pengaturannya dalam ketentuan peraturan yang tertulis, atau perkara yang diajukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga untuk mencantumkan pasal-pasal yang mengatur permasalahan tersebut merupakan pekerjaan yang berat bagi hakim, dalam hal ini hakim dituntut harus aktif menemukan peraturan yang mengatur mengenai permasalahan yang diajukan kepadanya tersebut.
Pertimbangan yang diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam menjatuhkan putusan pada perkara perdata No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR penulis nilai telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski demikian putusan sela yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru merugikan Pihak Penggugat dikarenakan pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru pada dasarnya dilakukan semata-mata karena ingin memperjuangkan hak-haknya yang telah dilanggar oleh Pihak Tergugat.
Hal ini juga dipertegas dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Maka dari itu, Pengadilan tidak memiliki wewenang untuk menolak setiap berkas perkara yang diajukan kepadanya meskipun pada dasarnya gugatan tersebut memang dari awal adalah memang bukan wewenang dari Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Dalam hal ini Pengadilan Negeri dikatakan tidak berwenang dikarenakan memang perkara tersebut merupakan wewenang dari lembaga arbitrase. Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata semua menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum. Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak  mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan prestasi tersebut. Kalimat yang dibuat secara sah diartikan bahwa apa yang disepakati berlaku sebagai undang-undang jika tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila bertentangan, maka kontrak batal demi hukum.
Maka dari itu, agar perjanjian dapat dikatakan sah maka harus merujuk kepada peraturan yang berlaku, dalam hal ini adalah pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :[78]
a.       Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Maksud sepakat disini adalah kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal pokok didalam perjanjian.
b.      Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
Merupakan orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.Ada 2 pendapat mengenai ketentuan dewasa, menurut KUHPerdata dewasa adalah berumur 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut UU No1 Tahun 1974 dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita.
c.         Adanya objek
Sesuatu hal yang diperjanjikan didalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
d.        Suatu sebab yang halal
Menurut pasal 1335 KUHPerdata suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak memiliki kekuatan hukum.
Jadi memang perkara wanprestasi ini merupakan wewenang dari Lembaga Arbitrase bukan wewenang dari Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk memeriksa dan mengadili dikarenakan telah diatur dalam perjanjian sebelumnya dan perjanjian tersebut sah menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Terhadap perjanjian tersebut apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan maka pihak yang dirugikan terebut dapat menyelesaikan perselisihan secara musyawarah dan menggunakan Lembaga Arbitrase.

BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan penulis, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
A.  Kesimpulan
1.    Penggugat dalam gugatannya tanggal 06 Oktober 2014 yang diterima dan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam register No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR didasarkan pada gugatan Wanprestasi yang dilakukan oleh CV. Cipta Anugerah Perkasa (Tergugat I), CV. Prima Dinamika Teknologi (Tergugat II), CV. Citra Atmajaya, (Tergugat III), Humalia Sociany Fluriana,(Tergugat IV), Dwi Yana Juwita, (Tergugat V), Ahmad Fadli, (Tergugat VI), kemudian pihak Tergugat mengajukan ekasepsi atas gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat mengenai kompetensi absolut lembaga peradilan.
2.    Didalam proses persidangan yang berlangsung, sebelum memasuki pada pokok perkara Pihak Tergugat mengajukan  eksepsi dalam surat jawabannya yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berwenang dalam memeriksa dan memutus perkara gugatan wanprestasi dikarenakan adanya kalusula Arbitrase didalam akta perjanjian. Pengakuan ini menjadi pertimbangan majelis Hakim dalam memutus perkara ini. Terbukti didalam putusannya Majelis Hakim mengabulkan eksepsi yang diajukan pihak Tergugat didalam jawabannya.
B.  Saran
1.    Perlunya ketelitian dan keseriusan bagi pihak yang merasa dirugikan apakah didalam akta perjanjian yang telah disepakati bersama terdapat klausula tentang penyelesaian sengketa mealuli arbitrase ketika terjadi perselisihan antara para pihak, agar tidak terjadi kesalahan pengajuan gugatan ke Pengadilan terkait kewenangan absolut dari lembaga peradilan.
2.    Sebaiknya Pengadilan Negeri tetap berwenang memeriksa perkara perdata mengenai wanprsetasi yang didalam perjanjian terdapat kalusula penyelesaian secara Arbitrase, karena jika tidak ada klausul penyelesaian arbitrase didalam perjanjian maka perkara perdata mengenai wanprestasi ini merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Hal ini dinilai dapat merugikan pihak Penggugat dari segi uang, tenaga, waktu dan pikiran saja. Apalagi tujuan penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri adalah karena jalur mediasi tidak menemui titik kesepakatan, maka pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri agar hak nya yang tidak terpenuhi dapat dipenuhi kembali oleh Pihak Tergugat.


DAFTAR PUSTAKA
A.  Buku
Abdurrasyid,   H.   Priyatna, Arbitrasedan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneka, Jakarta , 2001.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
ABD Thalib, Arbitrase dan Hukum Bisnis, UIR Press, Pekanbaru, 2005.
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata Dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, Kencana, Jakarta, 2011.
Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata, Nuansa Alia, Bandung, 2011.
Eman Suparman, Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan, Fikahati Aneska, Bandung, 2012.
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS. Pengadilan –Persoalan Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai, Prenada Media, Jakarta, 2008.
Heni Mono, Praktek Berperkara Perdata, Banyu Media, Malang, 2007.
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, PT. Grafitri Budi Utami, Bandung, 2008.
M. Khoidin, Hukum Arbitrase Bidang Perdata , CV Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2011.
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet Ke V, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
M. Yahya Harahap dan Munir Fuadi, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Neng Yani Nurhayani, Hukum Acara Perdata, Pustaka Setia, Bandung, 2015.
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Fikahati Aneska, Jakarta, 2011.
Retnowulan Sutantio dan Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,  Bandung,  2007.
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata ( Tata Cara dan Proses Persidangan ), edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984.
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Soejono Soekanto. Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Cet-8, 2004.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006.
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase, Prenada Media Group (kencana),  Jakarta,  2015.
Syafrinaldi, Buku Panduan Penulisan  Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Uir press, Pekanbaru, 2013.
Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, BPHN- KEMENKUMHAM RI,Jakarta, 2010.
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta,2015.
B.  Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1974 Tentang Peradilan Ulangan Untuk Jawa Dan Madura.
Undang-undang No. 4 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
C.  Internet
Http://serenityyuria.blogspot.co.id/2012/01/pengertian-eksepsi-menurut-para-ahli.html?m=1 , Diakses pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 13.26 WIB.
Http://edefinisi.com/tag/pengertian-tinjauan, diaksespadatanggal 20 november 2015 Pukul 13.20 Wib.
Http://www.tugassekolah.com/2016/01/pengertian-dan-peranan-lembaga-peradilan.html,diakses padatanggal 20 november 2015 pukul 13.33 Wib.




[1]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, 2013, hlm. 179.
[2]Ibid, hlm. 179
[3]Ibid, Hal. 180
[4]Putusan Sela No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR.hlm. 12-14.
[5]Putusan Sela No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR.hlm. 36.
[6]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm. 81.
[7]Ibid, hlm. 107.
[8]R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata ( Tata Cara dan Proses Persidangan ), edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 8.
[9]Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1974 Tentang Peradilan Ulangan Untuk Jawa Dan Madura
[10]Ibid, hlm. 9.
[11]R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 48.
[12]Diakses dari http://serenityyuria.blogspot.co.id/2012/01/pengertian-eksepsi-menurut-para-ahli.html?m=1 , pada tanggal 28 desember 2015 pukul 13.26
[13]Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata Dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 54.
[14]Ibid, hlm. 55.
[15] Retnowulan Sutantio dan Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,  Bandung,  2007, hlm. 79.
[16]Sudikno Mertokusumo, Op. CIt, hlm. 123.
[17]ABD.Thalib, Arbitrase dan hukum bisnis, UIR Press, Pekanbaru, 2005, hlm. 5.
[18]Ibid., hlm. 4.
[19]Ibid, hlm. 5.
[20]Ibid,, hlm. 6.
[21]Abdurrasyid,   H.   Priyatna, Arbitrase   dan   Alternatif   Penyelesaian   Sengketa, PT. Fikahati Aneka, Jakarta , 2001, hlm 17.
[22] Diakses Dari http://mhunja.blogspot.co.id/2012/03/arbitrase-pengertian-keunggulan-dan.html , Pada Tanggal 28 Desember 2015 pukul 15.14.
[23]Ibid,, hlm 23.
[24] Internet http://edefinisi.com/tag/pengertian-tinjauan, diakses pada tanggal 20 november 2015 Pukul 13.20 Wib.
[25] Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta,2015, hlm. 84.
[26]Internet http://www.tugassekolah.com/2016/01/pengertian-dan-peranan-lembaga-peradilan.html, diakses pada tanggal 20 november 2015 pukul 13.33 Wib.
[27]Soejono Soekanto. Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Cet-8, 2004, hlm 13.
[28]M. Yahya Harahap dalam Munir Fuadi, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 889
[29]Ibid, hlm 179-180
[30]Bambang Sugeng A.S Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi, Kencana, jakarta, 2012, hlm. 18
[31]M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 182
[32]Bambang Sugeng A.S Sujayadi, Op.Cit, hlm 19
[33]Ibid, hlm. 192
[34]Ibid, hlm. 192
[35]Ibid, hlm. 195
[36]Ibid, hlm. 202
[37]Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa(APS), Fikahati Aneska, Jakarta, 2011, hlm. 78.
[38]M. Khoidin, Hukum Arbitrase Bidang Perdata , CV Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2011, hlm. 7-8
[39]Priyatna Abdurrasyid, Op. cit., hlm 89.
[40]Ibid, hlm 8
[41]Ibid, hlm. 8
[42]Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS. Pengadilan –Persoalan Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai, Prenada Media, Jakarta,  hlm.188.
[43]Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI, 2010), hlm.20
[44]Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia PustakaUtama, Jakarta, 2006, hlm. 25.
[45]M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 11
[46]Gatot Soemartono,  Op.Cit, hlm 3.
[47]Ibid., hlm. 4.
[48]Eman Suparman, Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan, Fikahati Aneska, Bandung, 2012, hlm 68.
[49]Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, PT. Grafitri Budi Utami, Bandung, 2008, hlm. 78
[50]ABD Thalib, Op. Cit, hlm. 5
[51] Ibid, hlm. 4
[52] Putusan Sela No. 177/PDT.G/2014/PN.PBR.
[53] Neng Yani Nurhayani, Hukum Acara Perdata, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm 163.
[54]Bambang Sugeng A.S Sujayadi, Op. Cit, hlm. 18
[55] Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 38
[56] Heni Mono, Praktek Berperkara Perdata, Banyu Media, Malang, 2007, hlm. 137.
[57] Ibid, hlm 138.
[58] Ibid, hlm. 139.
[59] Neng Yani Nurhayani, Op. Cit, hlm 98.
[60] M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,  hlm. 38.
[61] Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata, Nuansa Alia, Bandung, 2011, hlm. 78.
[62] Lihat Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
[63] Djamanat Samosir, Op. Cit, hlm. 72.
[64] Ibid, hlm. 88.
[65] Lihat Pasal 1 Angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999  Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[66] Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase, Prenada Media Group (kencana),  Jakarta,  2015, hlm. 113.
[67] Wawancara dengan Tati Nengsih, Oktalinda, Hamler, Notaris/PPAT Pekanbaru, pada hari kamis tanggal 02 mei 2016.
[68]Bambang As Sujayadi, Op. Cit,  hlm. 14.
[69]Ibid, hlm. 23
[70] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 177.
[71] Moh. Taufik Makarao, Op. Cit, hlm. 124.
[72] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet Ke V, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 140
[73] Ibid, hlm. 142.
[74] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm . 96.
[75] Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 197.
[76] Lihat Pasal 25 ayat (1) Undang-undang  No. 4 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[77] Neng Yani Nurhayani, Op. Cit, hlm. 58.
[78] Lihat Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata

1 komentar:

  1. Saya tidak dapat cukup berterima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana telah membantu saya mengembalikan kegembiraan dan ketenangan dalam perkahwinan saya setelah banyak masalah yang hampir menyebabkan perceraian, alhamdulillah saya bermaksud Dr EKPEN TEMPLE pada waktu yang tepat. Hari ini saya dapat mengatakan kepada anda bahawa Dr EKPEN TEMPLE adalah jalan keluar untuk masalah itu dalam perkahwinan dan hubungan anda. Hubungi dia di (ekpentemple@gmail.com)

    BalasHapus