Minggu, 12 April 2015

BAB II TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI BAWAH UMUR



BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

A.    Studi Kepustakaan

1.      Konsep Kriminologi
Kriminologi berasal dari bahasa asing (ingris) yakni Criminology, yang terdiri dari dua kata, yaitu: crimen yang berarti penjahat dan logos yang berarti pengetahuan. Dengan demikian kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat.(Darmawan, 2000:1.2)
Nama Kriminologi yang disampaikan oleh P.Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi perancis, secara harfiah berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, Maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.(Santoso, 2001:9).
Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. melalui definisi ini, Bonger lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup:
a.       Antropologi Kriminal
ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda apa? apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
b.      Sosiologi Kriminal
ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai di mana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.
c.       Psikologi kriminal
ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.
d.      Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal
ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
e.       Penologi
ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya suatu hukuman.
            Dinyatakan dalam Moedigdo Moeliono kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang ditunjang oleh berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia. (Kartini Kartono, 2011).
Menurut G.P. Hoefnagel Kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan empiris yang untuk sebagian dihubungkan dengan norma hukum yang mempelajari kejahatan serta proses-proses formal dan informal dari kriminalitas dan deksiminalisasi, situasi kejahatan-penjahat-masyarakat, sebab-sebab dan hubungan sebab-sebab kejahatan serta reaksi-reaksi dan respon-respon resmi dan tidak resmi terhadap kejahatan, penjahat dan masyarakat oleh pihak diluar penjahat. (Muhammad Mustofa:2007)
Kelahiran kriminologi sebagai ilmu pengetahuan, karena hukum pidana baik materil maupun formal serta system penghukuman sudah tidak efektif lagi untuk mencegah dan memberantas kejahatan, bahkan kejahatan semakin meningkat dalam bentuk aspek kehidupan. Tujuan kriminologi adalah untuk mengetahui apa sebab-sebabnya sehingga ia sampai berbuat jahat itu. Apakah memang karena bakat dan karakternya adalah jahat, ataukah didorong oleh keadaan sosiologis atau ekonomis. (Abdussalam, 2007:1)
Menurut Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan  yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang. Jadi kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia. (Abdussalam, 2007:4)
2.      Konsep Tentang Kejahatan

Berbicara tentang konsep dan pengertian tentang kejahatan masih terdapat kesulitan dalam dalam memberikan definisi yang tegas karena masih terdapat keterbatasan pengertian yang disetujui secara umum. Dalam pengertian legal, menurut sue titus reid (1988), adalah suatu aksi atau perbuatan yang didefinisikan secara hukum, kecuali jika unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum criminal atau hukum pidana telah diajukan dan dibuktikan melalui suatu keraguan yang beralasan, bahwa seseorang tidak dapat dibebani tuduhan telah melakukan suatu aksi atau perbuatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan.(Dermawan, 1994:1)
Sedangkan menurut Herman Mannheim (1973), yang mengatakan bahwa batasan kejahatan tidaklah hanya tindakan melanggar hukum atau undang-undang saja, tetapi juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan conduct norms, yaitu tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat walaupun tindakan itu belum dimasukkan atau diatur dalam undang-undang.(Dermawan, 1994:1)
Kejahatan adalah istilah yang dipakai untuk mempersepsikan perbuatan yang dianggap salah baik secara hukum maupun sosial. Sama halnya dengan dengan hukum, tidak ada kesepakatan secara universal untuk mendefinisikan kejahatan dalam pengertian yang baku. (Atmasasmita, 1995:70)
Menurut Edwin Sutherland dalam buku kejahatan dalam wajah pembangunan, kejahatan adalah suatu gejala sosial yang dianggap normal. Pada setiap masyarakat kejahatan pasti hadir karena manusia berada pada dua sisi antara conformity dan deviant (patuh dan menyimpang). Kelompok pemikir kritis menyebut manusia berada di antara sisi antagonis dan positif. Dalam kitab suci disebut manusia berada dalam dua dimensi, Yakni fujur dan takwa (kerusakandan kebenaran). (Masdiana, 2005:27)
Menurut Bonger dalam buku kriminologi, yang menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dalam Negara berupa pemberian derita kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definition) mengenai kejahatan. (Santoso, 2001:14)
Kejahatan dari sudut pandang sosiologi adalah salah satu perbuatan yang anti sosial dan amoral serta tidak di kehendaki oleh masyarakat, merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan dan secara sadar harus ditentang. (Dermawan, 2000:24)
Dilihat dari segi kriminologisnya, kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi yaitu yang mencangkup perbuatan yang anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum diatur atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. (Dalam Kriminologi, Yesmil Anwar Adang, 2010:15)
3.      Pengertian Korban
Korban kejahatan merupakan objek penelitian kriminologi yang tidak dapat dilepaskan dari gejala kejahatan. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kejahatan pasti aka nada korbannya, baik orang lain maupun diri sendiri.
Yang dimaksud dengan korban adalah Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. (Arif Gosita, 1983: 41)
Korban adalah pihak yang menanggung kesalahan dalam terjadinya kejahatan atau orang yang menderita akibat suatu peristiwa kejahatan. (Yesmil Anwar Adang, 2010:15)
Masalah korban dicetuskan oleh B. Mendelshon, seorang pengacara di Yerusalem. Beliau yang pertama kali menggunakan istilah victimology (viktimologi), yaitu suatu studi yang mempelajari masalah korban, penimbul korban, serta akibat-akibat penimbulan korban, yang merupakan suatu masalah manusia, sebagai suatu kenyataan sosial. (Arif Gosita, 1983: 31)
Tercantum dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. (Rena Yulia, 2010:49)
4.        Pengertian Anak
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pengertian anak adalah: “seseorang yang berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sedangkan menurut Pasal 330 KUH-Perdata belum dewasa adalah : “mereka belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu belum kawin”. Menurut pasal tersebut, bahwa semua orang yang belum genap berumur 21 tahun dan belum kawin tidak dianggap dewasa dan belum mapan dimata hukum.
Didalam deklarasi Hak-hak Anak (PBB) Supeno: 2010, terdapat sepuluh prinsip tentang hak anak, satu diantaranya berbunyi “setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran, tindak kekerasan, dan eksploitasi”. Prinsip ini menunjukkan bahwa anak harus mendapat perlindungan, kesejahteraan, kebahagiaan secara fisik dan mental, serta wajib mengenyam pendidikan. Dan ini bukan hanya kewajiban para orang tua, melainkan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak bab XII ketentuan pidana pasal 82 berisi:
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa melakukan tipu  muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda.
Didalam Undang-Undang HAM bagian kesepuluh tantang Hak Anak pasal 58 Ayat 2 menyebutkan bahwa:
“dalam hal rang tua, wali, pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman”.
5.      Konsep Kekerasan Seksual
Pelecehan seksual dan kekerasan seksual atau perkosaan sesungguhnya bukan sekedar bentuk pelanggaran hukum terhadap hak orang lain yang tergolong tindak criminal. Tetapi lebih dari itu “ia” adalah sebuah peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena dilator belakangi oleh nilai sosial budaya dimasyarakat yang sedikit banyak bias gender.(Bagong Suyanto, 2010:248)
Tindak perkosaan sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku adalah melanggar, wignjosoebroto (dalam Bagong Suyanto, 2010:248)
Menurut Heise (dalam Bagong Suyanto, 2010:249), yang dimaksud tindak kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya adalah segala tindakan kekerasan verbal atau fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang diarahkan pada seorang perempuan apakah masih anak-anak atau sudah dewasa yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan, atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.
Sementara itu definisi yang lebih lengkap termuat dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap perempuan di Nairobi 1985 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraaan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. (Bagong Suyanto, 2010:249)
Koordinator Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan Siti Maesaroh(2012) mengatakan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya berupa pemerkosaan, selain itu ada pelecehan seksual, perbudakan seksual, ancaman atau percobaan pemerkosaan, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk seksual, dan pemaksaan kontrasepsi.
Suparman Marzuki(1997) dalam bukunya Perempuan dalam Wacana Perkosaan menyebutkan, secara garis besar terdapat lima tipe tindak perkosaan, yaitu:
1.      Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati kesenangan erotis bukan melalui hubungan seksualnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.
2.      Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tak tertahan. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya.
3.      Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukkan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama menaklukkan seksual.
4.      Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan untuk membatasi keitiman personal, dan sampai batas-batas tertentu bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan.
5.      Eksploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena diperolehnya keuntungan atau situasi di mana perempuan bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesame manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related-violence. Bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya sebagai berikut:
1.      Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape).
2.      Tindakan pemukulan atau serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence).
3.      Bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ/alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
4.      Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan.
5.      Kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi merupakan jenis kekerasan lain terhadap perempuan. jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan.
6.      Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Dalam upaya pelaksanaan keluarga berencana kadang-kadang diwarnai dengan adanya pemaksaan terhadap kaum perempuan, demi mencapai target mengontrol pertumbuhan penduduk.
7.      Jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan, tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Misalnya di tempat pekerjaan atau di tempat umum.
8.      Tindakan yang sering dilakukan terhadap perempuan yaitu pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. Misalnya berupa olok-olok dengan kata-kata yang menyinggung perasaan, Mansour Fakih (dalam Soeroso,2010:19-19).
Terry E. Lawson, (dalam Huraerah, 2007) psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu : emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
1.      Kekerasan secara fisik (physical abuse)
physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.
2.      Kekerasan Emosional (emotional abuse)
emotional abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
3.      Kekerasan secara verbal (verbal abuse)
verbal abuse, biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.
4.      Kekerasan seksual (sexual abuse)
sexual abuse, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
Sementara itu, Suharto (dalam Huraerah, 2012:47-48) mengelompokkan child abuse menjadi: physical abuse (kekerasan secara fisik), psychological abuse (kekerasan secara psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial). Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
2.      Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala prilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
3.      Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
4.      Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya atau status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
Menurut Suharto, (dalam Huraerah, 2012:49-50)  bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti:
1.      Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidak tahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.
2.      Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.
3.      Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4.      Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak tahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir diluar nikah.
5.      Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.
6.      Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung mempermalukan salah anak-anaknya.
7.      Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya paham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme control sosial yang labil.
Sementara itu, Rusmil (dalam Huraerah, 2012:50-51) menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi kedalam tiga faktor, yaitu:
1.      Faktor orang tua/ keluarga
Faktor orang tua yang memegang penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak diantaranya:
a.       Praktik-praktik budaya yang merugikan anak, seperti kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan asimentris
b.      Dibesarkan dengan penganiayaan
c.       Gangguan mental
d.      Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun.
e.       Pecandu minuman keras dan obat.
2.      Faktor lingkungan sosial/ komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebakan kekerasan dan penelantaran pada anak diantaranya:
a.       Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nialai materialistis
b.      Kondisi sosial ekonomi yang rendah
c.       Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri
d.      Status wanita yang dipandang rendah
e.       Sistem keluarga patriarchal
f.       Nilai masyarakat yang terlalu individualistis
3.      Faktor anak itu sendiri
a.       Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya
b.      prilaku menyimpang pada anak.
B.     Kerangka Pemikiran
Kerangka pikiran atau kerangka teoritis merupakan upaya untuk menjelaskan gejala atau hubungan antara gejala yang menjadi perhatian, atau suatu kumpulan teori dan model literature yang menjelaskan hubungan dalam masalah tertentu (Silalahi, 2006:84). Kerangka teoritis disusun melalui telaah literature merupakan logical contruct yang digunakan untuk menjelaskan masalah yang telah dirumuskan dengan demikian suatu fenomena sosial dapat dijelaskan (Silalahi, 2006:89).
Berdasarkan variabel penelitian yaitu “ Korban Kekerasan Seksual”, kemudian diukur dengan teori yang dijadikan sebagai indicator serta fenomena yang terjadi, maka penulis mencoba menjelaskan hubungan diantara unsur-unsur diatas agar tidak terjadi kesalahan dan penafsiran.








Tabel II.I Gambar Kerangka Pemikiran
 

Kekerasan seksual pada anak dibawah umur
 




  Kekerasan secara        Kekerasan secara      Kekerasan secara        Kekerasan secara
             fisik                        emosional                     verbal                         seksual
 


  - Penyiksaan                  - Pengabaian             - Menghina          - Perkosaan
  - Pemukulan                   - Penolakan              - Mengancam       - Eksploitasi seksual                                  
  - Penganiayaan              - Isolasi                     - Memaki              - incest
Sumber : Modifikasi Penulis 2013







C.    Konsep Operasional
Menurut Silalahi (2006:104), merupakan pengertian atau cirri-ciri yang berkaitan dengan konsep adalah sejumlah karakteristik yang menjelaskan suatu objek, kejadian, gejala, kondisi, atau situasi yang dinyatakan dalam suatu kata atau symbol.
Penulis akan menjelaskan beberapa konsep yang berhubungan langsung dengan penelitian ini baik variabel maupun indikatornya, yakni sebagai berikut :
1.      Kekerasan adalah tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain.
2.      Seksual adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan.
3.      Kekerasan seksual adalah bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual.
4.      Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan masih dalam kandungan.
5.      Umur adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati.
6.      Korban adalah mereka yang dirugikan secara materi, jasmani dan rohani akibat tindakan orang lain yang mencari kebutuhan atau keuntungan dari si penderita.
7.      Pelaku adalah orang yang melakukan perbuatan perilaku menyimpang bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga Negara, latar belakang maupun status sosial.
8.      ayah tiri adalah orang tua laki-laki non-biologis sebagai suami dari ibu kandung.
D.    Operasional Variabel
Tabel II.II Operasional Variabel Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dibawah Umur
Konsep
Variabel
Indikator
Item penilaian

1
2
3
4

Terry E. Lawson, (dalam Huraerah, 2007) psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu : emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Korban kekerasan seksual pada anak dibawah umur
1. Dampak kekerasan secara fisik (physical abuse)


2. Dampak kekerasan Emosional (emotional abuse)



3. Dampak kekerasan secara verbal (verbal abuse)


4. Dampak kekerasan seksual (sexual abuse)

a. Gangguan mental
b. Cedera serius
c. Meninggal dunia




a. Berkembangnya perasaan tidak aman
b. Gagal mengembangkan prilaku akrab
c. Mengalami masalah penyesuaian diri


a. Kurangnya rasa percaya diri
b. Menarik diri dari lingkungan
c. bunuh diri



a. Merasa rendah diri
b. Trauma akibat eksploitasi seksual
c. Takut menikah


Sumber : Modifikasi Penulis 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar