Minggu, 12 April 2015

BAB 1 TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI BAWAH UMUR



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Di Indonesia pada saat ini angka kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dipantau Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) sejak Januari hingga Juni 2013, tercatat 1.032 kasus kekerasan yang menimpa anak.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 535 kasus atau sekira 52 persen merupakan kasus kekerasan seksual. Selebihnya, kasus kekerasan fisik sebanyak 294 kasus dan kekerasan psikis sebanyak 203 kasus.
Komnas PA, Arist Merdeka Sirait dalam konferensi pers Laporan Tengah Tahun Komnas PA di Jakarta mengatakan, hal ini bisa diasumsikan bahwa setiap bulan terdapat 90 hingga 100 anak yang menerima kekerasan seksual. Arist merinci, sebanyak 52 anak mengalami kekerasan seksual dalam bentuk sodomi dan perkosaan sebanyak 280 kasus, pencabulan 182 kasus serta inses 21 kasus. Mengenai lokasi kejadian, kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di lingkungan sosial sebanyak 385 kasus, disusul lingkungan keluarga 193, dan lingkungan sekolah 121. Dampaknya, meninggal dunia sembilan kasus dan trauma 345 kasus.
Arist Merdeka Sirait yang merupakan ketua Komnas Perlindungan Anak menyayangkan, belakangan ini pelaku kekerasan justru dilakukan oleh orang terdekat. Hal ini, menunjukan bahwa kekerasan terhadap anak belum bisa diselesaikan, walaupun ada aturan hukum dan perundang-undangan yang mengatur hal ini.
Untuk itu, Arist juga meminta semua komponen masyarakat untuk ikut memerangi dan menghentikan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan. Dia juga meminta pihak kepolisian meningkatkan pelayanannya dan memberikan perlakuan khusus terhadap korban kejahatan seksual. Komnas PA juga mendorong DPR agar memasukkan pasal sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan, yakni minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup.( http://news.okezone.com)
Sebagai gambaran, data tahun 2002 menunjukkan anak usia 6-12 tahun paling sering mengalami kekerasan seksual (33%) dan emosional (28,8%), dibandingkan dengan kekerasan yang bersifat fisik (24,1%) (Suharto, 2004). Ruang kekerasan terhadap anak sebagian besar terjadi di rumah (129 kasus), selanjutnya dijalanan (79 kasus), sekolah (10 kasus), lembaga keagamaan (2 kasus), sektor perekonomian (21 kasus). Kekerasan seksual juga terjadi tidak hanya dirumah (48,7%), melainkan pula tempat umum (6,1%), sekolah (4,1%), tempat kerja (3,0%), lain-lain (0,4%).(Abu Huraerah, 2012:22).
Di Indonesia hasil dari kajian yang dilakukan irwanto(1998) selama periode 1994-1996 menemukan bahwa sebagian besar korban kekerasan seksual adalah anak perempuan dibawah umur 11 tahun (Pelita, 15 juni 1994). Sementara itu, studi yang dilakukan Yayasan Kalyanamitra di Sembilan penerbitan di pulau jawa, sepanjang 1994 menemukan 185 kasus perkosaan, dimana 75% diantaranya ternyata yang menjadi korban adalah anak perempuan dibawah usia 17 tahun. Si pelaku, 74% sudah dikenal korban. Studi yang dilakukan bagong suyanto dkk. (1995) terhadap berita diharian jawa pos selama 1993-1994 menemukan bahwa sebanyak 49,1% korban perkosaan ternyata anak-anak dibawah usia 14 tahun, dan bahkan 14,2% diantaranya berusia dibawah 8 tahun.(Bagong Suyanto, 2010:239)
Kenapa anak-anak (perempuan) merupakan korban potensi bagi terjadinya kejahatan seksual? selain karena faktor kebejatan mental si pelaku, secara psikis dan fisik, anak-anak umumnya memang sangat rentan dan mudah menjadi korban tindak kekerasan seksual. Studi yang dilakukan tim peneliti dari universitas airlangga di jawa timur (1992); menemukan mayoritas terjadinya tindak kekerasan seksual umumnya terjadi karena adanya ancaman dan paksaan (66,3%). Namun sebagian pemerkosa biasanya mencoba menaklukkan korban dengan cara bujuk rayu (22,5%) atau dengan menggunakan obat bius (5.1%).(Bagong Suyanto, 2010:239)
Seperti contoh kasus kekerasan seksual terhadap anak umur 15 tahun yang dilakukan seorang ayah tirinya yang berumur 53 tahun di daerah Kabupaten Indragiri Hulu yang telah ditangani Polsek Batang Gansal pada tanggal 21 Februari 2013. dimana seorang ayah tirinya melakukan ancaman dan paksaan agar korban mau melayani perbuatan yang di inginkannya.
Seharusnya sebagai seorang ayah wajib melindungi anaknya dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Dalam KUH-Pidana Pasal 290 telah diatur dan terdapat sanksi pidana penjara tujuh tahun jika barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum limabelas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya dikawin. Namun aturan dan sanksi tersebut tidak dapat menghalangi dan mencegah seorang ayah tersebut untuk tidak melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya.
Di Polsek Batang Gansal tindak kejahatan kekerasan seksual merupakan sebuah kasus yang cukup menjadi perhatian, apalagi korban merupakan anak-anak yang masih dibawah umur dan akan berdampak buruk terhadap kehidupan anak tersebut. Hal ini melatar belakangi penulis dalam melakukan penelitian tentang salah satu kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang ayah terhadap anak tirinya. Berikut ini penulis akan mencoba melampirkan data tentang tindak kejahatan kekerasan seksual yang penulis peroleh dari unit Reskrim Polsek Batang Gansal dari tahun Januari 2011 s/d Agustus 2013, untuk lebih jelas penulis akan melampirkannya dibawah ini :




Tabel I.I Data Kasus Kejahatan Kekerasan Seksual Polsek Batang Gansal Januari 2011 s/d Agustus 2013
NO
JENIS KEJAHATAN

TAHUN

TOTAL


2011
2012
2013

1
KEKERASAN SEKSUAL
0
1
2
3
Sumber: Polsek Batang Gansal 2011-2013.
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan Negara di masa mendatang. Agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab itu, Maka mereka perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk tindak kekerasan pada anak perlu dicegah dan diatasi. (Abu Huraerah, 2012:11).
Setiap perempuan yang menjadi korban tindak pidana, berada pada posisi yang lemah dan sering kali mengalami peristiwa yang mengecewakan. Karena seakan-akan dijadikan objek belaka. Bahkan pengalaman-pengalaman yang dialaminya harus setiap kali diceritakan kembali, misalnya pada waktu ia melapor ke Polisi atau pada saat sidang pengadilan berlangsung. Keadaan akan bertambah parah, apabila masyarakat pun ikut memandang rendah mereka yang menjadi korban tindak pidana. Situasi tersebut sangat mengecewakan, sebab korban harus menahan diri dan memendam perasaan malu. Hal ini dirasakan sebagai suatu penderitaan. (Shanty Dellyana, 1988:112)
Sebuah studi yang dilakukan linda E. Ledray terhadap korban kekerasan seksual atau perkosaan setelah 2-3 jam kejadian menemukan dampak dan akibat sebagai berikut: 96% korban mengalami gemetar dan menggigil tak henti, 68% mengalami rasa pusing, 68% mengalami kekejangan otot yang hebat, 65% mengalami sakit kepala, nyeri yang hebat. sementara itu untuk penderitaan yang dialami korban adalah: 96% kecemasan, 96% rasa lelah secara psikologis, 88% kegelisahan tiada henti, 88% terancam, dan 80% merasa diteror oleh keadaan (suparman marzuki, 1997).(Bagong Suyanto, 2010:237)
Selanjutnya jika korban kekerasan seksual adalah anak-anak, maka kemungkinan mereka dapat pulih justru akan jauh lebih sulit. mereka cenderung  akan menderita trauma akut (Geser, 1979). Masa depan akan hancur, dan bagi yang tak kuat menanggung beban, pilihan satu-satunya adalah bunuh diri. sering terjadi, perempuan korban perkosaan, sesudahnya tidak dapat lagi melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita vaginismus, dimana otot dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup ketika melakukan hubungan kelamin, sehingga sulit dilakukan penetrasi. bahkan dalam beberapa kasus dapat terjadi dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang dirasakan sebagai penderitaan bila dilakukan senggama (Toni Setiabudi, kompas, 1 Agustus 1995).(Bagong Suyanto, 2010:237)
Siapa pun terutama perempuan dan atau yang memiliki anak perempuan ketika membaca atau mendengar berita tindak perkosaan atau kekerasan seksual, niscaya hati dan perasaannya akan ikut sedih, geram, marah, dan rasa yang bercampur aduk, apalagi kejadiannya begitu dragmatis dan si korban adalah anak-anak.(Bagong Suyanto, 2010:237)
tetapi masyarakat pada umumnya tidak menyadari luasnya pengaruh atau dampak kekerasan seksual ini.
Masalah kejahatan dan penjahat telah sering diuaraikan dan dikaji, baik dalam bentuk penelitian, seminar, maupun dalam bentuk penulisan buku. Tidaklah demikian dengan persoalan korban yang jarang sekali dibicarakan dan dikaji, apalagi diulas dalam bentuk buku.
Dalam menguraikan dan mengkaji persoalan kejahatan, biasanya orang hanya memperhatikan komponen-komponen pelaku, undang-undang, dan aparat penegak hukum. Kalaupun faktor korban ikut dipersoalkan, pengkajiannya tidak dilakukan secara komprehensif dan tuntas. (widiartana,2009:13)
Alasan tersebut diataslah yang membuat penulis ingin meneliti tentang masalah korban, yang dimana pada Daerah Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri hulu terdapat anak sebagai korban kekerasan seksual.
Untuk itu penulis merasa perlu mengetahui secara jelas bagaimanakah dampak terhadap anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekatnya dengan mengangkat masalah ini dan memformulasikannya kedalam tulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DIBAWAH UMUR”

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disampaikan, maka penulis merumuskan permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah dampak terhadap anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekatnya?”. (Studi Kasus Polsek Batang Gansal Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri Hulu).
C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak terhadap anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekatnya.
D.    Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat-manfaat. Dalam tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pelajaran bagi masyarakat bahwa begitu berbahayanya jika seorang anak menjadi korban kekerasan seksual.
Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi pihak lain yang akan melakukan penelitian dengan kasus yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar