Jumat, 06 November 2015

PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN ATAS PELANGGARAN-PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU USAHA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI BARANG MELALUI MEDIA INTERNET TERKAIT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 BAB II



BAB II
TINJAUAN UMUM
A.    Tinjauan Mengenai Hukum Perlindungan Konsumen
1.      Sejarah Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen
Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi  dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat  dikonsumsi. Barang dan/atau  jasa tersebut umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan diversifikasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, di mana terjadi perluasan ruang gerak arus  transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.[1]
Konsumen yang keberadaannya sangat  tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang efektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Pada situasi ekonomi global dan menuju era perdagangan bebas, upaya untuk mempertahankan pasar atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas merupakan dambaan setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang makin ketat ini juga dapat memberikan dampak negatif terhadap konsumen pada umumnya. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada dalam posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang dapat merugikan konsumen.
Perkembangan hukum konsumen di dunia berlmula dari adanya perlindungan konsumen (consumer movement). Amerika serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan mengenai masalah perlindungan konsumen. Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19. Pada tahun 1891 di New York terbentuk Liga konsumen yang pertama kali, dan pada tahun 1898 di tingkat nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League). Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang secara pesat sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembag menjadi 6 cabang yang meliputi 20 Negara Bagian.[2]
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1914, dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu FTC (Federal Trade Commision) pada tahun 1914. Selanjutnya, sekitar tahun 1930-an (dapat dianggap era pergolakan konsumen) mulai dipikirkan urgensi dari pendidikan konsumen dari pendidik yang dimulai dengan penulisan buku-buku konsumen dan perlindungan konsumen disertai dengan riset-riset yang mendukungnya.[3]
Era ketiga dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun 1960-an yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya satu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (Consumers Law). Pada tahun 1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyampaikan consumers massege kepada kongres, dan ini dianggap era baru gejolak konsumen. Era ketiga tersebut menyadarkan negara-negara lain untuk membentuk undang-undang perlindungan konsumen. Beberapa undang-undang perlindungan konsumen negara-negara di dunia adalah sebagai berikut:
a.       Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safety Requirement Act, Tahun 1975).
b.      Tahiland: Consumer Act, Tahun 1979.
c.       Jepang: The Consumer Protection Fundamental, Tahun 1968.
d.      Australia: Consumers Affairs Act, Tahun 1978.
e.       Irlandia: Consumers Information Act, Tahun 1978.
f.       Finlandia: Consumer Protection Act, Tahun 1978.
g.      Inggris: The Consumers Protection Act, Tahun 1970, diamandemen pada Tahun 1971.
h.      Kanada: The Consumers Protection Act dan The Consumers Protection Amandement Act, Tahun 1971.
            Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap produksi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.
Setelah sekian lama suara-suara tersebut terdengar oleh pemerintah negara Indonesia, akhirnya pasca reformasi mulailah di bentuknya RUU yang mengacuh kepada perlindungan konsumen. Dan tidak lama RUU ini di ajukan, Presiden Indonesia sendiri langsung men-sahkan secara resmi menjadi suatu Undang-Undang yang termasuk salah satu aturan Nasional di negara kita pada tanggal 20 April 1999 yang dinamakn dengan “Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Aturan itupun berlaku efektif satu tahun kemudian.
            Dalam pengaturan UUPK tersebut juga melibatkan empat pihak, yaitu konsumen yang baik, pelaku usaha yang baik, konsumen yang nakal dan pelaku usaha yang nakal. Hal tersebut dapat dipahami, karena konsumen dan pelaku usaha bukanlah lawan melainkan pasangan yang saling membutuhkan. Masa depan dari pelaku usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dari konsumennya, jika konsumen dan perekonomian dalam kondisi yang baik maka pelaku usaha juga memiliki masa depan yang baik begitu pula sebaliknya. Apabila pelaku usaha berbuat curang maka yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen saja tetapi juga pelaku usaha yang tersebut. Demikian juga  jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku usaha saja tetapi juga merugikan konsumen yang baik.
            Proses lahirnya suatu undang-undang perlindungan konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal membutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun. Sejarah pembentukannya dimulai dari:
a.       Seminar pusat sutdi hukum dagang, Fakultas Hukum Univcersitas Indonesia tentang masalah perlindungan konsumen, pada tanggal 15-16 Desember 1975.
b.      Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, penelitian tentang perlindungan konsumen diIndonesia (Proyek tahun 1979-1980).
c.       DPHN – Departemen Kehakiman, naskah akademis peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen (Proyek tahun 1980-1981).
d.      Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), tentang perlindungan konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, pada tahun 1981.
e.       Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlindungan Konsumen, pada tahun 1997.
f.       DPR RI, RUU usul inisiatif DPR tentang UU Perlindungan Konsumen, pada 1998.[4]
Selain pembahasan-pembahasan diatas, masih terdapat berbagai lokakarya, penyuluhan, seminar, di dalam dan di luar negeri yang menelaah mengenai perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari berbagai aspek, serta berbagai kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh masyarakat kalangan pelaku usaha dan pemerintah yang dijalankan oleh YLKI. Pada akhirnya, dengan didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, semua kegiatan berujung pada disetujuinya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) tersebut yang disahkan oleh DPR RI dan Presiden RI.
2.      Pengertian, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
a.        Hukum Perlindungan Konsumen
Istilah hukum perlindungan konsumen sudah sering terdengar dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum perlindungan konsumen terdiri dari dua unsur yakni “hokum dan “perlindungan konsumen”. Unsur yang pertama yakni “hukum” memiliki banyak definisi, Berikut beberapa definisi dari para ahli hukum :
a.       Menurut O. Notohamidjojo
            Hukum adalah keseluruhan peraturan tertulis yang biasanya bersifat            memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat, negara serta antar           negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna,       demi tata tertib dan damai dalam masyarakat.[5]
b.      Aristoteles
3.     Sesuatu yang berbeda dari sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk      dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para       hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman     terhadap pelanggar.
4.     Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
c.       Karl Max
      Suatu pencerminan dari hubungan hukum ekonomis dalam masyarakat        pada suatu tahap perkembangan tertentu.
d.      Thomas Aquinas
        Hukum berasal dari Tuhan, maka dari itu hukum tidak boleh dilanggar.

e.       Plato
      Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik        yang mengikat masyarakat.
     Sedangkan perlindungan konsumen juga memiliki pengertian yang berbeda dari pengertian hukun yang kita ketahui. Untuk membahas apa itu pengertian perlindungan konsumen, terlebih dahulu juga perlu diketahui apa itu pengertian konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata  consumer  (Inggris-Amerika), atau consument/konsument  (Belanda). Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.[6] Amerika Serikat mengemukakan pengertian ”konsumen” yang berasal dari consumer berarti ”pemakai”, namun dapat juga diartikan lebih luas lagi sebagai ”korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai.[7] Perancis berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang mengartikan konsumen sebagai  the person who obtains goods or services for personal or family purposes”. Dari definisi diatas terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.[8] India juga mendefinisikan konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen India yang menyatakan ”konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.[9]
Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni :[10]
a.       Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;
b.      Konsumen antara adalah setiap orang   yang mendapatkan barang dan/atau  jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersil); bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital yang berupa bahan  baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen).
c.       Antara ini mendapatkan barang dan/ atau jasa di pasar industri atau Konsumen pasar produsen.Konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapat dan menggunakan barang dan/ atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/ atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).
Dapat juga kita lihat diberbagai literatur tentang apa pengertian dari istilah “konsumen” yang lainnya.
Setelah kita mengetahui dan mengerti apa yang dimaksud dengan konsumen, barulah kita akan membahas mengenai pengertian dari “ Hukum Perlindungan Konsumen”. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Hal ini dapat kita lihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih luas karena hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang di dalamnya terdapat kepentingan pihak konsumen dan salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar
hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang
pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Pengaturan tentang hukum perlindungan konsumen yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PK disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang  diperkuat melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.[11]
            Selain itu, Perlindungan konsumen juga dapat diartikan sebagai perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
            Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
1)      Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2)      Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang “Hukum Perlindungan Konsumen” (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
3)      Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat”.
4)      Undan- Undang No. 30 Tahun 1999 tentang “Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa”.
5)      Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang “Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”.
6)      Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 tentang “Penangan Pengaduan Konsumen” yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
7)      Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang “Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen”.
            Mengetahui mengenai hukum perlindungan konsumen, terdapat di dalamnya beberapa hak bagi para konsumen itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan pada larar belakang masalah di atas, di dalam pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dapat terlihat jelas apa saja yang menjadi hak-hak para konsumen.
            Didalam hukum perlindungan konsumen, banyak aspek-aspek yang dapat mempengaruhi pelaksanaannya tersebut. Berikut adalah aspek-aspek yang mempengaruhi pelaksanaan dari hukum perlindungan konsumen:
1)      Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan perlindungan konsumen. Kondisi perekonomian saat ini mengakibatkan kemampuan ekonomi masyarakat semakin merosot sehingga mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat dan dalam hal memilih produk konsumen hanya dapat mengkonsumsi produk yang terjangkau harganya. Masyarakat tidak akan memikirkan mengenai hak- haknya yang telah dirugikan karena mengkonsumsi produk yang kualitasnya dibawah standar. Dengan kondisi yang demikian maka perlindungan konsumen susah untuk diterapkan, sebab pada prinsipnya pelaksanaan perlindungan konsumen hanya akan terwujud jika konsumen yang menjadi pihak di dalamnya perduli dengan hak-haknya, artinya jika konsumen menyadari bahwa ia telah dirugikan dan perlu untuk menuntut haknya maka perlindungan konsumen dapat dijalankan. Akan tetapi jika konsumen yang bersangkutan tidak menuntut hak-haknya maka perlindungan konsumen tidak dapat  dijalankan. Dalam prakteknya konsumen memilih diam sebab mereka tidak mengetahui dengan benar hak-haknya mereka, justru hal ini sering membuat posisi konsumen lemah.
2)      Aspek Hukum
Selain aspek ekonomi, aspek hukum juga memiliki peran penting dalam
pelaksanaan perlindungan konsumen. Dalam aspek ekonomi yang menjadi fokus adalah situasi ekonomi dari konsumen yang bersangkutan sedangkan pada aspek hukum yang menjadi fokus adalah bagaimana hukum diterapkan dalam rangka menjamin hak-hak konsumen untuk dilindungi dari berbagai hal yang merugikan. Pembentukan UU PK ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada para konsumen dan untuk mewujudkannya maka penegak  hukum harus bersungguh-sungguh dan konsisten dalam menjalankan tugasnya.
3)      Apsek Politis
Pelaksanaan perlindungan hukum juga  dilihat dari aspek politis, tidak
hanya untuk melindungi kepentingan konsumen terhadap produk-produk asing yang masuk ke Indonesia. Terhadap produk asing yang masuk ke Indonesia juga harus menaati peraturan yang berlaku. Pelaksanaan perlindungan hukum secara politis dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dari pengaruh produk asing yang akan merugikan bagi konsumen Indonesia.
4)      Aspek Budaya
Pelaksanaan perlindungan konsumen tidak dapat terlepas dari faktor
budaya yang berlaku dalam masyarakat  sebab hal tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat yang akan sangat menentukan sistem nilai yang berlaku di masyarakat tersebut. Perlindungan konsumen mengandung sistem nilai dan budaya tersendiri. Oleh karena itu, membutuhkan waktu yang lama dalam menerapkannya untuk menjadi budaya masyarakat.
b.      Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
            Dalam perlindungan konsumen terdapat atau terkandung sejumlah asas, perlindungan konsumen ini diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah yang bertumpu pada lima asas seperti yang terdapat dalam pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yaitu:
a.       Asas manfaat, dimaksud untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b.      Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara adil.
c.       Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.
d.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan.
e.       Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
            Melihat substansi Pasal 2  Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.
            Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:[12]
a.       asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.
b.      Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan.
c.       Asas kepastian hukum.
Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok di atas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisien karena menurut Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa adalah hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan”.
Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Hal ini juga diatur  dalam Pasal 3 UndangUndang Perlindungan Konsumen, yaitu :
a.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c.       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e.       Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.       meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan dibidang hukum perlindungan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat  dilihat dalam rumusan pada huruf (a) sampai dengan huruf (f) terdapat tujuan yang harus dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
a)      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;
b)      Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya;
c)      Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa
d)     Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yangmenipu dan menyesatkan;
e)      Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.
B.     Tinjauan Mengenai Transaksi Elektronik (e-Commerce)
1.      Sejarah dan Perkembangan Transaksi Elektronik
            Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang dilakukan antara
penjual dan pembeli di suatu tempat. Transaksi perdagangan dapat timbul jika
terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap barang yang dikehendaki. Perdagangan sering dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang
terjadi sebagai akibat munculnya masalah kelangkaan barang. Perdagangan juga
merupakan kegiatan spesifik, karena di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan
produksi dan distribusi barang. Kegiatan perdagangan bukan merupakan sesuatu
yang baru, sebab kegiatan ini sudah ada sejak zaman pra-sejarah.
            Menurut sejarah, internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di amerika
serikat, dimana dibentuk suatu jaringan computer di University of California di
Los Angeles, university of California di Santa Barbara, University of Utah  dan Inst itut Penelitian Stanford.[13] Proyek yang didanai oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan nama  Advanches Researches Project Agence (ARPA), ARPA atau ARPANET ini didesain untuk mengadakan sistem desentralisasi internet. Lalu sekitar tahun 1980, Yayasan Nasional Ilmu Pengetahuan (National Scince Foundation) memperluas ARPANET untuk menghubungkan computer seluruh dunia. Internet, termasuk electronic mail (E-mail) yang berkembang sampai tahun 1994, pada saat mana ilmu pengetahuan memperkenalkan World Wide Web (www). Seterusnya internet mengalami perkembangan dan penggunaannya meluas ke kegiatan bisnis, industri, dan rumah tangga di seluruh dunia. Perkembangan dan kemajuan internet telah mendorong kemajuan di bidang teknologi informasi. Penggunaan internet yang semakin luas dalam kegiatan bisnis, industri dan rumah tangga telah mengubah pandangan manusia. Dimana kegiatan-kegiatan diatas pada awalnya dimonopoli oleh kegiatan fisik kini bergeser menjadi kegiatan di dunia maya (Cyber world) yang tidak memerlukan kegiatan fisik. Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication network) dengan semakin populernya internet, seakan telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan
batas negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya, begitu juga perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli barang pun yang pada awalnya bersifat konvensional perlahan-lahan beralih menjadi transaksi jual beli barang secara elaktronik yang menggunakan media
internet yang dikenal dengan e-commerce atau kontrak dagang elektronik. Di Indonesia, fenomena  e-commerce  ini sudah  dikenal sejak tahun 1996 dengan munculmya situs http://http://www.sanur.com/ sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi.[14]
            E-commerce dapat dipahami sebagai kegiatan transaksi perdagangan baik barang dan jasa melalui media elektronik yang memberikan kemudahan didalam kegiatan bertransaksi konsumen di internet. Keunggulan e-commerce terletak pada efisiensi dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce maka tidak akan lepas dari hukum internet (cyber law). Internet adalah dunia virtual/dunia maya yang memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang bagaimana aplikasi teknologi komputer yang berlangsung secara online pada saat si pengguna internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan yang ada. Maka dalam konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi melalui sistem e-commerce.[15]
2.      Pengertian Transaksi Elektronik (E-Commerce)
E-commerce atau disebut juga dengan perdagangan elektronik merupakan aktivitas yang diberikan dengan pembelian, penjualan, pemasaran barang ataupun jasa dengan memanfaatkan sistem elektronik seperti internet ataupun jaringan komputer.
E-commerce juga melibatkan aktivitas yang berhubungan dengan proses transaksi elektronik seperti transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem pengolahan data inventori yang juga dilakukan dengan sistem jaringan komputer.
Dalam teknologi informasi  e-commerce dapat dikategorikan sebagai badian dari e-business dimana e-business memiliki cakupan yang lebih luas, baik dari segi aktivitas ataupun jenis-jenis kegiatan yang dilakukannya.
Istilah Electronic Commerce belum memiliki istilah yang baku.  Terdapat beberapa istilah yang dikenal pada umumnya seperti  E-Commerce,  Web Contract, dan Kontrak Dagang Elektronik. Namun dalam penulisan ini, istilah yang digunakan adalah e-commerce.
E-commerce merupakan bagian dari  Electronic Bussines (bisnis yang dilakukan melalui media elektronik). Kalangan bisnis memberikan definisi tentang e-commerce sebagai segala bentuk perniagaan / perdagangan barang atau jasa dengan menggunakan media elektronik. Media elektronik disini tidak terbatas pada internet saja, namun karena penggunaan internet dewasa ini amat populer maka fokus pembahasan pada skripsi ini adalah e-commerce pada media internet.
Onno W.  Purbo dan Aang Wahyudi yang mengutip pendapat David Baum Menurut Julian Ding sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi sebagai berikut menyebutkan bahwa “e-commerce is a dynamic sets of technologies, application, and  bussines procces that link enterprises,  consumers and communities through electronic transaction and the electronic exchange of goods, services and information”. bahwa e-commerce adalah suatu set dinamis teknologi, aplikasi, dan kegiatan bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, servis dan informasi.[16]
Menurut Julian Ding sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi sebagai berikut:[17]
Electronic Commerc, or E-Commerce as it is also knomn is a commercial transactions between a vendor and phurchaser or parties in similar contractual relationships for the supply of goods, services or the acquisition ofright”. This commercial transaction is executedor entered into in an electronic medium (or digital medium)when the physical presence of the parties is not required. And the medium  exits in a public network or system as opposed to a private network (Closed System). The public network or system must be considered an open system (e.g the internet or the world wide web), the transactions are concluded regardless of national boundaries or local requirements”.

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan dengan media electronic (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web. Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional”.
Wikipedia memberikan definisi E-commerce sebagai berikut:[18]
a.       e-commerce can be defined as commercial activities conducted through an exchange of information generated, stored, or communicated by electronical, optical or analogues means, including EDI, E-mail, and so forth”.
Terjemahan bebasnya sebagai berikut :
e-commerce dapat didefinisikan sebagai aktifitas komersial melalui pertukaran informasi yang dihasilkan, disimpan atau dikomunikasikan oleh alat elektronik, optik atau analog, termasuk EDI, E-mail, dan lainlain.
b.      e-commerce is performing business transaction with the aid of evolving computing tools and paper-less communication links (electronic messaging technologies).
Terjemahan bebasnya sebagai berikut:
e-commerce adalah alat untuk mendukung kegiatan transaksi bisnis dengan perkembangan komputansi dan tidak menggunakan kertas.
c.       electronic Commerce may be defined as the entire set of process that support commercial activities on a network and involve information analysis”.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
e-commerce dapat didefinisikan sebagai suatu set dari keseluruhan proses yang mendukung kegiatan komersial dalam jaringan dan mengembangkan analisa informasi.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari E-commerce, yakni:
a.       Adanya kontrak dagang.
b.      Kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik.
c.       Transaksi bersifat paper less.
d.      Kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan.
e.       Kontrak itu terjadi dalam jaringan publik.
f.       Terbuka, yaitu dengan internet atau www (World Wide Web).
g.      Kontrak itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional.
h.      Mempunyai nilai ekonomis.
E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang menggunakan media elektronik. Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia terletak dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian, maka e-commerce memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada umumnya seperti :
a)      Asas kebebasan berkontrak.
b)      Asas konsensual.
c)      Asas it ikad baik.
d)     Asas keseimbangan.
e)      Asas kepatutan.
f)       Asas kebiasaan.
g)      Asas ganti rugi.
h)      Asas keadaan memaksa.
i)        Asas kepastian hukum, dll.
            Karena berlakunya asas-asas hukum perjanjian dalam e-commerce, maka ketentuan tentang perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni :
a)      Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya.
b)      Cakap untuk membuat suatu perikatan.
c)      Suatu hal tertentu.
d)     Suatu sebab yang halal.
Transaksi seperti ini juga memiliki manfaat-manfaat tertentu. Manfaat yang didapat oleh pengguna e-commerce antara lain, sebagai berikut:
a)      Melewati batasan geografis
Jika Anda memiliki toko fisik, Anda dibatasi oleh wilayah geografis yang dapat Anda layani. Dengan situs web e-commerce, seluruh dunia adalah taman bermain Anda. Selain itu, munculnya E-Commerce, yaitu, e-commerce pada perangkat mobile, telah memutuskan segala keterbatasan geografis yang tersisa.

b)      Mendapatkan pelanggan baru lewat search engine
Ritel fisik didorong oleh brand dan hubungan. Selain itu, ritel online juga didorong oleh lalu lintas dari mesin pencari. Bukan hal baru bagi pelanggan untuk mengikuti link dalam hasil pencarian mesin pencari, dan mendarat di sebuah situs e-commerce yang mereka belum pernah dengar sebelumnya.
c)      Biaya lebih rendah
Salah satu sisi positif paling nyata dari e-commerce ialah biaya yang lebih rendah. Bagian dari biaya-biaya lebih rendah ini, dapat diteruskan kepada pelanggan dalam bentuk pemberian diskon.
d)     Mencari produk lebih cepat
Hal ini tidak lagi tentang mendorong keranjang belanja ke lorong yang benar, atau produk yang diinginkan. Di sebuah situs e-commerce, pelanggan dapat mengklik navigasi intuitif atau menggunakan kotak pencarian untuk segera mempersempit pencarian produk mereka. Beberapa situs web mengingat preferensi pelanggan dan daftar belanja untuk memfasilitasi pembelian berulang.
e)      Mengeliminasi waktu dan biaya perjalanan
Kadang-kadang pelanggan melakukan perjalanan jauh untuk mencapai toko fisik yang mereka sukai. E-commerce memungkinkan mereka untuk mengunjungi toko yang sama secara virtual, hanya dengan beberapa kali klik.
f)       Memberikan perbandingan berbelanja
E-commerce memfasilitasi perbandingan berbelanja. Ada beberapa layanan online yang memungkinkan pelanggan untuk menelusuri beberapa pedagang e-commerce dan menemukan harga terbaik.
g)      Memudahkan komunikasi bisnis
Menggunakan informasi yang diberikan pelanggan dalam formulir pendaftaran, dan dengan menempatkan cookie di komputer pelanggan, seorang pedagang e-commerce dapat mengakses banyak informasi mengenai pelanggan. Hal ini, pada gilirannya, dapat digunakan untuk menyampaikan pesan yang relevan.
3.      Mekanisme dan Karakteristik E-Commerce
Transaksi e-commerce antara pihak  e-merchant  (pihak yang menawarkan barang dan/atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang dan/atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara  paperless transaction,  sedangkan dokumen yang digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah  paper document, melainkan dokumen elektronik (digital document).[19]
Dalam transaksi online, ada banyak kontrak yang memiliki beberapa type dan variasi berdasarkan saranayang digunakan untuk membuat kontrak tersebut. Antara lain yaitu:


1)      Kontrak melalui chatting dan video conferenc
Chatting  dan  video conference  adalah alat komunikasi yang disediakan oleh internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara langsung. 
Dengan  chatting seseorang dapat berkomunikasi secara langsung dengan orang lain seperti layaknya telepon, hanya saja komunikasi lewat  chatting  ini adalah tulisan atau pernyataan yang terbaca pada komputer masing-masing. Sesuai dengan namanya, video conference adalah alat untuk berbicara dengan beberapa pihak dengan melihat gambar dan mendengar suara secara langsung pihak yang dihubungi dengan alat ini. Dengan demikian melakukan kontrak dengan menggunakan jasa  chatting dan  video conference ini dapat dilakukan secara langsung antara beberapa pihak dengan menggunakan sarana komputer.
2)      Kontrak melalui e-mail
E-mail adalah salah satu kontrak online yang sangat populer karena pengguna  e-mail saat ini amat banyak dan mendunia dengan biaya yang sangat murah dan waktu yang efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail dapat dilakukan dengan cara mendaftarkan diri kepada penyedia layanan e-mail gratis atau dengan mendaftarkan diri sebagai  subscriber pada, server atau ISP tertentu. Kontrak  e-mail dapat berupa penawaran yang dikirimkan kepada seseorang atau kepada banyak orang yang tergabung dalam sebuah mailing list, serta penerimaan dan pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan melalui e-mail. Disamping itu  kontrak e-mail dapat dilakukan dengan penawaran barangnya diberikan melalui situs web yang memposting penawarannya,sedangkan penerimaannya dilakukan melalui e-mail.
3)      Kontrak melalui web
Kontrak melalui web  terjadi dimana pihak e-merchant memiliki deskripsi produk atau jasa dalam suatu halaman  web dan dalam halaman  web tersebut terdapat form pemesanan, sehingga  e-customer dapat mengisi formulir tersebut secara langsung apabila barang atau jasa yang ditawarkan hendak dibeli oleh  ecustomer.
            Secara umum tahapan mekanisme transaksi e-commerce dapat diurutkan
sebagai berikut:
a.      E-customer  dan  e-merchant  bertemu dalam dunia maya melalui server yang disewa dari Internet Server Provider (ISP) oleh e-merchant.
b.      Transaksi melalui  e-commerce  disertai term of use dan sales term condition atau klausula standar, yang pada umumnya  e-merchant  telah meletakkan.klausula kesepakatan pada website-nya, sedangkan  e-customer  jika berminat tinggal memilih tombol accept atau menerima.
c.       Penerimaan  e-customer  melalui mekanisme  “klik”  tersebut sebagai perwujudan dari kesepakatan yang tentunya mengikat pihak e-merchant.
d.      Pada saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kemudian diikuti dengan proses pembayaran, yang melibatkan dua bank perantara dari masing-masing pihak yaitu acquiring merchant bank dan issuing customer bank. Prosedurnya e-customer memerintahkan kepada  issuing customer bank  untuk dan atas nama e-customer melakukan sejumlah pembayaran atas harga barang kepada acquiring merchant bank yang ditujukan kepada e-merchant
e.       Setelah proses pembayaran selesai kemudian diikuti dengan proses pemenuhan prestasi oleh pihak  e-merchant  berupa pengiriman barang sesuai dengan kesepakatan mengenai saat penyerahan dan spesifikasi barang.
Berbeda dengan transaksi perdagangan pada umumnya, e-commerce memiliki beberapa karakteristik yakni:
1)      Transaksi tanpa batas
Dewasa ini dengan adanya internet, perusahaan kecil atau menengah dapat memasarkan barangnya ke luar negeri dengan hanya membuat website atau memajang iklan-iklannya di internet tanpa batas waktu (24 jam), maka pelanggan dari seluruh dunia dapat mengaksesnya dan melakukan transaksi secara online.
2)      Transaksi bersifat anonym
Para penjual dan pembeli dalam transaksi e-commere tidak harus bertemu
muka secara langsung satu sama lainnya. Bahkan penjual tidak memerlukan nama pembeli, selama pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia layanan yang ditentukan, biasanya pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit atau transfer via bank.
3)      Produk yang diperdagangkan
Produk yang diperdagangkan melalui internet berupa produk digital maupun non-digital, barang berwujud maupun tak berwujud, dan barang bergerak.
            Adapun ruang lingkup dan dasar hukum dari e-commerce ini terdapat didalam perkembangan dunia bisnis. Dewasa ini, dalam perkembangan bisnis/perdagangan tidak lagi membutuhkan pertemuan secara langsung antara para pelaku bisnis. Kemajuan teknologi memungkinkan para pelaku bisnis melakukan hubungan-hubungan bisnis melalui  internet baik itu kegiatan penawaran maupun pembelian.
            Yang dimaksud dengan ruang lingkup e-commerce meliputi 3 sisi. Antara lain:
1)      Business to Business
Merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku bisnis atau dengan kata
lain secara elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang besar. Aktivitas  e-commerce dalam ruang lingkup ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu sendiri.
2)      Business to Consumer
Business to Consumer dalam  e-commerce merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu contohnya “internet mall”. Konsumen pada lingkup ini merupakan konsumen akhir yang merupakan pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Permasalahan perlindungan konsumen terdapat dalam lingkup ini, karena produk yang diperjualbelikan adalah produk barang dan jasa baik dalam bentuk berwujud maupun dalam bentuk elektronik atau digital yang telah siap untuk dikonsumsi.  Perkembangan lingkup ini membawa keuntungan tidak saja pada pelaku usaha namun juga kepada pihak konsumen.
3)      Consumer to Consumer
Consumer to Consumer merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memnuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula, lingkup ini bersifat lebih mengkhusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi. Internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanan. Selain itu customer juga dapat membentuk komunitas pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk atau pelayanan, dengan cepat dapat tersebar kepada konsumen lain melalui komunitas yang dibentuk, hal ini membawa dampak positif bagi konsumen karena dapat menaikkan posisi tawar konsumen terhadap pelaku usaha. Sehingga pelaku usaha dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi konsumennya.
            Setiap semua transaksi yang mana ruang lingkupnya telah ditentukan, harus memiliki dasar-dasar hukum yang tetap. Maka, oleh karena itu pemerintah juga menegaskan didalam suatu Undang-Undang yang mengaturnya. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun 2008 merupakan dasar hukum utama bagi  e-commerce di Indonesia. UU ITE ini disahkan pada tanggal 21 april 2008 dan mulai berlaku pada saat diundangkan (Pasal 54 ayat 1). Arti penting dari UU  ITE ini bagi transaksi e-commerce adalah :[20]
a.       Pengakuan transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.
b.      Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya.
c.       UU ITE berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum. Baik yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga jangkauan Undang-Undang ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional.
Selain UU ITE, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang dapat menunjang perlindungan konsumen dalam e-commerce, di antaranya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd), seperti yang telah di cantumkan di atas.


[1] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hlm 47.
[2] Abdul Halim Barkatulah,  Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 7
[3] Ibid., hlm. 22.
[4] AZ.Nasution (a), aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan singkat UU Nomor 8 Tahun 1999-LN. No. 42, (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) FHUI) Depok:), 1999,  hlm. 2-3
[5] Dardji Darmodihardjo, “Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa  dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 11
[6] Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hlm 23
[7] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hlm. 9
[8] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 3
[9] Ibid., hlm 4
[10] Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,  Diadit Media,
Jakarta, 2001, hlm. 13
[11] Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hlm. 4
[12] Ahmadi Miru,  Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta: 2011, hlm. 33
[13] Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.267
[14] Abdul Halim Barkatullah., Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, 2005, hlm 158
[15] Michael S.H. Neng,  Understansing Electronic Commerce From A Historitical Perspective, http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc/, bahan diakses tanggal 3 Februari 2008
[16] Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi, Mengenal E-Commerce, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000, hlm. 2
[17] Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, hlm. 283
[18] http://id.wikipedia.org/wiki/E-commerce, bahan diakses tanggal 10 Juni 2010.
[19] Nofie Iman, Mengenal E-Commerce, www.hasan-uad.com/menegenal-e-commerce. pdf, hlm. 5
[20] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 “Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar