Jumat, 08 Mei 2015

KEDUDUKAN DAN FUNGSI MEDIATOR HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIALUNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2004 BAB 2



BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP TEORI KETENAGAKERJAAAN DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
A.      Tinjauan Umum Teori Ketenagakerjaan
Teori tentang ketenagakerjaan berkaitan dengan aturan-aturang yang berkaitan dengan hubungan kerja. Jika berbicara tentang aturan maka awal dari pembicaraan tentang ketenagakerjaan harus dijelaskan dahulu tentang Hukum Ketenagakerjaan.
1.        Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan menurut pendapat beberapa ahli yaitu: Menurut Molenaar,[1] Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja dengan penguasa.
Kemudian menurut M. G. Levenbach : Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.[2]
Menurut N. E. H. van Esveld : Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
Menurut  Rahmat Trijono : Hukum Perburuhan (Ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai  Ketenagakerjaan.[3]
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengartikan ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.[4] Belum ada suatu kesatuan pendapat mengenai pengertian hukum ketenagakerjaan, tetapi Darwan Prinst, merumuskan bahwa hukum ketenagakerjaan adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja/ organisasi pekerja dengan majikan atau pengusaha/ organisasi majikan dan pemerintah, termasuk di dalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan.[5]
Berdasarkan beberapa pengertian ketenagakerjaan diatas, dapat dirumuskan pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja.
2.        Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Ketenagakerjaan
a.         Pekerja
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Imbalan dalam bentuk lain dapat berupa barang atau benda yang nilainya ditentukan berdasarkan kesepakatan pekerja dengan pengusaha. Hak-hak Pekerja Bila di PHK, Libertus Jehani mengemukakan bahwa unsur-unsur dalam pengertian pekerja adalah bekerja pada orang lain, dibawah perintah orang lain, dan mendapat upah[6]. Jadi yang dimaksud dengan pekerja adalah siapapun yang yang bekerja pada orang lain, dibawah perintah pemilik perusahaan dan mendapatkan upah dari hasil kerjanya.
b.        Pengusaha
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan secara jelas bahwa pengusaha adalah:
1)      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2)      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3)       Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Sedangkan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan. Jadi pengusaha merujuk pada orangnya, sedangkan perusahaan merujuk pada bentuk usahanya.
c.         Organisasi Pekerja
Organisasi pekerja diperlukan sebagai wadah memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Karena itulah kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa serikat buruh/ pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk buruh/ pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh/ pekerja dan keluarganya[7].


d.        Organisasi Pengusaha
Menurut Imam Soepomo, dasar dan tujuan organisasi pengusaha adalah kerjasama antara anggota-anggota tidak hanya dalam soal-soal teknis dan ekonomis belaka, tetapi juga merupakan badan yang mengurus soal-soal perburuhan, baik inisatif sendiri maupun atas desakan dari buruh atau organisasi buruh.[8]
Organisasi pengusaha merupakan mitra serikat pekerja dan pemerintah dalam penanganan masalah-masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Organisasi pengusaha dapat dibentuk menurut sektor industri atau jenis usaha, mulai dari tingkat local sampai tingkat kabupaten, propinsi hingga tingkat pusat atau tingkat nasional[9].
Organisasi pengusaha diperlukan sebagai wadah untuk mempersatukan para pengusaha dalam upaya turut serta memelihara ketenangan kerja dan berusaha, atau lebih pada hal-hal yang teknis menyangkut pekerjaan/ kepentingannya. Jadi yang dimaksud dengan organisasi pengusaha adalah wadah bagi para pengusaha untuk bergerak di bidang perekonomian dan ketenagakerjaan. Organisasi pengusaha yang ada di Indonesia adalah KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia).

e.         Pemerintah
Pemerintah berperan melalui penetapan peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak. Bentuk campur tangan pemerintah bisa juga terlihat dari adanya instansi-instansi yang berwenang dan mengurus soal bekerjanya tenaga kerja. Instansi yang dimaksud salah satunya adalah Dinas Tenaga Kerja.
3.        Hubungan Kerja
Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha sesungguhnya adalah hubungan perdata yang didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mendapatkan hak dan menjalankan kewajiban masing-masing[10]. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Dari pengertian diatas, jelas bahwa hubungan kerja terjadi setelah ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja yang memuat hak dan kewajiban masing masing pihak.
a.         Perjanjian Kerja
1)      Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan menurut pasal 1601 a KUHPerdata, perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah[11].
Dari pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata, jelas bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi), yaitu pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi yang memberikan perintah kepada pihak pekerja yang secara social ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Sedangkan dari Undang-undang ketenagakerjaan, perjanjian kerja bersifat umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
2)        Unsur Perjanjian Kerja
Berdasar pengertian perjanjian kerja diatas, maka unsur-unsur perjanjian kerja yaitu :

a)    Adanya unsur pekerjaan
Pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dikerjakan oleh pekerja untuk kepentingan pengusaha sesuai dengan perjanjian kerja. Pekerjaan harus dikerjakan sendiri oleh pekerja, dan hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain[12].
b)   Adanya unsur perintah
Pekerja harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Hubungan kerja dalam ketenagakerjaan berbeda dengan hubungan antara dokter dengan pasien atau pengacara dengan kliennya.
c)    Adanya waktu
Dalam melakukan pekerjaan harus ditentukan jangka waktunya agar pengusaha tidak semena-mena dalam mempekerjakan pekerjanya. Adanya jangka waktu biasanya terdapat dalam perjanjian kerja untuk pekerja kontrak.
d)   Adanya upah
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
3)        Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
Syarat sahnya perjanjian secara umum menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah:
a)        Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b)        Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c)        Suatu hal tertentu;
d)       Suatu sebab yang halal.
Sebagaimana perjanjian pada umumnya seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUHPerdata di atas, maka menurut Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja harus dibuat berdasar atas :
a)        Kesepakatan kedua belah pihak
b)        Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c)        Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d)       Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
4)        Macam Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Tetapi dewasa ini perjanjian kerja umumnya secara tertulis, walaupun kadang-kadang masih ada yang disampaikan secara lisan. Pasal 63 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 membolehkan hal tersebut dengan syarat perjanjian kerja yang dibuat secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan yang berisi antara lain :
1)    Nama dan alamat pekerja
2)    Tanggal mulai bekerja
3)    Jenis pekerjaan
4)    Besarnya upah
Dalam perjanjian kerja tertulis harus memuat tentang jenis pekerjaan yang akan dilakukan, besarnya upah yang akan diterima dan hak serta kewajiban bagi masing-masing pihak. Secara normatif, bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu dalam proses pembuktian[13]. Pasal 54 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa perjanjian kerja tertulis memuat :
1)      Nama, alamat perusahaan dan jenis usahanya
2)      Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ buruh
3)      Jabatan atau jenis pekerjaan
4)      Tempat pekerjaan
5)      Besarnya upah dan cara pembayarannya
6)      Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh
7)      Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8)      Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat
9)      Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja
Perjanjian kerja dibagi menjadi dua, yaitu :
a)        Perjanjian kerja waktu tertentu
Perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang jangka berlakunya telah ditentukan. Pekerjaan dapat dikategorikan sebagai perjanjian kerja waktu tertentu apabila :
ü  pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
ü  pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun
ü  pekerjaan yang bersifat musiman
ü  pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan[14].
Perjanjian kerja waktu tertentu diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan satu kali dan paling lama dua tahun.
b)        Perjanjian kerja waktu tidak tertentu
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian dimana waktu berlakunya tidak ditentukan baik dalam perjanjian, undang-undang maupun dalam kebiasaan. Dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat memberlakukan masa percobaan kepada pekerjanya asal hal tersebut dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis atau bila perjanjian kerjanya bersifat lisan masa percobaan harus dicantumkan dalam surat pengangkatan.
5)        Berakhirnya Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu akan habis dan berakhir apabila[15]:
a)      Pekerja meninggal dunia
b)      Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
c)      Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan/ penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mempunyai kekuatan hukum tetap
d)     Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja (Pasal 61 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).
b.        Peraturan Perusahaan
Selain perjanjian kerja, ada juga peraturan yang berhubungan erat dengan hubungan kerja, yaitu peraturan perusahaan. Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
Peraturan perusahaan merupakan petunjuk teknis dari perjanjian kerja bersama maupun perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja/ serikat pekerja dengan pengusaha[16]. Tetapi kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya[17]. Hal ini dapat dilihat bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya, tetap berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian kerja bersama atau disahkannya peraturan perusahaan baru[18]. Di dalam perjanjian, secara tidak langsung memuat hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha. Secara umum, kewajiban pekerja adalah hak yang diperoleh pengusaha. Sedangkan kewajiban pengusaha adalah hak yang diterima pekerja. Kewajiban pengusaha antara lain, Membayar imbalan kerja berupa upah kepada para pekerja, Memberikan waktu istirahat dan cuti, Mengatur tempat kerja dan alat-alat kerja, serta memberikan petunjuk pemakaian untuk menghindari kecelakaan, Memberi surat keterangan kepada pekerja yang berhenti bekerja pada suatu perusahaan, Bertindak sebagai pengusaha yang baik, Mengurus perawatan dan pengobatan pekerja yang sakit atau mengalami kecelakaan pada saat bekerja.
Kemudian kewajiban pekerja antara lain, Melakukan pekerjaan sendiri tanpa bantuan atau, penggantian orang lain di luar sepengetahuan pengusaha, Menaati tata tertib yang berlaku di perusahaan, Membayar denda dan ganti rugi atas kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan dan Bertindak sebagai pekerja yang baik.


B.       Tinjauan Perselisihan Dalam Hubungan Ketenagakerjaan
1.        Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Berbicara tentang perselisihan hubungan Industrial di Indonesia umumnya dan di kabupaten Rokan Hulu khususnya tata cara penyelesaian hubungan indutrial telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dimana  dalam Bab 1 pasal (1) nya telah memberikan penjelasan tentang apa itu yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan industrial. Adapun yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh kerena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan tenaga kerja, serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Serikat kerja/buruh dan pekerja/buruh, dalam pasal 1 ayat (6) dikatakan bahwa  yang dimaksud dengan pengusaha adalah orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan perusahaan milik sendiri, maupun bukan, baik berada diwilayah Indonesia atau hanya yang mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar negeri, sedangkan yang dimaksud dengan buruh atau pekerja adalah setiap orang yang bekerja menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sementara itu serikat pekerja/ buruh adalah Organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/ buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokrasi, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela dan melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan keluarganya[19].
Hubungan Industrial antara Pekerja/ buruh dengan pengusaha yang harmonis, dinamis dan berkeadilan perlu diselenggarakan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai luhur pencasila dan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. Pada masa sekarang ini khususnya setelah terjadinya reformasi di segala bidang termasuk reformasi di bidang ketenagakerjaan, bagitu banyak terdengar keluhan-keluhan yang dialami oleh tenaga kerja, begitu banyak terjadi ketidakadilan, dalam artikata bahwa di era industrilisasi sekarang ini masalah perselisihan hubungan industrial dari tahun ketahun semakin meningkat dan komplek sehingga diperlukan mekanisme/prosedur perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat adil dan murah.[20]
Pengertian perselisihan hubungan industrial menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan gabungan dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.
2.        Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Ada beberapa jenis perselisihan hubungan industrial dijelaskan didalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis perselisihan hubungan industrial meliputi[21]:
a.         Perselisihan hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan hak, misalnya pekerja telah melakukan pekerjaan dengan baik dan benar tetapi pengusaha tidak membayar upah sesuai dengan yang telah diperjanjikan maka pada saat itu pekerja mempunyai kewenangan untuk menuntut haknya.
b.        Perselisihan kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/ atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.[22]
c.         Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan PHK merupakan masalah yang sering terjadi. Oleh karena itu perlindungan mengenai PHK paling banyak diatur dalam peraturan ketenagakerjaan karena masalah PHK menyangkut kelangsungan hidup para pekerja selanjutnya[23].
d.        Perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh
Dalam satu perusahaan Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/ serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban serikat pekerja[24].
C.      Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Berbicara tentang penyelesaian perselisihan hubungan Industrial di Indonesia umumnya dan di kabupaten Rokan Hulu khususnya tata cara penyelesaian hubungan indutrial telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dimana  dalam Bab 1 pasal (1) nya telah memberikan penjelasan tentang apa itu yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan industrial.
Penanganan Perselisihan Hubungan Industrial yang terjadi di Perusahaan memerlukan penanganan yang tepat dan hati-hati. Langkah utama yang  wajib dilakukan dalam penanganan timbulnya Perselisihan Hubungan Industrial adalah melakukan klarifikasi permasalahan guna mengetahui duduk perkara yang sebenarnya untuk meminimalkan resiko Ketenagakerjaan yang berlarut-larut yang merugikan baik Perusahaan maupun Karyawan yang bersangkutan.
Hal yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan penyelesaian adalah dengan melakukan klarifikasi terhadap alasan dan faktor penyebab terjadinya Perselisihan. Langkah klarifikasi ini sangat penting dilakukan untuk menghindari dampak Penyelesaian yang dapat merugikan perusahaan baik kerugian secara finansial (financial risk) maupun kerugian atas nama baik perusahaan (name risk).
Langkah tersebut di atas sangat perlu diperhatikan terutama terhadap perselisihan Hubungan Industrial yang berakhir dengan langkah PHK oleh perusahaan. Dalam ketentuan pasal 153 UU Ketenagakerjaan, juga diatur bahwa setiap terjadinya perselisihan Hubungan Industrial yang disebabkan oleh jenis atau kondisi tertentu, Perusahaan dilarang melakukan tindakan PHK.
Jenis perselisihan yang disebabkan oleh kondisi tertentu yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah[25]:
1.        Karyawan berhalangan masuk dikarenakan sakit yang berkepanjangan akan tetapi tidak lebih dari 12 bulan;
2.        Karyawan berhalangan masuk karena menjalankan kewajiban terhadap Negara sesuai ketentuan yang berlaku;
3.        Karyawan menjalankan ibadah yang diperintahkan oleh Agama;
4.        Karyawan menikah;
5.        Karyawan (wanita) hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
6.        Karyawan mendirikan atau melakukan kegiatan Serikat Pekerja atau sejenis dalam jam kerja sesuai yang diatur dalam Kesepakatan Pengusaha dan Serikat Pekerja;
7.        Karyawan mengadukan Pengusaha kepada yang berwajib karena tindakan Pidana yang dilakukan Pengusaha;
8.        Karena perbedaan  paham agama, aliran politik, suku,  warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi pisik dan karena status perkawinan;
9.        Karyawan menderita sakit yang disebabkan oleh kecelakaan kerja dan waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan oleh Dokter;
Apabila Pengusaha tetap melakukan PHK berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka PHK akan batal demi hukum dan Pengusaha wajib mempekerjakan Karyawan tersebut dengan posisi semula. Dikecualikan dari ketentuan tersebut di atas, Perusahaan dapat melakukan upaya PHK terhadap karyawan atas kondisi dan atau perselisihan yang timbul akibat dari pelanggaran sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan yang mengatur tentang Ketenagakerjaan yang berlaku.
Beberapa penyebab perselisihan yang dapat dilakukan upaya PHK oleh Perusahaan adalah sebagai berikut[26]:
1.        Karyawan terbukti telah melakukan pelanggaran berat, seperti yang diatur dalam pasal 158 UU Ketenagakerjaan juncto pasal 25 Peraturan Perusahaan;
2.        Karyawan ditahan oleh Pihak yang berwajib dikarenakan bukan atas laporan Pengusaha, (pasal 160 ayat 3 UU Ketenagakerjaan);
3.        Karyawan telah melakukan pelanggaran atas kesepakatan kerja, Peraturan perusahaan dan peraturan internal lainnya yang telah disepakati, Perusahaan telah memberikan Surat Peringatan sebanyak 3 kali secara berturu-turut (pasal 161 ayat 2 UU Ketenagakerjaan);
4.        Perusahaan dalam keadaan bangkrut yang dibuktikan dengan laporan keuangan  dalam hal mana Perusahaan telah mengalami kerugian secara berturut-turut selama 2 tahun ( pasal 164 ayat 1 UU Ketenagakerjaan);
5.        Perusahaan dalam keadaan Pailit (pasal 165 UU Ketenagakerjaan);
6.        Karyawan telah memasuki usia pensiun sesuai Peraturan Perusahaan yang berlaku (pasal 167 ayat 1 UU Ketenagakerjaan);
7.        Berakhirnya masa kerja untuk  Karyawan dengan Kontrak Kerja Waktu Tertentu yang sesuai dengan UU ketenagakerjaan yang berlaku, (pasal 61 ayat 1a juncto 154b UU Ketenagakerjaan);
8.        Karyawan Mangkir atau Karyawan tidak masuk bekerja tanpa ijin minimal selama 5 hari berturu-turut dimana Perusahaan telah melakukan pemanggilan tertulis secara patut banyak 3 kali dan Karyawan tidak dapat memberikan alasan yang dapat diterima Perusahaan (pasal 168 ayat 1 UU Ketenagakerjaan)[27].
Sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan yang berlaku, perusahaan harus mengupayakan penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dengan jalan musyawarah dan berupaya untuk tidak melakukan tindakan PHK. Dalam melakukan langkah PHK, perusahaan harus memperhatikan ketentuan ketentuan dan prosedur tentang PHK yang benar sesuai ketentuan, agar proses dan langkah yang dilakukan tidak menjadi batal demi hukum.
Adapun dalam pelaksanaannya, penanganan atau langkah PHK sesuai ketentuan yang berlaku dapat dilakukan dengan 2 tahap yaitu[28];
  1. Sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan, PHK yang dapat dilakukan langsung secara sepihak tanpa memerlukan penetapan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Daerah/Pusat (P4D/P) (PHK “serta merta”), atau Lembaga PPHI, sebagai berikut :
a.         Karyawan yang melakukan pelanggaran masih dalam masa percobaan maksimal 3 bulan (pasal 154a)
b.      Atas permintaan Karyawan sendiri yang dibuktikan dengan surat permohonan pengunduran diri atau dikualifikasikan mengundurkan diri (pasal 154b)
c.       Karyawan Mangkir (pasal 168 ayat 1)
d.      Karyawan ditahan oleh aparat Kepolisian bukan dikarenakan oleh  laporan Pengusaha minimal selama 6 bulan atau Karyawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan sebelum jangka waktu yang ditentukan tersebut (pasal 160 ayat 3)
2.      Dalam hal ternyata Karyawan terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan Pengadilan, maka Perusahaan wajib mempekerjakan Karyawan kembali kepada posisi semula.
a.         Karyawan mencapai usia pensiun seperti yang diatur oleh Peraturan Perusahaan atau ketentuan perundangan yang berlaku (pasal 154c)
b.        Karyawan meninggal dunia (pasal 154d)
c.         Karyawan terbukti telah melakukan Pelanggaran berat seperti yang di atur dalam pasal 158 UU Ketenagakerjaan juncto pasal 25 Peraturan Perusahaan yang berlaku.
Dalam hal Karyawan tidak dapat menerima tindakan PHK oleh Perusahaan karena terbukti melakukan pelanggaran berat, maka Karyawan dapat mengajukan gugatan ke Lembaga PPHI (pasal 159 UU Ketenagakerjaan) (apabila lembaga PPHI sudah terbentuk). PHK yang wajib dimintakan penetapan dari P4D/P atau Lembaga PPHI, adalah sebagai berikut[29]:
a.         Karyawan telah melakukan pelanggaran atas kesepakatan kerja, Peraturan perusahaan dan peraturan internal lainnya yang telah disepakati dan Perusahaan telah memberikan Surat Peringatan sebanyak 3 kali secara berturut-turut (pasal 161 ayat 2)
b.        Perusahaan dalam keadaan bangkrut yang dibuktikan dengan laporan keuangan  dalam hal mana Perusahaan telah mengalami kerugian secara berturut-turut selama 2 tahun ( pasal 164 ayat 1)
c.         Perusahaan dalam keadaan Pailit sebagaimana telah diputuskan oleh Pengadilan yang berwenang (pasal 165).
1.  Penyelesaian di luar pengadilan
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial dapat dilakukan diluar pengadilan dimana dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.        Perundingan bipartit
Pengertian perundingan bepartit adalah perundingan antara Pekerja/ Buruh/ Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dengan Pengusaha untuk menyelesaikan hubungan Industrial, Selanjutnya bahwa Perselisihan Hubungan Industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu melakukan perundingan bepartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah mufakat. Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah. Jika perundingan bipartit berhasil dilakukan dan mencapai kesepakatan maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang isinya mengikat para pihak.
Perjanjian tersebut harus didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah para pihak mengadakan perjanjian, jika salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama di daftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi.
Dalam perundingan bepartit tentu saja melalui beberapa tahap yang dipersiapkan oleh para pihak sebelum melakukan bepartit adalah penguasaan atas fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dasar hukum yang jelas untuk menguatkan tuntutan, dan strategi untuk memenangkan perundingan. Caranya adalah sebagai berikut:[30]
a.    Mengumpulkan fakta-fakta dan bukti tentang kejadian atau peristiwa yang terjadi.
b.    Menetapkan sasaran dengan mempertimbangkan tiga posisi yaitu, posisi ideal, posisi target, dan posisi resistan.
Jika dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak berunding atau telah dilakukan perundingan tapi gagal maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada Dinas Tenaga Kerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilaksanakan. Dinas Tenaga Kerja akan menawarkan pada para pihak untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika para pihak tidak memilih salah satu dari dua pilihan tersebut dalam jangka waktu 7 hari maka Dinas Tenaga Kerja melimpahkan penyelesaiannya pada mediator.
2.        Penyelesaian Melalui Mediasi
Perselisihan hubungan industrial yang bisa diselesaikan melalui mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungan industrial yang dikenal dalam UU Nomor 2 Tahun 2004. Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Menurut Fuller, mediator mempunyai 7 fungsi, yaitu[31]:
a.         Sebagai katalisator (catalyst), mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
b.        Sebagai pendidik (educator), berarti harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak.
c.         Sebagai penerjemah (translator), berarti harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
d.        Sebagai narasumber (resource person), berarti harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
e.         Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news), berarti harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional.
f.         Sebagai agen realitas (agent of reality), berarti harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
g.        Sebagai kambing hitam (scapegoat), harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
Christopher W. Moore membedakan mediator dalam tiga tipologi, yaitu[32]:
1.        Social network mediators, yaitu mediator berperan dalam sebuah sengketa atas dasar adanya hubungan sosial antara mediator dan para pihak yang bersengketa, misalnya bila terjadi sengketa antarrekan sekerja dan teman usaha.
2.        Authoritative mediators, yaitu mediator yang dalam menjalankan perannya didasarkan pada keyakinan atau pandangan bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya selaku pihak yang berpengaruh, melainkan harus dihasilkan oleh  upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri. Authoritative mediators dibagi menjadi tiga tipe, yaitu[33]:
a)      Tipe benovalent, mempunyai ciri sebagai berikut :
1)      Dapat memiliki atau tidak memiliki hubungan dengan para pihak
2)      Mencari penyelesaian yang baik bagi para pihak
3)      Tidak berpihak dalam hal substantive
4)      Kemungkinan memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan.
b)      Tipe managerial, mempunyai ciri sebagai berikut :
1)      Memiliki hubungan otoritatif dengan para pihak sebelum dan sesudah sengketa berakhir
2)      Mencari penyelesaian yang diupayakan bersama-sama dengan para pihak dalam ruang lingkup kewenangannya
3)      Berwenang untuk memberi nasihat dan saran jika para pihak tidak mencapai kesepakatan
4)      Kemungkinan memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan
5)      Memiliki kewenangan membuat keputusan.
c)      Tipe vested interest, mempunyai ciri sebagai berikut[34]:
1)      Memiliki hubungan dengan para pihak atau diharapkan memiliki hubungan masa depan dengan para pihak
2)      Memiliki kepentingan yang kuat terhadap hasil akhir
3)      Mencari penyelesaian yang dapat memenuhi kepentingan mediator atau kepentingan pihak yang disukai
4)      Kemungkinan memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan
5)      Kemungkinan dapat menggunakan tekanan agar para pihak mencapai kesepakatan


3.        Independent mediators,
Yaitu mediator yang dapat menjaga jarak antarpihak maupun dengan persoalan yang tengah dihadapi. Tugas, kewajiban dan wewenang mediator diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Kepmenakertrans Nomor Kep 92/Men/VI/2004.
Tugas mediator adalah melakukan mediasi  kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Kewajiban mediator, yaitu[35]:
a)      Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang diperlukan
b)      Mengatur dan memimpin mediasi
c)      Membantu membuat perjanjian bersama apabila tercapai kesepakatan
d)     Membuat anjuran secara tertulis apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
e)      Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial
f)       Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Sedangkan wewenang mediator, yaitu[36]:
a)      Menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk berunding terlebih dahulu dengan itikad baik sebelum dilaksanakan mediasi
b)      Meminta keterangan, dokumen, dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan.
c)      Mendatangkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan
d)     Membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para pihak dan instansi atau lembaga terkait .
e)      Menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila ternyata tidak memiliki surat kuasa. Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan bahwa mediator wajib menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan. Bila para pihak tidak memilih arbitrase atau konsiliasi untuk menyelesaikan masalah mereka, maka sebelum mengajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu harus melalui mediasi.
Apabila kesepakatan tercapai dalam proses mediasi, maka mediator membuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator untuk kemudian di daftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah hukum tempat perjanjian bersama dibuat untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun bila kesepakatan gagal, mediator mengeluarkan anjuran tertulis.
Anjuran tertulis mediator memuat[37]:
a)      Keterangan pekerja/ buruh atau keterangan serikat pekerja/ serikat buruh
b)      Keterangan pengusaha
c)      Keterangan saksi/ saksi ahli apabila ada
d)     Pertimbangan hukum dan kesimpulan mediator
e)      Isi anjuran.
Anjuran tertulis harus dibuat selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama. Para pihak pun harus memberikan jawaban atas anjuran tertulis tersebut paling lama 10 hari setelah menerima anjuran tertulis. Bagi para pihak yang tidak memberikan pendapat berarti menolak anjuran tertulis dari mediator. Untuk itu mediator mencatat dalam buku perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi dan melaporkan kepada pejabat yang member penugasan.
Bila anjuran tertulis diterima, dalam jangka waktu tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah hukum perjanjian bersama itu dibuat untuk mendapatkan akta pendaftaran[38]. Anjuran tertulis yang ditolak salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan Hubungan Industrial setempat.
Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama di daftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi, atau apabila pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri tempat pendaftaran maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusiuntuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
c.    Konsiliasi
Konsiliasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintah bidang ketenagakerjaan, yaitu Dinas Tenaga Kerja setempat[39].
Konsiliator harus menyelesaikan perselisihan paling lama 30 hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan tersebut. Dalam menyelesaikannya, pada kesempatan pertama konsiliator wajib mendamaikan para pihak. Jika terjadi kesepakatan untuk berdamai, maka dibuatkan perjanjian bersama yang kemudian di daftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Bila kesepakatan tersebut tidak dijalankan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial di tempat pendaftaran perjanjian bersama.
Jika konsiliator gagal mendamaikan para pihak, konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis paling lambat 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama. Persetujuan atau penolakan para pihak terhadap anjuran harus disampaikan paling lama 10 hari kerja sejak menerima anjuran tertulis dari konsiliator.
Anjuran tertulis yang disetujui para pihak diikuti dengan dibuatnya perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah hukum para pihak yang mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Bila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial setempat dengan mengajukan gugatan.
b.        Arbitrase
Arbitrase hubungan industrial adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final[40].
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukkan arbitrase. Bila terjadi pergantian arbiter, jangka waktunya dapat diperpanjang untuk paling lama 30 hari sejak arbiter pengganti menandatangani surat perjanjian arbitrase. Bila disepakati para pihak arbiter dapat memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan satu kali selambat-lambatnya 14 hari kerja. Dalam proses penyelesaian perselisihan, pada kesempatan pertama arbiter wajib mengupayakan perdamaian. Jika perdamaian tercapai, maka dibuatkan akta perdamaian. Akta perdamaian kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah arbiter membuat akta perdamaian. Jika isi akta perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah akta perdamaian didaftarkan.
2.Penyelesaian melalui pengadilan
1.        Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan[41]:
1.        Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak dan persalisihan pemutusan hubungan kerja.
2.        Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pada prinsipnya prosedur persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial sama seperti dalam Hukum Acara Perdata pada peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, misalnya yang tercantum dalam pasal 58 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 yaitu para pihak tidak dikenakan biaya perkara termasuk biaya eksekusi untuk nilai sengketa dibawah Rp. 150 juta. Pasal 60 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari[42]:
a)        Hakim;
b)        Hakim Ad-Hoc;
c)        Panitera muda;
d)       Panitera pengganti
Sedangkan susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari :
1.        Hakim Agung
2.        Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung
3.        Panitera
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Sedangkan putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja bagi pihak yang hadir terhitung sejak putusan dibacakan dan bagi pihak yang tidak hadir terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.

2.        Mahkamah Agung
Ada dua upaya hukum kepada Mahkamah Agung yang dapat diajukan oleh para pihak yang bersengketa, yaitu :
1.        Kasasi Putusan kasasi untuk menyelesaikan perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
Putusan kasasi dapat menolak/membatalkan atau mengabulkan kasasi. Syarat utama kasasi agar diterima adalah syarat formil seperti dilampauinya tenggat waktu, belum dipenuhinya upaya hukum lain, terlambat mengajukan memori kasasi, atau surat kuasa khusus dalam permohonan kasasi tidak memenuhi syarat. Sedangkan penolakan kasasi lebih menyangkut judex factie, seperti hakim tidak salah menerapkan hukum, atau kasasi yang diajukan bukan merupakan wewenang hakim kasasi atau alasan permohonan kasasi tidak sesuai dengan pokok perkara.
2.        Peninjauan kembali Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa agar putusan Pengadilan Hubungan Industrial atau putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kembali menjadi belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengajuan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila ditemukan bukti baru dan atau adanya kekhilafan Hakim dalam menerapkan hukumnya. Jika peninjauan kembali dikabulkan Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan sebelumnya dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri perkaranya. Peninjauan kembali akan ditolak jika tidak disertai argumentasi yang kuat dan mendasar.


[1] Ibid hal 189
[2] Ibid hal 190
[3] Rahmat Trijono. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan.Jakarta;Papas Sinar Sinanti.2014 Hal 13
[4] Lihat Penjelasan Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
[5] Darwan Prinst. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Bagi Pekerja Untuk Mempertahankan Hak-haknya). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2000. Hal 1
[6] Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Bila Di PHK. Jakarta : Visimedia 2006. Hal 1
[7] Ibid hal 184
[8] Ibid hal 189
[9] Payaman J. Simanjuntak. Manajeman Hubungan Industrial. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003. Hal 21
[10] Ibid hal 2
[11] Zaeni Ashadie, Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada:Jakarta, 2014. Hal 315
[12] Kitap Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1603a
[13] Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2006. Hal 59
[14] Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Pasal 59
[15] Ibid hal 29
[16] Ibid hal 79
[17] Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 111 ayat (3)
[18] Ibid hal 80
[19] Ibid hal 184
[20] Dinas Tenaga Kerja provinsi Riau, Panduan Mediasi, konsiliasi dan arbitrase, (Pekanbaru : Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau, 2006), hlm 96.
[21] Ugo Dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Tata cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan, PT Sinar Grafita:Jakarta, 2012. Hal 2007
[22] Ibid Hal 33
[23] Ibid hal 38
[24] Ibid hal 47
[25] Penjelasan UU No 13 Tahun 2003 Pasal 153 Tentang Tenaga Kerja.
[26] Lihat Undang-undang No 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan
[27] Lihat Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[28] Lihat Undang-Undang No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
[29] Lihat Undang-Undang No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
[30] Supomo suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Tata cara Penyelesaian Hubungan Perburuhan, Jakarta: Jala Permata Aksara 2009. H 33-34
[31] Suyud Margono, ADR & Arbitrase Pelembagaan & Aspek Hukum. Ghalia Indonesia :Jakarta.2004. Hal 60-61
[32] Ibid hal 61-62
[33] Ibid Hal 65
[34] Ibid Hal 70
[35] Rahmadi Usman,Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktek, PT Sinar Grafika:Jakarta 2012, Hal 8
[36] Ibid Hal 14
[37] Ibid Hal,
[38]  Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 (Pasal 13 ayat (1) dan (2)
[39] Ibid hal 74
[40] Ibid hal 80
[41] Ibid hal 91
[42] Ibid hal 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar