BAB
II
STUDI
KEPUSTAKAAN
A.
Studi
Kepustakaan
1.
Konsep
Kriminologi
Kriminologi berasal
dari bahasa asing (ingris) yakni Criminology,
yang terdiri dari dua kata, yaitu: crimen
yang berarti penjahat dan logos yang berarti pengetahuan. Dengan demikian
kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau
penjahat.(Darmawan, 2000:1.2)
Nama Kriminologi yang
disampaikan oleh P.Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi perancis,
secara harfiah berasal dari kata “Crimen”
yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos”
yang berarti ilmu pengetahuan, Maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat.(Santoso, 2001:9).
Bonger memberikan
definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala
kejahatan seluas-luasnya. melalui definisi ini, Bonger lalu membagi kriminologi
ini menjadi kriminologi murni yang mencakup:
a. Antropologi
Kriminal
ialah ilmu pengetahuan tentang
manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas
pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda apa? apakah
ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
b. Sosiologi
Kriminal
ialah ilmu pengetahuan tentang
kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh
bidang ilmu ini adalah sampai di mana letak sebab-sebab kejahatan dalam
masyarakat.
c. Psikologi
kriminal
ilmu pengetahuan tentang penjahat
yang dilihat dari sudut jiwanya.
d. Psikopatologi
dan Neuropatologi Kriminal
ialah ilmu tentang penjahat yang
sakit jiwa atau urat syaraf.
e. Penologi
ialah ilmu tentang tumbuh dan
berkembangnya suatu hukuman.
Dinyatakan
dalam Moedigdo Moeliono kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang ditunjang oleh
berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia. (Kartini
Kartono, 2011).
Menurut G.P. Hoefnagel Kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan
empiris yang untuk sebagian dihubungkan dengan norma hukum yang mempelajari
kejahatan serta proses-proses formal dan informal dari kriminalitas dan
deksiminalisasi, situasi kejahatan-penjahat-masyarakat, sebab-sebab dan
hubungan sebab-sebab kejahatan serta reaksi-reaksi dan respon-respon resmi dan
tidak resmi terhadap kejahatan, penjahat dan masyarakat oleh pihak diluar
penjahat. (Muhammad Mustofa:2007)
Kelahiran kriminologi
sebagai ilmu pengetahuan, karena hukum pidana baik materil maupun formal serta
system penghukuman sudah tidak efektif lagi untuk mencegah dan memberantas
kejahatan, bahkan kejahatan semakin meningkat dalam bentuk aspek kehidupan.
Tujuan kriminologi adalah untuk mengetahui apa sebab-sebabnya sehingga ia
sampai berbuat jahat itu. Apakah memang karena bakat dan karakternya adalah
jahat, ataukah didorong oleh keadaan sosiologis atau ekonomis. (Abdussalam,
2007:1)
Menurut Sutherland,
kriminologi adalah seperangkat pengetahuan
yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk didalamnya
proses pembuatan undang-undang. Jadi kriminologi adalah ilmu yang mempelajari
kejahatan sebagai masalah manusia. (Abdussalam, 2007:4)
2.
Konsep
Tentang Kejahatan
Berbicara tentang
konsep dan pengertian tentang kejahatan masih terdapat kesulitan dalam dalam
memberikan definisi yang tegas karena masih terdapat keterbatasan pengertian
yang disetujui secara umum. Dalam pengertian legal, menurut sue titus reid (1988), adalah suatu aksi
atau perbuatan yang didefinisikan secara hukum, kecuali jika unsur-unsur yang
ditetapkan oleh hukum criminal atau hukum pidana telah diajukan dan dibuktikan
melalui suatu keraguan yang beralasan, bahwa seseorang tidak dapat dibebani
tuduhan telah melakukan suatu aksi atau perbuatan yang dapat digolongkan
sebagai kejahatan.(Dermawan, 1994:1)
Sedangkan menurut Herman Mannheim (1973), yang mengatakan
bahwa batasan kejahatan tidaklah hanya tindakan melanggar hukum atau
undang-undang saja, tetapi juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan conduct norms, yaitu tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat walaupun
tindakan itu belum dimasukkan atau diatur dalam undang-undang.(Dermawan,
1994:1)
Kejahatan adalah
istilah yang dipakai untuk mempersepsikan perbuatan yang dianggap salah baik
secara hukum maupun sosial. Sama halnya dengan dengan hukum, tidak ada
kesepakatan secara universal untuk mendefinisikan kejahatan dalam pengertian
yang baku. (Atmasasmita, 1995:70)
Menurut Edwin
Sutherland dalam buku kejahatan dalam wajah pembangunan, kejahatan adalah suatu
gejala sosial yang dianggap normal. Pada setiap masyarakat kejahatan pasti
hadir karena manusia berada pada dua sisi antara conformity dan deviant (patuh
dan menyimpang). Kelompok pemikir kritis menyebut manusia berada di antara sisi
antagonis dan positif. Dalam kitab suci disebut manusia berada dalam dua
dimensi, Yakni fujur dan takwa (kerusakandan kebenaran).
(Masdiana, 2005:27)
Menurut Bonger dalam
buku kriminologi, yang menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan anti sosial
yang secara sadar mendapat reaksi dalam Negara berupa pemberian derita kemudian
sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definition) mengenai kejahatan. (Santoso, 2001:14)
Kejahatan dari sudut
pandang sosiologi adalah salah satu perbuatan yang anti sosial dan amoral serta
tidak di kehendaki oleh masyarakat, merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak
boleh dibiarkan dan secara sadar harus ditentang. (Dermawan, 2000:24)
Dilihat dari segi
kriminologisnya, kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar undang-undang
atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi yaitu yang mencangkup perbuatan yang
anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum diatur
atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. (Dalam Kriminologi,
Yesmil Anwar Adang, 2010:15)
3.
Pengertian
Korban
Korban kejahatan
merupakan objek penelitian kriminologi yang tidak dapat dilepaskan dari gejala
kejahatan. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kejahatan pasti aka nada
korbannya, baik orang lain maupun diri sendiri.
Yang dimaksud dengan
korban adalah Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang
lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. (Arif
Gosita, 1983: 41)
Korban adalah pihak
yang menanggung kesalahan dalam terjadinya kejahatan atau orang yang menderita
akibat suatu peristiwa kejahatan. (Yesmil Anwar Adang, 2010:15)
Masalah korban
dicetuskan oleh B. Mendelshon, seorang pengacara di Yerusalem. Beliau yang
pertama kali menggunakan istilah victimology
(viktimologi), yaitu suatu studi yang mempelajari masalah korban, penimbul
korban, serta akibat-akibat penimbulan korban, yang merupakan suatu masalah
manusia, sebagai suatu kenyataan sosial. (Arif Gosita, 1983: 31)
Tercantum dalam pasal 1
angka 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban
menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Menurut Arif Gosita
yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. (Rena
Yulia, 2010:49)
4.
Pengertian
Anak
Dalam Undang-undang No.
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pengertian anak adalah: “seseorang
yang berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sedangkan
menurut Pasal 330 KUH-Perdata belum dewasa adalah : “mereka belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu belum kawin”. Menurut pasal
tersebut, bahwa semua orang yang belum genap berumur 21 tahun dan belum kawin
tidak dianggap dewasa dan belum mapan dimata hukum.
Didalam deklarasi
Hak-hak Anak (PBB) Supeno: 2010, terdapat sepuluh prinsip tentang hak anak,
satu diantaranya berbunyi “setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk
keterlantaran, tindak kekerasan, dan eksploitasi”. Prinsip ini menunjukkan
bahwa anak harus mendapat perlindungan, kesejahteraan, kebahagiaan secara fisik
dan mental, serta wajib mengenyam pendidikan. Dan ini bukan hanya kewajiban
para orang tua, melainkan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Undang-Undang RI No. 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak bab XII ketentuan pidana pasal 82 berisi:
“setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda.
Didalam Undang-Undang
HAM bagian kesepuluh tantang Hak Anak pasal 58 Ayat 2 menyebutkan bahwa:
“dalam hal rang tua,
wali, pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan
atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan
pemberatan hukuman”.
5.
Konsep
Kekerasan Seksual
Pelecehan seksual dan
kekerasan seksual atau perkosaan sesungguhnya bukan sekedar bentuk pelanggaran
hukum terhadap hak orang lain yang tergolong tindak criminal. Tetapi lebih dari
itu “ia” adalah sebuah peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki
terhadap perempuan karena dilator belakangi oleh nilai sosial budaya
dimasyarakat yang sedikit banyak bias gender.(Bagong Suyanto, 2010:248)
Tindak perkosaan
sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah usaha melampiaskan
nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara
menurut moral dan atau hukum yang berlaku adalah melanggar, wignjosoebroto
(dalam Bagong Suyanto, 2010:248)
Menurut Heise (dalam
Bagong Suyanto, 2010:249), yang dimaksud tindak kekerasan terhadap perempuan
pada dasarnya adalah segala tindakan kekerasan verbal atau fisik, pemaksaan
atau ancaman pada nyawa yang diarahkan pada seorang perempuan apakah masih
anak-anak atau sudah dewasa yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis,
penghinaan, atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi
perempuan.
Sementara itu definisi
yang lebih lengkap termuat dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap perempuan di Nairobi 1985 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis
kelamin yang berakibat kesengsaraaan atau penderitaan perempuan secara fisik,
seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum
atau dalam kehidupan pribadi. (Bagong Suyanto, 2010:249)
Koordinator Divisi
Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan Siti Maesaroh(2012) mengatakan
kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya berupa pemerkosaan, selain itu
ada pelecehan seksual, perbudakan seksual, ancaman atau percobaan pemerkosaan,
prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan,
perdagangan perempuan untuk seksual, dan pemaksaan kontrasepsi.
Suparman Marzuki(1997)
dalam bukunya Perempuan dalam Wacana Perkosaan menyebutkan, secara garis besar terdapat
lima tipe tindak perkosaan, yaitu:
1. Sadictic rape (perkosaan
sadis), yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan
destruktif. Pelaku menikmati kesenangan erotis bukan melalui hubungan
seksualnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh
korban.
2. Anger rape, yaitu
perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan
melepaskan perasaan geram dan amarah yang tak tertahan. Tubuh korban seakan
dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan,
kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya.
3. Domination rape, yaitu
perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukkan kekuasaan atau
superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama
menaklukkan seksual.
4. Seductive rape, yaitu
perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak.
Pada mulanya korban memutuskan untuk membatasi keitiman personal, dan sampai
batas-batas tertentu bersikap permissive (membolehkan)
perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan seksual. Namun karena
pelaku beranggapan bahwa perempuan umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu
dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan.
5. Eksploitation rape, yaitu
perkosaan yang terjadi karena diperolehnya keuntungan atau situasi di mana
perempuan bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan
sosial.
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesame manusia pada
dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu
jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang
disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related-violence. Bentuk
kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya sebagai
berikut:
1. Bentuk
pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape).
2. Tindakan
pemukulan atau serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence).
3. Bentuk
penyiksaan yang mengarah pada organ/alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
4. Kekerasan
dalam bentuk pelacuran (prostitution).
Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan
oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan.
5. Kekerasan
dalam bentuk pornografi. Pornografi merupakan jenis kekerasan lain terhadap
perempuan. jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik, yakni pelecehan
terhadap kaum perempuan.
6. Kekerasan
dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Dalam upaya
pelaksanaan keluarga berencana kadang-kadang diwarnai dengan adanya pemaksaan
terhadap kaum perempuan, demi mencapai target mengontrol pertumbuhan penduduk.
7. Jenis
kekerasan terselubung (molestation),
yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu tubuh perempuan dengan berbagai
cara dan kesempatan, tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Misalnya di tempat
pekerjaan atau di tempat umum.
8. Tindakan
yang sering dilakukan terhadap perempuan yaitu pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment.
Misalnya berupa olok-olok dengan kata-kata yang menyinggung perasaan, Mansour
Fakih (dalam Soeroso,2010:19-19).
Terry
E. Lawson, (dalam Huraerah, 2007) psikiater internasional yang merumuskan
definisi tentang child abuse, menyebut
ada empat macam abuse, yaitu : emotional abuse, verbal abuse, physical
abuse, dan sexual abuse.
1. Kekerasan
secara fisik (physical abuse)
physical
abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak
memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan
diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.
2. Kekerasan
Emosional (emotional abuse)
emotional
abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak
setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. ia membiarkan
anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada
waktu itu. ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau
dilindungi. anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan
emosional itu berlangsung konsisten. orang tua yang secara emosional berlaku
keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan
anak itu.
3. Kekerasan
secara verbal (verbal abuse)
verbal
abuse, biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku
melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang
melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.
4. Kekerasan
seksual (sexual abuse)
sexual
abuse, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri,
anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan
yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara
tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
Sementara
itu, Suharto (dalam Huraerah, 2012:47-48) mengelompokkan child abuse menjadi: physical
abuse (kekerasan secara fisik), psychological
abuse (kekerasan secara psikologis), sexual
abuse (kekerasan secara seksual), dan social
abuse (kekerasan secara sosial). Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kekerasan
anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak,
dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka
fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat
persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti gigitan, cubitan, ikat
pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau
berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada
daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong.
Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah
laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel,
menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di sembarang
tempat, memecahkan barang berharga.
2. Kekerasan
anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan
kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang
mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala prilaku maladaftif,
seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan
takut bertemu dengan orang lain.
3. Kekerasan
anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak
dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun kontak seksual
secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
4. Kekerasan
anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan
perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak
dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan
perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap
diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan
keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu
demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk
mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya atau
status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang
membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa
peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
Menurut
Suharto, (dalam Huraerah, 2012:49-50) bahwa kekerasan terhadap anak umumnya
disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak itu sendiri maupun
faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti:
1. Anak
mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak
terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidak tahuan anak akan hak-haknya,
anak terlalu bergantung pada orang dewasa.
2. Kemiskinan
keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.
3. Keluarga
tunggal atau keluarga pecah (broken home),
misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa
ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4. Keluarga
yang belum matang secara psikologis, ketidak tahuan mendidik anak, harapan
orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir diluar nikah.
5. Penyakit
parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak
mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.
6. Sejarah
penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung
mempermalukan salah anak-anaknya.
7. Kondisi
lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain
anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap
nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya paham ekonomi upah, lemahnya
perangkat hukum, tidak adanya mekanisme control sosial yang labil.
Sementara
itu, Rusmil (dalam Huraerah, 2012:50-51) menjelaskan bahwa penyebab atau resiko
terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi kedalam tiga faktor,
yaitu:
1. Faktor
orang tua/ keluarga
Faktor orang tua yang memegang
penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang
menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak diantaranya:
a. Praktik-praktik
budaya yang merugikan anak, seperti kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan
asimentris
b. Dibesarkan
dengan penganiayaan
c. Gangguan
mental
d. Belum
mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai
anak sebelum berusia 20 tahun.
e. Pecandu
minuman keras dan obat.
2. Faktor
lingkungan sosial/ komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga
dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial
yang dapat menyebakan kekerasan dan penelantaran pada anak diantaranya:
a. Kemiskinan
dalam masyarakat dan tekanan nialai materialistis
b. Kondisi
sosial ekonomi yang rendah
c. Adanya
nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri
d. Status
wanita yang dipandang rendah
e. Sistem
keluarga patriarchal
f. Nilai
masyarakat yang terlalu individualistis
3. Faktor
anak itu sendiri
a. Penderita
gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak
kepada lingkungannya
b. prilaku
menyimpang pada anak.
B.
Kerangka
Pemikiran
Kerangka pikiran atau kerangka teoritis merupakan
upaya untuk menjelaskan gejala atau hubungan antara gejala yang menjadi
perhatian, atau suatu kumpulan teori dan model literature yang menjelaskan
hubungan dalam masalah tertentu (Silalahi, 2006:84). Kerangka teoritis disusun
melalui telaah literature merupakan logical
contruct yang digunakan untuk menjelaskan masalah yang telah dirumuskan
dengan demikian suatu fenomena sosial dapat dijelaskan (Silalahi, 2006:89).
Berdasarkan variabel penelitian yaitu “ Korban
Kekerasan Seksual”, kemudian diukur dengan teori yang dijadikan sebagai
indicator serta fenomena yang terjadi, maka penulis mencoba menjelaskan
hubungan diantara unsur-unsur diatas agar tidak terjadi kesalahan dan penafsiran.
Tabel
II.I Gambar Kerangka Pemikiran
Kekerasan
seksual pada anak dibawah umur
Kekerasan secara Kekerasan secara Kekerasan secara Kekerasan secara
fisik emosional verbal seksual
- Penyiksaan -
Pengabaian - Menghina - Perkosaan
- Pemukulan -
Penolakan - Mengancam -
Eksploitasi seksual
- Penganiayaan - Isolasi - Memaki - incest
Sumber : Modifikasi Penulis 2013
C.
Konsep
Operasional
Menurut
Silalahi (2006:104), merupakan pengertian atau cirri-ciri yang berkaitan dengan
konsep adalah sejumlah karakteristik yang menjelaskan suatu objek, kejadian,
gejala, kondisi, atau situasi yang dinyatakan dalam suatu kata atau symbol.
Penulis
akan menjelaskan beberapa konsep yang berhubungan langsung dengan penelitian
ini baik variabel maupun indikatornya, yakni sebagai berikut :
1. Kekerasan
adalah tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan
lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau
menyakiti orang lain.
2. Seksual
adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan
dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan.
3. Kekerasan
seksual adalah bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan
secara seksual.
4. Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan masih dalam kandungan.
5. Umur
adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk,
baik yang hidup maupun yang mati.
6. Korban
adalah mereka yang dirugikan secara materi, jasmani dan rohani akibat tindakan
orang lain yang mencari kebutuhan atau keuntungan dari si penderita.
7. Pelaku
adalah orang yang melakukan perbuatan perilaku menyimpang bisa siapa saja
terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai
agama, warga Negara, latar belakang maupun status sosial.
8. ayah
tiri adalah orang tua laki-laki non-biologis sebagai suami dari ibu kandung.
D.
Operasional
Variabel
Tabel
II.II Operasional Variabel Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dibawah
Umur
Konsep
|
Variabel
|
Indikator
|
Item penilaian
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
Terry E. Lawson, (dalam Huraerah, 2007) psikiater
internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu : emotional
abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
|
Korban
kekerasan seksual pada anak dibawah umur
|
1.
Dampak kekerasan secara fisik (physical abuse)
2. Dampak kekerasan Emosional (emotional abuse)
3. Dampak kekerasan secara verbal (verbal abuse)
4. Dampak kekerasan seksual (sexual
abuse)
|
a.
Gangguan mental
b.
Cedera serius
c.
Meninggal dunia
a.
Berkembangnya perasaan tidak aman
b.
Gagal mengembangkan prilaku akrab
c.
Mengalami masalah penyesuaian diri
a.
Kurangnya rasa percaya diri
b.
Menarik diri dari lingkungan
c.
bunuh diri
a.
Merasa rendah diri
b.
Trauma akibat eksploitasi seksual
c.
Takut menikah
|
|
Sumber :
Modifikasi Penulis 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar