BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di Indonesia pada saat
ini angka kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan data yang dipantau Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) sejak Januari hingga Juni 2013, tercatat 1.032
kasus kekerasan yang menimpa anak.
Dari jumlah tersebut,
sebanyak 535 kasus atau sekira 52 persen merupakan kasus kekerasan seksual.
Selebihnya, kasus kekerasan fisik sebanyak 294 kasus dan kekerasan psikis
sebanyak 203 kasus.
Komnas PA, Arist
Merdeka Sirait dalam konferensi pers Laporan Tengah Tahun Komnas PA di Jakarta
mengatakan, hal ini bisa diasumsikan bahwa setiap bulan terdapat 90 hingga 100
anak yang menerima kekerasan seksual. Arist merinci, sebanyak 52 anak mengalami
kekerasan seksual dalam bentuk sodomi dan perkosaan sebanyak 280 kasus,
pencabulan 182 kasus serta inses 21 kasus. Mengenai lokasi kejadian, kasus
kekerasan seksual paling banyak terjadi di lingkungan sosial sebanyak 385
kasus, disusul lingkungan keluarga 193, dan lingkungan sekolah 121. Dampaknya,
meninggal dunia sembilan kasus dan trauma 345 kasus.
Arist Merdeka Sirait
yang merupakan ketua Komnas Perlindungan Anak menyayangkan, belakangan ini
pelaku kekerasan justru dilakukan oleh orang terdekat. Hal ini, menunjukan
bahwa kekerasan terhadap anak belum bisa diselesaikan, walaupun ada aturan
hukum dan perundang-undangan yang mengatur hal ini.
Untuk itu, Arist juga
meminta semua komponen masyarakat untuk ikut memerangi dan menghentikan
kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan. Dia juga meminta pihak
kepolisian meningkatkan pelayanannya dan memberikan perlakuan khusus terhadap
korban kejahatan seksual. Komnas PA juga mendorong DPR agar memasukkan pasal
sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan, yakni minimal
20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup.( http://news.okezone.com)
Sebagai gambaran, data
tahun 2002 menunjukkan anak usia 6-12 tahun paling sering mengalami kekerasan
seksual (33%) dan emosional (28,8%), dibandingkan dengan kekerasan yang
bersifat fisik (24,1%) (Suharto, 2004). Ruang kekerasan terhadap anak sebagian
besar terjadi di rumah (129 kasus), selanjutnya dijalanan (79 kasus), sekolah
(10 kasus), lembaga keagamaan (2 kasus), sektor perekonomian (21 kasus).
Kekerasan seksual juga terjadi tidak hanya dirumah (48,7%), melainkan pula
tempat umum (6,1%), sekolah (4,1%), tempat kerja (3,0%), lain-lain (0,4%).(Abu
Huraerah, 2012:22).
Di Indonesia hasil dari
kajian yang dilakukan irwanto(1998) selama periode 1994-1996 menemukan bahwa
sebagian besar korban kekerasan seksual adalah anak perempuan dibawah umur 11
tahun (Pelita, 15 juni 1994). Sementara itu, studi yang dilakukan Yayasan
Kalyanamitra di Sembilan penerbitan di pulau jawa, sepanjang 1994 menemukan 185
kasus perkosaan, dimana 75% diantaranya ternyata yang menjadi korban adalah
anak perempuan dibawah usia 17 tahun. Si pelaku, 74% sudah dikenal korban.
Studi yang dilakukan bagong suyanto dkk. (1995) terhadap berita diharian jawa
pos selama 1993-1994 menemukan bahwa sebanyak 49,1% korban perkosaan ternyata
anak-anak dibawah usia 14 tahun, dan bahkan 14,2% diantaranya berusia dibawah 8
tahun.(Bagong Suyanto, 2010:239)
Kenapa anak-anak
(perempuan) merupakan korban potensi bagi terjadinya kejahatan seksual? selain
karena faktor kebejatan mental si pelaku, secara psikis dan fisik, anak-anak
umumnya memang sangat rentan dan mudah menjadi korban tindak kekerasan seksual.
Studi yang dilakukan tim peneliti dari universitas airlangga di jawa timur
(1992); menemukan mayoritas terjadinya tindak kekerasan seksual umumnya terjadi
karena adanya ancaman dan paksaan (66,3%). Namun sebagian pemerkosa biasanya
mencoba menaklukkan korban dengan cara bujuk rayu (22,5%) atau dengan
menggunakan obat bius (5.1%).(Bagong Suyanto, 2010:239)
Seperti contoh kasus
kekerasan seksual terhadap anak umur 15 tahun yang dilakukan seorang ayah
tirinya yang berumur 53 tahun di daerah Kabupaten Indragiri Hulu yang telah
ditangani Polsek Batang Gansal pada tanggal 21 Februari 2013. dimana seorang
ayah tirinya melakukan ancaman dan paksaan agar korban mau melayani perbuatan
yang di inginkannya.
Seharusnya sebagai
seorang ayah wajib melindungi anaknya dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera,
sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Dalam KUH-Pidana Pasal 290 telah diatur dan terdapat sanksi
pidana penjara tujuh tahun jika barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan
seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum limabelas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum
waktunya dikawin. Namun aturan dan sanksi tersebut tidak dapat menghalangi dan
mencegah seorang ayah tersebut untuk tidak melakukan kekerasan seksual terhadap
anaknya.
Di Polsek Batang Gansal tindak kejahatan kekerasan seksual
merupakan sebuah kasus yang cukup menjadi perhatian, apalagi korban merupakan
anak-anak yang masih dibawah umur dan akan berdampak buruk terhadap kehidupan
anak tersebut. Hal ini melatar belakangi penulis dalam melakukan penelitian
tentang salah satu kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang ayah terhadap
anak tirinya. Berikut ini penulis akan mencoba melampirkan data tentang tindak
kejahatan kekerasan seksual yang penulis peroleh dari unit Reskrim Polsek
Batang Gansal dari tahun Januari 2011 s/d Agustus 2013, untuk lebih jelas
penulis akan melampirkannya dibawah ini :
Tabel I.I Data Kasus Kejahatan
Kekerasan Seksual Polsek Batang Gansal Januari 2011 s/d Agustus 2013
NO
|
JENIS
KEJAHATAN
|
|
TAHUN
|
|
TOTAL
|
|
|
2011
|
2012
|
2013
|
|
1
|
KEKERASAN
SEKSUAL
|
0
|
1
|
2
|
3
|
Sumber:
Polsek Batang Gansal 2011-2013.
Anak adalah tunas,
potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam
menjamin eksistensi bangsa dan Negara di masa mendatang. Agar mereka kelak
mampu memikul tanggung jawab itu, Maka mereka perlu mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental,
sosial, maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi
dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk tindak kekerasan pada anak perlu
dicegah dan diatasi. (Abu Huraerah, 2012:11).
Setiap perempuan yang menjadi
korban tindak pidana, berada pada posisi yang lemah dan sering kali mengalami
peristiwa yang mengecewakan. Karena seakan-akan dijadikan objek belaka. Bahkan
pengalaman-pengalaman yang dialaminya harus setiap kali diceritakan kembali,
misalnya pada waktu ia melapor ke Polisi atau pada saat sidang pengadilan
berlangsung. Keadaan akan bertambah parah, apabila masyarakat pun ikut
memandang rendah mereka yang menjadi korban tindak pidana. Situasi tersebut
sangat mengecewakan, sebab korban harus menahan diri dan memendam perasaan
malu. Hal ini dirasakan sebagai suatu penderitaan. (Shanty Dellyana, 1988:112)
Sebuah studi yang
dilakukan linda E. Ledray terhadap korban kekerasan seksual atau perkosaan
setelah 2-3 jam kejadian menemukan dampak dan akibat sebagai berikut: 96%
korban mengalami gemetar dan menggigil tak henti, 68% mengalami rasa pusing,
68% mengalami kekejangan otot yang hebat, 65% mengalami sakit kepala, nyeri
yang hebat. sementara itu untuk penderitaan yang dialami korban adalah: 96%
kecemasan, 96% rasa lelah secara psikologis, 88% kegelisahan tiada henti, 88%
terancam, dan 80% merasa diteror oleh keadaan (suparman marzuki, 1997).(Bagong
Suyanto, 2010:237)
Selanjutnya jika korban
kekerasan seksual adalah anak-anak, maka kemungkinan mereka dapat pulih justru
akan jauh lebih sulit. mereka cenderung
akan menderita trauma akut (Geser, 1979). Masa depan akan hancur, dan
bagi yang tak kuat menanggung beban, pilihan satu-satunya adalah bunuh diri.
sering terjadi, perempuan korban perkosaan, sesudahnya tidak dapat lagi
melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita vaginismus, dimana otot
dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup ketika melakukan hubungan
kelamin, sehingga sulit dilakukan penetrasi. bahkan dalam beberapa kasus dapat
terjadi dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang dirasakan sebagai
penderitaan bila dilakukan senggama (Toni Setiabudi, kompas, 1 Agustus 1995).(Bagong
Suyanto, 2010:237)
Siapa pun terutama
perempuan dan atau yang memiliki anak perempuan ketika membaca atau mendengar
berita tindak perkosaan atau kekerasan seksual, niscaya hati dan perasaannya
akan ikut sedih, geram, marah, dan rasa yang bercampur aduk, apalagi
kejadiannya begitu dragmatis dan si korban adalah anak-anak.(Bagong Suyanto,
2010:237)
tetapi masyarakat pada
umumnya tidak menyadari luasnya pengaruh atau dampak kekerasan seksual ini.
Masalah kejahatan dan
penjahat telah sering diuaraikan dan dikaji, baik dalam bentuk penelitian,
seminar, maupun dalam bentuk penulisan buku. Tidaklah demikian dengan persoalan
korban yang jarang sekali dibicarakan dan dikaji, apalagi diulas dalam bentuk
buku.
Dalam menguraikan dan
mengkaji persoalan kejahatan, biasanya orang hanya memperhatikan
komponen-komponen pelaku, undang-undang, dan aparat penegak hukum. Kalaupun faktor
korban ikut dipersoalkan, pengkajiannya tidak dilakukan secara komprehensif dan
tuntas. (widiartana,2009:13)
Alasan tersebut
diataslah yang membuat penulis ingin meneliti tentang masalah korban, yang
dimana pada Daerah Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri hulu terdapat
anak sebagai korban kekerasan seksual.
Untuk itu penulis
merasa perlu mengetahui secara jelas bagaimanakah dampak terhadap anak korban
kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekatnya dengan mengangkat
masalah ini dan memformulasikannya kedalam tulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DIBAWAH UMUR”
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang yang telah disampaikan, maka penulis merumuskan permasalahan
yang timbul dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah dampak terhadap anak
korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekatnya?”. (Studi Kasus
Polsek Batang Gansal Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri Hulu).
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan perumusan
masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak
terhadap anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekatnya.
D.
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini
dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat-manfaat. Dalam tataran
teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pelajaran
bagi masyarakat bahwa begitu berbahayanya jika seorang anak menjadi korban
kekerasan seksual.
Manfaat praktis,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi pihak lain yang
akan melakukan penelitian dengan kasus yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar