Jumat, 08 Mei 2015

KEDUDUKAN DAN FUNGSI MEDIATOR HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIALUNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2004 BAB 1



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Salah satu hak  yang  diberikan Negara terhadap warga Negara adalah hak untuk mendapat Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia BAB V Pasal 27 (2):
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.[1]
Selain itu dalam BAB ke XA Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 D (2) berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan diperlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.[2]
Didalam hubungan kerja tentu saja ada beberapa pihak yang terkait di dalamnya, misalnya dalam hubungan kerja perindustrian yang sekarang digalakan dalam segala sector. Pemaksimalan sektor industri ini akan melahirkan hubungan industrial yang merupakan sebagai faktor berjalannya industri tersebut. Adapun hubungan industrial merupakan hubungan antara pelaku proses produksi barang maupun jasa yaitu pengusaha, pekerja dan pemerintah.
Hubungan industrial bertujuan untuk menciptakan hubungan yang serasi, harmonis dan dinamis antara pelaku proses produksi tersebut. Oleh karena itu masing-masing pelaku produksi tersebut harus melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing secara baik. Hubungan yang lebih erat dan dekat di sini terjadi antara pengusa dan pekerja. Untuk keduanya memiliki fungsi yang jelas dalam menjalin hubungan tersebut.
Fungsi pekerja/SP/SB adalah melaksanakan pekerjaan sesuai kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan pekerja dan beserta keluarganya. Fungsi pengusaha dan organisasi pengusaha adalah menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja.[3] Sedangkan fungsi pemerintah adalah menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, pengawasan dan penindakan terhadap pelanggarnya. Dengan terciptanya hubungan industrial yang serasi, aman, dan harmonis diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas kerja, sehingga dengan demikian perusahaan akan dapat tumbuh dan berkembang sehingga kesejahteraan pekerja dapat ditingkatkan[4].
Dalam hubungan industrial yang terlibat langsung dalam proses produksi adalah pengusaha dan pekerja, sedangkan pemeritah tidak terlibat secara langsung. Oleh karena itu pengusaha dan pekerja terlibat dalam suatu hubungan kerja yang menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut sebagian besar sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan perjanjian kerja, peraturan perusahaan serta perjanjian kerja bersama (PKB). Untuk itu para peserta perlu memahami hubungan industrial dan ketenagakerjaan (HIK) dasar meliputi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama (PKB), waktu kerja dan waktu istirahat, upah kerja lembur dan Pemutusan Hubungan kerja PHK[5].
Jalinan hubungan industrial yang terjadi antara pengusa dan pekerja, sangat sarat akan terjadinya konflik atau permasalahan antara keduanya. Hal terjadi disebabkan karena kedua belah pihak mempunyai kepentingan dalam menjalin hubungan dimaksud. Hubuungan industrial akan terjadi sebagaimana mestinya jika kesemua unsur tersebut di atas terdapat sutau ikatan atau adanya interaksi di antaranya, dengan begitu maka hubungan industrial akan terjadi. Jika salah satu diantara unsur tersebut tidak ada atau tidak aktif, atau boleh juga dikatakan tidak begitu peduli dengan yang lainnya, maka hubungan industrial itu akan berjalan dengan pincang, atau tidak sesuai dengan yang diharapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.[6]
Secara garis besar ketidakharmonisan jalinan hubungan industrial bisa dikatakan hampir terjadi di seluruh wilayah Negara Kesaatuan Republik Indonesia. Hal sering terjadi disebabkan oleh tidak adanya saling menghargai dalam menjalin hubungan tersebut. Bahkan penyebab dari tidak harmonisnya hubungan industrial tersebut adalah karena hubungan tersebut tidak dikelola dengan baik dan profesional. Sering hubungan itu berjalan tidak sseimbang dan monoton. Seharusnya hubungan itu bisa berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dengan tuntutan baru yang timbul dalam linkungan hubungan industrial itu sendiri.
Pada hal hubungan industrial telah diatur sedemikian rupa tentang hak dan kewajiban masing-masing unsur yang ada di dalamnya. Hak dan kewajiban yang ada antara pengusaha dan pekerja secara lazim disebut juga dengan syarat-syarat kerja. Walau hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja telah diatur sedmikian rupa dalam bentuk syarat-syarat kerja atau kontrak kerja, bukan dapat dijadikan sebagai sebuah jaminan tidak akan terjadi perselisihan dalam jalinan hubungan industrial tersebut.
Di Indonesia pada umumnya sering terhambat atau berkendala karena adanya perselisihan dalam hubungan industrial. Karena pada umumnya perselisihan tersebut memicu kepada sebeuah permasalahan besar. Hal ini jelas sangat merugikan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, di samping unsur-unsur yang terlibat langsung dalam hubungan industrial itu. Sebab perselisihan tersebut mengacu kepada penghabatan jalannya produksi di perusahan tersebut. Sehingga hal ini sangat merugikan, karena dengan terhambatnya jalan produksi, maka dengan sendiri akan berpengaruh kepada stabilitas nasional.
Kabupaten Rokan Hulu sebagai sebuah wilayah dalam Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga memiliki perusahan-perusahaan yang begitu banyak menampung tenaga kerja. Tenaga kerja yang ada ini jelas terdiri dari bermacam-macam latar belakang, baik latar belakang pendidikan, sosial, etnis atau budaya, maupun ekonomi. Kenyataan ini akan membuat seringnya terjadi konflik atau permasalahan, apalagi pada umumnya pekerjaan yang tersedia di perusahan-perusahan dalam wilayah Kabupaten Rokan Hulu pada umumnya adalah pekerjaan lapangan atau pekerjaan kasar. Sehingga hubungan industrial yang terjadi akan semakin komplek.
Dalam menghadapi setiap perselisihan yang terjadi dalam menjalin hubungan industrial terutama antara pengusaha dan pekerja, pemerintah telah mempersiapkan wadah yang membidanginya, yaitu dengan dibentuknya Kementrian Tenaga Kerja. Hal ini bertujuan agar segala bentuk persoalan, permasalahan, atau perselisihan yang terjadi akibat adanya hubungan industrial dapat di atasi oleh pemerintah dengan tepat. Bahkan bidang yang dibentuk oleh pemerintah ini sampai ke daerah-daerah tingkat II. Hal ini ditandainya dengan adanaya Badan, Dinas atau Kantor Ketenagakerjaan di daerah. Khusus di Kabupaten Rokan Hulu instansi pemerintah yang membidangi masalah ketenagakerjaan ini adalah  Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten Rokan Hulu.
Dengan adanya instansi ini maka setiap persoalan yang muncul akibat ketidak harmonisan dapat diselesai dengan perantaraan atau Mediator Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten Rokan Hulu. Hal ini bertujuan agar penyelesaian setiap permasalahan yang timbul tersebut tidak merugikan salah satu dari pihak-pihak yang bermasalah.
Permasalahan yang sering muncul dalam terjadinya perselisihan pada jalinan hubungan industrial adalah:[7]
1.        Perselisihan Hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, syarat-syarat kerja, perjanjian kerja, peraturan perusahan dan kontrak kerja atau perjanjian kerja bersama.
2.        Perselisihan kepentingan, yaitu perselisihan yang terjadi atau timbul dalam hubungan kerja, karena adanya kesesuain pendapat mengenai perbuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahan atau juga perjanjian kerja bersama.
3.        Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang terjadi atau timbul akibat adanya ketidakcocokan atau ketidasesuaian pendapat dalam mengakhiri hubungan kerja atau hubungan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lainnya.
4.        Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu perselisihan serikat pekerja/buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai kenaggotaan, pelaksanaan hak dan kewjiban serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam suatu perusahaan, antara pekerja dengan pengusaha harus ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian kerja. Tetapi dalam praktek masih sering terjadi kesalahpahaman dan mungkin juga kecurangan antara pekerja dengan pengusaha dalam menjalani hak dan kewajibannya, sehingga muncul perselisihan antara pekerja dan pengusaha. Biasanya perselisihan berpokok pangkal karena adanya perasaan kurang puas.
Pengusaha memberikan kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah baik dan akan diterima oleh para pekerja namun karena pekerja yang bersangkutan mempunyai pertimbangan dan pandangan yang berbeda, maka akibatnya kebijaksanaan yang diberikan oleh pengusaha menjadi tidak sama, buruh yang merasa puas akan tetap bekerja dengan semakin bergairah sedangkan bagi buruh yang bersangkutan atau yang tidak puas akan menunjukkan semangat kerja yang menurun hingga terjadi perselisihan-perselisihan[8]. Perselisihan tersebut bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal misalnya kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan dan dapat menimbulkan kasus-kasus perselisihan hubungan industrial. Sedangkan faktor internal adalah menyangkut pribadi masing-masing pekerja, misalnya ada masalah keluarga yang dapat berpengaruh pada kinerja pekerja.
Pada dasarnya pekerja dan pengusaha sama-sama menginginkan terciptanya hubungan kerja yang harmonis agar kepentingan masing-masing pihak dapat terwujud. Pekerja menginginkan peningkatan kesejahteraan sementara pengusaha menginginkan profit dan terkendalinya kelangsungan usahanya. Namun dalam realitas di lapangan tidak jarang masing-masing pihak bersikukuh mengutamakan dan mempertahankan kepentingannya masing-masing sehingga tidak tercapai titik temu yang mengakibatkan timbulnya perselisihan hubungan industrial bahkan menjadi gejolak yang berakhir dengan pemogokan.
Untuk meminimalisir konflik dalam hubungan industrial tersebut perlu diadakan komunikasi yang efektif baik dalam interpersonal maupun komunikasi organisasional sehingga dapat dicari solusi dari dua kepentingan yang berbeda[9]. Perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha perlu ditekan semaksimal mungkin karena dampak dari perselisihan tersebut sangat merugikan banyak pihak. Kalau pengusaha benar dalam mengambil keputusan dan kebijaksanaan perusahaan sesuai dengan undang-undang dan ada rasa saling membutuhkan maka tidak akan ada perselisihan yang berlarut-larut.
Tetapi kenyataannya memang masih ada anggapan bahwa kedudukan antara pengusaha dan pekerja tidak sejajar. Pengusaha adalah yang mempunyai uang dan pekerja butuh uang untuk hidup. Hal ini menyebabkan pengusaha mengeksploitasi pekerja untuk mencari keuntungan yang besar dan kurang memberikan hak yang seharusnya diterima oleh pekerja. Perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha dapat diselesaikan dengan prosedur penyelesaian seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Langkah pertama yang sebaiknya ditempuh adalah dengan jalan perundingan untuk mencapai musyawarah mufakat antara pekerja dengan pengusaha, namun biasanya langkah tersebut jarang tercapai. Oleh karena itu di Kabupaten Rokan Hulu, masalah perselisihan biasanya diserahkan pada instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan, yaitu Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Rokan Hulu untuk menyelesaikan setiap perselisihan hubungan industrial yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha.
Perselisihan antara pekerja dan pengusaha lazim terjadi hal ini membutuhkan penengah agar masalah ini tidak merugikan pekerja dan pengusaha yang berpengaruh terhadap kesetabilan ekonomi Negara. Perlunya penengah dalam perselisihan itu membuat rumusan perlu adanya mediator yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan. Perselisihan hubungan industrial bisa diselesaikan melalui mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungan industrial yang dikenal dalam UU Nomor 2 Tahun 2004[10].
Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, dilakukan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral yang telah di beri wewenang oleh Negara untuk melaksanakan proses mediasi tersebut.
Menurut Fuller, mediator mempunyai 7 fungsi, yaitu[11]:
1.        Sebagai katalisator (catalyst),
2.        Sebagai pendidik (educator),
3.        Sebagai penerjemah (translator)
4.        Sebagai narasumber (resource person),
5.        Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news),
6.        Sebagai agen realitas (agent of reality),
7.        Sebagai kambing hitam (scapegoat).
Jika dilihat dari fungsi mediator diatas sangat penting dan dibutuhkan kinerja mediator dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha. Perselisihan dalam hubungan industrial terjadi hampir di seluruh daerah yang ada di Indonesia sehingga peranan mediator untuk menyelesaikan masalah perselisihan ini tentu sangat diperlukan, mengoptimalkan fungsi dan kewenangan mediator yang diberikan wewenang sangat berpengaruh dalam menetralisir agar gesekan antara pekerja dan pengusaha bisa diredam dan fungsi mediator dapat memberikan rasa itikat baik dari kedua belah pihak yang bersengketa.
Mengacu kepada kenyataan tersebut di atas, serta  seringkali terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha begitu juga yang terjadi di Kabupaten Rokan Hulu, hal ini sering dipicu oleh ketidak harmonisan dan tidak saling menghargainya terhadap kontrak kerja atau syarat-syarat kerja yang telah mereka buat dan sepakati.  Bahkan perselisihan tersebut kadangkala berdampak besar terhadap kelansungan dari hubungan industrial yang telah mereka jalin.
Dari data yang penulis dapatkan di Kantor Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Rokan Hulu dari tahun 2012 hingga 2014 terdapat 98 kasus perselisihan antara pekerja dan pengusaha, untuk lebih jelasnya lihat tabel dibawah ini:
TABEL I. Data Perselisihan Hubungan Industrial Th.2012 hingga 2014
NO
Tahun
P.HAK
PHK
P. KEPENTINGAN
JUMLAH
1
2012
1
30
2
33 KASUS
2
2013
1
33
1
35 KASUS
3
2014
1
28
1
30 KASUS
Sumber ; Dinas Sosial,Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Rokan Hulu,2015
Dari data diatas dapat dilihat bahwa di kabupaten Rokan Hulu juga terjadi perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha, dan dalam penyelesaian perselisihan peranan mediator sangat dibutuhkan agar perselisihan tersebut tidak berlanjut dan merugikan kedua belah pihak yang bersengketa.
Berdasarkan masalah yang diuraikan dalam latar belakang diatas penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul: “Kedudukan Dan Fungsi Mediator Hubungan Industrial Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Kabupaten Rokan Hulu Berdasarkan Undang – Undang  No 2 Tahun 2004”.
B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan pada Latar Belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.        Bagaimanakah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediator Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang  Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Rokan Hulu?
2.        Apa-apa saja hambatan yang dialami dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediator Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Rokan Hulu?
3.        Upaya apa sajakah yang diambil Mediator dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan fungsi dan peran mediator untuk menyelesaikan permasalahan hubungan Industrial?
C.      Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.        Tujuan Penlitian.
Adapun tujuan penelitian yang hendak penulis dapatkan dalam melakukan penelitian ini adalah:
a.       Untuk mengetahui Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediator Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial di Kabupaten Rokan Hulu.
b.      Untuk mengetahui hambatan yang dialami dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediator Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang  Penyelesaian Perselisihan Industrial di Kabupaten Rokan Hulu.
c.       Untuk mengetahui upaya  yang diambil dalam menghadapi hambatan-hambatan dalam menjalankan fungsi dan peran mediator Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten Rokan Hulu untuk menyelesaikan permasalahan hubungan industrial Industrial di Kabupaten Rokan Hulu.
2.        Kegunaan Penelitian
Adapaun kegunaan penelitian ini adalah:
1.      Untuk menambah pengetahuan penulis tentang tata cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediator Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang  Penyelesaian Perselisihan Industrial di Kabupaten Rokan Hulu.
2.      Sebagai bahan sumbangan penelitian yang berguna untuk menambah khasanah keilmuan di bidang akademis.
3.      Sebagai masukan bagi instansi terkait dalam penelitian ini.

D.           Kerangka Teori
Untuk mempermudah di dalam menanalisi hasil penelitian nantinya maka kajian kerangka teori sangat penting dan bermakna mendasari setiap analisis, maupun interprestasi yang dilakukan, oleh sebab itu kerangka teori ini penulis ambil dari buku-buku literature dan perundang-undangan yang memiliki relavan si, sehingga arah dari kerangka teori ini sebagai koneksi dan solusi agar tujuan dari penelitian yang diadakan tidak bias atau menyimpang dari penelitian yang dilakukan oleh penulis.
Dalam dunia penelitian, termasuk penelitian hukum dikenal berbagai jenis/macam dan tipe penelitian. Pembedaan jenis ini didasarkan dari sudut mana kita memandang atau meninjaunya. Penentuan jenis/macam penelitian dipandang penting karena ada kaitan erat antara jeneis penelitian itu dengan sistematika dan metode serta analisis data yang harus dilakukan untuk setiap penelitian. Sebagai landasan utama dari sistem ketatanegaraan Indonesia adalah Negara Indonesia adalah Negara hukum sehingga setiap perbuatan dari segala elemen Negara diatur berdasarkan ketentuan hukum yang telah dibuat.
1.        Negara Hukum
Negara Indonesia merupakan Negara hukum yang memiliki hakekat dimana segala penyelengaraan pemerintahan yang ada di Indonesia harus berdasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku di Negara Indonesia. Konsep negara hukum Indonesia adalah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945 yang berbunyi[12]: "Negara Indonesia adalah negara hukum". Istilah negara hukum dalam kepustakaan Indonesia hampir selalu dipadankan dengan istilah-istilah asing antara lain rechts staat, atat de droit, the state according to law, legal state, dan rule of law. Notohamijdojo memadankan istilah negara hukum di dalam konstitusi Indonesia dengan konsep rehtsstaat sebagaimana dalam tulisanny Negara hukum atau  rechtsstaat.[13] Di samping itu, Muhammad Yamin di dalam tulisannya menyebutkan bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum (rehctsstaat, government of law)".[14]
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari  perkataan  ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan  ‘cratos’ adalah kekuasaan. Kekuasaan yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam  penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip rule of law yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon the Rule of Law, and not of Man yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu[15]:
a.          Perlindungan hak asasi manusia.
b.         Pembagian kekuasaan.
c.          Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
d.         Peradilan tata usaha Negara.
Utrecht membedakan ntara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materil atau Negara Hukum Modern[16]. Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya.
Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang.
Muhammad Tahir Azhary[17], dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
1.         Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2.         Prinsip musyawarah;
3.         Prinsip keadilan;
4.         Prinsip persamaan;
5.         Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
6.         Prinsip peradilan yang bebas;
7.         Prinsip perdamaian;
8.         Prinsip kesejahteraan;
9.         Prinsip ketaatan rakyat.
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat Prof Jimly,[18] kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilarpilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yaitu:
1.      Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2.      Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
3.      Asas Legalitas (Due Process of Law)
4.      Pembatasan Kekuasaan
5.      Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen
6.      Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7.      Peradilan Tata Usaha Negara
8.      Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)
9.      Perlindungan Hak Asasi Manusia
10.  Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
11.  Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat)
12.  Transparansi dan Kontrol Sosial
13.  Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa[19].
Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechts  staat’, bukan ‘machtsstaat’[20]. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi:[21] “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita Negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
Kemudian Salah satu hak yang diberikan Negara terhadap warga Negara adalah hak untuk mendapat Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia BAB V Pasal 27 (2):
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.[22]
Selain itu dalam BAB ke XA Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 D (2) berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan diperlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.[23]
Pemberian hak bekerja terhadap warga Negara didalam kontitusi Republik Indonesia merupakan salah satu bentuk bahwa ada aturan yang menjaga dalam setiap perbuatan yang dilakukan, sehingga benar jika dikatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.
2.        Teori Ketenagakerjaan
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengartikan ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.[24] Belum ada suatu kesatuan pendapat mengenai pengertian hukum ketenagakerjaan, tetapi Darwan Prinst, merumuskan bahwa hukum ketenagakerjaan adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja/ organisasi pekerja dengan majikan atau pengusaha/ organisasi majikan dan pemerintah, termasuk di dalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan.[25]
Berdasarkan beberapa pengertian ketenagakerjaan diatas, dapat dirumuskan pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja. Didalam ketenagakerjaan ada beberapa subjek yang tidak bisa dihilangkan antara lain:
a.         Pekerja
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Imbalan dalam bentuk lain dapat berupa barang atau benda yang nilainya ditentukan berdasarkan kesepakatan pekerja dengan pengusaha.
b.        Pengusaha
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan secara jelas bahwa pengusaha adalah:
1)      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2)      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3)       Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Sedangkan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan.
c.         Organisasi Pekerja
Organisasi pekerja diperlukan sebagai wadah memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Karena itulah kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa serikat buruh/ pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk buruh/ pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh/ pekerja dan keluarganya[26].
d.        Pemerintah
Pemerintah berperan melalui penetapan peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak. Bentuk campur tangan pemerintah bisa juga terlihat dari adanya instansi-instansi yang berwenang dan mengurus soal bekerjanya tenaga kerja. Instansi yang dimaksud salah satunya adalah Dinas Tenaga Kerja.
3.        Teori Penyelesaian Sengketa
Sengketa menurut pendapat Ali Ahmad adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang sesuatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya[27].
Didalam penyelesaian sengketa Hubungan industrial tentu saja terjadi antara pengusaha dengan pekerja dalam menjalin hubungan industrial maka Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan payung hukum, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004. Dalam UU Nomor 2 tahun 2004 ini secara jelas dipaparkan bagaimana hubungan industrial itu terjadi dan bagaimana penyelesaian masalah jika timbul, yaitu:
1.        Bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
2.        bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah
Lebih jauh dalam  UU Nomor 2 tahun 2004 ini, dinyatakan bahwa ada beberapa macam perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja dalam menjalin hubungan industrial. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1, yaitu:[28]
1.        Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yangmengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2.        Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3.        Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
4.        Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
5.        Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan[29].
Khsusus menyangkut hubungan industri, tentunya ada ketentuan hukum yang mengaturnya, terutama mengenai penyeleseaian permasalahan yang timbul atau terjadi.  Sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004, bahwa bahwa setiap perselisihan yang terjadi dalam hubungan industri sebaiknya diselesaikan dulun secara bipartit, sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 3[30], yaitu:
1.        Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
2.         Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
3.        Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartite dianggap gagal.
Setelah melalui proses penyelesaian dengan bipartit ini jika belum juga ditemukan penbyelesaiannya, maka perlu diselesaikan di tingkat yang lebih tinggi, terutama melalui instansi terkait, hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 pada pasal 4[31], yaitu:
1.        Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan;
2.        Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas;
3.        Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase;
4.        Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator;
5.        Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
6.        Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.[32]
Penyelesaian melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator yang berada di stiap kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenakerjaan kabupaten dan Kota. Jika melalui mediator instansi terkait perselisihan yang terjadi dalam hubungan indsutri belum juga dapat diselesaikan maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 pada pasal 5.
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian biparti ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut[33]. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
Pentingnya Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh :
1.      Perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
2.      Kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, pertauran perusaahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
3.      Pengakhiran hubungan kerja;
4.      Perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.
E.       Konsep Operasional
Untuk memberi arah dan memudahkan memahami maksud dari judul atau ruang lingkup dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberi batasan dari istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
Kedudukan dan fungsi mediator dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam penyelesaian Hubungan Industrial berdasarkan UU No 2 tahun 2004. Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian biparti ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun.
Mediasi dalam Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Pelaksanaan tentang kedudukan dan fungsi mediator dilaksanakan di Kabupaten Rokan Hulu Berdasarkan UU No 2 Tahun 2004.
F.       Metode Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini agar didapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan data-data yang akurat dan relevan, maka di sini penulis menyusun metode penelitian sebagi berikut:
1.        Jenis Penelitian:
Jenis penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum sosiologis, yang menjadi objek dari penelitian ini adalah  tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
2.        Lokasi Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten Rokan Hulu. Hal ini penulis lakukan tidak terlepas dari salah satu fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten Rokan Hulu merupakan sebagai instansi Pemerintah yang memiliki mediator dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
3.        Populasi dan Sampel
a.         Populasi
Sehubungan dengan judul penelitian yang penulis lakukan, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten Rokan Hulu, Pengusaha dan serikat Pekerja.
b.      Sampel
Sampel yang akan penulis ambil dalam penelitian ini adalah:
1)      Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten Rokan Hulu satu orang
2)      Mediator Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten Rokan Hulu dua orang
3)      Humas Perusahaan satu orang
4)      Ketua Serikat Pekerja satu orang.
Tabel  2 Populasi dan Sampel
NO
URAIAN
POPULASI
SAMPEL
PERSENTASE

1
Kepala Dinas
1
1
100 %
2
Mediator
2
2
100 %
3
Humas Perusahaan
10
1
10 %
4
Ketua Serikat Pekerja
10
2
20 %

Jumlah
23
6

Sumber :  Dinas Sosial,Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rokan Hulu, 2015.
4.        Sumber data
a.         Data Primer
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediator berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang  Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Rokan Hulu
b.        Data Skunder
Yaitu data yang penulis peroleh dari berbagai referensi terutama perundang-undangan yang mengatur penyeleseian perselisihan hubungan industrial, ditambah dengan teori-teori atau pendapat ahli dari berbagai literature yang turut mendukung penelitian

5.        Teknik Pengumpulan data
Adapun teknik pengambilan data yang akan penulis lakukan adalah dengan berbagai cara, yaitu:
a.       Observasi
Observasi di sini adalah, penulis turun langsung ke lapangan dan melihat proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediator berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang  Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Rokan Hulu
b.      Wawancara (Intervieu)
Dengan cara  melakukan Tanya jawab langusng dengan pihak-pihak yang dianggap mampu menenrangkan tentang masalah yang berhubungan dengan penelitian ini, terutama sampel yang telah penulis tetapkan.
6.        Analisis Data
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum sosiologis, dimana data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Dengan jalan setelah memperoleh data, penulis akan melakukan kalrifikasi sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti, kemudian penulia sajikan dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis dengan cara menganalisis berdasarkan ketentuan hokum dan teori-teori atau penapat ahli tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Rokan Hulu.
7.        Analisis Data
Bahan-bahan yang telah didapat atau dikumpulkan selanjutnya akan disajikan secara selektif dan sistematis, kemudian langkah berikutnya adalah data tersebut dibahas dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis dalam artian bahwa dari semua bahan hukum yang berhasil dikumpulkan digunakan untuk menggambarkan permasalahan yang dilakukan secara kualitatif normatif.  Adapun penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan metode induktif yaitu menggambarkan fakta-fakta secara khusus yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, kemudian dianalisa dan ditarik kesimpulan umum dari fakta tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar