BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Perlindungan Hak–Hak
Konsumen Atas Pelanggaran-Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha Melalui
Media Internet
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki
dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum
yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh
optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi.
Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan
erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Perlindungan hukum bagi konsumen dilandasi
dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang pada alinea keempat seperti yang
telah dijelaskan di atas.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
a. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1),
Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
b. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang “Perlindungan Konsumen”
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3821.
c. Undang Undang No. 5 tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat”.
d. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 tentang “Arbritase dan Alternatif
Penyelesian Sengketa”.
e. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang “Pembinaan Pengawasan
dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”.
f. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
tentang “Penangan Pengaduan Konsumen” yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota.
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang “Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen”.
Dalam
penelitian ini, yang akan dibahas hanya mengenai perlindungan hak konsumen yang
terabaikan akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui media
internet terkait UU No. 8 Tahun 1999, sebagaimana yang telah ditetapkan di
dalam judul skripsi ini.
Dalam hal
mengenai sengketa konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan dalam lima tahun terakhir potensi
tindak pidana yang merugikan konsumen
cukup tinggi. Banyak kasus di mana konsumen sering mengalami kerugian
baik secara materi maupun in-materi. Setidaknya, ada beberapa jenis pelanggaran
yang sering dialami oleh konsumen yang masuk kategori sengketa antara konsumen
dan pelaku usaha yang mana hal seperti ini terjadi, harus di selesaikan oleh
pihak BPSK setempat.
Dalam
konteks penelitian ini, dimana tema perlindungan terhadap hak konsumen menjadi
fokus kajian utama, maka ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang No 8 Tahun 1999 tetap menjadi
acuan utama. Pemberlakuan aturan seperti ini, memang sebuah manifestasi terserapnya
berbagai aspirasi yang memperjuangkan nasib konsumen. Namun demikian, hal tersebut
tidak memberikan jaminan keberhasilan di dalam pelaksanaannya. Di dalam Undang–Undang
ini, yaitu pada pasal 8 ayat (1) juga telah memuat aturan-aturan yang dapat melindungi konsumen
dari berbagai pelanggaran pelaku usaha.
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen,
dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa
mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa
konsumen (BPSK). Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam
soal pengaturan perlindungan konsumen.
Dalam
hal ini, banyak hak-hak konsumen yang sering dilanggar atau tidak terpenuhi
akibat perlakuan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Seperti beberapa hal
yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Para pelaku usaha lebih
menggunakan kecanggihan teknologi untuk dapat mengelabuhi para calon konsumen,
sehingga hak-hak konsumen yang sewajarnya tidak dapat terpenuhi.
Seperti jual beli suatu barang
dan/atau jasa melalui media internet. Bentuk perlakuan yang seperti ini, sering
kali terjadi dan kebanyakan diantaranya hanya pihak konsumen
yang selalu dirugikan.
Penjualan suatu barang dan/atau jasa
melalui media internet ini (sering dikatakan dengan sebutan online shop), memang banyak diminati
oleh berbagai kalangan di masa kini. Yang mana para calon konsumen yang akan
memesan atau membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang di tawarkan oleh
pelaku usaha, tidak akan bertemu langsung, hanya
mengirimkan sejumlah uang yang telah ditetapkan melalui mesin ATM untuk
mendapatkan barang dan/atau jasa yang di tawarkan oleh pelaku usaha tersebut . Cara
seperti ini memang terasa lebih efisien dan praktis. Tetapi kalau dilihat dari
suatu sisi, cara seperti ini akan terlihat lebih mengacuh ke arah perselisihan.
Seperti sengketa yang akan muncul antara pihak pelaku usaha dan pihak calon
konsumen atau konsumen.
Seperti yang
terlihat dan terdengar sebelumnya, banyak sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha yang terjadi dalam transaksi jual beli barang dan/atau jasa melalui
situs-situs diinternet. Hal tersebut, seperti
layaknya yang telah diatur di dalam perundang-undangan di Indonesia,
bahwa pihak BPSK lah yang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan kasus
tersebut. Karena, dalam kasus seperti ini tidak dapat dikaitkan dengan kasus
pidana lainnya seperti penipuan ataupun penggelapan.
Maka karena itu,
setiap pihak yang merasa haknya terabaikan atau merasa dirugikan (baik konsumen
ataupun pelaku usaha), harusnya melaporkan hal seperti ini kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah
adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum
itu meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum untuk memberdayakan konsumen
memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya
serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku
pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Faktor
utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan
haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan. Konsumen dimaksudkan
menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya
pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha
yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang
semaksimal mungkin dengan modal
seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas
dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen
melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen
secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di
masyarakat.
Berdasarkan
hasil dari penelitian yang dilakukan, maka pada umumnya jual beli melalui media
internet (e-commerce) sama dengan
jual beli tradisional, hanya saja perbedaan yang terdapat antara keduanya
adalah dalam transaksi jual beli melalui media internet (e-commerce) memerlukan media internet untuk mempertemukan konsumen
dengan pelaku usaha. Sedangkan dalam jual beli tradisional, antara pelaku usaha
dengan konsumen bertemu secara fisik tanpa adanya pihak ketiga atau media
tertentu.
Setelah
mendengar berbagai hal yang dipaparkan di atas, kita akan langsung membahas
masalah mengenai perlindungan hak konsumen yang terjadi di Kota Pekanbaru. Berdasarkan
contoh kasus yang di ambil dalam penulisan skripsi ini, bahwa masih banyaknya
konsumen-konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha melalui media internet di
Kota Pekanbaru. Dalam kasus ini, penulis mengambil data dengan melakukan
penelitian terhadap obyek yang telah ditentukan. Yang mana obyek penelitian ini
berlokasi di Kota Pekanbaru dan ditujukan langsung kepada 2 (dua) orang pihak
konsumen dengan kasus yang sama pernah melaporkan kepada pihak BPSK Kota
Pekanbaru. 2 (dua) orang tersebut bernama Rudi Yolanda dan Anjas, yaitu warga
Kota Pekanbaru. Karena ada dua konsumen yang dimintai keterangan, maka dalam
penulisan skripsi ini akan di jelaskan secara rinci menurut keterangan dari
hasil wawancara masing-masingnya.
Dalam
wawancara pertama yang dilakukan, yaitu terhadap konsumen yang bernama Rudi
Yolanda. Keterangan yang dapat diperoleh antara lain sebagai berikut:
a.
Berawal dari membuka situs di internet yang berisikan
penawaran satu produk telfon genggam yang ditempelkan pada dinding salah satu web oleh pelaku usaha.
b.
Adanya negosiasi melalui telefon antara penjual dan
calon pembeli mengenai barang yang akan diperdagangkan.
c.
Setelah adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli
atas barang tersebut, maka pembeli harus terlebih dahulu mengirimkan uang
kepada penjual dengan harga yang telah ditentukan melalui transfer bank.
d.
Apabila uang tersebut telah sampai atau telah diterima
oleh penjual, maka pembeli harus mengkonfirmasikan terlebih dahulu alamat yang
akan dituju.
e.
Setelah semuanya berjalan dengan lancar, maka langkah
selanjutnya penjual akan mengirimkan barang tersebut.
Berdasarkan
keterangan di atas, dapat diketahui bahwa cara penawaran seperti itu ialah
tahap yang paling utama dilakukan oleh penjual (pelaku usaha) dalam transaksi (e-commerce). Biasanya, dalam hal
penawaran seperti ini, penjual terlebih dahulu telah menjelaskan aturan-aturan
yang dibuat secara sepihak dan menjelaskan spesifikasi barang-barang yang akan
dijual kepada pembeli.Tetapi, seperti yang di alami oleh Rudi Yolanda
(konsumen), tidak sesuai dengan semua yang telah disepakatinya terlebih dahulu.
Yang mana barang yang dibeli olehnya, sampai dalam keadaan yang rusak.
Melihat kejadian seperti ini, Rudi Yolanda
sebagai pihak konsumen (pembeli) merasa haknya terabaikan oleh pelaku usaha
(penjual). Oleh karena itu, kejadian ini langsung dilaporkan kepada pihak BPSK
sebagai pejabat yang berwenang atas kasus tersebut.
Setelah melaporkan kejadian
tersebut, Rudi Yolanda tidak merasa puas. Karena, jawaban yang dia dapat hanya
sebatas penindak lanjutan atas kejadian yang dialaminya.
Seharusnya pihak BPSK melakukan
penyelidikan khusus terhadap kasus yang dilaporkan oleh Rudi Yolanda. Karena
seperti yang kita harapkan, bahwa pihak pemerintah harus turut serta mencampuri
atau ikut bertanggungjawab atas terabaikannya hak konsumen yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Sama akan halnya yang tercantum pada pasal 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen.
Dalam kasus ini, konsumen yang
bernama Rudi Yolanda sangat kecewa dengan hasil kebijakan dari beberapa pihak
yang semestinya ikut serta untuk mempertanggungjawabkan hal tersebut. Seperti
beberapa poin dari hasil wawancara, dimana menurut keterangannya sendiri bahwa
dalam kasus ini dia mutlak merasa haknya sangat terabaikan oleh akibat pelaku
usaha. Walaupun semua kejadian tersebut berawal dari kemauannya sendiri tanpa
ada desakan atau paksaan dari pihak lain, tetapi tetap saja pihak-pihak terkait
harus ikut mempertanggungjawabkannya.
Dapat dilihat dari Undang –Undang
Perlindungan Konsumen khususnya pasal 4
yang mengatur tentang hak-hak konsumen, yang mana dari beberapa poin tersebut telah
dijelaskan tentang apa saja yang menjadi hak konsumen dan yang harus dipenuhi.
Seperti halnya untuk mendapatkan pelayanan yang benar dan tidak deskriminatif,
hak untuk memilih dan untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan nilai yang
diperjanjikan, dan pengganti rugian kepada pihak konsumen yang dirugikan
tersebut.
Yang dimaksud dengan hak-hak
tersebut, antara lain ialah:
a.
Hak untuk mendapatkan pelayanan yang
benar dan tidak deskriminatif, konsumen yang akan membeli harus diberikan
penjelasan oleh pelaku usaha yang menawarkan barangnya tersebut. Pelaku
usahapun tidak diperbolehkan untuk mengabaikan konsumennya dalam hal yang
dipertanyakannya mengenai barang yang akan diperjual belikan tersebut.
b.
Hak untuk memilih dan untuk
mendapatkan barang, konsumen berhak memilih apapun yang ditawarkan oleh pelaku
usaha atas produk-produk tersebut. Setelah konsumen memilih, konsumen pun
berhak untuk mendapatkan barang tersebut sesuai dengan nilai yang
diperjanjikan.
c.
Hak untuk mendapatkan ganti rugi,
konsumen berhak untuk mendapatkan dana kompensasi ataupun ganti rugi apabila
seandainya barang tersebut tidak sampai atau terjadi kerusakan kepadanya.
Selanjutnya wawancara ditujukan
kepada pihak konsumen yang bernama Anjas. Anjas adalah seorang konsumen yang
mengalami kejadian yang sama. Yang mana Anjas merasa haknya tidak terpenuhi
sebagai konsumen.
Berikut adalah keterangan hasil
wawancara:
a.
Berawal dari mendengar mulut ke
mulut. Lalu calon pembeli langsung membuka sebuah situs yang sama dengan yang
dibuka oleh Rudi Yolanda.
b.
Kemudian terlihat bahwa memang benar
adanya penawaran-penawaran produk telfon genggam yang ditwarkan jauh lebih
murah dari pasaran.
c.
Lalu menghubungi nomor yang tertera
didalam situs tersebut dan melakukan negosiasi dengan penjual.
d.
Setelah melakukan negosiasi, pembeli
langsung mengirimkan sejumlah uang melalui transfer terdekat dan
mengkonfirmasikan alamat yang akan dituju.
e.
Setelah semuanya selesai, maka
penjual hanya menunggu barang yang dibeli tersebut datang.
Atas
kejadian ini, Anjas selaku konsumen yang merasa haknya terabaikan, juga
melaporkan hal tersebut kepada BPSK. Menurut hasil yang diperoleh dari pihak
konsumen “bahwa pihak BPSK sendiri belum bisa menerapkan hal tersebut seperti
yang diatur didalam Undang-Undang”.
Setelah mendapatkan hasil wawancara
dari 2 (dua) pihak konsumen yang dirugikan atas kasus yang sama, maka hal
tersebut baru dapat dijelaskan menurut teori-teori hukum yang telah dimuat di
atas.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 “Tentang Hukum, tepatnya pada huruf a,b,c,e,dan h yang berbunyi;
1.
Pada huruf a mengatakan bahwa
konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
Pada huruf b mengatakan bahwa konsumen mempunyai hak
untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
Pada huruf c mengatakan bahwa
konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.
Pada huruf e mengatakan bahwa
konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; dan
5.
Pada huruf h mengatakan bahwa
konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Melihat dari beberapa poin yang
dipaparkan diatas, maka ini harus diterapkan kepada semua masyarakat Indonesia
yang menjadi konsumen dalam transaksi jual beli suatu produk barang dan/atau
jasa.
Jika
konsumen yang dirugikan tersebut dapat memperoleh segala hak-haknya seperti
yang tertera didalam Undang-Undang yang mengaturnya, para pelaku usaha seperti
ini tidak akan mengulangi kejadian-kejadian yang serupa.
Kerugian
yang dialami oleh konsumen, sangat banyak teradi dalam kegiatan jual beli
melalui media internet saat ini.maka karena itu konsumen harus lebih
berhati-hati dalam melakukan transaksi pembelian suatu produk barang yang
ditawarkan oleh pelaku usaha dalam bisnis e-commerce.
Dengan banyaknya kejadian-kejadian
yang terjadi yang dapat merugikan pihak pembeli (konsumen), dan banyaknya
aturan perundang-undangan yang tidak dapat di terapkan, maka dapat di analisa
bahwa penegakan hukum yang sangat lemah harus di tingkatkan lagi.
Seperti yang terjadi didalam
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, semua pihak pemerintah yang terkait
didalamnya, khususnya BPSK, harus menegakkan hukum yang sesuai untuk melindungi
para konsumen yang haknya terabaikan akibat kecurangan yang dilakukan oleh
pelaku usaha.
Dari dua kasus yang diteliti ini,
dapat kita lihat bahwa pengembalian hak-hak para konsumen yang dirugikan tidak
pernah tercapai dan terlaksanakn secara maksimal baik dari pelaku usaha sendiri
maupun dari instansi terkait yang berwenang menangi kasus sengketa tersebut.
Harusnya, pihak dari pemerintah
harus memberikan beberapa pendidikan khusus kepada semua masyarakat Indonesia
khususnya Kota Pekanbaru tentang apa dan bagaimana cara bertransaksi yang aman
sehingga tidak dapat menimbulkan kerugian kepada pihak-pihak tertentu. Dengan
adanya hal demikian maka kejadian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
akan berkurang sehingga semua orang dapat melakukan transaksi jual beli barang
dengan aman dan nyaman.
B.
Penerapan
Sanksi Hukum Atas Pelanggaran-Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha
Terhadap Konsumen Melalui Media Internet
Banyaknya
pelaku usaha yang menggunakan internet sebagai media untuk produk barang
dan/atau jasa yang akan dijualnya, maka tidak akan menutup kemungkinan bagi
para calon konsumen ikut bergabung dan mengikuti di dalamnya. Cara-cara seperti
ini yang sering menjadi masalah di dalam dunia bisnis e-commerce.
Seperti
masalah pertama yang telah dibahas dalam penulisan skripsi ini. Banyaknya
hak-hak konsumen yang sering terabaikan akibat kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh pelaku usaha.
Transaksi jual beli melalui media internet yang sering
terjadi sekarang ini, tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hukum yang akan dilakukan oleh pelaku usaha.
Di
dalam hal ini, BPSK mempunyai peran penting untuk melakukan investivigasi
khusus yang selayaknya. Menurut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
“Tentang Hukum Perlindungan Konsumen” bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh
pelaku usaha di dalam transaksi jual beli barang yang mengakibatkan kerugian
terhadap konsumen yaitu harus diberikan sanksi administratif. Sanksi ini hanya
dapat diberikan oleh penjabat yang berwenang (BPSK) kepada yang melakukannya.
Seperti
kasus yang di alami oleh seorang konsumen di jakarta pusat pada tahun lalu.
Yang mana konsumen tersebut melaporkan kejadian ini ke pihak BPSK setempat.
Kasus yang di alami konsumen tersebut yaitu ketidak puasan atas pernyataan yang
di keluarkan oleh pelaku usaha untuk suatu produk barang yang dijualnya.
Di
dalam kasus ini, pihak BPSK dapat langsung menindak lanjuti. Pihak BPSK sendiri
setelah mendapat pengaduan dari konsumen tersebut, langsung melakukan
investigasi khusus dengan meminta bantuan dari pihak kepolisian dan
melanjutkannya ke pihak Pengadilan Negeri setempat.
Dengan
bantuan pihak-pihak terkait, pihak konsumen merasa puas atas hukuman yang
berupa sanksi administrasi yang dijatuhkan Hakim Pengadilan kepada pelaku
usaha. Yang mana di dalam putusan tersebut, sanksi administrasi yang diberikan
berupa penggantian atau pengembalian uang dari pelaku usaha kepada konsumen
yang merasa dirugikan haknya baik secara materi maupun in-materi.
Akan
tetapi, menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya,
bahwa banyaknya kasus yang sama tentang pengaduan dari konsumen yang mendapat
kerugian akibat kecurangan dari para penjual belum dapat di tindak lanjuti
karena keterbatasan dari alat bukti yang ada.
Dalam
penulisan skripsi ini, obyek penelitian juga ditujukan kepada pihak BPSK Kota
Pekanbaru. Hal ini dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara jelas
tindakan seperti apa yang dilakukan oleh pihak terkait untuk menjerat para
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut.
Berikut adalah hasil dari penelitian melalui
wawancara langsung dari pihak BPSK Kota Pekanbaru:
a) Berawal
dari pengaduan salah seorang konsumen yang merasa haknya tidak terpenuhi akibat
kecuran yang dilakukan penjual di media internet.
b) Banyaknya
kerugian baik secara materi maupun in-materi yang di alami oleh pembeli
(konsumen).
c) Penegakan
hukum seperti ini sangat sulit untuk di terapkan, karena tidak dapat
terpenuhinya bukti-bukti yang akan menguatkan sanksi terhadap pelaku.
d) Banyak
konsumen yang tidak puas dengan kinerja dari BPSK terhadap penerapan atau
penindak lanjutan kasus ini.
Setelah
mendapat hasil dari wawancara di atas, pihak BPSKpun tidak berarti lepas dari
tanggungjawab atas jabatannya sebagai pelayanan penerimaan pengaduan sengketa
konsumen. Pihak BPSK akan terus melanjutkan penyelidikan atas kasus yang di
alami 2 (dua) orang konsumen tersebut.
Tetapi,
belum dapat di pastikan sanksi apa yang akan diberikan kepada oleh pihak BPSK
terhadap pelaku usaha yang telah merugikan mereka. Karena banyak kendala atau
kejanggalan yang belum bisa dibuktikan oleh konsumen kepada pihak BPSK.
Apabila diperhatikan dengan lebih
seksama, hak–hak konsumen sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang
hanya diatur sebatas pada aktivitas perdagangan yang sifatnya konvensional. Disamping itu perlindungannyapun
hanya difokuskan pada sisi konsumen dan produk (barang/jasa) yang diperdagangkan,
sedangkan perlindungan dari sisi pelaku usaha, seperti informasi tentang
identitas dan alamat/tempat bisnis pelaku usaha (baik kantor utama maupun kantor
cabangnya) serta jaminan kemanan dalam bertransaksi seperti keamanan data
pribadi dan nomor kartu kredit belum diatur dalam undang–undang ini.
Sedangkan
hal tersebut sangat penting untuk diatur dalam rangka melindungi konsumen dalam
bertransaksi e-commerce. Cara mengatasi undang–undang perlindungan yang kurang
akomodatif ini adalah pemerintah segera membuat aturan perundang-undangan yang
mengatur perlindungan konsumen yang bertransaksi menggunakan e-commerce,
karena e-commerce kedepannya akan berkembang pesat.
Sementara di dalam aturan perUndang-Undangan,
BPSK mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada setiap pelaku
usaha. Dapat dilihat dari pasal 60 yang mengatur tentang sanksi-sanksi
administratif yang berbunyi:
a) Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi kepada setiap
pelaku usaha yang menyalhi aturan-aturan yang telah ditentukan.
b) Sanksi
tersebut berupa penetapan ganti rugi kepada pihak konsumen, yang mana jumlahna
telah ditentukan.
c) Tata
cara penetapan sanksi tersebut, untuk lebih lanjut yang diatur dalam preraturan
perundang-undangan
Pengaturan kewenangan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) untuk menjatuhkan sanksi administratif sesungguhnya
bermasalah. Selama ini pemahaman terhadap sanksi administratif tertuju pada
sanksi pencabutan izin usaha atau sejenisnya. Melalui pemahaman ini, praktik di
lingkungan peradilan umum dalam hal menmukan adanya pelanggran yang memerlukan
dijatuhkannya sanksi administratif kepada si pelaku, maka dalam putusannya
memerintahkan instansi penerbit izin usaha untuk melakukan pencabutan izin
tersebut terhadap pelaku usaha.
Dari hasil penelitian yang dilakukan,
pihak BPSK tidak secara maksimal melakukan upaya pencarian alamat pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran terhadap 2 orang konsumen di kota Pekanbaru
tersebut. Seharusnya, ketika adanya pengaduan dari pihak konsumen, pihak BPSK
pun harus langsung melakukan tindakan pencarian terhadap pelaku usaha tersebut.
Untuk hal ini, pihak BPSK masih berharap
banyak kepada pihak konsumen yang mengalami kejadian tersebut untuk memberikan
bukti-bukti yang lebih jelas dan juga instansi-intansi lain yang terkait untuk
membantu proses penyelidikan terhadap pelaku usaha yang melakukan kecurangan
tersebut.
Setelah melakukan penyelidikan dengan
kurun waktu beberapa bulan, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut
tidak dapat ditemukan dikarenakan batasan-batasan seperti waktu, tempat, dan
juga alat-alat bukti yang tidak kongkrit.
Mendengar keterangan di atas, dapat
dikatakan bahwa hukum yang telah ditetapkan tidak dapat diterapkan secara
maksimal oleh pihak yang berwenang atas kecurangan yang dilakukan oleh pelaku
usaha.Harusnya kejadian seperti ini pihak BPSK harus lebih memantau atau
melakukan sistem pelacakan secara khusus terhadap pelaku-pelaku usaha yang
menawarkan barang jualannya di media internet seperti, pelacakan nomor telepon
dan pelacakan alamat rekening yang disediakannya.
Meskipun demikian, konsumen harus lebih
berhati-hati untuk melakukan transaksi jual beli barang melalui media online. Karena tidak semua situs yang
dapat dipercaya. Dengan hal seperti ini yang terjadi, bukan berarti para calon
konsumen yang selalu menggunakan internet sebagai media transaksi pembelian
barang harus berhenti membeli suatu produk-produk barang melalui internet
tersebut.
Berikut beberapa faktor yang
mengakibatkan banyaknya pelaku usaha yang masih bisa melakukan pelanggaran
hukum melalui media online:
1. Tidak
adanya penyelidikan yang dilakukan oleh
pihak BPSK terhadap pelaku usaha online yang
melakukan pelanggaran untuk menindak lanjuti kasus yang alami oleh konsumen.
2. Tidak
adanya ketegasan dari pihak BPSK atas wewenangnya untuk menjatuhkan hukuman
yang berupa sanksi administratif kepada para pelaku usaha online yang melakukan pelanggaran hukum tersebut.
3. Kurangnya
kerjasama antara instansi-intansi yang ada, terutama instansi di kota yang
berbeda, yang mengakibatkan pelaku usaha online
lebih mudah untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum seperti:
·
Kerjasama antara pihak
kepolisian baik di dalam kota maupun di luar kota dengan pihak BPSK yang
mendapatkan pengaduan dari konsumen. Sehingga pengaduan-pengaduan yang ada,
tidak dapat di tindak lanjuti. Dan pelaku usahapun masih bisa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian terhadap
konsumen.
·
Kerjasama seperti
komunikasi yang lancar dari pihak konsumen maupun pelaku usaha dengan pihak
BPSK setempat.
Setelah melihat dari semuanya, didalam
penelitian ini memang tidak ditemukannya penegakan hukum yang tegas terhadap
pelaku. Akan tetapi, bukan berarti pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
seperti ini terlepas dari sanksi-sanksi hukum yang ada. Hanya saja keterbatasan
oleh beberapa faktor yang tidak mendukung pihak-pihak terkait untuk menghentikan
perbuatan pelaku usaha tersebut.
Acmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris tehadap Hukum,
Yarsif Watampon, Jakarta, 1998, hlm.191