BAB
II
TINJAUAN
UMUM TERHADAP TEORI KETENAGAKERJAAAN DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
A.
Tinjauan
Umum Teori Ketenagakerjaan
Teori tentang ketenagakerjaan berkaitan
dengan aturan-aturang yang berkaitan dengan hubungan kerja. Jika berbicara
tentang aturan maka awal dari pembicaraan tentang ketenagakerjaan harus
dijelaskan dahulu tentang Hukum Ketenagakerjaan.
1.
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan menurut pendapat beberapa ahli yaitu: Menurut
Molenaar,[1]
Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya
mengatur hubungan antara
tenaga
kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja
dengan penguasa.
Kemudian menurut M. G. Levenbach :
Hukum
Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah hukum yang
berkenaan
dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan
dibawah
pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung
bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.[2]
Menurut N. E. H. van Esveld : Hukum
Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) tidak hanya meliputi
hubungan
kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan,
tetapi
meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja
yang
melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
Menurut Rahmat Trijono :
Hukum Perburuhan (Ketenagakerjaan) adalah himpunan
peraturan-peraturan,
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
mengenai Ketenagakerjaan.[3]
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
mengartikan ketenagakerjaan adalah segala hal yang
berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah
masa kerja.[4]
Belum ada
suatu kesatuan pendapat mengenai pengertian hukum
ketenagakerjaan, tetapi Darwan Prinst, merumuskan bahwa
hukum
ketenagakerjaan adalah sekumpulan peraturan yang mengatur
hubungan
hukum antara pekerja/ organisasi pekerja dengan majikan
atau
pengusaha/ organisasi majikan dan pemerintah, termasuk di
dalamnya
adalah proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan
untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan.[5]
Berdasarkan beberapa pengertian ketenagakerjaan diatas,
dapat
dirumuskan pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua
peraturan
hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum
bekerja,
selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan
kerja.
2.
Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam
Ketenagakerjaan
a.
Pekerja
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan pekerja/
buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain. Imbalan dalam bentuk lain dapat berupa barang atau benda yang
nilainya ditentukan berdasarkan kesepakatan pekerja dengan pengusaha. Hak-hak
Pekerja Bila di PHK, Libertus Jehani mengemukakan bahwa unsur-unsur dalam pengertian
pekerja adalah bekerja pada orang lain, dibawah perintah orang lain, dan
mendapat upah[6].
Jadi yang dimaksud dengan pekerja adalah siapapun yang yang bekerja pada orang
lain, dibawah perintah pemilik perusahaan dan mendapatkan upah dari hasil
kerjanya.
b.
Pengusaha
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan secara jelas
bahwa pengusaha adalah:
1) Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri;
2) Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Sedangkan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan
hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan.
Jadi pengusaha merujuk pada orangnya, sedangkan perusahaan merujuk pada bentuk
usahanya.
c.
Organisasi Pekerja
Organisasi pekerja diperlukan sebagai wadah memperjuangkan hak dan
kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak
pengusaha. Karena itulah kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya
dalam suatu wadah atau organisasi. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
disebutkan bahwa serikat buruh/ pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh, dan untuk buruh/ pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh
serta meningkatkan kesejahteraan buruh/ pekerja dan keluarganya[7].
d.
Organisasi Pengusaha
Menurut Imam Soepomo, dasar dan tujuan organisasi pengusaha adalah
kerjasama antara anggota-anggota tidak hanya dalam soal-soal teknis dan
ekonomis belaka, tetapi juga merupakan badan yang mengurus soal-soal
perburuhan, baik inisatif sendiri maupun atas desakan dari buruh atau
organisasi buruh.[8]
Organisasi pengusaha merupakan mitra serikat pekerja dan pemerintah
dalam penanganan masalah-masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Organisasi pengusaha dapat dibentuk menurut sektor industri atau jenis usaha,
mulai dari tingkat local sampai tingkat kabupaten, propinsi hingga tingkat
pusat atau tingkat nasional[9].
Organisasi pengusaha diperlukan sebagai wadah untuk mempersatukan
para pengusaha dalam upaya turut serta memelihara ketenangan kerja dan
berusaha, atau lebih pada hal-hal yang teknis menyangkut pekerjaan/
kepentingannya. Jadi yang dimaksud dengan organisasi pengusaha adalah wadah
bagi para pengusaha untuk bergerak di bidang perekonomian dan ketenagakerjaan.
Organisasi pengusaha yang ada di Indonesia adalah KADIN (Kamar Dagang dan
Industri) dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia).
e.
Pemerintah
Pemerintah berperan melalui penetapan peraturan perundang-undangan
untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak. Bentuk campur
tangan pemerintah bisa juga terlihat dari adanya instansi-instansi yang
berwenang dan mengurus soal bekerjanya tenaga kerja. Instansi yang dimaksud
salah satunya adalah Dinas Tenaga Kerja.
3.
Hubungan Kerja
Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha sesungguhnya adalah
hubungan perdata yang didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak
untuk mendapatkan hak dan menjalankan kewajiban masing-masing[10].
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan
hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
Dari pengertian diatas, jelas bahwa hubungan kerja terjadi setelah
ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja yang memuat hak dan
kewajiban masing masing pihak.
a.
Perjanjian Kerja
1) Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah
perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan menurut
pasal 1601 a KUHPerdata, perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak
yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang
lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan
menerima upah[11].
Dari pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata, jelas bahwa
hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan
(subordinasi), yaitu pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial
ekonomi yang memberikan perintah kepada pihak pekerja yang secara social
ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan
tertentu. Sedangkan dari Undang-undang ketenagakerjaan, perjanjian kerja
bersifat umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
2)
Unsur Perjanjian
Kerja
Berdasar pengertian perjanjian kerja
diatas, maka unsur-unsur perjanjian kerja yaitu :
a) Adanya
unsur pekerjaan
Pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dikerjakan oleh
pekerja untuk kepentingan pengusaha sesuai dengan perjanjian kerja. Pekerjaan harus
dikerjakan sendiri oleh pekerja, dan hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh
orang lain[12].
b) Adanya
unsur perintah
Pekerja harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan
pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Hubungan kerja dalam ketenagakerjaan
berbeda dengan hubungan antara dokter dengan pasien atau pengacara dengan
kliennya.
c) Adanya
waktu
Dalam melakukan pekerjaan harus ditentukan jangka waktunya agar
pengusaha tidak semena-mena dalam mempekerjakan pekerjanya. Adanya jangka waktu
biasanya terdapat dalam perjanjian kerja untuk pekerja kontrak.
d) Adanya upah
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan
upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
3)
Syarat Sahnya
Perjanjian Kerja
Syarat sahnya perjanjian secara umum menurut Pasal 1320 KUHPerdata
adalah:
a)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b)
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c)
Suatu hal tertentu;
d) Suatu sebab
yang halal.
Sebagaimana perjanjian pada umumnya seperti yang tercantum dalam
pasal 1320 KUHPerdata di atas, maka menurut Pasal 52 ayat (1) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja harus dibuat
berdasar atas :
a)
Kesepakatan kedua belah pihak
b)
Kemampuan atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum
c)
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d) Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
4)
Macam Perjanjian
Kerja
Perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Tetapi
dewasa ini perjanjian kerja umumnya secara tertulis, walaupun kadang-kadang
masih ada yang disampaikan secara lisan. Pasal 63 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 membolehkan hal tersebut dengan syarat perjanjian kerja yang dibuat secara
lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang
bersangkutan yang berisi antara lain :
1) Nama dan
alamat pekerja
2) Tanggal
mulai bekerja
3) Jenis
pekerjaan
4) Besarnya
upah
Dalam perjanjian kerja tertulis harus memuat tentang jenis
pekerjaan yang akan dilakukan, besarnya upah yang akan diterima dan hak serta
kewajiban bagi masing-masing pihak. Secara normatif, bentuk tertulis menjamin
kepastian hak dan kewajiban para pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan
sangat membantu dalam proses pembuktian[13].
Pasal 54 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa perjanjian kerja
tertulis memuat :
1) Nama,
alamat perusahaan dan jenis usahanya
2) Nama, jenis
kelamin, umur dan alamat pekerja/ buruh
3) Jabatan
atau jenis pekerjaan
4) Tempat
pekerjaan
5) Besarnya
upah dan cara pembayarannya
6) Syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh
7) Mulai dan
jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8) Tempat dan
tanggal perjanjian kerja dibuat
9) Tanda
tangan para pihak dalam perjanjian kerja
Perjanjian kerja dibagi menjadi dua, yaitu :
a)
Perjanjian kerja waktu tertentu
Perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang
jangka berlakunya telah ditentukan. Pekerjaan dapat dikategorikan sebagai
perjanjian kerja waktu tertentu apabila :
ü pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
ü pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama tiga tahun
ü pekerjaan
yang bersifat musiman
ü pekerjaan
yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan[14].
Perjanjian kerja waktu tertentu diadakan paling lama dua tahun dan
hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan satu kali dan
paling lama dua tahun.
b)
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian dimana
waktu berlakunya tidak ditentukan baik dalam perjanjian, undang-undang maupun
dalam kebiasaan. Dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat
memberlakukan masa percobaan kepada pekerjanya asal hal tersebut dituangkan
dalam perjanjian kerja tertulis atau bila perjanjian kerjanya bersifat lisan
masa percobaan harus dicantumkan dalam surat pengangkatan.
5)
Berakhirnya
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu akan habis dan berakhir
apabila[15]:
a) Pekerja
meninggal dunia
b) Berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja
c) Adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan/ penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang mempunyai kekuatan hukum tetap
d) Adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja (Pasal 61 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).
b.
Peraturan Perusahaan
Selain perjanjian kerja, ada juga peraturan yang berhubungan erat
dengan hubungan kerja, yaitu peraturan perusahaan. Menurut Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003, peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan.
Peraturan perusahaan merupakan petunjuk teknis dari perjanjian
kerja bersama maupun perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja/ serikat pekerja
dengan pengusaha[16].
Tetapi kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan
yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. Masa berlaku peraturan perusahaan
paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya[17].
Hal ini dapat dilihat bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan
perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya, tetap berlaku sampai
ditandatanganinya perjanjian kerja bersama atau disahkannya peraturan
perusahaan baru[18].
Di dalam perjanjian, secara tidak langsung memuat hak dan kewajiban pekerja dan
pengusaha. Secara umum, kewajiban pekerja adalah hak yang diperoleh pengusaha.
Sedangkan kewajiban pengusaha adalah hak yang diterima pekerja. Kewajiban
pengusaha antara lain, Membayar imbalan kerja berupa upah kepada para pekerja,
Memberikan waktu istirahat dan cuti, Mengatur tempat kerja dan alat-alat kerja,
serta memberikan petunjuk pemakaian untuk menghindari kecelakaan, Memberi surat
keterangan kepada pekerja yang berhenti bekerja pada suatu perusahaan,
Bertindak sebagai pengusaha yang baik, Mengurus perawatan dan pengobatan
pekerja yang sakit atau mengalami kecelakaan pada saat bekerja.
Kemudian kewajiban pekerja antara lain, Melakukan pekerjaan
sendiri tanpa bantuan atau, penggantian orang lain di luar sepengetahuan
pengusaha, Menaati tata tertib yang berlaku di perusahaan, Membayar denda dan
ganti rugi atas kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan dan Bertindak sebagai
pekerja yang baik.
B.
Tinjauan
Perselisihan Dalam Hubungan Ketenagakerjaan
1.
Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Berbicara tentang perselisihan hubungan Industrial
di Indonesia umumnya dan di kabupaten Rokan Hulu khususnya tata cara
penyelesaian hubungan indutrial telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dimana dalam Bab 1 pasal (1) nya telah memberikan
penjelasan tentang apa itu yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan
industrial. Adapun yang dimaksud
dengan Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh kerena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan tenaga kerja,
serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Serikat kerja/buruh dan pekerja/buruh, dalam pasal 1
ayat (6) dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan pengusaha adalah orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
perusahaan milik sendiri, maupun bukan, baik berada diwilayah Indonesia atau
hanya yang mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar negeri, sedangkan yang
dimaksud dengan buruh atau pekerja adalah setiap orang yang bekerja menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sementara itu serikat pekerja/ buruh adalah
Organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/ buruh baik diperusahaan
maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokrasi, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela dan melindungi hak dan
kepentingan pekerja/ buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan
keluarganya[19].
Hubungan Industrial antara Pekerja/ buruh dengan
pengusaha yang harmonis, dinamis dan berkeadilan perlu diselenggarakan secara
optimal sesuai dengan nilai-nilai luhur pencasila dan nilai-nilai kebudayaan
bangsa Indonesia. Pada masa sekarang ini khususnya setelah terjadinya reformasi
di segala bidang termasuk reformasi di bidang ketenagakerjaan, bagitu banyak
terdengar keluhan-keluhan yang dialami oleh tenaga kerja, begitu banyak terjadi
ketidakadilan, dalam artikata bahwa di era industrilisasi sekarang ini masalah
perselisihan hubungan industrial dari tahun ketahun semakin meningkat dan
komplek sehingga diperlukan mekanisme/prosedur perselisihan hubungan industrial
yang cepat, tepat adil dan murah.[20]
Pengertian perselisihan hubungan industrial menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian
Perselisihan
Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha dan gabungan dengan
pekerja/
buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu
perusahaan.
2.
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Ada beberapa
jenis perselisihan hubungan industrial dijelaskan didalam Pasal 2
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis perselisihan hubungan
industrial meliputi[21]:
a.
Perselisihan hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Perselisihan hak, misalnya pekerja
telah melakukan
pekerjaan
dengan baik dan benar tetapi pengusaha tidak membayar upah sesuai dengan yang telah
diperjanjikan maka pada saat itu
pekerja
mempunyai kewenangan untuk menuntut haknya.
b.
Perselisihan kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak
adanya kesesuaian pendapat
mengenai
pembuatan, dan/ atau perubahan syarat-syarat kerja
yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.[22]
c.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah
satu pihak. Perselisihan PHK merupakan masalah
yang sering terjadi.
Oleh karena
itu perlindungan mengenai PHK paling banyak diatur
dalam
peraturan ketenagakerjaan karena masalah PHK
menyangkut
kelangsungan hidup para pekerja selanjutnya[23].
d.
Perselisihan antarserikat pekerja/ serikat
buruh
Dalam satu perusahaan Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat
buruh adalah
perselisihan
antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat
pekerja/
serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan,
pelaksanaan
hak, dan kewajiban serikat pekerja[24].
C. Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
Berbicara tentang penyelesaian perselisihan hubungan
Industrial di Indonesia umumnya dan di kabupaten Rokan Hulu khususnya tata cara
penyelesaian hubungan indutrial telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dimana dalam Bab 1 pasal (1) nya telah memberikan
penjelasan tentang apa itu yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan
industrial.
Penanganan
Perselisihan Hubungan Industrial yang terjadi di Perusahaan memerlukan
penanganan yang tepat dan hati-hati. Langkah utama yang wajib dilakukan
dalam penanganan timbulnya Perselisihan Hubungan Industrial adalah melakukan
klarifikasi permasalahan guna mengetahui duduk perkara yang sebenarnya untuk
meminimalkan resiko Ketenagakerjaan yang berlarut-larut yang merugikan baik
Perusahaan maupun Karyawan yang bersangkutan.
Hal yang
perlu diperhatikan oleh Perusahaan sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan
penyelesaian adalah dengan melakukan klarifikasi terhadap alasan dan faktor
penyebab terjadinya Perselisihan. Langkah klarifikasi ini sangat penting
dilakukan untuk menghindari dampak Penyelesaian yang dapat merugikan perusahaan
baik kerugian secara finansial (financial risk) maupun kerugian atas
nama baik perusahaan (name risk).
Langkah
tersebut di atas sangat perlu diperhatikan terutama terhadap perselisihan
Hubungan Industrial yang berakhir dengan langkah PHK oleh perusahaan.
Dalam ketentuan pasal 153 UU
Ketenagakerjaan, juga diatur bahwa setiap terjadinya perselisihan Hubungan
Industrial yang disebabkan oleh jenis atau kondisi tertentu, Perusahaan
dilarang melakukan tindakan PHK.
Jenis
perselisihan yang disebabkan oleh kondisi tertentu yang dimaksud dalam
peraturan tersebut adalah[25]:
1.
Karyawan
berhalangan masuk dikarenakan sakit yang berkepanjangan akan tetapi tidak lebih
dari 12 bulan;
2.
Karyawan
berhalangan masuk karena menjalankan kewajiban terhadap Negara sesuai ketentuan
yang berlaku;
3.
Karyawan
menjalankan ibadah yang diperintahkan oleh Agama;
4.
Karyawan
menikah;
5.
Karyawan
(wanita) hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
6.
Karyawan
mendirikan atau melakukan kegiatan Serikat Pekerja atau sejenis dalam jam kerja
sesuai yang diatur dalam Kesepakatan Pengusaha dan Serikat Pekerja;
7.
Karyawan
mengadukan Pengusaha kepada yang berwajib karena tindakan Pidana yang dilakukan
Pengusaha;
8.
Karena
perbedaan paham agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi pisik dan karena status perkawinan;
9.
Karyawan
menderita sakit yang disebabkan oleh kecelakaan kerja dan waktu penyembuhannya
belum dapat dipastikan oleh Dokter;
Apabila
Pengusaha tetap melakukan PHK berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka PHK
akan batal demi hukum dan Pengusaha wajib mempekerjakan Karyawan tersebut
dengan posisi semula. Dikecualikan dari ketentuan tersebut di atas, Perusahaan
dapat melakukan upaya PHK terhadap karyawan atas kondisi dan atau perselisihan
yang timbul akibat dari pelanggaran sebagaimana yang telah diatur dalam
Peraturan yang mengatur tentang Ketenagakerjaan yang berlaku.
Beberapa
penyebab perselisihan yang dapat dilakukan upaya PHK oleh Perusahaan adalah
sebagai berikut[26]:
1.
Karyawan
terbukti telah melakukan pelanggaran berat, seperti yang diatur dalam pasal 158
UU Ketenagakerjaan juncto pasal 25 Peraturan Perusahaan;
2.
Karyawan
ditahan oleh Pihak yang berwajib dikarenakan bukan atas laporan Pengusaha,
(pasal 160 ayat 3 UU Ketenagakerjaan);
3.
Karyawan
telah melakukan pelanggaran atas kesepakatan kerja, Peraturan perusahaan dan
peraturan internal lainnya yang telah disepakati, Perusahaan telah memberikan
Surat Peringatan sebanyak 3 kali secara berturu-turut (pasal 161 ayat 2 UU
Ketenagakerjaan);
4.
Perusahaan
dalam keadaan bangkrut yang dibuktikan dengan laporan keuangan dalam hal
mana Perusahaan telah mengalami kerugian secara berturut-turut selama 2 tahun (
pasal 164 ayat 1 UU Ketenagakerjaan);
5.
Perusahaan
dalam keadaan Pailit (pasal 165 UU Ketenagakerjaan);
6.
Karyawan
telah memasuki usia pensiun sesuai Peraturan Perusahaan yang berlaku (pasal 167
ayat 1 UU Ketenagakerjaan);
7.
Berakhirnya
masa kerja untuk Karyawan dengan Kontrak Kerja Waktu Tertentu yang sesuai
dengan UU ketenagakerjaan yang berlaku, (pasal 61 ayat 1a juncto 154b UU
Ketenagakerjaan);
8.
Karyawan
Mangkir atau Karyawan tidak masuk bekerja tanpa ijin minimal selama 5 hari
berturu-turut dimana Perusahaan telah melakukan pemanggilan tertulis secara
patut banyak 3 kali dan Karyawan tidak dapat memberikan alasan yang dapat
diterima Perusahaan (pasal 168 ayat 1 UU Ketenagakerjaan)[27].
Sesuai
ketentuan UU Ketenagakerjaan yang berlaku, perusahaan harus mengupayakan
penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dengan jalan musyawarah dan
berupaya untuk tidak melakukan tindakan PHK. Dalam melakukan langkah PHK,
perusahaan harus memperhatikan ketentuan ketentuan dan prosedur tentang PHK
yang benar sesuai ketentuan, agar proses dan langkah yang dilakukan tidak
menjadi batal demi hukum.
Adapun
dalam pelaksanaannya, penanganan atau langkah PHK sesuai ketentuan yang berlaku
dapat dilakukan dengan 2 tahap yaitu[28];
- Sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan, PHK yang dapat dilakukan langsung secara sepihak tanpa memerlukan penetapan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Daerah/Pusat (P4D/P) (PHK “serta merta”), atau Lembaga PPHI, sebagai berikut :
a.
Karyawan
yang melakukan pelanggaran masih dalam masa percobaan maksimal 3 bulan (pasal
154a)
b. Atas permintaan Karyawan sendiri
yang dibuktikan dengan surat permohonan pengunduran diri atau dikualifikasikan
mengundurkan diri (pasal 154b)
c. Karyawan Mangkir (pasal 168 ayat 1)
d. Karyawan ditahan oleh aparat
Kepolisian bukan dikarenakan oleh laporan Pengusaha minimal selama 6
bulan atau Karyawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan sebelum jangka waktu
yang ditentukan tersebut (pasal 160 ayat 3)
2.
Dalam
hal ternyata Karyawan terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan Pengadilan,
maka Perusahaan wajib mempekerjakan Karyawan kembali kepada posisi semula.
a.
Karyawan
mencapai usia pensiun seperti yang diatur oleh Peraturan Perusahaan atau
ketentuan perundangan yang berlaku (pasal 154c)
b.
Karyawan
meninggal dunia (pasal 154d)
c.
Karyawan
terbukti telah melakukan Pelanggaran berat seperti yang di atur dalam pasal 158
UU Ketenagakerjaan juncto pasal 25 Peraturan Perusahaan yang berlaku.
Dalam hal
Karyawan tidak dapat menerima tindakan PHK oleh Perusahaan karena terbukti
melakukan pelanggaran berat, maka Karyawan dapat mengajukan gugatan ke Lembaga
PPHI (pasal 159 UU Ketenagakerjaan) (apabila lembaga PPHI sudah terbentuk). PHK
yang wajib dimintakan penetapan dari P4D/P atau Lembaga PPHI, adalah sebagai
berikut[29]:
a.
Karyawan
telah melakukan pelanggaran atas kesepakatan kerja, Peraturan perusahaan dan
peraturan internal lainnya yang telah disepakati dan Perusahaan telah memberikan
Surat Peringatan sebanyak 3 kali secara berturut-turut (pasal 161 ayat 2)
b.
Perusahaan
dalam keadaan bangkrut yang dibuktikan dengan laporan keuangan dalam hal
mana Perusahaan telah mengalami kerugian secara berturut-turut selama 2 tahun (
pasal 164 ayat 1)
c.
Perusahaan
dalam keadaan Pailit sebagaimana telah diputuskan oleh Pengadilan yang
berwenang (pasal 165).
1. Penyelesaian di luar pengadilan
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Indutrial dapat dilakukan diluar pengadilan dimana dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1.
Perundingan
bipartit
Pengertian perundingan bepartit adalah
perundingan antara Pekerja/ Buruh/ Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dengan
Pengusaha untuk menyelesaikan hubungan Industrial, Selanjutnya bahwa
Perselisihan Hubungan Industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu
melakukan perundingan bepartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan terlebih dahulu melalui
perundingan bipartit secara musyawarah
mufakat. Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah. Jika
perundingan bipartit berhasil dilakukan dan mencapai kesepakatan maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang isinya mengikat para
pihak.
Perjanjian tersebut harus
didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah para pihak mengadakan perjanjian, jika salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan
maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama di daftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi.
Dalam perundingan bepartit tentu saja melalui beberapa tahap yang
dipersiapkan oleh para pihak sebelum melakukan bepartit adalah penguasaan atas
fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dasar hukum yang jelas untuk
menguatkan tuntutan, dan strategi untuk memenangkan perundingan. Caranya adalah
sebagai berikut:[30]
a. Mengumpulkan
fakta-fakta dan bukti tentang kejadian atau peristiwa yang terjadi.
b. Menetapkan
sasaran dengan mempertimbangkan tiga posisi yaitu, posisi ideal, posisi target,
dan posisi resistan.
Jika dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak berunding atau telah
dilakukan perundingan tapi gagal
maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada Dinas Tenaga Kerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya
penyelesaian melalui perundingan
bipartit telah dilaksanakan. Dinas Tenaga Kerja akan menawarkan pada para pihak untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau
arbitrase. Jika para pihak tidak
memilih salah satu dari dua pilihan tersebut dalam jangka waktu 7 hari maka Dinas Tenaga Kerja melimpahkan penyelesaiannya pada mediator.
2.
Penyelesaian
Melalui Mediasi
Perselisihan hubungan industrial yang bisa diselesaikan melalui
mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungan industrial yang dikenal dalam
UU Nomor 2 Tahun 2004. Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
yang netral. Menurut Fuller, mediator mempunyai 7 fungsi, yaitu[31]:
a.
Sebagai katalisator (catalyst),
mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu
mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
b.
Sebagai pendidik (educator), berarti
harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan
kendala usaha dari para pihak.
c.
Sebagai penerjemah (translator),
berarti harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu
kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa
mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
d.
Sebagai narasumber (resource person),
berarti harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
e.
Sebagai penyandang berita jelek (bearer
of bad news), berarti harus menyadari bahwa para pihak dalam proses
perundingan dapat bersikap emosional.
f.
Sebagai agen realitas (agent of reality),
berarti harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak
bahwa sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
g.
Sebagai kambing hitam (scapegoat),
harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
Christopher W. Moore membedakan mediator dalam tiga tipologi,
yaitu[32]:
1.
Social network mediators, yaitu
mediator berperan dalam sebuah sengketa atas dasar adanya hubungan sosial
antara mediator dan para pihak yang bersengketa, misalnya bila terjadi sengketa
antarrekan sekerja dan teman usaha.
2.
Authoritative mediators, yaitu
mediator yang dalam menjalankan perannya didasarkan pada keyakinan atau
pandangan bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah
ditentukan oleh dirinya selaku pihak yang berpengaruh, melainkan harus
dihasilkan oleh upaya pihak-pihak yang
bersengketa sendiri. Authoritative mediators dibagi menjadi tiga tipe,
yaitu[33]:
a) Tipe benovalent,
mempunyai ciri sebagai berikut :
1) Dapat
memiliki atau tidak memiliki hubungan dengan para pihak
2) Mencari penyelesaian
yang baik bagi para pihak
3) Tidak
berpihak dalam hal substantive
4) Kemungkinan
memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan.
b) Tipe managerial,
mempunyai ciri sebagai berikut :
1) Memiliki
hubungan otoritatif dengan para pihak sebelum dan sesudah sengketa berakhir
2) Mencari
penyelesaian yang diupayakan bersama-sama dengan para pihak dalam ruang lingkup
kewenangannya
3) Berwenang
untuk memberi nasihat dan saran jika para pihak tidak mencapai kesepakatan
4) Kemungkinan
memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan
5) Memiliki
kewenangan membuat keputusan.
c) Tipe vested
interest, mempunyai ciri sebagai berikut[34]:
1) Memiliki
hubungan dengan para pihak atau diharapkan memiliki hubungan masa depan dengan
para pihak
2) Memiliki
kepentingan yang kuat terhadap hasil akhir
3) Mencari
penyelesaian yang dapat memenuhi kepentingan mediator atau kepentingan pihak
yang disukai
4) Kemungkinan
memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan
5) Kemungkinan
dapat menggunakan tekanan agar para pihak mencapai kesepakatan
3.
Independent mediators,
Yaitu mediator yang dapat menjaga jarak antarpihak maupun dengan
persoalan yang tengah dihadapi. Tugas, kewajiban dan wewenang mediator diatur
dalam Pasal 8 ayat (1) Kepmenakertrans Nomor Kep 92/Men/VI/2004.
Tugas mediator adalah melakukan mediasi kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan. Kewajiban mediator, yaitu[35]:
a) Memanggil
para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang diperlukan
b) Mengatur
dan memimpin mediasi
c) Membantu
membuat perjanjian bersama apabila tercapai kesepakatan
d) Membuat
anjuran secara tertulis apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
e) Membuat
risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial
f) Membuat
laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Sedangkan wewenang mediator, yaitu[36]:
a) Menganjurkan
kepada para pihak yang berselisih untuk berunding terlebih dahulu dengan itikad
baik sebelum dilaksanakan mediasi
b) Meminta
keterangan, dokumen, dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan.
c) Mendatangkan
saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan
d) Membuka
buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para pihak dan instansi atau
lembaga terkait .
e) Menerima
atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila ternyata tidak memiliki
surat kuasa. Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
mediator wajib menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan. Bila para
pihak tidak memilih arbitrase atau konsiliasi untuk menyelesaikan masalah mereka,
maka sebelum mengajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu harus
melalui mediasi.
Apabila kesepakatan tercapai dalam proses mediasi, maka mediator
membuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator untuk
kemudian di daftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah hukum tempat
perjanjian bersama dibuat untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun bila
kesepakatan gagal, mediator mengeluarkan anjuran tertulis.
Anjuran tertulis mediator memuat[37]:
a) Keterangan
pekerja/ buruh atau keterangan serikat pekerja/ serikat buruh
b) Keterangan
pengusaha
c) Keterangan
saksi/ saksi ahli apabila ada
d) Pertimbangan
hukum dan kesimpulan mediator
e) Isi
anjuran.
Anjuran tertulis harus dibuat selambat-lambatnya 10 hari kerja
sejak sidang mediasi pertama. Para pihak pun harus memberikan jawaban atas
anjuran tertulis tersebut paling lama 10 hari setelah menerima anjuran
tertulis. Bagi para pihak yang tidak memberikan pendapat berarti menolak
anjuran tertulis dari mediator. Untuk itu mediator mencatat dalam buku
perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi dan
melaporkan kepada pejabat yang member penugasan.
Bila anjuran tertulis diterima, dalam jangka waktu tiga hari kerja
sejak anjuran tertulis disetujui, mediator membantu para pihak membuat
perjanjian bersama untuk didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di
wilayah hukum perjanjian bersama itu dibuat untuk mendapatkan akta pendaftaran[38].
Anjuran tertulis yang ditolak salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan tuntutan ke Pengadilan Hubungan Industrial setempat.
Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama di daftarkan
untuk mendapat penetapan eksekusi, atau apabila pemohon eksekusi berdomisili di
luar wilayah hukum Pengadilan Negeri tempat pendaftaran maka pemohon eksekusi
dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusiuntuk diteruskan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
c. Konsiliasi
Konsiliasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Para pihak dapat
mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama
konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintah bidang
ketenagakerjaan, yaitu Dinas Tenaga Kerja setempat[39].
Konsiliator harus menyelesaikan perselisihan paling lama 30 hari
kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan tersebut. Dalam
menyelesaikannya, pada kesempatan pertama konsiliator wajib mendamaikan para
pihak. Jika terjadi kesepakatan untuk berdamai, maka dibuatkan perjanjian
bersama yang kemudian di daftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Bila
kesepakatan tersebut tidak dijalankan oleh salah satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan
Industrial di tempat pendaftaran perjanjian bersama.
Jika konsiliator gagal mendamaikan para pihak, konsiliator
mengeluarkan anjuran tertulis paling lambat 10 hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama. Persetujuan atau penolakan para pihak terhadap anjuran
harus disampaikan paling lama 10 hari kerja sejak menerima anjuran tertulis
dari konsiliator.
Anjuran tertulis yang disetujui para pihak diikuti dengan
dibuatnya perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial di wilayah hukum para pihak yang mengadakan perjanjian bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran. Bila anjuran tertulis ditolak oleh salah
satu pihak atau kedua belah pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat
melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial
setempat dengan mengajukan gugatan.
b.
Arbitrase
Arbitrase hubungan industrial adalah penyelesaian suatu
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak
dan bersifat final[40].
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian
penunjukkan arbitrase. Bila terjadi pergantian arbiter, jangka waktunya dapat
diperpanjang untuk paling lama 30 hari sejak arbiter pengganti menandatangani
surat perjanjian arbitrase. Bila disepakati para pihak arbiter dapat
memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan satu kali
selambat-lambatnya 14 hari kerja. Dalam proses penyelesaian perselisihan, pada
kesempatan pertama arbiter wajib mengupayakan perdamaian. Jika perdamaian
tercapai, maka dibuatkan akta perdamaian. Akta perdamaian kemudian didaftarkan
di Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah arbiter membuat akta perdamaian.
Jika isi akta perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Hubungan
Industrial di wilayah akta perdamaian didaftarkan.
2.Penyelesaian melalui pengadilan
1.
Pengadilan
Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang
berada pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutuskan[41]:
1.
Di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak dan persalisihan pemutusan hubungan kerja.
2.
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Pada prinsipnya prosedur persidangan di Pengadilan Hubungan
Industrial sama seperti dalam Hukum Acara Perdata pada peradilan umum, kecuali
yang diatur khusus dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, misalnya yang
tercantum dalam pasal 58 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 yaitu para pihak
tidak dikenakan biaya perkara termasuk biaya eksekusi untuk nilai sengketa
dibawah Rp. 150 juta. Pasal 60 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan
bahwa susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri
dari[42]:
a)
Hakim;
b)
Hakim Ad-Hoc;
c)
Panitera muda;
d) Panitera
pengganti
Sedangkan susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah
Agung terdiri dari :
1.
Hakim Agung
2.
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung
3.
Panitera
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh
dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Sedangkan
putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja bagi pihak yang
hadir terhitung sejak putusan dibacakan dan bagi pihak yang tidak hadir
terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
2.
Mahkamah Agung
Ada dua upaya hukum kepada Mahkamah Agung yang dapat
diajukan oleh para pihak yang bersengketa, yaitu :
1.
Kasasi Putusan kasasi untuk
menyelesaikan perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan
kerja selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan.
Putusan kasasi dapat menolak/membatalkan atau mengabulkan
kasasi. Syarat utama kasasi agar diterima adalah syarat formil seperti
dilampauinya tenggat waktu, belum dipenuhinya upaya hukum lain,
terlambat mengajukan memori kasasi, atau surat kuasa khusus dalam permohonan
kasasi tidak memenuhi syarat. Sedangkan penolakan kasasi lebih menyangkut
judex factie, seperti hakim tidak salah menerapkan hukum, atau
kasasi yang diajukan bukan merupakan wewenang hakim kasasi atau alasan
permohonan kasasi tidak sesuai dengan pokok perkara.
2.
Peninjauan kembali Peninjauan
kembali merupakan upaya hukum luar biasa agar putusan Pengadilan
Hubungan Industrial atau putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap kembali menjadi belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengajuan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila
ditemukan bukti baru dan atau adanya kekhilafan Hakim dalam menerapkan
hukumnya. Jika peninjauan kembali dikabulkan Mahkamah Agung, maka Mahkamah
Agung membatalkan putusan sebelumnya dan selanjutnya memeriksa dan
memutus sendiri perkaranya. Peninjauan kembali akan ditolak jika tidak
disertai argumentasi yang kuat dan mendasar.
[1] Ibid hal 189
[2] Ibid hal 190
[3]
Rahmat Trijono. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan.Jakarta;Papas Sinar
Sinanti.2014 Hal 13
[4] Lihat Penjelasan Undang-Undang
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
[5] Darwan Prinst. Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Bagi Pekerja Untuk Mempertahankan
Hak-haknya). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2000. Hal 1
[6] Libertus
Jehani, Hak-hak Pekerja Bila Di PHK. Jakarta : Visimedia 2006. Hal 1
[7] Ibid hal 184
[8] Ibid hal 189
[9] Payaman J.
Simanjuntak. Manajeman Hubungan Industrial. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2003. Hal 21
[10] Ibid hal 2
[11] Zaeni Ashadie, Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksaannya di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada:Jakarta, 2014. Hal 315
[13] Lalu Husni, Pengantar
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2006.
Hal 59
[14] Undang-Undang No 13 Tahun 2003
Pasal 59
[15] Ibid hal 29
[16] Ibid hal 79
[18] Ibid hal 80
[19] Ibid hal 184
[20] Dinas Tenaga Kerja provinsi
Riau, Panduan Mediasi, konsiliasi dan
arbitrase, (Pekanbaru : Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau, 2006), hlm 96.
[21] Ugo Dan Pujiyo, Hukum Acara
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Tata cara dan Proses Penyelesaian
Sengketa Perburuhan, PT Sinar Grafita:Jakarta, 2012. Hal 2007
[22] Ibid Hal 33
[23] Ibid hal 38
[24] Ibid hal 47
[25] Penjelasan UU No 13 Tahun 2003
Pasal 153 Tentang Tenaga Kerja.
[26] Lihat Undang-undang No 13 Tahun
2013 Tentang Ketenagakerjaan
[27] Lihat Undang-Undang No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
[28] Lihat Undang-Undang No 13 Tahun
2013 tentang Ketenagakerjaan.
[29] Lihat Undang-Undang No 13 Tahun
2013 tentang Ketenagakerjaan.
[30] Supomo suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial,
Tata cara Penyelesaian Hubungan Perburuhan, Jakarta: Jala Permata Aksara
2009. H 33-34
[31] Suyud Margono, ADR
& Arbitrase Pelembagaan & Aspek Hukum. Ghalia Indonesia
:Jakarta.2004. Hal 60-61
[32] Ibid hal 61-62
[33] Ibid Hal 65
[34] Ibid Hal 70
[35] Rahmadi Usman,Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan
Praktek, PT Sinar Grafika:Jakarta 2012, Hal 8
[36] Ibid Hal 14
[37] Ibid Hal,
[39] Ibid hal 74
[40] Ibid hal 80
[41] Ibid hal 91
[42] Ibid hal 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar