BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkembangan Kota
Dari
waktu ke waktu, sejalan dengan selalu meningkatnya jumlah penduduk perkotaan
serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam aspek-aspek politik,
sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi telah mengakibatkan meningkatnya
kegiatan penduduk perkotaan. Baik meningkatnya jumlah penduduk perkotaan maupun
kegiatan penduduk perkotaan telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang
kekotaan yang besar (Yunus, 1999).
Banyak
terlihat kota-kota di Asia yang saat ini telah berubah ala kota-kota barat.
Dalam hal ini, pola jalannya tidak karuan dan kepadatan penduduk yang tinggi.
2.1.1
Teori Perkembangan Kota (Teori Konsentris)
Teori
yang melandasi struktur ruang kota paling
dikenal adalah Teori Konsentris (E.W. Burges, 1925) yang menyatakan bahwa
daerah pusat kota yang letaknya tepat ditengah kota yang merupakan pusat
kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya, serta merupakan zona dengan
derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota (Yunus, 1999).
Daerah
pusat kota tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu : pertama bagian paling inti
RDB (Retail Bussines District) dengan
kegiatan dominan perkotaan, perkantoran dan jasa, lalu yang kedua bagian di
luarnya WDB (Wholesale BusinessDistrict)
yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar,
seperti pasar, pusat perbelanjaan, dan pergudangan (Yunus, 1999).
Berdasarkan
kesimpulannya daerah pusat kota adalah pusat segala aktivitas kota dan lokasi
yang strategis untuk kegiatan perdagangan skala kota.
2.1.2 Teori Perkembangan Kota (Teori Sektor)
Teori Sektor ini ditemukan oleh
Homer Hoyt (1939) dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi
di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang
dipunyai oleh sektor-sektor yang sama terlebih dahulu (Yunus, 1999).
Kecenderungan
pembentukan sektor-sektor ini memang bukannya terjadi secara kebetulan tetapi
terlihatadanya asosiasi keruangan dengan beberapa variabel. Kunci terhadap
peletakan sektor ini terlihat pada lokasi dari pada “high quality areas” atau daerah-daerah yang berkualitas tinggi
untuk tempat tinggal. Kecenderungan penduduk untuk memilih tempat tinggal
adalah pada daerah-daerah yang dianggap nyaman
mulai dari kemudahan terhadap fasilitas, kondisi lingkungan alami dan
non-alami yang bersih, serta keberadaan yang baik (Yunus, 1999).
2.1.3 Teori Pusat Kegiatan Banyak (Multiple Nuclei Theory)
Teori ini pertama kali diusulkan
oleh F.L. Ullmann (1945) teori yang diciptakannya menyatakan bahwa kebanyakan
kota-kota besar tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang sederhana, yang
hanya ditandai oleh satu pusat kegiatan saja namun terbentuk sebagai suatu
produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut terus-menerus dari sejumlah
pusat-pusat kegiatan yang terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan
(Yunus, 1999).
Adapun faktor-faktor yang penyebab
Aglomersai yaitu:
(a).
Fasilitas-fasilitas yang khusus tertentu.
(b).
Faktor ekonomi ekstrenal (external economies).
(c).
Faktor saling merugikan antar fungsi yang tidak serupa.
(d).
Faktor kemampuan ekonomi fungsi yang berbeda.
2.2
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
2.2.1
Teori Pusat Pertumbuhan
Pertumbuhan
wilayah merupakan suatu pendekatan perencanaan dalam menelaah segala aspek
sosial, ekonomi, dan politik serta yang berkaitan dengan penataan ruang
wilayah, keterpaduan program dan proyek sektor pembangunan baik dalam skala
makro maupun mikro. Keterkaitan dalam bentuk informasi dari tahap pengumpulan,
analisa, perumusan rencana sampai penjabaran sektor-sektor pembangunan yang
bersifat strategis dan prioritas (Yunus,1999).
Ada
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat wilayah diantaranya adalah :
(a) Faktor
Sosial Ekonomi
Letak suatu wilayah
yang strategis menyebabkan suatu wilayah dapat menjadi suatu pusat.
(b) Faktor
Ketersediaan Sumberdaya
Ketersediaan sumberdaya
alam pada suatu wilayah akan menyebabkan wilayah tersebut menjadi pusat.
(c) Kekuatan
Aglomerasi
Kekuatan aglomerasi
terjadi karena sesuatu yang mendorong kegiatan ekonomi sejenis untuk
mengelompokkan suatu lokasi karena adanya suatu keuntungan yang akan
menimbulkan pusat-pusat wilayah.
(d) Faktor
Investasi Pemerintah
Faktor ini merupakan
salah satu faktor yang menentukan dalam menentukan pusat pertumbuhan wilayah
yang dilakukan oleh pemerintah.
2.2.2
Teori Pertumbuhan Pembangunan Kota
Menurut Spiro Kostof (1991), Kota
adalah leburan dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya
adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya
tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri
dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk
geometri kota yaitu Planned dan Unplanned (Gravatar, 2011).
(a)
Bentuk Planned
(terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan
pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
(b)
Bentuk Unplanned
(tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen
kota berkembang secara spontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling
mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian
disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan,
tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.
Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh Kostof (1991) dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :
(a) Square, open space sebagai
paru-paru.
(b) Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
(c) Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
(d) Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.
(e) Bank,
pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
(f) Unsur
kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem
perkotaan.
Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan
fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi
ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya
kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang,
antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan
fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu
elemnya terganggu maka seluruh lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan
mencari keseimbangan baru (Gravatar, 2011). Demikian ini terjadi secara
berulang-ulang. Adapun kriteria pembangunan kota menurut Gravatar (2001)
terdiri dari delapan variable yaitu :
(a)
Fisik Kota : Tata
ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal.
(b)
Kualitas Lingkungan :
kebersihan kota dan tingkat pencemaran.
(c)
Transportasi-Aksesibilitas
: angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh ke tempat aktivtas, pedestrian.
(d)
Fasilitas : Fasilitas
kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman kota.
(e)
Utilitas : Air bersih,
listrik, telekomunikasi
(f)
Ekonomi : Bank, pasar,
pusat perbelanjaan moderen, restoran.
(g)
Sosial : Ruang publik,
ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat kesetaraan warga kota,
partisipasi warga.
(h)
Birokrasi dan
Pemerintahan : Kepemimpinan yang kuat, dukungan kebijakan, kepastian hukum, instansi
pemerintah, tingkat penerapan rencana kota, dukungan program pembangunan, dukungan
pembiayaan.
2.3
Definisi Ruang
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang
darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan,
dan memelihara kelangsungan hidupnya (Undang-Undang Republik Indonesia No 26
Tahun 2007 tentang Penatan Ruang).
Ruang adalah sebuah bidang dan
daerah tiga dimensi dimana obyek dan peristiwa berada. Ruang memiliki posisi
serta arah yang relatif, terutama bila suatu bagian dari daerah tersebut
dirancang sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan hasil
yang memuaskan.
2.4
Ruang Publik
Ruang publik adalah sebuah ruang dimana semua orang memiliki hak
yang sama untuk mengaksesnya atau mengadakan berbagai kepentingan dan kegiatan
publik. Pada umumnya ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu menampung
kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka.
Ruang ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar manusia untuk saling
berinteraksi. Karena pada ruang ini seringkali timbul berbagai kegiatan
bersama, maka ruang-ruang terbuka ini (Masanung, 2007).
2.4.1
Teori Ruang Publik Habermas
Gagasan tentang ruang
publik kemudian berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil
society. Dalam hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai
penggagas munculnya ide ruang publik (Sulfikar, 2010). Jurgen Habermas
memperkenalkan gagasan ruang publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The
Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire Into a Category of
Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989.
Ruang publik diartikan
sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang
publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk
sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan
berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam
perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam
hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping
itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan kedai kopi, balai
pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung (Sulfikar,
2010).
Ruang publik ditandai
oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti
ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan
kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh
masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta
aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki arti kalau
ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan
konteks sosial (Sulfikar, 2010).
Sulfikar (2010)
mengatakan bahwa mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah menjadi
ruang publik utuh, meski belakangan ini tempat tersebut dijadikan sebagai
lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas
kepenatan, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana orang yang ada
disana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu. Tidak adanya kontak
dan interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan
alasan utama mengapa ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat
perbelanjaan.
2.4.2 Kategori Ruang Publik
Menurut Rustam
dalam Masanung (2007), dikategorikan
sebagai ruang umum. Ruang publik ditandai oleh tiga hal antara lain :
(a)
Responsive.
ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan
dan kepentingan luas.
(b) Demokratis.
Ruang publik dapat digunakan oleh
masyarakat umum, serta eksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia.
(c) Bermakna.
Ruang pulik harus memiliki tautan
antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial.
Ruang publik yang
dimaksud secara umum pada sebuah kota, menurut Project for Public Spaces in
New York tahun 1984, adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara
bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas
transportasi umum (halte) dan museum (Masanung, 2007).
Pada umumnya ruang
publik adalah ruang yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan
dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya
pertemuan antar manusia untuk saling berinteraksi. Karena pada ruang ini
seringkali timbul berbagai kegiatan bersama, maka ruang-ruang terbuka ini dikategorikan
sebagai ruang umum, namun sekarang kegiatan bersama tersebut tidak hanya
dilakukan masyarakat diruang terbuka saja namun juga di dalam bangunan-bangunan
komersial seperti pusat perbelanjaan moderen sperti plaza, mall, restoran (Masanung,
2007).
Meskipun
sebagian ahli mengatakan umumnya ruang publik adalah ruang yang dipergunakan
untuk umum. Dalam Permen PU No 12 Tahun 2009 ruang publik pada dasarnya
merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari
masyarakatnya, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang
publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan. Menurut
sifatnya, ruang publik terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
Ruang
publik tertutup : adalah ruang publik yang terdapat di dalam suatu bangunan
atau sering disebut ruang terbuka non hijau (RTNH).
Ruang
publik terbuka : yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering
juga disebut ruang terbuka hijau (RTH).
Sayangnya,
arti penting keberadaan ruang publik pada kota di Indonesia semakin lama
diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah, sehingga
ruang yang sangat penting ini semakin berkurang. Ruang-ruang publik yang selama
ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, seperti lapangan olahraga, taman
kota, arena wisata, arena kesenian, lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall,
pusat-pusat perbelanjaan, dan ruko-ruko (James, 2012).
Pada
zaman modern, integrasi fungsional kota cenderung menghilang dan memudar.
Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa pada spesialisasi ruang, dimana
terjadi pemisahan hubungan simbolis dan fungsional dari lingkungan publik dan
privat. Teknologi transportasi telah memungkinkan masyarakat untuk hidup dan
bekerja di luar kota serta ruang pusat kota dapat dihindari dari tingginya
jumlah penduduk. Kemampuan untuk menjangkau seluruh ruang perkotaan telah
mengurangi kontak fisik antara penduduk kota dan lingkungan terbangunnya,
seperti yang telah berlangsung sepanjang sejarah (James, 2012).
Ruang
publik kota cenderung menjadi ruang residual yang digunakan untuk parkir
kendaraan atau untuk kegiatan pariwisata dan perdagangan. Lebih lanjut,
sejumlah tempat di kota dibuka untuk publik dan dilihat sebagai milik publik,
seperti restoran, museum, perpustakaan, dan bioskop. Tempat-tempat ini memegang
peranan yang penting dan signifikan. Dengan cara yang sama seperti pusat
perbelanjaan berfokus pada perdagangan dan restoran memiliki fungsi tertentu
serta jam operasional yang dibatasi oleh aturan tersendiri (James, 2012).
Untuk lebih jelasnya mengenai RTNH
yang dijadikan ruang publik dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.
Secara Hirarkis
|
Secara Linier
|
Secara Fungsional
|
RTNH pada Wilayah Kota dan Kawasan
Perkotaan
|
RTNH pada Kawasan Kecamatan
|
RTNH pada Kawasan Kelurahan
|
RTNH pada Kawasan RW
|
RTNH pada Kawasan RT
|
RTNH pada Jalan Arteri
|
RTNH pada Jalan Kolektor
|
RTNH pada Jalan Lokal
|
RTNH pada Jalan Lingkungan
|
Alun-alun Kota, Plaza, Bangunan
Ibadah, dll
|
Alun-alun Kelurahan, Plaza, Bangunan
Ibadah, dll
|
Taman dan Lapangan RW
|
Taman dan Lapangan RT
|
Alun-alun Kecamatan, Plaza, Bangunan
Ibadah, dll
|
RTNH pada bangunan-bangunan fungsional di setiap skala
pelayanannya (skala kota, kecamatan, kelurahan, lingkungan RW dan RT),
seperti:
a.
Bangunan Hunian
b.
Bangunan Komersial
c.
Bangunan Sosial Budaya
d.
Bangunan Pendidikan
e.
Bangunan Olahraga
f.
Bangunan Kesehatan
g. Bangunan Transportasi
|
Sumber : PERMEN PU No 12 Tahun 2009
Gambar 2.1 Bentuk RTNH yang digunakan Sebagai Ruang Publik
2.5 Peran Mall Sebagai Ruang Publik
2.5.1 Teori Peran
Teori peran adalah sebuah sudut pandang
dalam sosiologi dan psikologi sosial yang
menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh kategori-kategori
yang ditetapkan secara sosial misalnya ibu, manajer, guru. Setiap peran
sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan perilaku
seseorang atau sesuatu yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini didasarkan
pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara yang dapat
diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung pada konteksnya,
berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain (Mufahir, 2012).
Jadi berdasarkan kesimpulannya perenanan atau peran
berarti kontribusi atau fungsi yang diberikan sesuatu atau seseorang yang dapat
menimbulkan dampak dan pengaruh sosial terhadap orng lain. Menurut Mufahir
(2012) struktur
peran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(a) Peran formal yaitu sejumlah perilaku yang
bersifat homogen. Peran formal yang standar terdapat dalam keluarga.
Peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu
adalah peran sebagai provide (penyedia) pengatur rumah tangga; memberikan
perawatan; sosialisasi anak; rekreasi persaudaraan (memelihara hubungan keluarga
paternal dan maternal) terapeutik seksual.
(b)
Peran informal yaitu suatu peran yang bersifat implisit ( emosional )
biasanya tidak tampak ke permukaan dan dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan
emosional individu dan untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga, peran-peran
informal mempunyai tuntutan yang berbeda, tidak terlalu dan didasarkan pada
atribut-atibut kepribadian anggota keluarga individual. Pelaksanaan peran-peran
informal yang efektif dapat mempermudah pelaksanaan peran-peran formal.
2.5.2 Peran Mall
Merriam-Webster
(2009) menjelaskan mall adalah
sebuah tempat dimana di dalamnya terdapat toko-toko yang berhubungan sehingga
pengunjung dapat dengan mudah berpindah dari satu toko ke toko yang lain.
Konsep
awal dari pusat perbelanjaan adalah sebagai tempat yang hanya menyediakan barang-barang
dagangan, namun seiring dengan berjalannya waktu konsep tersebut berubah.
Dengan memperluas konsep penyewa toko dan aktivitasnya, mall telah mengubah perannya sebagai wadah bisnis
perdagangan menjadi pusat hiburan dan even-even budaya (Wagner, 2009). Secara
umum, mall dapat diartikan
sebagai kumpulan dari berbagai macam barang dan jasa, yang diatur secara strategis
untuk menarik perhatian konsumen (Wagner, 2009). Strategi pemasaran itu terus
berubah selama beberapa dekade dalam masa perkembangannya. Mall telah mengalami transformasi
menjadi pusat perbelanjaan sekaligus sebagai pusat hiburan.
Sebelumnya
para pelaku bisnis mall berkompetisi
untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan pusat perbelanjaan yang mengutamakan
efektivitas dan efisiensi waktu, hanya untuk berbelanja barang-barang
kebutuhan. Namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan konsumen berubah menjadi
mementingkan elemen hiburan dalam pusat perbelanjaan (Wagner, 2009). Sebuah penelitian menemukan
bahwa elemen hiburan merupakan sumber motivasi terkuat dalam pilihan konsumen mall, dan juga berhubungan dengan
produktivitas mall (Wagner, 2009).
Mall adalah sebuah
tempat dimana di dalamnya terdapat berbagai macam toko yang dapat memenuhi
seluruh kebutuhan masyarakat, mulai dari kebutuhan primer, sekunder, dan
tersier.
Seiring dengan
kemajuan jaman dimana masyarakat semakin
membutuhkan sesuatu yang efisien, munculah mall dengan konsep dapat
memenuhi semua kebutuhan masyarakat dalam satu tempat.
Dengan adanya mall, masyarakat
dapat berbelanja, berjalan-jalan, menikmati
hiburan, ke bank, makan, dan berbagai macam kegiatan lain.
Mall menjadi tempat
rekreasi dan tempat menghabiskan waktu luang yang penting bagi masyarakat
sekarang ini, terutama yang tinggal di kota-kota besar. Mall menjadi sarana rekreasi dan hiburan yang memenuhi
hampir semua kebutuhan masyarakat, mulai dari supermarket, toko-toko retail
asing maupun domestik yang menjual berbagai macam produk fashion, pusat
jajanan, arena bermain anak, bioskop, dan berbagai acara hiburan lainnya. Mall seperti ini dikenal
dengan istilah “one stop shopping mall”, yaitu mall yang menyediakan segalanya sehingga pengunjung tidak
perlu pergi ke tempat lain. Dengan demikian, mall bukan hanya menjadi tempat berbelanja, namun juga
menjadi tempat rekreasi, menghabiskan waktu luang dan pusat hiburan. Oleh
karena itu mall menjadi
elemen penting dalam gaya hidup masyarakat perkotaan modern sehingga diberi
label sebagai sebuah fenomena kebudayaan (Mayang, 2010). Jadi mall adalah sebuah tempat yang
di dalamnya terdapat pusat perbelanjaan dan juga dilengkapi dengan berbagai
macam hiburan serta dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat hanya dari satu
tempat.
Menurut Maulida
(2011), saat ini mall murni memiliki konotasi sebagai pusat perbelanjaan atau
shopping centre dalam arti umum. Mall juga identik dengan pola gaya hidup mewah
dan berkelas. Maulida (2011) juga menyatakan seiring dengan perkembangan zaman
dan untuk lebih banyak menarik lapisan masyarakat datang ke mall maka mall
terdiri dari beberapa macam yaitu:
(a) Community
mall, biasanya terdapat di sebuah distrik atau kawasan permukiman tertentu
dengan tujuan untuk melayani masyarakat di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
baik selaku pusat belanja.
(b) City mall,
biasanya jauh lebih besar dibanding community mall, karena bertugas untuk
melayani aktivitas masyarakat di kota (pinggiran) dengan wilayah-wilayah
pemukiman yang tersebar.
(c) Regional mall,
jauh lebih besar dari city mall dan menjadi semacam ikon (trademark) dari suatu pusat kota. Daya tarik dari trademark ini
sedemikian kuatnya sehingga orang luar yang berkunjung seolah-olah memiliki kewajiban
untuk mengunjungi regional mall dari kota yang bersangkutan.
(d) Terdapat pula mall khusus dengan tujuan yang spesifik
seperti entertainment mall dan leisure mall. Mall jenis ini umumnya lebih
mengedepankan fasilitas hiburan dibanding dengan fasilitas belanjanya (Maulida,
2011).
Menurut Wagner (2009),
selain mall, fasilitas gedung kawasan belanja kadang disebut plaza (asal kata dari bahasa Spanyol,
plaza) dan square (asal kata dari
bahasa Inggris). Baik plasa maupun square sebetulnya merujuk pada suatu
lapangan terbuka yang ditujukan bagi masyakarakat untuk melakukan berbagai
aktivitas, seperti halnya kita mengenal istilah alun-alun. Untuk pembagian
segmentasi mall di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1
Pembagian Segmentasi Mall
Segmentasi
|
Jangkauan Pelayanan (orang)
|
Luas Bangunan (m²)
|
Penyewa Tempat
|
Neighborhood Center
|
3.000-40.000
|
3.000-10.000
|
Pasar Swalayan, restoran fast food ,dan toko-toko jasa
|
Community Center
|
40.000-150.000
|
10.000-30.000
|
Department store, Pasar swalayan, dan toko-toko pakaian kasual
|
Regional Center
|
150.000-500.000
|
30.000-60.000
|
Department Store, Pasar swalayan, berbagai jenis toko dan restoran
|
Super Regional Center
|
>500.000
|
>100.000
|
Department store, pasar swalayan,beberapa toko besar (subanchor) seperti
toko buku, furniture, segala jenis toko eceran, dan restoran
|
Sumber: Pilars dalam
Wagner (2009)
Konsep plaza dan square ini dikombinasikan dengan konsep mall, sehingga menjadi
kawasan belanja dalam gedung dengan lahan tengah (square/plaza) cukup luas untuk menampung berbagai kegiatan-kegiatan
non reguler misalnya fashion show
atau pameran mainan anak-anak. Salah satu mall dengan konsep leisure mall (hiburan di waktu senggang) adalah mall SKA Pekanbaru.
2.5.3 Elemen-elemen
Mall
Menurut Aji Bangun (1994), elemen-elemen
yang terdapat dalam mall dapat dijabarkan
sebagai berikut :
(a) Atrium
Sutejo dalam Aji Bangun (1994) memberikan pengertian bahwa
atrium merupakan ruang kosong yang secara horisontal diapit oleh
lapisan-lapisan lantai di lantai kedua atau lebih sisi-sisinya, dengan ketinggian
dua lapis lantai atau lebih yang mendapat terang alami siang hari dan menjadi
pusat orientasi bangunan. Untuk bangunan-bangunan modern, terutama bangunan
komersial, seperti pertokoan, perkantoran, hotel, sering membutuhkan atrium
sebagai daya tarik dalam perancangan eksterior maupun interior. Begitupula
dengan mall dengan bentuk tertutup (enclosed),
atrium memegang peranan yang sangat penting.
(b) Magnet
Sekunder
Toko merupakan salah satu bagian terpenting dari Mall yang
dapat dianggap sebagai ’distrik’ padapusat perbelanjaan. Penempatan toko erat
kaitannya dengan magnet primer (court
atau plaza) sebagai daya tarik utama dalam pusat perbelanjaan tersebut, di mana
sebelum pengunjung mencapai magnet
primer,arus pengunjung diarahkan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya
melewati toko-toko kecil.
(c) Magnet primer
Magnet merupakan transformasi dari ’node’ kota, yang berfungsi sebagai titik konsentrasi, dapat juga
sebagai landmark. Perwujudannya dapat
berupa “court” atau plaza. Penempatan magnet primer atau anchor
mall terletak pada setiap pengakhiran koridor sedangkan pada plaza ditekankan di lantai atas dan
dasar dalam hubungan vertikal (Rubenstein dalam Aji Bangun, 1994).
(d) Koridor
Merupakan ruang yang digunakan
untuk berjalan kaki, sering pula disebut sebagai padestrian.Koridor terbagi
menjadi dua macam, antara lain :
(a) Koridor Utama Merupakan
orientasi dari toko-toko yang ada di sepanjang toko-toko tersebut dengan lebar
sekitar 15 meter².
(b) Koridor Tambahan (Sekunder) Merupakan koridor yang
terletak pada sepanjang koridor utama, yang memudahakan pencapaian dari area
parkir dan mempersingkat jarak entrance bila terjadi keadaan darurat. Koridor
sekunder ini berhubungan dengan magnet primer tapi bisa juga tidak berhubungan.
Lebar minimal untuk koridor sekunder adalah 6 meter (Aji Bangun, 1994).
(e) Street Furniture
Merupakan elemen desain yang
melengkapi keberadaan suatu jalan, yang berintegrasi dengan pohon, antara lain
berupa lampu jalan, scalpture, desain grafik, kolam, sitting group, pot taman,
tempat sampah dan lain-lain.
2.5.4
Jenis dan Bentuk Mall
Berdasarkan jenisnya mall dapat
digolongkan menjadi tiga golongan besar, antara lain (Rubenstein dalam Aji
Bangun, 1994).
(a) Full
Merupakan bagian mall yang dapat diperoleh dengan menutup
jalan yang semula digunakan untuk lalulintas kendaraan kemudian diperbaiki
untuk padestrian dengan melengkapi elemen-elemen lansekap untuk memperoleh
kenyamanan pejalan kaki. Mall dengan jenis ini tidak memperbolehkan kendaraan
masuk.
(b) Tansit
Merupakan jenis mall yang mengizinkan lalu lintas kendaraan
umum (bus dan taksi) untuk masuk ke dalam area tetapi tidak diizinkan
parkir, dengan tetap mengutamakan padestrian yang diperlebar dan penambahan
elemen lansekap.
(c) Semi
Merupakan jenis mall yang memperbolehkan semua
kendaraan untuk masuk dan parkir, tetapimasih berorientasi pada padestrian yang
diperluas dengan mengurangi dimensi dalan dan areal parkir. Untuk Mall Ciputra
sendiri termasuk dalam kategori full mall
karena area mall diperuntukkan bagi pejalan kaki dan kendaraan tidak diizinkan
masuk.
2.6 Dampak
Mall Sebagai Ruang Publik
Istilah mall atau plaza atau square sekarang kurang tepat dikatakan
sebagai tempat pusat perbelanjaan dikarenakan sekarang mall sudah beralih
fungsi sebagai ruang yang di gunakan oleh masyarakat perkotaan sebagai ruang
publik.
Menurut
Halim (2008), mall adalah ruang publik yang fisiknya adalah bangunan, dan
biasanya untuk square justru
dilengkapi dengan taman-taman dengan tumbuhan hidup, kebalikan dengan apa yang
terjadi didalam mall saat ini yang ruang publik dalam ruangannya dipenuhi oleh
tumbuh-tumbuhan plastik.
Maraknya
pertumbuhan mall dikota-kota besar di Indonesia tidak selalu identik dengan
meningkatnya kesejahteraan, terutama bila dikaitkan dengan kesehatan mental
warga kotanya. Mall cenderung menghilangkan interaksi sosial yang terjadi
diruang publilk dalam ruang dan mendorong warganya menjadi konsumtif. Mall
cenderung mencegah kaum miskin kota masuk kedalamnya karena orang miskin tidak
akan merasa nyaman di mall akibat tidak punya uang untuk berbelanja dan
akhirnya hanya menjadi penonton yang sering kali dicurigai oleh satpam karena
pakaiannya yang lusuh dan badannya tidak wangi (Mayang, 2010).
Kota
yang baik perlu menyediakan tempat untuk warga berjalan kaki, berkumpul
bersama, dan menjadi makhluk sosial seutuhnya. Kota yang baik harus menghormati
harga diri manusia, kaya ataupun miskin karena semua orang memiliki hak yang
sama.
2.6.1
Budaya Mall
Menurut Halim (2008), budaya secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang
berlaku secara kolektif, budaya juga menjadi acuan, tata cara, pola hidup,
serta pranata sosial masyarakat. Berdasarkan pemahaman diatas maka saat ini kehadiran
mall telah menciptakan berbagai budaya baru lengkap dengan ritual-ritualnya dan
sering kali menawarkan berbagai kenikmatan yang secara tidak langsung telah
menjadi pola hidup yang telah mengikat warga kota.
Bangunan
mall yang berlantai banyak, lengkap
dengan pendingin ruangan didalamnya, tanpa disadari telah membawa sebuah
realisme baru sebagai tempat berkumpulnya dan beraktivitasnya warga kota
sepanjang hari. Mall telah menciptakan kebanggaan dan gengsi tersendiri bagi
pengunjungnya, terutama bagi anak muda atau remaja (Mayang, 2010).
Mall
telah menjadi pilihan baru dalam memenuhi kebutuhan hidup warga kota saat ini.
Semuanya ada di mall mulai dari kebutuhan primer, sekunder, bahkan yang tersier
sekalipun tersedia. Fenomena ini pula yang secara tidak langsung membuat mall
menjadi tempat favorit warga kota. Budaya mall secara sadar telah mengajarkan
warganya untuk hidup lebih pragmatis dan praktis tidak perlu membuang waktu
untuk mendapatkan sesuatu karena semuanya telah memiliki label harga yang tidak
perlu ditawar lagi (Mayang, 2010).
2.6.2 Pola
Hidup Konsumtif
Menurut Halim (2008), mall didesain agar warga kota
secara tidak sadar mau mematuhi apa yang para kapitalis inginkan dengan cara
memanjakan mereka dengan berbagai citra semu, alunan musik yang membuai,
pendingin ruangan yang menyejukkan, wc yang mewah, dan lain sebagainya. Karena
kodrat manusia yang tidak pernah puas dengan segala sesuatu yang telah
dimilikinya, maka sangat mudah membuat mereka menjadi konsumtif dengan berbagai
pilihan dan kemudahan yang ditawarkan mall.
Setiap hari ataupun seminggu sekali para warga kota datang ke mall, baik untuk berbelanja, melihat-lihat, dan mencari sesuatu yang baru di mall maka lambat laut perilaku konsumtif ini menjadi pola hidup. Untuk lebih jelasnya aktifitas masyarakat yang berkunjung ke mall dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.
Sumber : Hasil Survei,
2013
Gambar 2.2 Masyarakat Berkunjung ke Mall
Gaya
hidup mall remaja metropolitan telah membuat mereka menjadi generasi “anak
nongkrong” yang sering berkeliaran di dalam mall. Hal ini tentunya tidak
terlepas dari pengaruh globalisasi baik melalui media cetak ataupun elektronik
yang menampilkan gaya hidup dunia Barat menjadi gaya hidup global dengan sebuah
pesan bahwa jika mereka tidak melakukan apa yang dilakukan anak-anak seusia
mereka di belahan bumi yang lain itu, maka mereka akan ketinggalan zaman alias
“jadul” (jaman dulu). Jadilah mereka ke mall berburu segala sesuatu yang mereka
lihat di media televisi, majalah meskipun bertentangan dengan norma yang
diajarkan orang tua, dan budaya bangsa mereka sendiri (Halim, 2008).
2.7 Motivasi Masyarakat Datang ke Mall
Kebutuhan
masyarakat perkotaan akan ruang publik masih tinggi, namun keberadaan mall di
berbagai penjuru Kota Pekanbaru tetap mendapat respons tak kalah tinggi. Mall
dekat dengan gaya hidup kalangan kaum urban, bukan hanya sebagai tempat
belanja, namun sudah menjadi tempat berkumpul, bertemu hingga rekreasi baik
bersama pasangan, teman dan keluarga.
Berbagai
aktivitas pun berlangsung di mall.
Kalangan muda yang senang bersosialisasi juga menjadi pusat kegiatan yang
saling memberikan manfaat seperti halnya pameran, perlombaan, serta aktifitas
lainnya. Meski dihujani kritik, tetap saja mall disukai dan dikunjungi (Halim,
2008).
Remaja
mungkin punya jawaban pribadi, mengapa kerap mengunjungi mall dengan berbagai
penawarannya serta mengahabiskan waktu berjam-jam di- mall. Seperti belanja
diskon besar-besaran, hingga berbagaikegiatan menghibur juga edukasi untuk
anak-anak dan keluarga (Wagner, 2009).
Sebagai
ukurannya apakah sebuah mall memenuhi kebutuhan dan memuaskan pengunjung,
sejumlah aspek pun dinilai. Untuk aspek fisik mencangkup kondisi di sekitar
shopping mall, lingkungan kerja, pelayanan, kawasan parkir, atrium, tenat
(toko), lift dan eskalator pengunjung, ATM center, area hijau, area bersantai,
tempat ibadah, toilet, children
playground, dan area food court
(Halim, 2008).
2.8 Persepsi Tentang Mall
Persepsi merupakan anggapan
terhadap sesuatu atau kondisi sosial tertentu berdasarkan konstruksi sosial
yang tercipta di dalam masyarakat. Mall yang merupakan pusat keramaian
dipersepsikan oleh setiap orang secara berbeda-beda. Sebagai ruang publik dan
pusat keramaian, mall mampu menciptakan persepsi setiap pengunjungnya tentang fungsi
dan manfaatnya sendiri. Para pengunjung atau aktor-aktor ini memiliki
multiperspektif terhadap fungsi dan manfaat mall terkait status dan peran
mereka di masayrakat (Wagner, 2009).
Dilihat dari kepentingannya, menunjukkan bahwa masyarakat memanfaatkan
mall untuk jalan-jalan dan bertujuan untuk refreshing dengan alasan
tempanya nyaman. Setiap masyarakat memiliki tujuan yang hampir homogen, dan
tentu tujuan dan alasan pemilihan mall ini dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap
fungsi dan manfaat mall itu sendiri. Salah satu indikator untuk melihat
persepsi mereka terhadap fungsi dan manfaat mall, dapat dilihat dari konter
yang sering mereka kunjungu ketika di mall. Konter baju atau fashion merupakan
yang paling banyak dikunjungi oleh masyarakat yang umumnya remaja. Kemudian di
urutan kedua adalah konter seperti toko buku, Sedangkan di urutan ketiga adalah
konter seperti pusat jajan atau foodcourt,
bioskop dan toserba atau department store. Serta konter-konter seperti
supermarket, aksesori, arena bermain atau game, musik, resto atau kafe, dan
lain-lain menjadi pilihan keempat (Halim, 2008).
Persepsi masyarakat tentang keberadaan mall banyak menimbulkan kritik,
mulai dari gaya hidup yang konsumtif hingga perbedaan status sosial, pada
dasarnya mall adalah ruang tempat masyarakat berbelanja memenuhi kebutuhan
sehari-hari, namun sekarang mall yang sudah berfungsi sebagai ruang terbuka
publik merupakan tempat yang siapa saja boleh berkunjung tanpa membedakan
status seseorang.
2.9 Remaja Sebagai Pengguna Mall
Masa remaja
merupakan periode peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Pada masa ini
remaja di antaranya mulai mencari identitas diri, sehingga seseorang yang
sedang berada dalam masa remaja akan sangat mudah terpengaruh oleh berbagai hal
di sekelilingnya, baik itu yang positif maupun yang negatif. Hal itu cenderung
terjadi karena kondisi emosi remaja yang tidak stabil dan cenderung sensitif
terhadap semua hal yang berkaitan dengan pribadinya dan
permasalahan-permasalahan dirinya. Seiring dengan perubahan tersebut, pada usia
remaja terbentuk pola konsumsi yang dapat berkembang menjadi pola konsumtif
(Wagner, 2009).
Sedangkan menurut
Santrock dalam Wagner (2009), menjelaskan defenisi tentang remaja yang
memerlukan pertimbangan tentang usia dan pengaruh faktor sosial-sejarah
sehingga remaja (adolescence) dapat diartikan sebagai masa perkembangan
transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,
kognitif, dan sosial-emosional. Walaupun situasi budaya dan sejarah membatasi
kemampuan kita untuk menentukan rentang usia remaja, akan tetapi dapat
disimpulkan bahwa usia remaja dimulai dari 11-13 tahun dan berakhir antara usia
18-22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi
berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada
kemandirian. Tingkah laku remaja pada umumnya digambarkan sebagai berikut:
(a) Memiliki perasaan malu dan sensitif
tapi bersamaan dengan itu mereka juga seringkali berlaku agresif.
(b) Remaja mengalami ketegangan atau
tekanan emosional karena mengalami konflik-konflik mengenai sikap, nilai-nilai,
ideologi, dan gaya hidup yang bermacam-macam. Sebab, walaupun mereka beranjak
memasuki dunia orang dewasa, mereka sebenarnya tidak dapat dikatakan sudah
dewasa maupun masih anak-anak.
(c) Adanya kesiapan dalam diri remaja
untuk bertindak ekstrim dan mengubah perilaku secara drastis. Itulah sebabnya
kita sering menemui remaja yang bersikap dan berperilaku radikal dan
memberontak (Wagner, 2009).
2.9.1 Tahapan Remaja
Menurut Wagner (2009),
masa remaja dibagi menjadi beberapa tahap yaitu:
(a) Remaja awal (early adolescent) pada
usia 11-14 tahun. Remaja awal biasanya berada pada tingkat SMP, perubahan yang
terjadi pada masa ini sangat cepat, baik pertumbuhan fisik dan kapasitas
intelektual. Pada masa ini tugas perkembangannya lebih dipengaruhi oleh
perubahan fisik dan mental yang cepat, yaitu adaptasi dan penerimaan keadaan
tubuh yang berubah.
(b) Remaja pertengahan (middle
adolescent) pada usia 15-18 tahun, biasanya duduk di bangku SMU. Pada masa
ini remaja secara fisik menjadi percaya diri dan mendapatkan kebebasan secara
psikologi dari orang tua, memperluas pergaulan dengan teman sebaya dan mulai
mengembangkan persahabatan dan keterkaitan dengan lawan jenis.
(c) Remaja akhir (late adolescent) pada
usia 18-22 tahun. Umumnya terjadi 8 pada akhir SMU dan universitas sampai
individu mencapai kematangan fisik, emosi dan kesadaran akan keadaan sosialnya,
memiliki identitas personal dalam relasinya dengan orang lain, mengetahui peran
sosial, sistem nilai, dan tujuan dalam hidupnya (Wagner,2009).
2.9.2 Remaja Sebagai Konsumen
Kelompok usia
remaja adalah salah satu pasar yang potensial bagi produsen. Alasannya antara
lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu,
remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, meniru teman, tidak realistis, dan
cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang
dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja (Wagner, 2009).
Mall sudah menjadi rumah kedua bagi
remaja yang memiliki orangtua dengan kelas ekonomi yang cukup berada dan
tinggal di kota-kota besar. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat
mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah
sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil,
muncullah perilaku yang konsumtif.
Kaum remaja
merupakan pembeli potensial untuk produk-produk seperti kaset, kosmetik,
pakaian, sepatu, dan aksesoris. Hal ini disebabkan oleh sifatsifat remaja yang
mudah terbujuk iklan, suka ikut-ikutan teman atau alasan konformitas tidak realistis
serta cenderung boros dalam menggunakan uangnya untuk keperluan rekreasi dan
hobi. Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman
sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman
sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar
daripada pengaruh keluarga (Wagner, 2009).
2.9.3 Gaya Hidup Remaja dengan Mall Sebagai Ruang Publik
Teori sosial
post-moderen cenderung mendefenisikan masyarakat postmodern sebagai masyarakat
konsumen, dengan akibat bahwa konsumsi memainkan peran penting dalam teori
tersebut. Ritzer & Goodman dalam Wagner (2009), mengatakan mall muncul sebagai salah satu
alat konsumsi baru dari masyarakat post-industri atau post-modern. Selain
mall, beberapa alat konsumsi
baru lainnya adalah industri fast-food, cybermall, superstore, dan
saluran hiburan. Dikatakan lebih lanjut bahwa alat konsumsi baru karena
terjadinya pergeseran dari masyarakat modern (masa revolusi industri dan
kapitalisme) yang mementingkan produksi di bidang industri (menggunakan banyak
orang yang bekerja di pabrik untuk memproduksi suatu barang) menjadi masyarakat
post-moderen yang lebih mementingkan konsumsi. Maksudnya adalah lebih banyak
orang yang bekerja di bidang pelayanan yang berhubungan dengan konsumsi, dan
lebih banyak lagi yang menghabiskan waktu senggang mereka dengan kegiatan
konsumsi, sedangkan untuk produksi lebih banyak menggunakan alat-alat non manusia
atau mesin (Wagner, 2009).
Mall dapat dilihat sebagai sesuatu yang
sangat dikontrol secara teknologis di semua aspek dari operasinya. Kontrol
ketat mencakup suhu, lampu, acara, dan barang dagangan. Tujuannya adalah untuk
mengontrol konsumen. Ruang dan waktu dikontrol dengan mendesain mall tanpa jendela hanya ada
sedikit tanda pintu keluar, keseragaman mall
berarti mereka dapat berada dimana saja dalam banyak kasus tidak ada jam
di mall pemeliharaan dan
penyusunan ulang periodik
membuat mall
seperti tidak pernah tua ada ilusi kesempurnaan mall. Konsumen dapat berkeliaran
berjam-jam tanpa menyadari berlalunya waktu (Wagner, 2009).
Dengan
menciptakan keadaan ini, mall memungkinkan
konsumen bertemu dengan banyak toko dan melihat lebih banyak barang dan jasa
dan membeli lebih banyak. Mall mengatur
emosi konsumen dengan memberi cahaya, keceriaan, dan lingkungan menarik (Wagner,
2009).
Ternyata dalam
hal-hal tertentu, gaya hidup bersifat kontemporer karena dapat berubah sesuai
dengan karakteristik demografi dan trend yang terjadi di sekitarnya (Mindaw,
2012). Trend tersebut selalu berubah mengikuti perkembangan zaman,
misalnya perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan handphone menjadi
kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat sekarang, padahal dahulu orang
harus mencari telepon umum untukmenghubungi orang lain. Mall merupakan salah satu trend yang terjadi di
masyarakat sekarang, terutama di perkotaan. Mall yang dahulu hanya menjadi tempat perdagangan, terus mengalami
perubahan dalam hal konsep pemasaran selama beberapa dekade dalam masa
perkembangannya (Wagner, 2009).
Seiring dengan kemajuan jaman dimana
masyarakat semakin membutuhkan sesuatu yang efisien sebagai ruang terbuka
publik, munculah mall dengan
konsep dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat dalam satu tempat. Dengan
adanya mall masyarakat
dapat berbelanja, berjalan-jalan, menikmati hiburan, ke bank, makan, dan
berbagai macam kegiatan lain. Mall menjadi
tempat rekreasi dan tempat menghabiskan waktu luang yang penting bagi
masyarakat sekarang ini, terutama yang tinggal di kota-kota besar.
Remaja yang mengganggap
mall penting dan
relevan dengan nilai-nilai, minat, dan kebutuhan dirinya maupun kelompok teman
sebayanya berarti memiliki keterlibatan tinggi terhadap mall. Keterlibatan yang tinggi
terhadap sesuatu akan menyebabkan individu memberikan perhatian tinggi terhadap
segala hal yang menyangkut objek tersebut (Mindaw, 2012). Berarti remaja yang
memiliki keterlibatan tinggi terhadap mall
akan suka menghabiskan waktu dan melakukan berbagai kegiatan di sana, serta
mencari segala informasi mengenai mall
misalnya informasi acara acara hiburan yang dilakukan di sana.
Remaja yang memiliki keterlibatan tinggi terhadap mall akan menjadikan aktivitas dalam mall merupakan bagian dari gaya
hidupnya (Wagner,
2009).
2.10
Skala Pelayanan Mall SKA
Fasilitas
Mall SKA terkait fungsi dari RTNH dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Skala Pelayanan
Mall SKA
No
|
Skala Pelayanan
|
Variabel
Penelitian
|
Indikator
|
Mall sebagai
Ruang Publik
|
|||
1
|
Infrastruktur
Mall SKA Pekanbaru
|
Ekonomi
|
Infrastruktur dari segi ekonomi merupakan indikator
paling berpengaruh terhadap remaja kota pekanbaru yang menggunakan Mall
sebagai ruang publik.
|
· Swalayan
|
|||
· Toko Pakaian
|
|||
· Restoran Fastfood
|
|||
· Toko Buku
|
|||
· Toko Menjual
Perlengkapan Sehari-hari
|
|||
2
|
Sosial
|
Infrastruktur sosial yang merupakan indikator yang
digunakan dalam membentuk remaja dalam bersosialisasi serta menentukan
kepribadian.
|
|
· Arena Permainan Anak
|
|||
· Cafe
|
|||
· Toko Pakaian
|
|||
· Area Event-event
Tertentu
|
|||
· Bank/ATM
|
|||
3
|
Budaya
|
Infrastruktur dari segi budaya juga merupakan
indikator yang berperan dalam terbentuknya gaya hidup remaja modern yang
menggunakan Mall sebagai ruang publik.
|
|
· Area Event-event
Tertentu
|
|||
· Arena Permainan
|
|||
· Toko Pakaian
|
|||
· Toko Buku
|
|||
|
|||
4
|
Arsitektural dan Estetika
|
Infrastruktur ini ditujukan seasuai dari fungsi dan kegunaannya.
|
|
·
Area Koridor
|
|||
·
Bangunan Mall
|
|||
5
|
Ekologis
|
Infrastruktur ini berfungsi sebagai tempat sirkulasi udara
|
|
·
Pintu Masuk
|
|||
6
|
Darurat
|
Infrastruktur ini berfungsi sebagai tempat berlindung dibutuhkan contoh
untuk berlindung dari kabut asap
|
|
·
Bangunan Mall dan Kawasan Parkir
|
|||
|
|||
|
Sumber : Hasil Analisis, 2013
2.11 Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian merupakan salah satu
syarat mutlak keabsahan suatu karya tulis ilmiah yang dapat ditinjau dari ide dasar penelitian dan
perbandingan penelitian dengan penelitian lain yang sejenis. Adapun keaslian
penelitian “Peran Mall Sebagai Ruang Terbuka Publik Terhadap Remaja Study Kasus
Mall SKA Pekanbaru” dapat dilihat melalui beberapa kajian hasil studi yang
sudah ada sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
terdahulu lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 2.3 berikut ini :
Tabel
2.3
Penelitian terdahulu
No
|
Nama
Peneliti
|
Judul
Penelitian
|
Lokasi dan Tahun Penelitian
|
Metode
Penelitian
|
Hasil
Penelitian
|
1
|
Wagner
|
Gaya
Hidup "Shopping Mall" Sebagai Bentuk Perilaku Konsumtif pada Remaja
di Perkotaan
|
Kota Jakarta Tahun 2009
|
Kuantitatif
dan kualitatif,
teknik pengumpulan data observasi lapangan, wawancara, kuisioner dan
studi pustaka
|
· Shoppers
digolongkan menjadi tiga yaitu real
shoppers, socialize shoppers, dan beginner shoppers. Shoppers umumnya adalah
remaja berpendidikan SMA dan perguruan tinggi.
· Terdapat perbedaan dari ketiga
tipologi shoppers berdasarkan umur dan jenis kelamin di kota Jakarta.
|
2
|
Teguh Prasojo
|
Shopping Mall di Jakarta Barat
|
Kecamatan Jakarta Barat Tahun 2010
|
Kualitatif,
Dokumentatif,
Komparatif, teknik pengumpulan data observasi lapangan,
wawancara dan kuesioner
|
· Konsep
dasar dan program perencanaan dan perancangan shopping mall di kawasan
Jakarta barat.
· Desain
yang kreatif dan inovatif dalam rancangan shopping mall di Jakarta Barat
dalam menyiasati harga lahan yang sangat tinggi.
|
3
|
Fornestor
Mindau
|
Melihat Mahasiwa dalam memanfaatkan Mall di Jogja
|
Daerah Istimewa Jogjakarta Tahun 2012
|
Deskriptif analitis kuantitatif , teknik pengumpulan data wawancara,
dokumentasi dan observasi
|
· Persepsi
mahasiswa jogja dalam menggunakan mall sebagai ruang terbuka publik yang
mampu menyediakan hiburan.
|
4
|
Rizki
Akdanuri Syahputra
|
Peran
Mall sebagai ruang terbuka publik terhadap remaja kota Pekanbariu
Studi kasus Mall SKA Pekanbaru
|
Kota
Pekanbaru Tahun 2013
|
Deskriptif
Kuantitatif,
teknik pengumpulan data observasi lapangan, wawancara dan kuesioner
|
· Mengetahui Peranan
sebagai ruang terbuka publikterhadap remaja di Kota Pekanbaru
· Persepsi
remaja yang menggunakan mall ska sebagai ruang terbuka publik.
· Mengetahui
serta dampak positif dan negatif
kehadiran Shopping Mall
|
Sumber : Hasil Analisis
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar