Jumat, 06 November 2015

PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN ATAS PELANGGARAN-PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU USAHA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI BARANG MELALUI MEDIA INTERNET TERKAIT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 BAB IV

BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan tentang “Perlindungan Terhadap Konsumen Atas Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Barang Melalui Media Internet Terkait Dengan Undang-Undang N0mor 8 Tahun 1999” sebagai berikut:
1)      Perlindungan terhadap hak-hak konsumen atas pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam transaksi jual beli barang melalui media internet tidak terpenuhi. Dalam penelitian yang dilakukan penulis terhadap 2 orang konsumen di kota Pekanbaru, tidak terdapat perlindungan terhadap konsumen yang merasa haknya terabaikan oleh pelaku usaha melalui media internet. Seperti yang diketahui, bahwa semua hak konsumen akan dapat terlindungi dan terpenuhi apabila pelaku usaha di dalam media online tidak melakukan pelanggaran atas kewajibannya. Oleh karena itu perlindungan hak terhadap konsumen itu sendiri akan terpenuhi apabila pelaku usaha yang menawarkan produknya tersebut dapat memenuhi segala kewajibannya terhadap konsumen di dalam transaksi jual beli barang dalam media online.
2)      Penerapan sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen melalui media internet tidak dapat terlaksana di kota pekanbaru. Seperti kasus yang telah dibahas dalam penelitian ini, bahwa banyaknya faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi pihak BPSK untuk menindak lanjuti pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha online tersebut. Faktor-faktor tersebut juga membuat para pelaku usaha masih banyak dan bisa secara mudah untuk mengulangi perbuatannya.
B.     SARAN
           Adapun kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini, maka  dalam penulisan skripsi ini saya sebagai penulis dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1)      Dengan tidak terlaksananya aturan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang apa saja yang menjadi perlindungan terhadap hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha yang melakukan pelanggaran didalam media online yang terjadi di kota Pekanbaru, harusnya setiap konsumen (pembeli) lebih berhati-hati untuk melakukan transaksi melalui media internet. Dalam hal ini pihak konsumen juga harus lebih melakukan pendekatan dengan pihak produsen (pelaku usaha) yang melakukan penawaran melalui media internet. Serta konsumen juga harus lebih berhati-hati untuk melakukan perjanjian dalam transaksi pembelian barang melalui media internet.
2)      Agar sanski-sanksi terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran melalui media online yang telah ditetapkan Undang-Undang dapat terlaksana dengan baik, maka pihak BPSK harus lebih tegas dalam menjalankan aturan yang berlaku. Apabila sanksi-sanksi yang telah ditetapkan dalam UU PK dapat dijatuhkan kepada para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran melalui media internet, maka para pelaku usaha tersebut tidak akan akan dengan mudah dapat mengulangi perbuatannya terhadap konsumen. Sanksi yang telah ditetapkan itu, berupa sanksi administratif seperti; penyegelan resmi dari pihak BPSK dan juga penggantian dana terhadap konsumen yang dirugikannya.

PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN ATAS PELANGGARAN-PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU USAHA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI BARANG MELALUI MEDIA INTERNET TERKAIT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 BAB III



BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A.    Perlindungan Hak–Hak Konsumen Atas Pelanggaran-Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha Melalui Media Internet
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa.   Perlindungan hukum bagi konsumen dilandasi dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang pada alinea keempat seperti yang telah dijelaskan di atas.[1]
            Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:[2]
a.       Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
b.      Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang “Perlindungan Konsumen” (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
c.       Undang Undang No. 5 tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat”.
d.      Undang Undang No. 30 Tahun 1999 tentang “Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa”.
e.       Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang “Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”.
f.       Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 tentang “Penangan Pengaduan Konsumen” yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
g.      Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang “Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen”.
Dalam penelitian ini, yang akan dibahas hanya mengenai perlindungan hak konsumen yang terabaikan akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui media internet terkait UU No. 8 Tahun 1999, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam judul skripsi ini.
Dalam hal mengenai sengketa konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)  menyatakan dalam lima tahun terakhir potensi tindak pidana yang merugikan konsumen  cukup tinggi. Banyak kasus di mana konsumen sering mengalami kerugian baik secara materi maupun in-materi. Setidaknya, ada beberapa jenis pelanggaran yang sering dialami oleh konsumen yang masuk kategori sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang mana hal seperti ini terjadi, harus di selesaikan oleh pihak BPSK setempat.
Dalam konteks penelitian ini, dimana tema perlindungan terhadap hak konsumen menjadi fokus kajian utama,  maka ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang No 8 Tahun 1999 tetap menjadi acuan utama. Pemberlakuan aturan seperti ini, memang sebuah manifestasi terserapnya berbagai aspirasi yang memperjuangkan nasib konsumen. Namun demikian, hal tersebut tidak memberikan jaminan keberhasilan di dalam pelaksanaannya. Di dalam Undang–Undang ini, yaitu pada pasal 8 ayat (1) juga telah memuat  aturan-aturan yang dapat melindungi konsumen dari berbagai pelanggaran pelaku usaha.[3]
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK). Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen.
Dalam hal ini, banyak hak-hak konsumen yang sering dilanggar atau tidak terpenuhi akibat perlakuan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Seperti beberapa hal yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Para pelaku usaha lebih menggunakan kecanggihan teknologi untuk dapat mengelabuhi para calon konsumen, sehingga hak-hak konsumen yang sewajarnya tidak dapat terpenuhi.
Seperti jual beli suatu barang dan/atau jasa melalui media internet. Bentuk perlakuan yang seperti ini, sering kali terjadi dan kebanyakan diantaranya hanya pihak konsumen yang selalu dirugikan.
Penjualan suatu barang dan/atau jasa melalui media internet ini (sering dikatakan dengan sebutan online shop), memang banyak diminati oleh berbagai kalangan di masa kini. Yang mana para calon konsumen yang akan memesan atau membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang di tawarkan oleh pelaku usaha, tidak akan bertemu langsung, hanya mengirimkan sejumlah uang yang telah ditetapkan melalui mesin ATM untuk mendapatkan barang dan/atau jasa yang di tawarkan oleh pelaku usaha tersebut . Cara seperti ini memang terasa lebih efisien dan praktis. Tetapi kalau dilihat dari suatu sisi, cara seperti ini akan terlihat lebih mengacuh ke arah perselisihan. Seperti sengketa yang akan muncul antara pihak pelaku usaha dan pihak calon konsumen atau konsumen.
Seperti yang terlihat dan terdengar sebelumnya, banyak sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang terjadi dalam transaksi jual beli barang dan/atau jasa melalui situs-situs diinternet. Hal tersebut, seperti  layaknya yang telah diatur di dalam perundang-undangan di Indonesia, bahwa pihak BPSK lah yang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan kasus tersebut. Karena, dalam kasus seperti ini tidak dapat dikaitkan dengan kasus pidana lainnya seperti penipuan ataupun penggelapan.
Maka karena itu, setiap pihak yang merasa haknya terabaikan atau merasa dirugikan (baik konsumen ataupun pelaku usaha), harusnya melaporkan hal seperti ini kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.[4]
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan. Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan, maka pada umumnya jual beli melalui media internet (e-commerce) sama dengan jual beli tradisional, hanya saja perbedaan yang terdapat antara keduanya adalah dalam transaksi jual beli melalui media internet (e-commerce) memerlukan media internet untuk mempertemukan konsumen dengan pelaku usaha. Sedangkan dalam jual beli tradisional, antara pelaku usaha dengan konsumen bertemu secara fisik tanpa adanya pihak ketiga atau media tertentu.
Setelah mendengar berbagai hal yang dipaparkan di atas, kita akan langsung membahas masalah mengenai perlindungan hak konsumen yang terjadi di Kota Pekanbaru. Berdasarkan contoh kasus yang di ambil dalam penulisan skripsi ini, bahwa masih banyaknya konsumen-konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha melalui media internet di Kota Pekanbaru. Dalam kasus ini, penulis mengambil data dengan melakukan penelitian terhadap obyek yang telah ditentukan. Yang mana obyek penelitian ini berlokasi di Kota Pekanbaru dan ditujukan langsung kepada 2 (dua) orang pihak konsumen dengan kasus yang sama pernah melaporkan kepada pihak BPSK Kota Pekanbaru. 2 (dua) orang tersebut bernama Rudi Yolanda dan Anjas, yaitu warga Kota Pekanbaru. Karena ada dua konsumen yang dimintai keterangan, maka dalam penulisan skripsi ini akan di jelaskan secara rinci menurut keterangan dari hasil wawancara masing-masingnya.
Dalam wawancara pertama yang dilakukan, yaitu terhadap konsumen yang bernama Rudi Yolanda. Keterangan yang dapat diperoleh antara lain sebagai berikut:[5]
a.       Berawal dari membuka situs di internet yang berisikan penawaran satu produk telfon genggam yang ditempelkan pada dinding salah satu web oleh pelaku usaha.
b.      Adanya negosiasi melalui telefon antara penjual dan calon pembeli mengenai barang yang akan diperdagangkan.
c.       Setelah adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli atas barang tersebut, maka pembeli harus terlebih dahulu mengirimkan uang kepada penjual dengan harga yang telah ditentukan melalui transfer bank.
d.      Apabila uang tersebut telah sampai atau telah diterima oleh penjual, maka pembeli harus mengkonfirmasikan terlebih dahulu alamat yang akan dituju.
e.       Setelah semuanya berjalan dengan lancar, maka langkah selanjutnya penjual akan mengirimkan barang tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa cara penawaran seperti itu ialah tahap yang paling utama dilakukan oleh penjual (pelaku usaha) dalam transaksi (e-commerce). Biasanya, dalam hal penawaran seperti ini, penjual terlebih dahulu telah menjelaskan aturan-aturan yang dibuat secara sepihak dan menjelaskan spesifikasi barang-barang yang akan dijual kepada pembeli.Tetapi, seperti yang di alami oleh Rudi Yolanda (konsumen), tidak sesuai dengan semua yang telah disepakatinya terlebih dahulu. Yang mana barang yang dibeli olehnya, sampai dalam keadaan yang rusak.[6]
Melihat kejadian seperti ini, Rudi Yolanda sebagai pihak konsumen (pembeli) merasa haknya terabaikan oleh pelaku usaha (penjual). Oleh karena itu, kejadian ini langsung dilaporkan kepada pihak BPSK sebagai pejabat yang berwenang atas kasus tersebut.
Setelah melaporkan kejadian tersebut, Rudi Yolanda tidak merasa puas. Karena, jawaban yang dia dapat hanya sebatas penindak lanjutan atas kejadian yang dialaminya.
Seharusnya pihak BPSK melakukan penyelidikan khusus terhadap kasus yang dilaporkan oleh Rudi Yolanda. Karena seperti yang kita harapkan, bahwa pihak pemerintah harus turut serta mencampuri atau ikut bertanggungjawab atas terabaikannya hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha. Sama akan halnya yang tercantum pada pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen.
Dalam kasus ini, konsumen yang bernama Rudi Yolanda sangat kecewa dengan hasil kebijakan dari beberapa pihak yang semestinya ikut serta untuk mempertanggungjawabkan hal tersebut. Seperti beberapa poin dari hasil wawancara, dimana menurut keterangannya sendiri bahwa dalam kasus ini dia mutlak merasa haknya sangat terabaikan oleh akibat pelaku usaha. Walaupun semua kejadian tersebut berawal dari kemauannya sendiri tanpa ada desakan atau paksaan dari pihak lain, tetapi tetap saja pihak-pihak terkait harus ikut mempertanggungjawabkannya.
Dapat dilihat dari Undang –Undang Perlindungan Konsumen khususnya pasal  4 yang mengatur tentang hak-hak konsumen, yang mana dari beberapa poin tersebut telah dijelaskan tentang apa saja yang menjadi hak konsumen dan yang harus dipenuhi. Seperti halnya untuk mendapatkan pelayanan yang benar dan tidak deskriminatif, hak untuk memilih dan untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan nilai yang diperjanjikan, dan pengganti rugian kepada pihak konsumen yang dirugikan tersebut.
Yang dimaksud dengan hak-hak tersebut, antara lain ialah:[7]
a.       Hak untuk mendapatkan pelayanan yang benar dan tidak deskriminatif, konsumen yang akan membeli harus diberikan penjelasan oleh pelaku usaha yang menawarkan barangnya tersebut. Pelaku usahapun tidak diperbolehkan untuk mengabaikan konsumennya dalam hal yang dipertanyakannya mengenai barang yang akan diperjual belikan tersebut.
b.      Hak untuk memilih dan untuk mendapatkan barang, konsumen berhak memilih apapun yang ditawarkan oleh pelaku usaha atas produk-produk tersebut. Setelah konsumen memilih, konsumen pun berhak untuk mendapatkan barang tersebut sesuai dengan nilai yang diperjanjikan.
c.       Hak untuk mendapatkan ganti rugi, konsumen berhak untuk mendapatkan dana kompensasi ataupun ganti rugi apabila seandainya barang tersebut tidak sampai atau terjadi kerusakan kepadanya.
Selanjutnya wawancara ditujukan kepada pihak konsumen yang bernama Anjas. Anjas adalah seorang konsumen yang mengalami kejadian yang sama. Yang mana Anjas merasa haknya tidak terpenuhi sebagai konsumen.
Berikut adalah keterangan hasil wawancara:[8]
a.       Berawal dari mendengar mulut ke mulut. Lalu calon pembeli langsung membuka sebuah situs yang sama dengan yang dibuka oleh Rudi Yolanda.
b.      Kemudian terlihat bahwa memang benar adanya penawaran-penawaran produk telfon genggam yang ditwarkan jauh lebih murah dari pasaran.
c.       Lalu menghubungi nomor yang tertera didalam situs tersebut dan melakukan negosiasi dengan penjual.
d.      Setelah melakukan negosiasi, pembeli langsung mengirimkan sejumlah uang melalui transfer terdekat dan mengkonfirmasikan alamat yang akan dituju.
e.       Setelah semuanya selesai, maka penjual hanya menunggu barang yang dibeli tersebut datang.
            Atas kejadian ini, Anjas selaku konsumen yang merasa haknya terabaikan, juga melaporkan hal tersebut kepada BPSK. Menurut hasil yang diperoleh dari pihak konsumen “bahwa pihak BPSK sendiri belum bisa menerapkan hal tersebut seperti yang diatur didalam Undang-Undang”.
Setelah mendapatkan hasil wawancara dari 2 (dua) pihak konsumen yang dirugikan atas kasus yang sama, maka hal tersebut baru dapat dijelaskan menurut teori-teori hukum yang telah dimuat di atas.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 “Tentang Hukum, tepatnya pada huruf a,b,c,e,dan h yang berbunyi;
1.      Pada huruf a mengatakan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
2.      Pada huruf  b mengatakan bahwa konsumen mempunyai hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.      Pada huruf c mengatakan bahwa konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.      Pada huruf e mengatakan bahwa konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; dan
5.      Pada huruf h mengatakan bahwa konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Melihat dari beberapa poin yang dipaparkan diatas, maka ini harus diterapkan kepada semua masyarakat Indonesia yang menjadi konsumen dalam transaksi jual beli suatu produk barang dan/atau jasa.
            Jika konsumen yang dirugikan tersebut dapat memperoleh segala hak-haknya seperti yang tertera didalam Undang-Undang yang mengaturnya, para pelaku usaha seperti ini tidak akan mengulangi kejadian-kejadian yang serupa.
            Kerugian yang dialami oleh konsumen, sangat banyak teradi dalam kegiatan jual beli melalui media internet saat ini.maka karena itu konsumen harus lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi pembelian suatu produk barang yang ditawarkan oleh pelaku usaha dalam bisnis e-commerce.
Dengan banyaknya kejadian-kejadian yang terjadi yang dapat merugikan pihak pembeli (konsumen), dan banyaknya aturan perundang-undangan yang tidak dapat di terapkan, maka dapat di analisa bahwa penegakan hukum yang sangat lemah harus di tingkatkan lagi.
Seperti yang terjadi didalam sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, semua pihak pemerintah yang terkait didalamnya, khususnya BPSK, harus menegakkan hukum yang sesuai untuk melindungi para konsumen yang haknya terabaikan akibat kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Dari dua kasus yang diteliti ini, dapat kita lihat bahwa pengembalian hak-hak para konsumen yang dirugikan tidak pernah tercapai dan terlaksanakn secara maksimal baik dari pelaku usaha sendiri maupun dari instansi terkait yang berwenang menangi kasus sengketa tersebut.
Harusnya, pihak dari pemerintah harus memberikan beberapa pendidikan khusus kepada semua masyarakat Indonesia khususnya Kota Pekanbaru tentang apa dan bagaimana cara bertransaksi yang aman sehingga tidak dapat menimbulkan kerugian kepada pihak-pihak tertentu. Dengan adanya hal demikian maka kejadian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha akan berkurang sehingga semua orang dapat melakukan transaksi jual beli barang dengan aman dan nyaman.


B.     Penerapan Sanksi Hukum Atas Pelanggaran-Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Melalui Media Internet
Banyaknya pelaku usaha yang menggunakan internet sebagai media untuk produk barang dan/atau jasa yang akan dijualnya, maka tidak akan menutup kemungkinan bagi para calon konsumen ikut bergabung dan mengikuti di dalamnya. Cara-cara seperti ini yang sering menjadi masalah di dalam dunia bisnis e-commerce.
Seperti masalah pertama yang telah dibahas dalam penulisan skripsi ini. Banyaknya hak-hak konsumen yang sering terabaikan akibat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Transaksi  jual beli melalui media internet yang sering terjadi sekarang ini, tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum yang akan dilakukan oleh pelaku usaha.
Di dalam hal ini, BPSK mempunyai peran penting untuk melakukan investivigasi khusus yang selayaknya. Menurut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 “Tentang Hukum Perlindungan Konsumen” bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha di dalam transaksi jual beli barang yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen yaitu harus diberikan sanksi administratif. Sanksi ini hanya dapat diberikan oleh penjabat yang berwenang (BPSK) kepada yang melakukannya.
Seperti kasus yang di alami oleh seorang konsumen di jakarta pusat pada tahun lalu. Yang mana konsumen tersebut melaporkan kejadian ini ke pihak BPSK setempat. Kasus yang di alami konsumen tersebut yaitu ketidak puasan atas pernyataan yang di keluarkan oleh pelaku usaha untuk suatu produk barang yang dijualnya.
Di dalam kasus ini, pihak BPSK dapat langsung menindak lanjuti. Pihak BPSK sendiri setelah mendapat pengaduan dari konsumen tersebut, langsung melakukan investigasi khusus dengan meminta bantuan dari pihak kepolisian dan melanjutkannya ke pihak Pengadilan Negeri setempat.
Dengan bantuan pihak-pihak terkait, pihak konsumen merasa puas atas hukuman yang berupa sanksi administrasi yang dijatuhkan Hakim Pengadilan kepada pelaku usaha. Yang mana di dalam putusan tersebut, sanksi administrasi yang diberikan berupa penggantian atau pengembalian uang dari pelaku usaha kepada konsumen yang merasa dirugikan haknya baik secara materi maupun in-materi.
Akan tetapi, menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya, bahwa banyaknya kasus yang sama tentang pengaduan dari konsumen yang mendapat kerugian akibat kecurangan dari para penjual belum dapat di tindak lanjuti karena keterbatasan dari alat bukti yang ada.
Dalam penulisan skripsi ini, obyek penelitian juga ditujukan kepada pihak BPSK Kota Pekanbaru. Hal ini dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara jelas tindakan seperti apa yang dilakukan oleh pihak terkait untuk menjerat para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut.
 Berikut adalah hasil dari penelitian melalui wawancara langsung dari pihak BPSK Kota Pekanbaru:[9]
a)      Berawal dari pengaduan salah seorang konsumen yang merasa haknya tidak terpenuhi akibat kecuran yang dilakukan penjual di media internet.
b)      Banyaknya kerugian baik secara materi maupun in-materi yang di alami oleh pembeli (konsumen).
c)      Penegakan hukum seperti ini sangat sulit untuk di terapkan, karena tidak dapat terpenuhinya bukti-bukti yang akan menguatkan sanksi terhadap pelaku.
d)     Banyak konsumen yang tidak puas dengan kinerja dari BPSK terhadap penerapan atau penindak lanjutan kasus ini.
Setelah mendapat hasil dari wawancara di atas, pihak BPSKpun tidak berarti lepas dari tanggungjawab atas jabatannya sebagai pelayanan penerimaan pengaduan sengketa konsumen. Pihak BPSK akan terus melanjutkan penyelidikan atas kasus yang di alami 2 (dua) orang konsumen tersebut.
Tetapi, belum dapat di pastikan sanksi apa yang akan diberikan kepada oleh pihak BPSK terhadap pelaku usaha yang telah merugikan mereka. Karena banyak kendala atau kejanggalan yang belum bisa dibuktikan oleh konsumen kepada pihak BPSK.
            Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, hak–hak konsumen sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang hanya diatur sebatas pada aktivitas perdagangan yang sifatnya konvensional.[10] Disamping itu perlindungannyapun hanya difokuskan pada sisi konsumen dan produk (barang/jasa) yang diperdagangkan, sedangkan perlindungan dari sisi pelaku usaha, seperti informasi tentang identitas dan alamat/tempat bisnis pelaku usaha (baik kantor utama maupun kantor cabangnya) serta jaminan kemanan dalam bertransaksi seperti keamanan data pribadi dan nomor kartu kredit belum diatur dalam undang–undang ini.
Sedangkan hal tersebut sangat penting untuk diatur dalam rangka melindungi konsumen dalam bertransaksi e-commerce. Cara mengatasi undang–undang perlindungan yang kurang akomodatif ini adalah pemerintah segera membuat aturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan konsumen yang bertransaksi menggunakan e-commerce, karena e-commerce kedepannya akan berkembang pesat.
            Sementara di dalam aturan perUndang-Undangan, BPSK mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada setiap pelaku usaha. Dapat dilihat dari pasal 60 yang mengatur tentang sanksi-sanksi administratif yang berbunyi:
a)      Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi kepada setiap pelaku usaha yang menyalhi aturan-aturan yang telah ditentukan.
b)      Sanksi tersebut berupa penetapan ganti rugi kepada pihak konsumen, yang mana jumlahna telah ditentukan.
c)      Tata cara penetapan sanksi tersebut, untuk lebih lanjut yang diatur dalam preraturan perundang-undangan
Pengaturan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk menjatuhkan sanksi administratif sesungguhnya bermasalah. Selama ini pemahaman terhadap sanksi administratif tertuju pada sanksi pencabutan izin usaha atau sejenisnya. Melalui pemahaman ini, praktik di lingkungan peradilan umum dalam hal menmukan adanya pelanggran yang memerlukan dijatuhkannya sanksi administratif kepada si pelaku, maka dalam putusannya memerintahkan instansi penerbit izin usaha untuk melakukan pencabutan izin tersebut terhadap pelaku usaha.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, pihak BPSK tidak secara maksimal melakukan upaya pencarian alamat pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap 2 orang konsumen di kota Pekanbaru tersebut. Seharusnya, ketika adanya pengaduan dari pihak konsumen, pihak BPSK pun harus langsung melakukan tindakan pencarian terhadap pelaku usaha tersebut.
Untuk hal ini, pihak BPSK masih berharap banyak kepada pihak konsumen yang mengalami kejadian tersebut untuk memberikan bukti-bukti yang lebih jelas dan juga instansi-intansi lain yang terkait untuk membantu proses penyelidikan terhadap pelaku usaha yang melakukan kecurangan tersebut.
Setelah melakukan penyelidikan dengan kurun waktu beberapa bulan, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut tidak dapat ditemukan dikarenakan batasan-batasan seperti waktu, tempat, dan juga alat-alat bukti yang tidak kongkrit.
Mendengar keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa hukum yang telah ditetapkan tidak dapat diterapkan secara maksimal oleh pihak yang berwenang atas kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha.Harusnya kejadian seperti ini pihak BPSK harus lebih memantau atau melakukan sistem pelacakan secara khusus terhadap pelaku-pelaku usaha yang menawarkan barang jualannya di media internet seperti, pelacakan nomor telepon dan pelacakan alamat rekening yang disediakannya.
Meskipun demikian, konsumen harus lebih berhati-hati untuk melakukan transaksi jual beli barang melalui media online. Karena tidak semua situs yang dapat dipercaya. Dengan hal seperti ini yang terjadi, bukan berarti para calon konsumen yang selalu menggunakan internet sebagai media transaksi pembelian barang harus berhenti membeli suatu produk-produk barang melalui internet tersebut.
Berikut beberapa faktor yang mengakibatkan banyaknya pelaku usaha yang masih bisa melakukan pelanggaran hukum melalui media online:
1.      Tidak adanya penyelidikan  yang dilakukan oleh pihak BPSK terhadap pelaku usaha online yang melakukan pelanggaran untuk menindak lanjuti kasus yang alami oleh konsumen.
2.      Tidak adanya ketegasan dari pihak BPSK atas wewenangnya untuk menjatuhkan hukuman yang berupa sanksi administratif kepada para pelaku usaha online yang melakukan pelanggaran hukum tersebut.
3.      Kurangnya kerjasama antara instansi-intansi yang ada, terutama instansi di kota yang berbeda, yang mengakibatkan pelaku usaha online lebih mudah untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum seperti:
·         Kerjasama antara pihak kepolisian baik di dalam kota maupun di luar kota dengan pihak BPSK yang mendapatkan pengaduan dari konsumen. Sehingga pengaduan-pengaduan yang ada, tidak dapat di tindak lanjuti. Dan pelaku usahapun masih bisa untuk melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen.
·         Kerjasama seperti komunikasi yang lancar dari pihak konsumen maupun pelaku usaha dengan pihak BPSK setempat.
Setelah melihat dari semuanya, didalam penelitian ini memang tidak ditemukannya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku. Akan tetapi, bukan berarti pelaku usaha yang melakukan pelanggaran seperti ini terlepas dari sanksi-sanksi hukum yang ada. Hanya saja keterbatasan oleh beberapa faktor yang tidak mendukung pihak-pihak terkait untuk menghentikan perbuatan pelaku usaha tersebut.


[1] Ibid, hlm. 15
[2] Ibid, hlm. 27
[3] http://eprints.undip.ac.id/24439/1/Abdi_Darwis.pdf
[4] Acmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris tehadap Hukum, Yarsif Watampon, Jakarta, 1998, hlm.191

[5] Hasil wawancara dengan pihak konsumen Rudi Yolanda selaku konsumen, tanggal 22 Juli 2014
[6] Ibid., hlm. 60
[8] Hasil wawancara dengan Anjas selaku konsumen, tanggal 2 Agustus 2014
[9] Hasil wawancara dengan Kepala Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Pekanbaru, pada tanggal 13 Januari 2015