Jumat, 03 April 2015

BAB II PERAN MALL SEBAGAI RUANG PUBLIK TERHADAP REMAJA KOTA PEKANBARU STUDI KASUS : MALL SKA PEKANBARU



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Kota
            Dari waktu ke waktu, sejalan dengan selalu meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam aspek-aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi telah mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan. Baik meningkatnya jumlah penduduk perkotaan maupun kegiatan penduduk perkotaan telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang besar (Yunus, 1999).
            Banyak terlihat kota-kota di Asia yang saat ini telah berubah ala kota-kota barat. Dalam hal ini, pola jalannya tidak karuan dan kepadatan penduduk yang tinggi.

2.1.1 Teori Perkembangan Kota (Teori Konsentris)
            Teori yang melandasi struktur ruang kota paling dikenal adalah Teori Konsentris (E.W. Burges, 1925) yang menyatakan bahwa daerah pusat kota yang letaknya tepat ditengah kota yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota (Yunus, 1999).
            Daerah pusat kota tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu : pertama bagian paling inti RDB (Retail Bussines District) dengan kegiatan dominan perkotaan, perkantoran dan jasa, lalu yang kedua bagian di luarnya WDB (Wholesale BusinessDistrict) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pusat perbelanjaan, dan pergudangan (Yunus, 1999).
            Berdasarkan kesimpulannya daerah pusat kota adalah pusat segala aktivitas kota dan lokasi yang strategis untuk kegiatan perdagangan skala kota.
2.1.2 Teori Perkembangan Kota (Teori Sektor)
            Teori Sektor ini ditemukan oleh Homer Hoyt (1939) dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai oleh sektor-sektor yang sama terlebih dahulu (Yunus, 1999).
            Kecenderungan pembentukan sektor-sektor ini memang bukannya terjadi secara kebetulan tetapi terlihatadanya asosiasi keruangan dengan beberapa variabel. Kunci terhadap peletakan sektor ini terlihat pada lokasi dari pada “high quality areas” atau daerah-daerah yang berkualitas tinggi untuk tempat tinggal. Kecenderungan penduduk untuk memilih tempat tinggal adalah pada daerah-daerah yang dianggap nyaman  mulai dari kemudahan terhadap fasilitas, kondisi lingkungan alami dan non-alami yang bersih, serta keberadaan yang baik (Yunus, 1999).

2.1.3 Teori Pusat Kegiatan Banyak (Multiple Nuclei Theory)
            Teori ini pertama kali diusulkan oleh F.L. Ullmann (1945) teori yang diciptakannya menyatakan bahwa kebanyakan kota-kota besar tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang sederhana, yang hanya ditandai oleh satu pusat kegiatan saja namun terbentuk sebagai suatu produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut terus-menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan yang terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan (Yunus, 1999).
Adapun faktor-faktor yang penyebab Aglomersai yaitu:
(a). Fasilitas-fasilitas yang khusus tertentu.
(b). Faktor ekonomi ekstrenal (external economies).
(c). Faktor saling merugikan antar fungsi yang tidak serupa.
(d). Faktor kemampuan ekonomi fungsi yang berbeda.

2.2   Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
2.2.1 Teori Pusat Pertumbuhan
Pertumbuhan wilayah merupakan suatu pendekatan perencanaan dalam menelaah segala aspek sosial, ekonomi, dan politik serta yang berkaitan dengan penataan ruang wilayah, keterpaduan program dan proyek sektor pembangunan baik dalam skala makro maupun mikro. Keterkaitan dalam bentuk informasi dari tahap pengumpulan, analisa, perumusan rencana sampai penjabaran sektor-sektor pembangunan yang bersifat strategis dan prioritas (Yunus,1999).
Ada faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat wilayah diantaranya  adalah :
(a)    Faktor Sosial Ekonomi
Letak suatu wilayah yang strategis menyebabkan suatu wilayah dapat menjadi suatu pusat.
(b)   Faktor Ketersediaan Sumberdaya
Ketersediaan sumberdaya alam pada suatu wilayah akan menyebabkan wilayah tersebut menjadi pusat.
(c)    Kekuatan Aglomerasi
Kekuatan aglomerasi terjadi karena sesuatu yang mendorong kegiatan ekonomi sejenis untuk mengelompokkan suatu lokasi karena adanya suatu keuntungan yang akan menimbulkan pusat-pusat wilayah.
(d)   Faktor Investasi Pemerintah
Faktor ini merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam menentukan pusat pertumbuhan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah.

2.2.2   Teori Pertumbuhan Pembangunan Kota
Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah leburan dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned (Gravatar, 2011).
(a)       Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
(b)     Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara spontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.

Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh Kostof (1991) dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :
(a)  Square, open space sebagai paru-paru.                         
(b)  Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
(c)  Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
(d)  Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.
(e)  Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
(f)  Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem perkotaan.

Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru (Gravatar, 2011). Demikian ini terjadi secara berulang-ulang. Adapun kriteria pembangunan kota menurut Gravatar (2001) terdiri dari delapan variable yaitu :
(a)    Fisik Kota : Tata ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal.
(b)   Kualitas Lingkungan : kebersihan kota dan tingkat pencemaran.
(c)    Transportasi-Aksesibilitas : angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh ke tempat aktivtas, pedestrian.
(d)   Fasilitas : Fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman kota.
(e)    Utilitas : Air bersih, listrik, telekomunikasi
(f)    Ekonomi : Bank, pasar, pusat perbelanjaan moderen, restoran.
(g)   Sosial : Ruang publik, ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat kesetaraan warga kota, partisipasi warga.
(h)   Birokrasi dan Pemerintahan : Kepemimpinan yang kuat, dukungan kebijakan, kepastian hukum, instansi pemerintah, tingkat penerapan rencana kota, dukungan program pembangunan, dukungan pembiayaan.

2.3  Definisi Ruang
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang Penatan Ruang).
Ruang adalah sebuah bidang dan daerah tiga dimensi dimana obyek dan peristiwa berada. Ruang memiliki posisi serta arah yang relatif, terutama bila suatu bagian dari daerah tersebut dirancang sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan hasil yang memuaskan.

2.4  Ruang Publik
      Ruang publik adalah sebuah ruang dimana semua orang memiliki hak yang sama untuk mengaksesnya atau mengadakan berbagai kepentingan dan kegiatan publik. Pada umumnya ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar manusia untuk saling berinteraksi. Karena pada ruang ini seringkali timbul berbagai kegiatan bersama, maka ruang-ruang terbuka ini (Masanung, 2007).

2.4.1 Teori Ruang Publik Habermas
Gagasan tentang ruang publik kemudian berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil society. Dalam hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai penggagas munculnya ide ruang publik (Sulfikar, 2010). Jurgen Habermas memperkenalkan gagasan ruang publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989.
Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung (Sulfikar, 2010).
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki arti kalau ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan konteks sosial (Sulfikar, 2010).
Sulfikar (2010) mengatakan bahwa mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah menjadi ruang publik utuh, meski belakangan ini tempat tersebut dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana orang yang ada disana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu. Tidak adanya kontak dan interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan alasan utama mengapa ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan.

2.4.2 Kategori Ruang Publik
Menurut Rustam dalam Masanung (2007), dikategorikan sebagai ruang umum. Ruang publik ditandai oleh tiga hal  antara lain :
(a)    Responsive.
ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas.
(b)   Demokratis.
Ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum, serta eksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia.
(c)     Bermakna.
Ruang pulik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial.
Ruang publik yang dimaksud secara umum pada sebuah kota, menurut Project for Public Spaces in New York tahun 1984, adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan museum (Masanung, 2007).
Pada umumnya ruang publik adalah ruang yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar manusia untuk saling berinteraksi. Karena pada ruang ini seringkali timbul berbagai kegiatan bersama, maka ruang-ruang terbuka ini dikategorikan sebagai ruang umum, namun sekarang kegiatan bersama tersebut tidak hanya dilakukan masyarakat diruang terbuka saja namun juga di dalam bangunan-bangunan komersial seperti pusat perbelanjaan moderen sperti plaza, mall, restoran (Masanung, 2007).
Meskipun sebagian ahli mengatakan umumnya ruang publik adalah ruang yang dipergunakan untuk umum. Dalam Permen PU No 12 Tahun 2009 ruang publik pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan. Menurut sifatnya, ruang publik terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
 Ruang publik tertutup : adalah ruang publik yang terdapat di dalam suatu bangunan atau sering disebut ruang terbuka non hijau (RTNH). Ruang publik terbuka : yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering juga disebut ruang terbuka hijau (RTH).
Sayangnya, arti penting keberadaan ruang publik pada kota di Indonesia semakin lama diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah, sehingga ruang yang sangat penting ini semakin berkurang. Ruang-ruang publik yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, seperti lapangan olahraga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, dan ruko-ruko  (James, 2012).
Pada zaman modern, integrasi fungsional kota cenderung menghilang dan memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa pada spesialisasi ruang, dimana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan fungsional dari lingkungan publik dan privat. Teknologi transportasi telah memungkinkan masyarakat untuk hidup dan bekerja di luar kota serta ruang pusat kota dapat dihindari dari tingginya jumlah penduduk. Kemampuan untuk menjangkau seluruh ruang perkotaan telah mengurangi kontak fisik antara penduduk kota dan lingkungan terbangunnya, seperti yang telah berlangsung sepanjang sejarah (James, 2012).
Ruang publik kota cenderung menjadi ruang residual yang digunakan untuk parkir kendaraan atau untuk kegiatan pariwisata dan perdagangan. Lebih lanjut, sejumlah tempat di kota dibuka untuk publik dan dilihat sebagai milik publik, seperti restoran, museum, perpustakaan, dan bioskop. Tempat-tempat ini memegang peranan yang penting dan signifikan. Dengan cara yang sama seperti pusat perbelanjaan berfokus pada perdagangan dan restoran memiliki fungsi tertentu serta jam operasional yang dibatasi oleh aturan tersendiri (James, 2012).
Untuk lebih jelasnya mengenai RTNH yang dijadikan ruang publik dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.






                                                         






Secara Hirarkis
Secara Linier
Secara Fungsional
RTNH pada Wilayah Kota dan Kawasan Perkotaan
RTNH pada Kawasan Kecamatan
RTNH pada Kawasan Kelurahan
RTNH pada Kawasan RW
RTNH pada Kawasan RT
RTNH pada Jalan Arteri
RTNH pada Jalan Kolektor
RTNH pada Jalan Lokal
RTNH pada Jalan Lingkungan
Alun-alun Kota, Plaza, Bangunan Ibadah, dll
Alun-alun Kelurahan, Plaza, Bangunan Ibadah, dll
Taman dan Lapangan RW
Taman dan Lapangan RT
Alun-alun Kecamatan, Plaza, Bangunan Ibadah, dll
RTNH pada bangunan-bangunan fungsional di setiap skala pelayanannya (skala kota, kecamatan, kelurahan, lingkungan RW dan RT), seperti:
a. Bangunan Hunian
b. Bangunan Komersial
c. Bangunan Sosial Budaya
d. Bangunan Pendidikan
e. Bangunan Olahraga
f. Bangunan Kesehatan
g. Bangunan Transportasi

 















Sumber : PERMEN PU No 12 Tahun 2009
Gambar 2.1 Bentuk RTNH yang digunakan Sebagai Ruang Publik

2.5  Peran Mall Sebagai Ruang Publik
2.5.1 Teori Peran
            Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial misalnya ibu, manajer, guru. Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang atau sesuatu yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara yang dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain (Mufahir, 2012).
Jadi berdasarkan kesimpulannya perenanan atau peran berarti kontribusi atau fungsi yang diberikan sesuatu atau seseorang yang dapat menimbulkan dampak dan pengaruh sosial terhadap orng lain. Menurut Mufahir (2012) struktur peran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 
(a)  Peran formal yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Peran formal yang standar terdapat  dalam keluarga. Peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu adalah peran sebagai provide  (penyedia) pengatur rumah tangga; memberikan perawatan; sosialisasi anak; rekreasi persaudaraan (memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal) terapeutik seksual.      
(b)   Peran informal yaitu suatu peran yang bersifat implisit ( emosional ) biasanya tidak tampak ke permukaan dan dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional individu dan untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga, peran-peran informal mempunyai tuntutan yang berbeda, tidak terlalu dan didasarkan pada atribut-atibut kepribadian anggota keluarga individual. Pelaksanaan peran-peran informal yang efektif dapat mempermudah pelaksanaan peran-peran formal.
2.5.2 Peran Mall
Merriam-Webster (2009) menjelaskan mall adalah sebuah tempat dimana di dalamnya terdapat toko-toko yang berhubungan sehingga pengunjung dapat dengan mudah berpindah dari satu toko ke toko yang lain.
Konsep awal dari pusat perbelanjaan adalah sebagai tempat yang hanya menyediakan barang-barang dagangan, namun seiring dengan berjalannya waktu konsep tersebut berubah. Dengan memperluas konsep penyewa toko dan aktivitasnya, mall telah mengubah perannya sebagai wadah bisnis perdagangan menjadi pusat hiburan dan even-even budaya (Wagner, 2009). Secara umum, mall dapat diartikan sebagai kumpulan dari berbagai macam barang dan jasa, yang diatur secara strategis untuk menarik perhatian konsumen (Wagner, 2009). Strategi pemasaran itu terus berubah selama beberapa dekade dalam masa perkembangannya. Mall telah mengalami transformasi menjadi pusat perbelanjaan sekaligus sebagai pusat hiburan.
Sebelumnya para pelaku bisnis mall berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan pusat perbelanjaan yang mengutamakan efektivitas dan efisiensi waktu, hanya untuk berbelanja barang-barang kebutuhan. Namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan konsumen berubah menjadi mementingkan elemen hiburan dalam pusat perbelanjaan (Wagner, 2009). Sebuah penelitian menemukan bahwa elemen hiburan merupakan sumber motivasi terkuat dalam pilihan konsumen mall, dan juga berhubungan dengan produktivitas mall (Wagner, 2009). Mall adalah sebuah tempat dimana di dalamnya terdapat berbagai macam toko yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat, mulai dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Seiring dengan kemajuan jaman dimana masyarakat semakin membutuhkan sesuatu yang efisien, munculah mall dengan konsep dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat dalam satu tempat. Dengan adanya mall, masyarakat dapat berbelanja, berjalan-jalan, menikmati hiburan, ke bank, makan, dan berbagai macam kegiatan lain.
Mall menjadi tempat rekreasi dan tempat menghabiskan waktu luang yang penting bagi masyarakat sekarang ini, terutama yang tinggal di kota-kota besar. Mall menjadi sarana rekreasi dan hiburan yang memenuhi hampir semua kebutuhan masyarakat, mulai dari supermarket, toko-toko retail asing maupun domestik yang menjual berbagai macam produk fashion, pusat jajanan, arena bermain anak, bioskop, dan berbagai acara hiburan lainnya. Mall seperti ini dikenal dengan istilah “one stop shopping mall”, yaitu mall yang menyediakan segalanya sehingga pengunjung tidak perlu pergi ke tempat lain. Dengan demikian, mall bukan hanya menjadi tempat berbelanja, namun juga menjadi tempat rekreasi, menghabiskan waktu luang dan pusat hiburan. Oleh karena itu mall menjadi elemen penting dalam gaya hidup masyarakat perkotaan modern sehingga diberi label sebagai sebuah fenomena kebudayaan (Mayang, 2010). Jadi mall adalah sebuah tempat yang di dalamnya terdapat pusat perbelanjaan dan juga dilengkapi dengan berbagai macam hiburan serta dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat hanya dari satu tempat.
Menurut Maulida (2011), saat ini mall murni memiliki konotasi sebagai pusat perbelanjaan atau shopping centre dalam arti umum. Mall juga identik dengan pola gaya hidup mewah dan berkelas. Maulida (2011) juga menyatakan seiring dengan perkembangan zaman dan untuk lebih banyak menarik lapisan masyarakat datang ke mall maka mall terdiri dari beberapa macam yaitu:
(a) Community mall, biasanya terdapat di sebuah distrik atau kawasan permukiman tertentu dengan tujuan untuk melayani masyarakat di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan baik selaku pusat belanja.
(b) City mall, biasanya jauh lebih besar dibanding community mall, karena bertugas untuk melayani aktivitas masyarakat di kota (pinggiran) dengan wilayah-wilayah pemukiman yang tersebar.
(c) Regional mall, jauh lebih besar dari city mall dan menjadi semacam ikon (trademark) dari suatu pusat kota. Daya tarik dari trademark ini sedemikian kuatnya sehingga orang luar yang berkunjung seolah-olah memiliki kewajiban untuk mengunjungi regional mall dari kota yang bersangkutan.
(d) Terdapat pula mall khusus dengan tujuan yang spesifik seperti entertainment mall dan leisure mall. Mall jenis ini umumnya lebih mengedepankan fasilitas hiburan dibanding dengan fasilitas belanjanya (Maulida, 2011).

Menurut Wagner (2009), selain mall, fasilitas gedung kawasan belanja kadang disebut plaza (asal kata dari bahasa Spanyol, plaza) dan square (asal kata dari bahasa Inggris). Baik plasa maupun square sebetulnya merujuk pada suatu lapangan terbuka yang ditujukan bagi masyakarakat untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti halnya kita mengenal istilah alun-alun. Untuk pembagian segmentasi mall di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1
Pembagian Segmentasi Mall
Segmentasi
Jangkauan Pelayanan (orang)
Luas Bangunan (m²)
Penyewa Tempat
Neighborhood Center
3.000-40.000
3.000-10.000
Pasar Swalayan, restoran fast food ,dan toko-toko jasa
Community Center
40.000-150.000
10.000-30.000
Department store, Pasar swalayan, dan toko-toko pakaian kasual
Regional Center
150.000-500.000
30.000-60.000
Department Store, Pasar swalayan, berbagai jenis toko dan restoran
Super Regional Center
>500.000
>100.000
Department store, pasar swalayan,beberapa toko besar (subanchor) seperti toko buku, furniture, segala jenis toko eceran, dan restoran
Sumber: Pilars dalam Wagner (2009)

Konsep plaza dan square ini dikombinasikan dengan konsep mall, sehingga menjadi kawasan belanja dalam gedung dengan lahan tengah (square/plaza) cukup luas untuk menampung berbagai kegiatan-kegiatan non reguler misalnya fashion show atau pameran mainan anak-anak. Salah satu mall dengan konsep leisure mall (hiburan di waktu senggang) adalah mall SKA Pekanbaru.

2.5.3 Elemen-elemen Mall
Menurut Aji Bangun (1994), elemen-elemen yang terdapat dalam mall  dapat dijabarkan sebagai berikut :
(a)      Atrium
Sutejo dalam Aji Bangun (1994) memberikan pengertian bahwa atrium merupakan ruang kosong yang secara horisontal diapit oleh lapisan-lapisan lantai di lantai kedua atau lebih sisi-sisinya, dengan ketinggian dua lapis lantai atau lebih yang mendapat terang alami siang hari dan menjadi pusat orientasi bangunan. Untuk bangunan-bangunan modern, terutama bangunan komersial, seperti pertokoan, perkantoran, hotel, sering membutuhkan atrium sebagai daya tarik dalam perancangan eksterior maupun interior. Begitupula dengan mall dengan bentuk tertutup (enclosed), atrium memegang peranan yang sangat penting.
(b)     Magnet Sekunder
Toko merupakan salah satu bagian terpenting dari Mall yang dapat dianggap sebagai ’distrik’ padapusat perbelanjaan. Penempatan toko erat kaitannya dengan magnet primer (court  atau plaza) sebagai daya tarik utama dalam pusat perbelanjaan tersebut, di mana sebelum  pengunjung mencapai magnet primer,arus pengunjung diarahkan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya melewati toko-toko kecil.
(c)  Magnet primer
Magnet merupakan transformasi dari ’node’ kota, yang berfungsi sebagai titik konsentrasi, dapat juga sebagai  landmark. Perwujudannya dapat berupa “court”  atau plaza. Penempatan magnet primer atau anchor  mall terletak pada setiap pengakhiran koridor sedangkan pada plaza ditekankan di lantai atas dan dasar dalam hubungan vertikal (Rubenstein dalam Aji Bangun, 1994).
(d)     Koridor
 Merupakan ruang yang digunakan untuk berjalan kaki, sering pula disebut sebagai padestrian.Koridor terbagi menjadi dua macam, antara lain :
(a)  Koridor Utama Merupakan orientasi dari toko-toko yang ada di sepanjang toko-toko tersebut dengan lebar sekitar 15 meter².
(b) Koridor Tambahan (Sekunder) Merupakan koridor yang terletak pada sepanjang  koridor  utama, yang memudahakan pencapaian dari area parkir dan mempersingkat jarak entrance bila terjadi keadaan darurat. Koridor sekunder ini berhubungan dengan magnet primer tapi bisa juga tidak berhubungan. Lebar minimal untuk koridor sekunder adalah 6 meter (Aji Bangun, 1994).
(e) Street Furniture
Merupakan elemen desain yang melengkapi keberadaan suatu jalan, yang berintegrasi dengan pohon, antara lain berupa lampu jalan, scalpture, desain grafik, kolam, sitting group, pot taman, tempat sampah dan lain-lain.


2.5.4 Jenis dan Bentuk Mall
Berdasarkan jenisnya mall dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar, antara lain (Rubenstein dalam Aji Bangun, 1994).
(a)      Full
Merupakan bagian mall yang dapat diperoleh dengan menutup jalan yang semula digunakan untuk lalulintas kendaraan kemudian diperbaiki untuk padestrian dengan melengkapi elemen-elemen lansekap untuk memperoleh kenyamanan pejalan kaki. Mall dengan jenis ini tidak memperbolehkan kendaraan masuk.
(b)     Tansit
Merupakan jenis mall yang mengizinkan lalu lintas kendaraan umum (bus dan taksi) untuk masuk ke dalam area tetapi tidak diizinkan parkir, dengan tetap mengutamakan padestrian yang diperlebar dan penambahan elemen lansekap.
(c)      Semi
 Merupakan jenis mall yang memperbolehkan semua kendaraan untuk masuk dan parkir, tetapimasih berorientasi pada padestrian yang diperluas dengan mengurangi dimensi dalan dan areal parkir. Untuk Mall Ciputra sendiri termasuk dalam kategori full mall karena area mall diperuntukkan bagi pejalan kaki dan kendaraan tidak diizinkan masuk.





2.6 Dampak Mall Sebagai Ruang Publik
            Istilah mall atau plaza atau square sekarang kurang tepat dikatakan sebagai tempat pusat perbelanjaan dikarenakan sekarang mall sudah beralih fungsi sebagai ruang yang di gunakan oleh masyarakat perkotaan sebagai ruang publik.
            Menurut Halim (2008), mall adalah ruang publik yang fisiknya adalah bangunan, dan biasanya untuk square justru dilengkapi dengan taman-taman dengan tumbuhan hidup, kebalikan dengan apa yang terjadi didalam mall saat ini yang ruang publik dalam ruangannya dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan plastik.
            Maraknya pertumbuhan mall dikota-kota besar di Indonesia tidak selalu identik dengan meningkatnya kesejahteraan, terutama bila dikaitkan dengan kesehatan mental warga kotanya. Mall cenderung menghilangkan interaksi sosial yang terjadi diruang publilk dalam ruang dan mendorong warganya menjadi konsumtif. Mall cenderung mencegah kaum miskin kota masuk kedalamnya karena orang miskin tidak akan merasa nyaman di mall akibat tidak punya uang untuk berbelanja dan akhirnya hanya menjadi penonton yang sering kali dicurigai oleh satpam karena pakaiannya yang lusuh dan badannya tidak wangi (Mayang, 2010).
            Kota yang baik perlu menyediakan tempat untuk warga berjalan kaki, berkumpul bersama, dan menjadi makhluk sosial seutuhnya. Kota yang baik harus menghormati harga diri manusia, kaya ataupun miskin karena semua orang memiliki hak yang sama.


2.6.1 Budaya Mall
            Menurut Halim (2008), budaya secara sederhana dapat didefinisikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang berlaku secara kolektif, budaya juga menjadi acuan, tata cara, pola hidup, serta pranata sosial masyarakat. Berdasarkan pemahaman diatas maka saat ini kehadiran mall telah menciptakan berbagai budaya baru lengkap dengan ritual-ritualnya dan sering kali menawarkan berbagai kenikmatan yang secara tidak langsung telah menjadi pola hidup yang telah mengikat warga kota.
            Bangunan mall yang  berlantai banyak, lengkap dengan pendingin ruangan didalamnya, tanpa disadari telah membawa sebuah realisme baru sebagai tempat berkumpulnya dan beraktivitasnya warga kota sepanjang hari. Mall telah menciptakan kebanggaan dan gengsi tersendiri bagi pengunjungnya, terutama bagi anak muda atau remaja (Mayang, 2010).
            Mall telah menjadi pilihan baru dalam memenuhi kebutuhan hidup warga kota saat ini. Semuanya ada di mall mulai dari kebutuhan primer, sekunder, bahkan yang tersier sekalipun tersedia. Fenomena ini pula yang secara tidak langsung membuat mall menjadi tempat favorit warga kota. Budaya mall secara sadar telah mengajarkan warganya untuk hidup lebih pragmatis dan praktis tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan sesuatu karena semuanya telah memiliki label harga yang tidak perlu ditawar lagi (Mayang, 2010).



2.6.2 Pola Hidup Konsumtif
            Menurut  Halim (2008), mall didesain agar warga kota secara tidak sadar mau mematuhi apa yang para kapitalis inginkan dengan cara memanjakan mereka dengan berbagai citra semu, alunan musik yang membuai, pendingin ruangan yang menyejukkan, wc yang mewah, dan lain sebagainya. Karena kodrat manusia yang tidak pernah puas dengan segala sesuatu yang telah dimilikinya, maka sangat mudah membuat mereka menjadi konsumtif dengan berbagai pilihan dan kemudahan yang ditawarkan mall.

            Setiap hari ataupun seminggu sekali para warga kota datang ke mall, baik untuk berbelanja, melihat-lihat, dan mencari sesuatu yang baru di mall maka lambat laut perilaku konsumtif ini menjadi pola hidup. Untuk lebih jelasnya aktifitas masyarakat yang berkunjung ke mall dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.
Sumber : Hasil Survei, 2013
Gambar 2.2 Masyarakat Berkunjung ke Mall
Gaya hidup mall remaja metropolitan telah membuat mereka menjadi generasi “anak nongkrong” yang sering berkeliaran di dalam mall. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh globalisasi baik melalui media cetak ataupun elektronik yang menampilkan gaya hidup dunia Barat menjadi gaya hidup global dengan sebuah pesan bahwa jika mereka tidak melakukan apa yang dilakukan anak-anak seusia mereka di belahan bumi yang lain itu, maka mereka akan ketinggalan zaman alias “jadul” (jaman dulu). Jadilah mereka ke mall berburu segala sesuatu yang mereka lihat di media televisi, majalah meskipun bertentangan dengan norma yang diajarkan orang tua, dan budaya bangsa mereka sendiri (Halim, 2008).

2.7 Motivasi Masyarakat Datang ke Mall
Kebutuhan masyarakat perkotaan akan ruang publik masih tinggi, namun keberadaan mall di berbagai penjuru Kota Pekanbaru tetap mendapat respons tak kalah tinggi. Mall dekat dengan gaya hidup kalangan kaum urban, bukan hanya sebagai tempat belanja, namun sudah menjadi tempat berkumpul, bertemu hingga rekreasi baik bersama pasangan, teman dan keluarga.
Berbagai aktivitas pun  berlangsung di mall. Kalangan muda yang senang bersosialisasi juga menjadi pusat kegiatan yang saling memberikan manfaat seperti halnya pameran, perlombaan, serta aktifitas lainnya. Meski dihujani kritik, tetap saja mall disukai dan dikunjungi (Halim, 2008).
Remaja mungkin punya jawaban pribadi, mengapa kerap mengunjungi mall dengan berbagai penawarannya serta mengahabiskan waktu berjam-jam di- mall. Seperti belanja diskon besar-besaran, hingga berbagaikegiatan menghibur juga edukasi untuk anak-anak dan keluarga (Wagner, 2009).
Sebagai ukurannya apakah sebuah mall memenuhi kebutuhan dan memuaskan pengunjung, sejumlah aspek pun dinilai. Untuk aspek fisik mencangkup kondisi di sekitar shopping mall, lingkungan kerja, pelayanan, kawasan parkir, atrium, tenat (toko), lift dan eskalator pengunjung, ATM center, area hijau, area bersantai, tempat ibadah, toilet, children playground, dan area food court (Halim, 2008).

2.8 Persepsi Tentang Mall
            Persepsi merupakan anggapan terhadap sesuatu atau kondisi sosial tertentu berdasarkan konstruksi sosial yang tercipta di dalam masyarakat. Mall yang merupakan pusat keramaian dipersepsikan oleh setiap orang secara berbeda-beda. Sebagai ruang publik dan pusat keramaian, mall mampu menciptakan persepsi setiap pengunjungnya tentang fungsi dan manfaatnya sendiri. Para pengunjung atau aktor-aktor ini memiliki multiperspektif terhadap fungsi dan manfaat mall terkait status dan peran mereka di masayrakat (Wagner, 2009).
Dilihat dari kepentingannya, menunjukkan bahwa masyarakat memanfaatkan mall untuk jalan-jalan dan bertujuan untuk refreshing dengan alasan tempanya nyaman. Setiap masyarakat memiliki tujuan yang hampir homogen, dan tentu tujuan dan alasan pemilihan mall ini dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap fungsi dan manfaat mall itu sendiri. Salah satu indikator untuk melihat persepsi mereka terhadap fungsi dan manfaat mall, dapat dilihat dari konter yang sering mereka kunjungu ketika di mall. Konter baju atau fashion merupakan yang paling banyak dikunjungi oleh masyarakat yang umumnya remaja. Kemudian di urutan kedua adalah konter seperti toko buku, Sedangkan di urutan ketiga adalah konter seperti pusat jajan atau  foodcourt, bioskop dan toserba atau department store. Serta konter-konter seperti supermarket, aksesori, arena bermain atau game, musik, resto atau kafe, dan lain-lain menjadi pilihan keempat (Halim, 2008).
Persepsi masyarakat tentang keberadaan mall banyak menimbulkan kritik, mulai dari gaya hidup yang konsumtif hingga perbedaan status sosial, pada dasarnya mall adalah ruang tempat masyarakat berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun sekarang mall yang sudah berfungsi sebagai ruang terbuka publik merupakan tempat yang siapa saja boleh berkunjung tanpa membedakan status seseorang.

2.9 Remaja Sebagai Pengguna Mall           
Masa remaja merupakan periode peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Pada masa ini remaja di antaranya mulai mencari identitas diri, sehingga seseorang yang sedang berada dalam masa remaja akan sangat mudah terpengaruh oleh berbagai hal di sekelilingnya, baik itu yang positif maupun yang negatif. Hal itu cenderung terjadi karena kondisi emosi remaja yang tidak stabil dan cenderung sensitif terhadap semua hal yang berkaitan dengan pribadinya dan permasalahan-permasalahan dirinya. Seiring dengan perubahan tersebut, pada usia remaja terbentuk pola konsumsi yang dapat berkembang menjadi pola konsumtif (Wagner, 2009).
Sedangkan menurut Santrock dalam Wagner (2009), menjelaskan defenisi tentang remaja yang memerlukan pertimbangan tentang usia dan pengaruh faktor sosial-sejarah sehingga remaja (adolescence) dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Walaupun situasi budaya dan sejarah membatasi kemampuan kita untuk menentukan rentang usia remaja, akan tetapi dapat disimpulkan bahwa usia remaja dimulai dari 11-13 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian. Tingkah laku remaja pada umumnya digambarkan sebagai berikut:
(a) Memiliki perasaan malu dan sensitif tapi bersamaan dengan itu mereka juga seringkali berlaku agresif.
(b) Remaja mengalami ketegangan atau tekanan emosional karena mengalami konflik-konflik mengenai sikap, nilai-nilai, ideologi, dan gaya hidup yang bermacam-macam. Sebab, walaupun mereka beranjak memasuki dunia orang dewasa, mereka sebenarnya tidak dapat dikatakan sudah dewasa maupun masih anak-anak.
(c) Adanya kesiapan dalam diri remaja untuk bertindak ekstrim dan mengubah perilaku secara drastis. Itulah sebabnya kita sering menemui remaja yang bersikap dan berperilaku radikal dan memberontak (Wagner, 2009).
2.9.1 Tahapan Remaja
Menurut Wagner (2009), masa remaja dibagi menjadi beberapa tahap yaitu:
(a)  Remaja awal (early adolescent) pada usia 11-14 tahun. Remaja awal biasanya berada pada tingkat SMP, perubahan yang terjadi pada masa ini sangat cepat, baik pertumbuhan fisik dan kapasitas intelektual. Pada masa ini tugas perkembangannya lebih dipengaruhi oleh perubahan fisik dan mental yang cepat, yaitu adaptasi dan penerimaan keadaan tubuh yang berubah.
(b) Remaja pertengahan (middle adolescent) pada usia 15-18 tahun, biasanya duduk di bangku SMU. Pada masa ini remaja secara fisik menjadi percaya diri dan mendapatkan kebebasan secara psikologi dari orang tua, memperluas pergaulan dengan teman sebaya dan mulai mengembangkan persahabatan dan keterkaitan dengan lawan jenis.
(c) Remaja akhir (late adolescent) pada usia 18-22 tahun. Umumnya terjadi 8 pada akhir SMU dan universitas sampai individu mencapai kematangan fisik, emosi dan kesadaran akan keadaan sosialnya, memiliki identitas personal dalam relasinya dengan orang lain, mengetahui peran sosial, sistem nilai, dan tujuan dalam hidupnya (Wagner,2009).

2.9.2 Remaja Sebagai Konsumen
Kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial bagi produsen. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, meniru teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja (Wagner, 2009).
Mall sudah menjadi rumah kedua bagi remaja yang memiliki orangtua dengan kelas ekonomi yang cukup berada dan tinggal di kota-kota besar. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
Kaum remaja merupakan pembeli potensial untuk produk-produk seperti kaset, kosmetik, pakaian, sepatu, dan aksesoris. Hal ini disebabkan oleh sifatsifat remaja yang mudah terbujuk iklan, suka ikut-ikutan teman atau alasan konformitas tidak realistis serta cenderung boros dalam menggunakan uangnya untuk keperluan rekreasi dan hobi. Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Wagner, 2009).

2.9.3 Gaya Hidup Remaja dengan Mall Sebagai Ruang Publik
Teori sosial post-moderen cenderung mendefenisikan masyarakat postmodern sebagai masyarakat konsumen, dengan akibat bahwa konsumsi memainkan peran penting dalam teori tersebut. Ritzer & Goodman dalam Wagner (2009), mengatakan mall muncul sebagai salah satu alat konsumsi baru dari masyarakat post-industri atau post-modern. Selain mall, beberapa alat konsumsi baru lainnya adalah industri fast-food, cybermall, superstore, dan saluran hiburan. Dikatakan lebih lanjut bahwa alat konsumsi baru karena terjadinya pergeseran dari masyarakat modern (masa revolusi industri dan kapitalisme) yang mementingkan produksi di bidang industri (menggunakan banyak orang yang bekerja di pabrik untuk memproduksi suatu barang) menjadi masyarakat post-moderen yang lebih mementingkan konsumsi. Maksudnya adalah lebih banyak orang yang bekerja di bidang pelayanan yang berhubungan dengan konsumsi, dan lebih banyak lagi yang menghabiskan waktu senggang mereka dengan kegiatan konsumsi, sedangkan untuk produksi lebih banyak menggunakan alat-alat non manusia atau mesin (Wagner, 2009).
Mall dapat dilihat sebagai sesuatu yang sangat dikontrol secara teknologis di semua aspek dari operasinya. Kontrol ketat mencakup suhu, lampu, acara, dan  barang dagangan. Tujuannya adalah untuk mengontrol konsumen. Ruang dan waktu dikontrol dengan mendesain mall tanpa jendela hanya ada sedikit tanda pintu keluar, keseragaman mall berarti mereka dapat berada dimana saja dalam banyak kasus tidak ada jam di mall pemeliharaan dan penyusunan ulang periodik
 membuat mall seperti tidak pernah tua ada ilusi kesempurnaan mall. Konsumen dapat berkeliaran berjam-jam tanpa menyadari berlalunya waktu (Wagner, 2009).
Dengan menciptakan keadaan ini, mall memungkinkan konsumen bertemu dengan banyak toko dan melihat lebih banyak barang dan jasa dan membeli lebih banyak. Mall mengatur emosi konsumen dengan memberi cahaya, keceriaan, dan lingkungan menarik (Wagner, 2009).
Ternyata dalam hal-hal tertentu, gaya hidup bersifat kontemporer karena dapat berubah sesuai dengan karakteristik demografi dan trend yang terjadi di sekitarnya (Mindaw, 2012). Trend tersebut selalu berubah mengikuti perkembangan zaman, misalnya perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan handphone menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat sekarang, padahal dahulu orang harus mencari telepon umum untukmenghubungi orang lain. Mall merupakan salah satu trend yang terjadi di masyarakat sekarang, terutama di perkotaan. Mall yang dahulu hanya menjadi tempat perdagangan, terus mengalami perubahan dalam hal konsep pemasaran selama beberapa dekade dalam masa perkembangannya (Wagner, 2009).
 Seiring dengan kemajuan jaman dimana masyarakat semakin membutuhkan sesuatu yang efisien sebagai ruang terbuka publik, munculah mall dengan konsep dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat dalam satu tempat. Dengan adanya mall masyarakat dapat berbelanja, berjalan-jalan, menikmati hiburan, ke bank, makan, dan berbagai macam kegiatan lain. Mall menjadi tempat rekreasi dan tempat menghabiskan waktu luang yang penting bagi masyarakat sekarang ini, terutama yang tinggal di kota-kota besar.
Remaja yang mengganggap mall penting dan relevan dengan nilai-nilai, minat, dan kebutuhan dirinya maupun kelompok teman sebayanya berarti memiliki keterlibatan tinggi terhadap mall. Keterlibatan yang tinggi terhadap sesuatu akan menyebabkan individu memberikan perhatian tinggi terhadap segala hal yang menyangkut objek tersebut (Mindaw, 2012). Berarti remaja yang memiliki keterlibatan tinggi terhadap mall akan suka menghabiskan waktu dan melakukan berbagai kegiatan di sana, serta mencari segala informasi mengenai mall misalnya informasi acara acara hiburan yang dilakukan di sana. Remaja yang memiliki keterlibatan tinggi terhadap mall akan menjadikan aktivitas dalam mall merupakan bagian dari gaya hidupnya (Wagner, 2009).



















2.10 Skala Pelayanan Mall SKA
Fasilitas Mall SKA terkait fungsi dari RTNH dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Skala Pelayanan Mall SKA
No
Skala Pelayanan
Variabel Penelitian
Indikator
Mall sebagai Ruang Publik
1
Infrastruktur Mall SKA Pekanbaru
Ekonomi
Infrastruktur dari segi ekonomi merupakan indikator paling berpengaruh terhadap remaja kota pekanbaru yang menggunakan Mall sebagai ruang publik.
·         Swalayan
·         Toko Pakaian
·         Restoran Fastfood
·         Toko Buku
·         Toko Menjual Perlengkapan Sehari-hari
2
Sosial
Infrastruktur sosial yang merupakan indikator yang digunakan dalam membentuk remaja dalam bersosialisasi serta menentukan kepribadian.
·         Arena Permainan Anak
·         Cafe
·         Toko Pakaian
·         Area Event-event Tertentu
·      Bank/ATM
3
Budaya
Infrastruktur dari segi budaya juga merupakan indikator yang berperan dalam terbentuknya gaya hidup remaja modern yang menggunakan Mall sebagai ruang publik.
·         Area Event-event Tertentu
·         Arena Permainan
·         Toko Pakaian
·         Toko Buku

4
Arsitektural dan Estetika
Infrastruktur ini ditujukan seasuai dari fungsi dan kegunaannya.
·       Area Koridor
·       Bangunan Mall
5
 Ekologis
Infrastruktur ini berfungsi sebagai tempat sirkulasi udara
·        Pintu Masuk
6
 Darurat
Infrastruktur ini berfungsi sebagai tempat berlindung dibutuhkan contoh untuk berlindung dari kabut asap
·        Bangunan Mall dan Kawasan Parkir


Sumber : Hasil Analisis, 2013
2.11 Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian merupakan salah satu syarat mutlak keabsahan suatu karya tulis ilmiah yang dapat ditinjau dari ide dasar penelitian dan perbandingan penelitian dengan penelitian lain yang sejenis. Adapun keaslian penelitian “Peran Mall Sebagai Ruang Terbuka Publik Terhadap Remaja Study Kasus Mall SKA Pekanbaru” dapat dilihat melalui beberapa kajian hasil studi yang sudah ada sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 2.3 berikut ini :

Tabel 2.3
Penelitian terdahulu
No
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Lokasi dan Tahun Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
1
Wagner
Gaya Hidup "Shopping Mall" Sebagai Bentuk Perilaku Konsumtif pada Remaja di Perkotaan
Kota Jakarta Tahun 2009
Kuantitatif dan kualitatif, teknik pengumpulan data observasi lapangan, wawancara, kuisioner dan studi pustaka
·  Shoppers digolongkan menjadi tiga yaitu  real shoppers, socialize shoppers, dan beginner shoppers. Shoppers umumnya adalah remaja berpendidikan SMA dan perguruan tinggi.
·  Terdapat perbedaan dari ketiga tipologi shoppers berdasarkan umur dan jenis kelamin di kota Jakarta.
2
Teguh Prasojo
Shopping Mall di Jakarta Barat
Kecamatan Jakarta Barat Tahun 2010
Kualitatif, Dokumentatif, Komparatif, teknik pengumpulan data observasi lapangan, wawancara dan kuesioner
·  Konsep dasar dan program perencanaan dan perancangan shopping mall di kawasan Jakarta barat.
·  Desain yang kreatif dan inovatif dalam rancangan shopping mall di Jakarta Barat dalam menyiasati harga lahan yang sangat tinggi.
3
Fornestor Mindau
Melihat Mahasiwa dalam memanfaatkan Mall di Jogja
Daerah Istimewa Jogjakarta Tahun 2012
Deskriptif analitis kuantitatif , teknik pengumpulan data wawancara, dokumentasi dan observasi
·  Persepsi mahasiswa jogja dalam menggunakan mall sebagai ruang terbuka publik yang mampu menyediakan hiburan.

4
Rizki Akdanuri Syahputra
Peran Mall sebagai ruang terbuka publik terhadap remaja kota Pekanbariu
Studi kasus Mall SKA Pekanbaru
Kota Pekanbaru Tahun 2013
Deskriptif Kuantitatif, teknik pengumpulan data observasi lapangan, wawancara dan kuesioner
·  Mengetahui Peranan sebagai ruang terbuka publikterhadap remaja di Kota Pekanbaru
·  Persepsi remaja yang menggunakan mall ska sebagai ruang terbuka publik.
·  Mengetahui serta dampak positif dan negatif  kehadiran Shopping Mall
     Sumber : Hasil Analisis 2013                                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar