BAB II
TINJAUAN UMUM
A.
Tinjauan
Mengenai Hukum Perlindungan Konsumen
1.
Sejarah
Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen
Sejarah perkembangan perlindungan konsumen
sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang
pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut umumnya merupakan barang
dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang
lainnya. Dengan diversifikasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan
dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, di mana terjadi
perluasan ruang gerak arus transaksi
barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada
akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan
secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen
berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.[1]
Konsumen
yang keberadaannya sangat tidak
terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan
kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang
efektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Pada
situasi ekonomi global dan menuju era perdagangan bebas, upaya untuk
mempertahankan pasar atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas
merupakan dambaan setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk
berusaha. Persaingan yang makin ketat ini juga dapat memberikan dampak negatif
terhadap konsumen pada umumnya. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kedudukan
pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada dalam
posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang dapat merugikan konsumen.
Perkembangan
hukum konsumen di dunia berlmula dari adanya perlindungan konsumen (consumer movement). Amerika serikat
tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan mengenai masalah
perlindungan konsumen. Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan
adanya gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19. Pada tahun 1891 di New York
terbentuk Liga konsumen yang pertama kali, dan pada tahun 1898 di tingkat
nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League). Organisasi ini kemudian tumbuh dan
berkembang secara pesat sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di
Amerika Serikat telah berkembag menjadi 6 cabang yang meliputi 20 Negara
Bagian.[2]
Perkembangan
selanjutnya terjadi pada tahun 1914, dengan dibukanya kemungkinan untuk
terbentuknya komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu FTC
(Federal Trade Commision) pada tahun
1914. Selanjutnya, sekitar tahun 1930-an (dapat dianggap era pergolakan
konsumen) mulai dipikirkan urgensi dari pendidikan konsumen dari pendidik yang
dimulai dengan penulisan buku-buku konsumen dan perlindungan konsumen disertai
dengan riset-riset yang mendukungnya.[3]
Era ketiga
dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun 1960-an yang melahirkan era hukum
perlindungan konsumen dengan lahirnya satu cabang hukum baru, yaitu hukum
konsumen (Consumers Law). Pada tahun
1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyampaikan consumers massege kepada kongres, dan ini dianggap era baru gejolak
konsumen. Era ketiga tersebut menyadarkan negara-negara lain untuk membentuk
undang-undang perlindungan konsumen. Beberapa undang-undang perlindungan
konsumen negara-negara di dunia adalah sebagai berikut:
a.
Singapura: The Consumer Protection (Trade
Description and Safety Requirement Act, Tahun 1975).
b.
Tahiland: Consumer Act, Tahun 1979.
c.
Jepang: The Consumer Protection Fundamental, Tahun 1968.
d.
Australia: Consumers Affairs Act, Tahun 1978.
e.
Irlandia: Consumers Information Act, Tahun 1978.
f.
Finlandia: Consumer Protection Act, Tahun 1978.
g.
Inggris: The Consumers Protection Act, Tahun 1970, diamandemen pada Tahun
1971.
h.
Kanada: The Consumers Protection Act dan The Consumers Protection Amandement Act, Tahun 1971.
Di Indonesia masalah perlindungan
konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan
lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara
historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap
produksi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan
suara-suara dari masyarakat kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan
langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya
terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari
barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh
usaha untuk melindungi konsumen, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan
cita-cita itu.
Setelah
sekian lama suara-suara tersebut terdengar oleh pemerintah negara Indonesia,
akhirnya pasca reformasi mulailah di bentuknya RUU yang mengacuh kepada
perlindungan konsumen. Dan tidak lama RUU ini di ajukan, Presiden Indonesia
sendiri langsung men-sahkan secara resmi menjadi suatu Undang-Undang yang
termasuk salah satu aturan Nasional di negara kita pada tanggal 20 April 1999
yang dinamakn dengan “Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Aturan itupun
berlaku efektif satu tahun kemudian.
Dalam pengaturan UUPK tersebut juga
melibatkan empat pihak, yaitu konsumen yang baik, pelaku usaha yang baik,
konsumen yang nakal dan pelaku usaha yang nakal. Hal tersebut dapat dipahami,
karena konsumen dan pelaku usaha bukanlah lawan melainkan pasangan yang saling
membutuhkan. Masa depan dari pelaku usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi
dari konsumennya, jika konsumen dan perekonomian dalam kondisi yang baik maka
pelaku usaha juga memiliki masa depan yang baik begitu pula sebaliknya. Apabila
pelaku usaha berbuat curang maka yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen saja
tetapi juga pelaku usaha yang tersebut. Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak
hanya akan merugikan pelaku usaha saja tetapi juga merugikan konsumen yang
baik.
Proses lahirnya suatu undang-undang
perlindungan konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal membutuhkan waktu
tidak kurang dari 25 tahun. Sejarah pembentukannya dimulai dari:
a.
Seminar pusat sutdi hukum dagang,
Fakultas Hukum Univcersitas Indonesia tentang masalah perlindungan konsumen,
pada tanggal 15-16 Desember 1975.
b.
Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman RI, penelitian tentang perlindungan konsumen diIndonesia
(Proyek tahun 1979-1980).
c.
DPHN – Departemen Kehakiman, naskah
akademis peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen (Proyek
tahun 1980-1981).
d.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI), tentang perlindungan konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran
tentang rancangan Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, pada tahun 1981.
e.
Departemen Perdagangan RI bekerja
sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlindungan
Konsumen, pada tahun 1997.
f.
DPR RI, RUU usul inisiatif DPR
tentang UU Perlindungan Konsumen, pada 1998.[4]
Selain
pembahasan-pembahasan diatas, masih terdapat berbagai lokakarya, penyuluhan,
seminar, di dalam dan di luar negeri yang menelaah mengenai perlindungan
konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari berbagai aspek, serta
berbagai kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh masyarakat kalangan
pelaku usaha dan pemerintah yang dijalankan oleh YLKI. Pada akhirnya, dengan
didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, semua kegiatan
berujung pada disetujuinya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) tersebut
yang disahkan oleh DPR RI dan Presiden RI.
2.
Pengertian,
Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
a.
Hukum
Perlindungan Konsumen
Istilah hukum perlindungan konsumen sudah
sering terdengar dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum perlindungan konsumen
terdiri dari dua unsur yakni “hokum dan “perlindungan konsumen”. Unsur yang
pertama yakni “hukum” memiliki banyak definisi, Berikut beberapa definisi dari
para ahli hukum :
a. Menurut
O. Notohamidjojo
Hukum adalah keseluruhan peraturan
tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam
masyarakat, negara serta antar negara,
yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam
masyarakat.[5]
b.
Aristoteles
3. Sesuatu yang
berbeda dari sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk
mengatur tingkah laku para hakim dan
putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
4. Hukum hanya
sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga
hakim.
c.
Karl Max
Suatu pencerminan dari hubungan hukum
ekonomis dalam masyarakat pada
suatu tahap perkembangan tertentu.
d.
Thomas
Aquinas
Hukum berasal dari Tuhan, maka dari itu
hukum tidak boleh dilanggar.
e.
Plato
Hukum merupakan peraturan-peraturan yang
teratur dan tersusun baik yang
mengikat masyarakat.
Sedangkan
perlindungan konsumen juga memiliki pengertian yang berbeda dari pengertian
hukun yang kita ketahui. Untuk membahas apa itu pengertian perlindungan
konsumen, terlebih dahulu juga perlu diketahui apa itu pengertian konsumen. Istilah
konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument
(Belanda). Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai ”orang
atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”
atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah
barang”.[6]
Amerika Serikat mengemukakan pengertian ”konsumen” yang berasal dari consumer berarti ”pemakai”, namun dapat
juga diartikan lebih luas lagi sebagai ”korban pemakaian produk yang cacat”,
baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang
bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula oleh korban yang
bukan pemakai.[7] Perancis
berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang mengartikan konsumen
sebagai ”the person who obtains goods or services for personal or family
purposes”. Dari definisi diatas terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen
hanya orang dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi
atau keluarganya.[8] India
juga mendefinisikan konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen India
yang menyatakan ”konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang
disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk
mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan
komersial.[9]
Az. Nasution menegaskan beberapa batasan
tentang konsumen, yakni :[10]
a.
Konsumen adalah setiap orang yang
mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;
b.
Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain untuk
diperdagangkan (tujuan komersil); bagi konsumen antara, barang atau jasa itu
adalah barang atau jasa kapital yang berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari
produk lain yang akan diproduksinya (produsen).
c.
Antara ini mendapatkan barang dan/
atau jasa di pasar industri atau Konsumen pasar produsen.Konsumen akhir adalah
setiap orang yang mendapat dan menggunakan barang dan/ atau jasa untuk tujuan
memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/ atau rumah tangga dan tidak
untuk diperdagangkan kembali (non komersial).
Dapat
juga kita lihat diberbagai literatur tentang apa pengertian dari istilah
“konsumen” yang lainnya.
Setelah
kita mengetahui dan mengerti apa yang dimaksud dengan konsumen, barulah kita
akan membahas mengenai pengertian dari “ Hukum Perlindungan Konsumen”. Hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Hal ini dapat kita
lihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih luas karena hukum konsumen
meliputi berbagai aspek hukum yang di dalamnya terdapat kepentingan pihak
konsumen dan salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek
perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen
terhadap gangguan pihak lain.
Hukum
perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar
hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan
adanya dasar hukum yang
pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa
dilakukan dengan penuh optimisme. Pengaturan tentang hukum perlindungan
konsumen yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PK disebutkan bahwa Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus,
memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu
merugikan hak-hak konsumen.[11]
Selain itu, Perlindungan konsumen juga
dapat diartikan sebagai perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.
Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda
pemberitahuan kepada konsumen.
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21
ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang “Hukum
Perlindungan Konsumen” (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42
Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
3) Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang “Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat”.
4) Undan- Undang No. 30 Tahun 1999 tentang “Arbritase
dan Alternatif Penyelesian Sengketa”.
5) Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang “Pembinaan
Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”.
6) Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.
235/DJPDN/VII/2001 tentang “Penangan Pengaduan Konsumen” yang ditujukan kepada
Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
7) Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang “Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen”.
Mengetahui
mengenai hukum perlindungan konsumen, terdapat di dalamnya beberapa hak bagi
para konsumen itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan pada larar belakang
masalah di atas, di dalam pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dapat terlihat
jelas apa saja yang menjadi hak-hak para konsumen.
Didalam
hukum perlindungan konsumen, banyak aspek-aspek yang dapat mempengaruhi pelaksanaannya
tersebut. Berikut adalah aspek-aspek yang mempengaruhi pelaksanaan dari hukum
perlindungan konsumen:
1) Aspek
Ekonomi
Aspek
ekonomi memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan perlindungan
konsumen. Kondisi perekonomian saat ini mengakibatkan kemampuan ekonomi
masyarakat semakin merosot sehingga mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat
dan dalam hal memilih produk konsumen hanya dapat mengkonsumsi produk yang
terjangkau harganya. Masyarakat tidak akan memikirkan mengenai hak- haknya yang
telah dirugikan karena mengkonsumsi produk yang kualitasnya dibawah standar.
Dengan kondisi yang demikian maka perlindungan konsumen susah untuk diterapkan,
sebab pada prinsipnya pelaksanaan perlindungan konsumen hanya akan terwujud
jika konsumen yang menjadi pihak di dalamnya perduli dengan hak-haknya, artinya
jika konsumen menyadari bahwa ia telah dirugikan dan perlu untuk menuntut
haknya maka perlindungan konsumen dapat dijalankan. Akan tetapi jika konsumen
yang bersangkutan tidak menuntut hak-haknya maka perlindungan konsumen tidak
dapat dijalankan. Dalam prakteknya konsumen
memilih diam sebab mereka tidak mengetahui dengan benar hak-haknya mereka,
justru hal ini sering membuat posisi konsumen lemah.
2) Aspek
Hukum
Selain
aspek ekonomi, aspek hukum juga memiliki peran penting dalam
pelaksanaan
perlindungan konsumen. Dalam aspek ekonomi yang menjadi fokus adalah situasi
ekonomi dari konsumen yang bersangkutan sedangkan pada aspek hukum yang menjadi
fokus adalah bagaimana hukum diterapkan dalam rangka menjamin hak-hak konsumen
untuk dilindungi dari berbagai hal yang merugikan. Pembentukan UU PK ditujukan
untuk memberikan perlindungan kepada para konsumen dan untuk mewujudkannya maka
penegak hukum harus bersungguh-sungguh
dan konsisten dalam menjalankan tugasnya.
3) Apsek
Politis
Pelaksanaan
perlindungan hukum juga dilihat dari
aspek politis, tidak
hanya
untuk melindungi kepentingan konsumen terhadap produk-produk asing yang masuk
ke Indonesia. Terhadap produk asing yang masuk ke Indonesia juga harus menaati
peraturan yang berlaku. Pelaksanaan perlindungan hukum secara politis dilakukan
untuk melindungi kepentingan nasional dari pengaruh produk asing yang akan
merugikan bagi konsumen Indonesia.
4) Aspek
Budaya
Pelaksanaan
perlindungan konsumen tidak dapat terlepas dari faktor
budaya
yang berlaku dalam masyarakat sebab hal
tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat yang akan sangat menentukan
sistem nilai yang berlaku di masyarakat tersebut. Perlindungan konsumen
mengandung sistem nilai dan budaya tersendiri. Oleh karena itu, membutuhkan
waktu yang lama dalam menerapkannya untuk menjadi budaya masyarakat.
b.
Asas
dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam perlindungan konsumen terdapat atau terkandung
sejumlah asas, perlindungan konsumen ini diselenggarakan sebagai usaha bersama
seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah yang
bertumpu pada lima asas seperti yang terdapat dalam pasal 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yaitu:
a. Asas manfaat, dimaksud untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.
b.
Asas
keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh masyarakat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara adil.
c.
Asas
keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.
d.
Asas
keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar
baik pelaku maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Melihat
substansi Pasal 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya
mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.
Kelima
asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya,
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:[12]
a.
asas kemanfaatan yang di dalamnya
meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.
b.
Asas keadilan yang di dalamnya
meliputi asas keseimbangan.
c.
Asas kepastian hukum.
Asas-asas
Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok di atas
yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi
keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan
asas maksimalisasi, dan asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas
efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisien karena menurut
Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa adalah hukum yang efisien, di bawah
naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan
kewajibannya tanpa penyimpangan”.
Adapun
tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan
adalah untuk meningkatkan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung
mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh
rasa tanggung jawab. Hal ini juga diatur
dalam Pasal 3 UndangUndang Perlindungan Konsumen, yaitu :
a.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b.
Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa.
c.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d.
Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi.
e.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung
jawab dalam berusaha.
f.
meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan
sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan dibidang hukum
perlindungan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan
konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum
secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam
rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan
dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus
yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.
Pengelompokkan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat dilihat dalam rumusan pada huruf (a) sampai
dengan huruf (f) terdapat tujuan yang harus dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
Pengaturan perlindungan konsumen
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
a) Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta
menjamin kepastian hukum;
b)
Melindungi kepentingan konsumen pada
khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya;
c)
Meningkatkan kualitas barang dan
pelayanan jasa
d)
Memberikan perlindungan kepada
konsumen dari praktik usaha yangmenipu dan menyesatkan;
e)
Memadukan penyelenggaraan,
pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang
perlindungan pada bidang-bidang lainnya.
B. Tinjauan Mengenai Transaksi
Elektronik (e-Commerce)
1. Sejarah dan Perkembangan Transaksi
Elektronik
Perdagangan
merupakan transaksi jual beli barang yang dilakukan antara
penjual dan pembeli di suatu tempat. Transaksi
perdagangan dapat timbul jika
terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap
barang yang dikehendaki. Perdagangan sering dikaitkan dengan berlangsungnya
transaksi yang
terjadi sebagai akibat munculnya masalah kelangkaan
barang. Perdagangan juga
merupakan kegiatan spesifik, karena di dalamnya
melibatkan rangkaian kegiatan
produksi dan distribusi barang. Kegiatan perdagangan
bukan merupakan sesuatu
yang baru, sebab kegiatan ini sudah ada sejak zaman
pra-sejarah.
Menurut
sejarah, internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di amerika
serikat, dimana dibentuk suatu jaringan computer di
University of California di
Los Angeles, university of California di Santa
Barbara, University of Utah dan Inst
itut Penelitian Stanford.[13]
Proyek yang didanai oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan nama Advanches
Researches Project Agence (ARPA),
ARPA atau ARPANET ini didesain untuk mengadakan sistem desentralisasi internet.
Lalu sekitar tahun 1980, Yayasan Nasional Ilmu Pengetahuan (National Scince Foundation) memperluas ARPANET untuk menghubungkan computer seluruh dunia. Internet,
termasuk electronic mail (E-mail) yang berkembang sampai tahun
1994, pada saat mana ilmu pengetahuan memperkenalkan World Wide Web (www).
Seterusnya internet mengalami perkembangan dan penggunaannya meluas ke kegiatan
bisnis, industri, dan rumah tangga di seluruh dunia. Perkembangan dan kemajuan
internet telah mendorong kemajuan di bidang teknologi informasi. Penggunaan
internet yang semakin luas dalam kegiatan bisnis, industri dan rumah tangga
telah mengubah pandangan manusia. Dimana kegiatan-kegiatan diatas pada awalnya
dimonopoli oleh kegiatan fisik kini bergeser menjadi kegiatan di dunia maya (Cyber world) yang tidak memerlukan kegiatan
fisik. Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication network) dengan
semakin populernya internet, seakan telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin
memudarkan
batas negara berikut kedaulatan dan tatanan
masyarakatnya, begitu juga perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia,
maka transaksi jual beli barang pun yang pada awalnya bersifat konvensional
perlahan-lahan beralih menjadi transaksi jual beli barang secara elaktronik
yang menggunakan media
internet yang dikenal dengan e-commerce atau kontrak dagang elektronik. Di Indonesia,
fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculmya
situs http://http://www.sanur.com/
sebagai toko buku on-line pertama.
Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai bermunculan
berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan
karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi
fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat
Indonesia yang mengenal teknologi.[14]
E-commerce dapat dipahami sebagai kegiatan
transaksi perdagangan baik barang dan jasa melalui media elektronik yang
memberikan kemudahan didalam kegiatan bertransaksi konsumen di internet. Keunggulan
e-commerce terletak pada efisiensi
dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce
maka tidak akan lepas dari hukum internet (cyber
law). Internet adalah dunia virtual/dunia maya yang memiliki komunitas yang
sangat khas, yaitu tentang bagaimana aplikasi teknologi komputer yang
berlangsung secara online pada saat
si pengguna internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan yang ada. Maka
dalam konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce adalah berinteraksi dengan
aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi
melalui sistem e-commerce.[15]
2. Pengertian Transaksi Elektronik (E-Commerce)
E-commerce atau disebut juga dengan perdagangan elektronik
merupakan aktivitas yang diberikan dengan pembelian, penjualan, pemasaran
barang ataupun jasa dengan memanfaatkan sistem elektronik seperti internet
ataupun jaringan komputer.
E-commerce juga melibatkan aktivitas yang berhubungan dengan
proses transaksi elektronik seperti transfer dana elektronik, pertukaran data
elektronik, sistem pengolahan data inventori yang juga dilakukan dengan sistem
jaringan komputer.
Dalam teknologi informasi e-commerce
dapat dikategorikan sebagai badian dari e-business
dimana e-business memiliki
cakupan yang lebih luas, baik dari segi aktivitas ataupun jenis-jenis kegiatan
yang dilakukannya.
Istilah Electronic Commerce belum
memiliki istilah yang baku. Terdapat beberapa
istilah yang dikenal pada umumnya seperti E-Commerce, Web Contract, dan Kontrak Dagang
Elektronik. Namun dalam penulisan ini, istilah yang digunakan adalah e-commerce.
E-commerce merupakan bagian dari
Electronic Bussines (bisnis
yang dilakukan melalui media elektronik). Kalangan bisnis memberikan definisi tentang
e-commerce sebagai segala bentuk
perniagaan / perdagangan barang atau jasa dengan menggunakan media elektronik.
Media elektronik disini tidak terbatas pada internet saja, namun karena
penggunaan internet dewasa ini amat populer maka fokus pembahasan pada skripsi
ini adalah e-commerce pada media
internet.
Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi yang
mengutip pendapat David Baum Menurut Julian Ding sebagaimana dikutip oleh
Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi sebagai berikut menyebutkan bahwa
“e-commerce is a dynamic sets of technologies, application, and bussines procces that link enterprises, consumers and communities through electronic
transaction and the electronic exchange of goods, services and information”.
bahwa e-commerce adalah suatu set
dinamis teknologi, aplikasi, dan kegiatan bisnis yang menghubungkan perusahaan,
konsumen, dan komunitas melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang,
servis dan informasi.[16]
Menurut Julian Ding sebagaimana
dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi sebagai berikut:[17]
“Electronic Commerc, or E-Commerce as
it is also knomn is a commercial transactions between a vendor and phurchaser
or parties in similar contractual relationships for the supply of goods,
services or the acquisition of “right”.
This commercial transaction is executedor
entered into in an electronic medium (or digital medium)when the physical
presence of the parties is not required. And the medium exits in a public network or system as
opposed to a private network (Closed System). The public network or system must
be considered an open system (e.g the internet or the world wide web), the
transactions are concluded regardless of national boundaries or local
requirements”.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai
berikut :
“Electronic
Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli
untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan
dengan media electronic (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara
fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu
internet atau world wide web.
Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional”.
Wikipedia memberikan definisi E-commerce sebagai berikut:[18]
a.
“e-commerce can
be defined as commercial activities conducted through an exchange of
information generated, stored, or communicated by electronical, optical or
analogues means, including EDI, E-mail, and so forth”.
Terjemahan bebasnya sebagai berikut
:
e-commerce dapat didefinisikan sebagai aktifitas komersial
melalui pertukaran informasi yang dihasilkan, disimpan atau dikomunikasikan
oleh alat elektronik, optik atau analog, termasuk EDI, E-mail, dan lainlain.
b.
e-commerce
is performing business transaction with the aid of evolving computing tools and paper-less communication links (electronic messaging technologies).
Terjemahan bebasnya sebagai berikut:
e-commerce adalah alat untuk mendukung kegiatan transaksi bisnis
dengan perkembangan komputansi dan tidak menggunakan kertas.
c.
“electronic
Commerce may be defined as the entire set of process that support commercial
activities on a network and involve information analysis”.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai
berikut:
e-commerce dapat didefinisikan sebagai suatu set dari
keseluruhan proses yang mendukung kegiatan komersial dalam jaringan dan
mengembangkan analisa informasi.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat
ditarik beberapa unsur dari E-commerce,
yakni:
a.
Adanya kontrak dagang.
b.
Kontrak itu dilaksanakan dengan
media elektronik.
c.
Transaksi bersifat paper less.
d.
Kehadiran fisik dari para pihak
tidak diperlukan.
e.
Kontrak itu terjadi dalam jaringan
publik.
f.
Terbuka, yaitu dengan internet atau www (World
Wide Web).
g.
Kontrak itu terlepas dari batas
yurisdiksi nasional.
h.
Mempunyai nilai ekonomis.
E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang menggunakan
media elektronik. Kedudukan e-commerce
dalam hukum Indonesia terletak dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem
dari hukum perjanjian, maka e-commerce
memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada umumnya seperti :
a) Asas
kebebasan berkontrak.
b)
Asas konsensual.
c)
Asas it ikad baik.
d)
Asas keseimbangan.
e)
Asas kepatutan.
f)
Asas kebiasaan.
g)
Asas ganti rugi.
h)
Asas keadaan memaksa.
i)
Asas kepastian hukum, dll.
Karena
berlakunya asas-asas hukum perjanjian dalam e-commerce,
maka ketentuan tentang perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal
1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni :
a) Sepakat
mereka untuk mengikatkan dirinya.
b)
Cakap untuk membuat suatu perikatan.
c)
Suatu hal tertentu.
d) Suatu sebab
yang halal.
Transaksi seperti ini juga memiliki
manfaat-manfaat tertentu. Manfaat yang didapat oleh pengguna e-commerce antara lain, sebagai berikut:
a)
Melewati batasan geografis
Jika Anda
memiliki toko fisik, Anda dibatasi oleh wilayah geografis yang dapat Anda
layani. Dengan situs web e-commerce,
seluruh dunia adalah taman bermain Anda. Selain itu, munculnya E-Commerce, yaitu, e-commerce pada perangkat mobile,
telah memutuskan segala keterbatasan geografis yang tersisa.
b)
Mendapatkan pelanggan baru lewat search engine
Ritel fisik
didorong oleh brand dan hubungan. Selain itu, ritel online juga didorong oleh lalu lintas dari mesin pencari.
Bukan hal baru bagi pelanggan untuk mengikuti link dalam hasil pencarian mesin
pencari, dan mendarat di sebuah situs e-commerce
yang mereka belum pernah dengar sebelumnya.
c)
Biaya lebih rendah
Salah
satu sisi positif paling nyata dari e-commerce
ialah biaya yang lebih rendah. Bagian dari biaya-biaya lebih rendah ini,
dapat diteruskan kepada pelanggan dalam bentuk pemberian diskon.
d) Mencari produk lebih cepat
Hal
ini tidak lagi tentang mendorong keranjang belanja ke lorong yang benar, atau
produk yang diinginkan. Di sebuah situs e-commerce,
pelanggan dapat mengklik navigasi intuitif atau menggunakan kotak pencarian
untuk segera mempersempit pencarian produk mereka. Beberapa situs web mengingat preferensi pelanggan dan
daftar belanja untuk memfasilitasi pembelian berulang.
e)
Mengeliminasi
waktu dan biaya perjalanan
Kadang-kadang pelanggan melakukan perjalanan
jauh untuk mencapai toko fisik yang mereka sukai. E-commerce memungkinkan mereka untuk mengunjungi toko yang sama
secara virtual, hanya dengan beberapa kali klik.
f) Memberikan perbandingan berbelanja
E-commerce
memfasilitasi perbandingan berbelanja. Ada beberapa layanan online yang
memungkinkan pelanggan untuk menelusuri beberapa pedagang e-commerce dan
menemukan harga terbaik.
g) Memudahkan komunikasi bisnis
Menggunakan
informasi yang diberikan pelanggan dalam formulir pendaftaran, dan dengan
menempatkan cookie di komputer
pelanggan, seorang pedagang e-commerce
dapat mengakses banyak informasi mengenai pelanggan. Hal ini, pada gilirannya,
dapat digunakan untuk menyampaikan pesan yang relevan.
3. Mekanisme dan Karakteristik E-Commerce
Transaksi e-commerce antara pihak e-merchant (pihak yang menawarkan barang dan/atau jasa
melalui internet) dengan e-customer
(pihak yang membeli barang dan/atau jasa melalui internet) yang terjadi di
dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara paperless
transaction, sedangkan dokumen yang
digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah
paper document, melainkan dokumen
elektronik (digital document).[19]
Dalam transaksi online, ada banyak kontrak yang memiliki beberapa type dan variasi
berdasarkan saranayang digunakan untuk membuat kontrak tersebut. Antara lain
yaitu:
1)
Kontrak melalui chatting dan video conferenc
Chatting dan video conference adalah alat komunikasi yang disediakan oleh
internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara langsung.
Dengan chatting
seseorang dapat berkomunikasi secara langsung dengan orang lain seperti
layaknya telepon, hanya saja komunikasi lewat
chatting ini adalah tulisan atau
pernyataan yang terbaca pada komputer masing-masing. Sesuai dengan namanya, video conference adalah alat untuk
berbicara dengan beberapa pihak dengan melihat gambar dan mendengar suara
secara langsung pihak yang dihubungi dengan alat ini. Dengan demikian melakukan
kontrak dengan menggunakan jasa chatting dan video
conference ini dapat dilakukan secara langsung antara beberapa pihak dengan
menggunakan sarana komputer.
2)
Kontrak melalui e-mail
E-mail adalah
salah satu kontrak online yang sangat
populer karena pengguna e-mail saat ini amat banyak dan mendunia
dengan biaya yang sangat murah dan waktu yang efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail dapat dilakukan dengan cara
mendaftarkan diri kepada penyedia layanan e-mail
gratis atau dengan mendaftarkan diri sebagai
subscriber pada, server atau
ISP tertentu. Kontrak e-mail dapat berupa penawaran yang dikirimkan
kepada seseorang atau kepada banyak orang yang tergabung dalam sebuah mailing
list, serta penerimaan dan pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan
melalui e-mail. Disamping itu kontrak e-mail
dapat dilakukan dengan penawaran barangnya diberikan melalui situs web yang memposting
penawarannya,sedangkan penerimaannya dilakukan melalui e-mail.
3)
Kontrak melalui web
Kontrak
melalui web terjadi dimana pihak e-merchant memiliki deskripsi produk atau jasa dalam suatu
halaman web dan dalam halaman web tersebut terdapat form pemesanan,
sehingga e-customer dapat mengisi formulir tersebut
secara langsung apabila barang atau jasa yang ditawarkan hendak dibeli
oleh ecustomer.
Secara
umum tahapan mekanisme transaksi e-commerce dapat diurutkan
sebagai berikut:
a. E-customer dan
e-merchant bertemu dalam dunia maya melalui server yang disewa
dari Internet Server Provider (ISP) oleh e-merchant.
b.
Transaksi melalui e-commerce disertai term
of use dan sales term condition
atau klausula standar, yang pada umumnya
e-merchant telah meletakkan.klausula kesepakatan pada
website-nya, sedangkan e-customer jika berminat tinggal memilih tombol accept atau menerima.
c.
Penerimaan e-customer melalui mekanisme “klik”
tersebut sebagai perwujudan dari kesepakatan yang tentunya mengikat
pihak e-merchant.
d.
Pada saat kedua belah pihak mencapai
kesepakatan, kemudian diikuti dengan proses pembayaran, yang melibatkan dua
bank perantara dari masing-masing pihak yaitu acquiring merchant bank dan issuing
customer bank. Prosedurnya e-customer
memerintahkan kepada issuing customer bank untuk dan atas nama e-customer melakukan sejumlah pembayaran atas harga barang kepada acquiring merchant bank yang ditujukan
kepada e-merchant
e.
Setelah proses pembayaran selesai
kemudian diikuti dengan proses pemenuhan prestasi oleh pihak e-merchant berupa pengiriman barang sesuai dengan
kesepakatan mengenai saat penyerahan dan spesifikasi barang.
Berbeda
dengan transaksi perdagangan pada umumnya, e-commerce
memiliki beberapa karakteristik yakni:
1)
Transaksi tanpa batas
Dewasa ini
dengan adanya internet, perusahaan kecil atau menengah dapat memasarkan
barangnya ke luar negeri dengan hanya membuat website atau memajang iklan-iklannya di internet tanpa batas waktu
(24 jam), maka pelanggan dari seluruh dunia dapat mengaksesnya dan melakukan
transaksi secara online.
2)
Transaksi bersifat anonym
Para penjual
dan pembeli dalam transaksi e-commere
tidak harus bertemu
muka secara
langsung satu sama lainnya. Bahkan penjual tidak memerlukan nama pembeli,
selama pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia layanan yang ditentukan,
biasanya pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit atau transfer via
bank.
3)
Produk yang diperdagangkan
Produk yang
diperdagangkan melalui internet berupa produk digital maupun non-digital,
barang berwujud maupun tak berwujud, dan barang bergerak.
Adapun
ruang lingkup dan dasar hukum dari e-commerce
ini terdapat didalam perkembangan dunia bisnis. Dewasa ini, dalam
perkembangan bisnis/perdagangan tidak lagi membutuhkan pertemuan secara langsung
antara para pelaku bisnis. Kemajuan teknologi memungkinkan para pelaku bisnis
melakukan hubungan-hubungan bisnis melalui
internet baik itu kegiatan penawaran maupun pembelian.
Yang
dimaksud dengan ruang lingkup e-commerce
meliputi 3 sisi. Antara lain:
1)
Business to
Business
Merupakan
sistem komunikasi bisnis antar pelaku bisnis atau dengan kata
lain secara
elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas
atau volume produk yang besar. Aktivitas
e-commerce dalam ruang lingkup
ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu sendiri.
2)
Business to
Consumer
Business to Consumer dalam e-commerce
merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha
dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat
tertentu contohnya “internet mall”.
Konsumen pada lingkup ini merupakan konsumen akhir yang merupakan pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Permasalahan
perlindungan konsumen terdapat dalam lingkup ini, karena produk yang
diperjualbelikan adalah produk barang dan jasa baik dalam bentuk berwujud
maupun dalam bentuk elektronik atau digital yang telah siap untuk dikonsumsi. Perkembangan lingkup ini membawa keuntungan
tidak saja pada pelaku usaha namun juga kepada pihak konsumen.
3)
Consumer to
Consumer
Consumer to Consumer merupakan
transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memnuhi
suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula, lingkup ini bersifat lebih
mengkhusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan
transaksi. Internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi
tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanan. Selain itu customer juga dapat membentuk komunitas pengguna/penggemar
produk tersebut. Ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk atau pelayanan,
dengan cepat dapat tersebar kepada konsumen lain melalui komunitas yang dibentuk,
hal ini membawa dampak positif bagi konsumen karena dapat menaikkan posisi
tawar konsumen terhadap pelaku usaha. Sehingga pelaku usaha dituntut untuk
memberikan pelayanan yang lebih baik bagi konsumennya.
Setiap
semua transaksi yang mana ruang lingkupnya telah ditentukan, harus memiliki
dasar-dasar hukum yang tetap. Maka, oleh karena itu pemerintah juga menegaskan
didalam suatu Undang-Undang yang mengaturnya. Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun 2008 merupakan dasar hukum utama
bagi e-commerce
di Indonesia. UU ITE ini disahkan pada tanggal 21 april 2008 dan mulai berlaku
pada saat diundangkan (Pasal 54 ayat 1). Arti penting dari UU ITE ini bagi transaksi e-commerce adalah :[20]
a.
Pengakuan transaksi, informasi,
dokumen dan tanda tangan elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum
pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.
b.
Diklasifikasikannya
tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait
penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya.
c.
UU ITE berlaku bagi setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum. Baik yang berada di wilayah Indonesia maupun
diluar Indonesia. Sehingga jangkauan Undang-Undang ini tidak hanya bersifat
lokal saja tetapi juga internasional.
Selain UU ITE, terdapat sejumlah peraturan
perundang-undangan yang dapat menunjang perlindungan konsumen dalam e-commerce, di antaranya yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd), seperti yang telah di cantumkan di atas.
[1] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2000,
hlm 47.
[2] Abdul
Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan
Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung,
2008, hlm. 7
[4] AZ.Nasution
(a), aspek Hukum Perlindungan Konsumen:
Tinjauan singkat UU Nomor 8 Tahun 1999-LN. No. 42, (Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia (MAPPI) FHUI) Depok:), 1999, hlm. 2-3
[5] Dardji Darmodihardjo, “Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia”, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2006, hlm. 11
[8] Shidarta,
Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia
edisi Revisi 2006, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 3
Jakarta, 2001, hlm. 13
[12] Ahmadi
Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta: 2011, hlm. 33
[13] Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.267
[14] Abdul
Halim Barkatullah., Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce
Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, 2005,
hlm 158
[15] Michael
S.H. Neng, Understansing Electronic Commerce From A Historitical Perspective, http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc/, bahan diakses tanggal 3
Februari 2008
[16] Onno
W. Purbo dan Aang Wahyudi, Mengenal
E-Commerce, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000, hlm. 2
[17] Mariam Darus Badrulzaman et al,
op.cit, hlm. 283
[18] http://id.wikipedia.org/wiki/E-commerce, bahan diakses tanggal 10
Juni 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar