Senin, 11 Mei 2015

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP KASUS PENJAMBRETAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS POLSEK SUKAJADI) BAB II



BAB II
 STUDY KEPUSTAKAAN
A.    Study kepustakaan
1.      Studi Kepustakaan
Sebagai suatu landasan dalam penelitian ini penulisan mengemukakan beberapa konsep/teori pendukung yang bermanfaat untuk membantu penulis dalam menelaah masalah yang dikaji menjadi tujuan penelitian.
Perlu dijelaskan terlebih dahulu perumusan viktimologi yang akan digunakan untuk membahas kekerasan terhadap anak dalam tilisan ini. Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatau permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (arif gosita; 2004: 38).
2.      Pengertian Kriminologi
Kriminologi berasal dari bahasa asing(Inggris) yakni Crime, yang terdiri dari dua kata, yaitu: Crimen yang berarti penjahat dan Logos yang berarti pengetahuan.
Dengan demikian kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat (Dermawan, 2000:1).
8
Menurut Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang memepelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang. Jadi kriminologi adalah ilmu yang memepelajari kejahatan sebagai masalah manusia. (Abdussalam, 2007:4)
Pada umumnya para sarjana kriminologi bersepakat bahwa yang merupakan objek penelitian kriminologi adalah sebagai berikut:
a.       Kejahatan
Kejahatan dari sudut pandang sosiologi adalah salah satu perbuatan yang antisosial dan amoral serta tidak terkendali oleh masyarakat, merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan dans secara sadara harus ditentang. (Dermawan, 2002:24)
Menurut Arief Gosita masalah kejahatan (kriminalitas) sebagai salah satu kenyataan sosial tidak berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, dan budaya sebagai fenomena yang da dalam masyarakat dan saling memepengaruhi satu sama lain. (Arief Gosita, 2003:2)
Dilihat dari segi kriminologisnya, kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar undang-undnag atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi yaitu yang mencakup perbuatan yang anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum di atur tau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. (Dalam Kriminologi, Yesmil Anwar Adang 2010:15)
Sedangkan menurut Suterland kejahatan yang telah di tetapkan oleh Negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. (Abdussalam 2007:15)
Sutherland dalam bukunya principles of criminology menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan di sebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut, unsur-unsur tersebut adalah:
1.      Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
2.      Kerugian tersebut harus dilarang oleh udang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana
3.      Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuataan yang di sengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan.
4.      Harus ada maksud jahat.
5.      harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.
6.      Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang dengan perbuatan yang sengaja atas keinginan diri sendiri.
7.      Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.
b.         Pelaku
Pelaku atau penjahat adalah seorang atau sekelompok orang yang mlakukan perbuatan anti sosial walaupun belum atau tidak diatur oleh hukum undang-undang atau hukum pidana. Dalam arti sempit, pelaku atau penjahat adalah seseorang yang melakuakn pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu ditangkap, dituntut, dan dibuktikan kesalahannnya didepan pengadilan, serta kemudian dijatuhkan hukuman. (Yesmil Anwar Adang 2010:15)
Dalam konteks yang luas pelaku atau penjahat adalah seseorang yang telah melanggar undang-undang,akan tetapi juga mereka yang bersikap anti sosial.



c.         Korban
Korban kejahatan merupakan objek penelitian kriminlogi yang tidak dapat dilepaskan dari gejala kejahatan. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kejahatan pasti akan ada korbannya, baik orang lain maupun diri sendiri.
Korban kejahatan adalah pihak yang menanggung kesalahan dalam terjadinya kejahatan atau orang yang menderita akibat suatu peristiwa kejahatan. (Yesmil Anwar Adang 2010:15)
Ketika menjadi korban kejahatan, seseorang akan krisis dalam hal fisik,finansial, sosial dan psikologis. Berat ringannya krisis tersebut bergantung pada bagian pada setiap orang yang semula tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan. Berhubungan adanya kesempatan atau peluang yang diberikan oleh korban kejahatan, maka kepada orang yang semula tidak ada niat untuk melakukan kejahatan, akhirnya orang tersebut melakukan kejahatan karena adanya kesempatan atau peluang dari korban.
d.      Reaksi Sosial
            Reaksi sosial adalah tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul dimasyarakat luas, tetap juga undang-undang yang belum mengaturnya.(Abdussalam 2007:18)
Reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan terhadap semua jenis kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan baik bagi pengaman diri korban, lingkungan yang memberikan kesempatan atau peluang 6. harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang di larang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atau keinginan sendiri..
3.      Konsep Aktivitas Rutin
Dalam teori aktivitas rutin oleh Felson 1987, ada tiga elemen yang dapat memepengaruhi kemudahan munculnya kejahatan diantaranya:  motivasi pribadi, adanya sasaran yang tepat, tidak terdapatnya sistem penjagaan yang efektif(Darmawan, 1994:69) diantaranya:
a. motivasi pribadi
Menurut Noach dalam (Arrasjid, 1988:69) kejahatan yang dilakukan merupakan dorongan-dororngan pribadi yang menjadikan kejahatan sebagai sumber utama dalam pencapaian tujuan tanpa alasan-alasan dan sebab apapun. Kondisi seperti ini merupakan pelaku yang memang mempunyai bakat melakuakn kejahatan bawaan sejak lahir/born crime.
b. Adanya sasaran yang tepat
Dalam keadaan ini, menurut Noach dalam (Arrasjid, 1988:69), kesempatan merupakan faktor yang menentukan bagi pelaku kejahatan untuk pelaku kejahatan untuk melakukan penjambretan, dalam hal ini adakalanya karena terdesaknya oleh kebutuhan hidup, dan adakalanya karena kebiasaan.
Sehubungan dengan itu, Gosita (2004:105), mengatakan: Situasi atau kondisi yang ada pada diri si korbanlah yang kemudian merangang, mendorong pihak lain melakukan kejahatan, karena kerap kali antara pihak pelaku dan pihak korban tidak terdapat hubungan terlebih dahulu. Situasi dan kondisi tersebut antara lain berkaitan dengan kelemahan fisik, dan mental pihak korban: mereka yang berusia tua atau anak-anak juga wanita, yang cacat tubuh atau jiwa sebab secara kodrati mereka rentan menjadi korban, tatkala keberadaan mereka lepas dari pengawasan dan penjagaan.
c. Tidak hadirnya sistem penjagaan yang efektif
Tidak hadirnya strategi pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh aparat maupun masyarakat tentu memberi peluang bagi pelaku dalam melakuakn kejahatan. Pada umumnya situasi yang memberikan kesempatan untuk dilakukannya suatu perbuatan akan diisinya kejahatan-kejahatan yang tergolong licik dan serakah, seperti pencurian dengan pembongkaran ditempat tinggal, pengutilan dan vandalisme, atau juga kejahatan dengan kekerasan yang tentunya membutuhkan kesempatan yang lebih khusus lagi. Oleh sebab itu perlu pendekatan atau langkah-langkah yang mampu meminimalisir kesempatan dilakukan kejahatan yang bersifat situasional.
Selanjutnya menurut Felson (Dermawan, 2000:6.11), premis dari aktifitas rutin diatas adalah keseharian dari warga masyarakat dapat menjelaskan pola-pola vitimisasi. Dengan demikian, cara yang paling efektif adalah mengatur penurunan dan penyaluran hasrat-hasrat manusiawi sehingga pelaku kejahatan dan target kejahatan jarang bertemu didaerah yang tidak ada penjagaanya.
4.         Konsep Prilaku meyimpang
Perilaku menyimpang mempelajari perilaku dan mereka yang dianggap sebagai pelanggar aturan. Sedangkan kriminologi adalah studi tentang orang-orang yang melanggar aturan-aturan resmi yang disebut hukum. Perilaku menyimpang dapat menyebabkan terancamnya kehidupan sosial, karena tatanan sistem yang sudah ada dapat tidak berjalan sebagaimana mestinya karena ada individu yang tidak dapat menjalankan tugasnya dalam sistem masyarakat .
Dalam menjelaskan penyimpangan menurut (Lemert dalam Mustofa 2007:87), satu peristiwa pelanggaran dan reaksi yang diberikan kepada remaja tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa orang tersebut adalah penyimpang. Seseorang untuk menjadi penyimpang harus terdapat serangkaian tindakan, sejumlah reaksi dan sejumlah kontra-reaksi  sebelum mereka dikatakan penyimpang atau jahat.
Sosialisasi adalah proses belajar yang dilakukan oleh seseorang (individu) untuk berbuat atau bertingkah laku berdasarkan patokan yang terdapat dan diakui dalam masyarakat. Jika sosialisasi dipandang dari sudut pandang masyarakat, maka sosialisasi dimasukkan sebagai usaha memasukkan nilai-nilai kebudayaan terhadap individu sehingga individu tersebut menjadi bagian dari masyarakat (Abdulsyani, 1999:2).
Sementara norma sosial adalah serangkaian peraturan umum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Mengenai tingkah laku atau perbuatan manusia yang menurut penilaian anggota sekelompok masyarakat sebagai sesuatu yang pantas atau tidak pantas (Abdulsyani, 1999:2).
Pada tindakan pertama atau serangkaian tindakan awal, dapat terjadi pengingkaran atau penolakan untuk menganggap bahwa tindakan yang di lakukan tersebut adalah wajar-wajar saja. Yang merupakan penyebab dari tindakan-tindakan yang masih dalam kategori penyimpangan primer, karena kurangnya sosialisasi, nilai-nilai sosialisai penyimpangan (Lemert dalam Mustofa 2007:87).
Faktor penyebab kenakalan remaja
Menurut kartono (2007) factor penyebab kenakalan remaja dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a.    Fakktor internal
Adapun factor penyebab kenakalan remaja yang datang dari dirinya adalah:
1.      Frustasi negatif yaitu mekanisme pelarian dan pembelaan yang salah, lewat cara-cara penyelesaian yang tidak rasional. Anak mencaba membela diri dan kelemahan dan kekerdilan sendiri dengan menggunakan macam-macam dahlil, reaksi dan prilaku yang tidak wajar.
2.      Gangguan tanggapan dan pengamatan pada remaja pengolahan yang keliru dan salah atas kenyataan yang ada sehingga timbul interprestasi yang keliru dan salah akibat jauhnya remaja menjadi agresif menghadapi tekanan-tekanan dan bahaya yang timbul sehingga anak menjadi liar cepat marah dan cepat menyerang.
3.      Gangguan berfikir dan itelijensi pada diri kalangan remaja orang dewasa jiwanya terganggu akan memperalat fikiranvya untuk membela dan membenarkan gambaran-gambaran semu dan tanggapan-tanggapan salah. Akibat reaksi dan tingkah laku anak menjadi salah, bisa liar dan selalu mencari jalan kekerasan.
4.      Gangguan emosional atau perasaan  pada remaja jika keinginan dan kebutuhan tidak terpenuhi maka remaja akan cendrung frustasi, yang bisa disebabkan oleh perlakuan orang tua yang sejak kecil tidak adil, tak pernah mendapatkan kasih saying dari orang tuanya, Kelembutan, perhatian dan kebaikan. Sebagai akibat jauhnya anak melakukan reaksi over, gemar berkelahi serta selalu cendrung pada kekerasan.
Proses internalisasi yang keliru lebih lanjud di terangkan oleh kartini kartono  adalah: Dalam bentuk ketidak mampuan mereka melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya, dengan kata lain mereka melakukan mekanisme pelarian diri dan pembelaan diri yang salah atau tidak rasional dalam wujud : kebiasaan  agresif,  pelanggaran terhadap norma baik social maupun hukum yang diwujudkan dalam bentuk kejahatan, kekerasan kebiasan berkelahian massal dan sebagainya.
Dalam teori psikogenis kartini kartono menerangkan sebagai berikut: sebab tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum anak-anak atau remaja dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain dipengaruhi oleh faktor intergelensi, ciri kepribadian, motifasi, konflik batin, rasional yang kontroversial dan lain-lain.
Maka jelaslah dari beberapa pendapat ahli tersebut bahwa kenakalan remaja juga datang dari dalam diri, mereka mempratekkan konflik batinnya untuk mengurangi beban-beban yang meraka rasakan dari dalam jiwa lewat tingkah laku yang agresif, implusif, dan primitive. Karena itu kejahatan mereka berkaitan dengan temperamen, konstitusi, jiwa, yang semrawud, konflik batin dan frutasi yang akhirnya ditampilkan secara sepontan. Dari pendapat kartini kartono menjelaskan keadaan psikologis remaja yang mengalami kegoncangan di bawah usia 21 tahun yang banyak melakukan kenakalan remaja(Kartono, 2007:8).

b.   Faktor eksternal
Kartini Kartono berpendapat bahwa factor eksternal adanya tindak kenakalan remaja adalah semua perangsang dan pengaruh dari luar yang menimbulkan tingkah laku tertentu pada anak-anak remaja (Kartono, 2007:111). Faktor ini disebut pula faktor sosial yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
1)      Lingkungan keluarga.
Diantara kemungkinan-kemungkinan yang dapat menimbulkan kenakalan remaja yang datangnya dari lingkungan keluarga adalah :
a.       Kurang pengertian orang tua tentang pendidikan. Cara mendidik yang salah banyak membawa akibat yang negatife bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian remaja.
b.      Kurangnya pendidikan agama, pendidikan agama yang intensif diberikan remaja sejak kecil  sehingga dapat dijadikan benteng moral yang kokoh sebagai filter dari pengaruh-pengaruh negatife dan liar.
c.       Keadaan ekonomi, keadaan ekonomi yang tinggi maupun yang rendah dapat menyebabkan remaja menjadi nakal, pada keluarga yang berekonomi tinggi, karena orang tua selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan luarnya bahkan terlalu asik mengejar materi sedangkan di kalangan ekonomi rendah bisa terjadi  akibat terlalu sibuk mencari nafkah tambahan sehingga lupa menyediakan waktu untuk keperluan pendidikan anaknya.
2)      Lingkungan sekolah. Meskipun sekolah merupakan lembaga pendidikan dimana situasinya berisikan pendidian, namun tidak jarang menimbulkan kenakalan, karena sekolah merupakan tempat berkumpulkannya dan barinteraksinya antara anak remaja yang berbeda sehubungan dengan ini sudarsono (1990: 130) menjelaskan bahwa: proses pendidikan yang kurang menguntungkan, anak dalam berkembang jiwanya kerap kali memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap peserta didik disekolah sehingga dapat menimbulkan kenakalan remaja.
3)      Lingkungan sosial Masyarakat
Menurut zakiyah Darajat (1986) apa bila  golongan tua atau dewasa dalam masyarakat mempunyai satu pendirian yang tetap yaitu anak-anak harus tunduk dan patuh  pada peraturan-peraturan, terhadap kebiasaan yang turun temurun tanpa boleh mengajukan bantahan dan pertanyaan, maka anak-anak akan merasa bahwa orang tua dan orang dewasa tidak memahami dan tidak menghargai mereka. Akibatnya mereka akan mempertahankan diri terhadap perlakuan masyarakatyang kurang menyenangkan diri terhada perlakuan masyarakat yang kurang menyenangkan itu, bahkan mereka akan selalu berusaha meneliti dan menyelidiki kesalahan-kesalahan orang tua dan orang dewasa sebagai balasan terhadap perlakuan mereka.  Akan hilanglah penghargaan mereka kepada orang tua orang dewasa bukan karena kedurhakaan mereka, ataupun keburukan budi pekerti mereka, akan tetapi sebagai akibat kurang mempunyai kemampuan mereka mennerima dan memahami tindakan orang tua ynng menunjukan kurang pengertian dan penghargaan kepadanya atau timbulah yang dinamakan kenakalan anak-anak remaja.
Dalam kenyataannya anak dari kalangan miskin, memiliki rendah diri dalam masyarakat sehingga anak tersebut melakukan perbuatan melawan hukum terhadap milik orang lain. Terlihat adanya kompensasi dari remaja tersebut untuk hidup samadengan orang kaya( sudarsono, 1991: 131).
5. Konsep Viktimologi
Perlu dijelaskan terlebih dahulu perumusan viktimologi yang akan digunakan untuk membahas masalah pelantaran terhadap anak dalam penulisan ini. Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. (Arif Gosista: 2004 ;38).
Berikut ini Tongat ( 2003:72-75 ), menjelaskan unsur-unsur tersebut di atas:
1.  Mengaku sebagai milik sendiri
Unsur memiliki dalam rumusan pasal ini merupakan terjemahan dari Zich toeeigenen sebenarnya memiliki makna yang luas dari sekedar memiliki. Oleh beberapa sarjana istilah tersebut disebut  dengan menguasai.
2.  Sesuatu barang
Makna barang sekarang ini telah mengalami perkembangan yang pada awalnya merujuk pada pengertian barang atau benda bergerak dan berwujud misalnya, radio, televisi, uang dan lain sebagainya  termasuk binatang, yang dalam perkembangannya pengertian barang atau benda tidak hanya terbatas pada benda bergerak atau tidak berwujud.
3.  Seluruh atau sebagian adalah milik orang lain
Unsur ini mengandung pengertian bahwa benda yang diambil haruslah barang/benda yang dimiliki baik seluruhnya ataupun sebagian oleh orang lain. Jadi harus ada pemiliknya, barang atau benda yang tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.
Dengan demikian dalam tindak pidana pencurian, tidak dipersyaratkan barang yang dicuri itu milik orang lain secara keseluruhan. pencurian tetap ada meskipun itu hanya sebagian yang dimiliki oleh orang lain.
4.  Berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
Hal pertama yang harus dibahas dalam ini adalah maksud dari menguasai. Dalam tindak pidana pencurian, menguasai termasuk sebagai unsur subjektif sedangkan dalam pencurian, hal ini termasuk unsur objektif. Dalam pencurian, menguasai merupakan tujuan dari pelakunya sehingga unsur menguasai tidak perlu terlaksana pada saat perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini, maksud pelakulah yang harus dibuktikan. Sedangkan dalam pencurian, menguasai bukan merupakan tujuan pelaku sehingga perbuatan menguasai dalam pencurian harus ada pada pelaku.
Dalam tindak pidana penggelapan, perbuatan menguasai bukan karena kejahatan, bukan merupakan ciri pokok. Unsur ini merupakan pembeda dengan pidana pencurian.
5.  Secara melawan hukum
Sebagaimana diketahui bahwa suatu barang dapat berada dalam kekuasaan orang, tidaklah harus terkena tindak pidana. Penguasaan barang oleh seseorang dapat terjadi karena perjanjian sewa-menyewa, jual beli, pinjam - meminjam dan sebagainya.
Apabila suatu barang berada dalam kekuasaan orang bukan karena kejahatan tetapi karena perbuatan yang sah, kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk kepentingan diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan penggelapan.
6.  Dengan maksud
Unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana dirumuskan dengan berbagai istilah, termasuk di dalamnya dengan maksud. Persoalannya apakah kesengajaan atau maksud itu ditujukan pada seseorang. Dalam hal ini kesengajaan atau maksud itu ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Sejak awal perkembanganya, dalam dunia kriminologi masalah peran dan kedudukan korban kejahatan bagi timbulnya kejahatan ini disadari. Tetapi penelitian sistematis terhadap korban kejahatan secara serius baru dilakukan pada tahun 1940-an. Dengan dimulainya penelitian sistematis terhadap korban kejahatan, maka penelitian kriminologi terhadap gejala kejahatan dapat dilakukan menjadi lebih ojektif dan memperoleh keseimbangan mempelajaran. Usaha untuk mempelajari korban secara sistematis kemudian dikenal sebagai viktimologi (korban), yaitu ilmu pengetahuan ilmiah yang mempelajari kedudukan dan peranan korban kejahatan dalam hukum dam masyarakat. Melelui viktimologi (korban) maka penelitian kejahatan dalam kriminologi yang selalu cenderung berpusat pada masalah hukum yang telah semakin luas wawasan dan melihat gejala kejahatan sebagai masalah yang kompleks yang menyangkut aspek sosial, budaya, politik, ekonomi masyarakat dan berkaitan dengan masalah emosional, rasional. (Muhammad Mustofa;2007;29)
Beberapa kriminologi mempertanyakan kehendak dari teori aktifitas rutin. Menurut Miethe, Stafford dan long,(bambang waluyo; 2011,42), mengatakan kita mempertahankan teori aktifitas rutin. Maka kita tidak dapat menjelaskan viktimisasi dari kejahatan kekerasan. Kejahatan kekerasan sering kali bersifat ekspresif, irasional dan menuntut pertengkaran antara pelaku dan korbanya. Para peneliti menemukan data bahwa, bagai manapun juga, variabel-variabel yang mengukur dampak dari aktivitas rutin tidak menjelaskan resiko viktimisasi (korban) kejahatan kekerasan bagi kelompok-kelompok yang berkarateristik seperti itu adalah kelompok yang sering kali menghabiskan waktunya di luar rumah.
Korban  kekerasan seperti telah dilakukan sebelumnya, maka perwujudan tindak kekerasan meliputi tindak perbuatan-perbuatan penganiayaan ringan/berat, memaksa orang melakukan sesuatu yang melangar hukum, membuat orang pingsan perkosa dan sebagainya. (Arif Gosita:2004;45)
Menurut “perserikatan bangsa-bangsa, 1985”,(dalam arif gosita, 2004: 44), yang dimasuk dengan korban (victim) adalah oarng-orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis ataupun pengurangan substansial hak-hak asasi, meliputi perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran (emissions) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota, yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalah gunaan kekuasaan.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak, antara lain;
1.      Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
2.      Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar di identifikasi atau diagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
3.      Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak,  Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
4.      Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
Pada tanggal 23 juli 1986, Presiden RI telah mencanangkan Desawara Anak Indonesia 1986-1996, yang merupakan refleksi dan respons positif terhadap permasalahan anak yang kurang memuaskan. Konvensi tentang hak-hak anak serta deklarasi mengenai kelangsungan hidup, perlindungan dan pengembangan  anak New York 30 Desember 1990, telah di tanda tangani oleh indonesia.(Arif Gosita;2004;256)


Ada beberapa pengertian anak korban kejahatan, sebagai berikut:
1.      Pengertian anak adalah mereka berusia 0-21 tahun atau belum pernah kawin. Dengan demikian, anak sudah dilindungi sejak dari dalam kandungan.
2.      Yang dimaksud dengan anak korban kejahatan adalah anak-anak yang menderita mental, fisik, sosial, akibat perbuatan tindak pidana oleh orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri, yang bertentangan dengan hak dan kewajiban pihak korban. Misalnya: menjadi korban, perkosaan dan sebagainya oleh ibu dan bapaknya, saudaranya, angota masyarakat di sekitarnya.
3.      Pelayanan antara anak korban kejahatan adalah sesuatu kegiatan pelayanan mental, fisik dan sosial terhadap anak-anak yang telah menjadi korban tindak pidana seseorang dan mengalami penderitaan mental, fisik, dan sosial.
Hasil interaksi dalam pelayanan anak korban kejahatan sebenarnya dapat juga dirumuskan sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya sesuatu interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Yang penting sekarang adalah mencari dan memahami gejala (fenomena) mana saja yang mempunyai pengaruh atas adanya (eksitensi) pelayanan terhadap anak korban kejahatan tersebut. (Arif gosita 2004;260)
Anak calon korban atau anak yang ditelantarkan oleh orang tua dan yang telah menjadi korban, perlu dibantu dan mendapatkan perlindungan baik mental, maupun fisik dan sosial yang terjadi di indonesia.
Faktor-faktor yang mendapat dukungan pengembangan pelayanan tehadap anak korban kejahatan:
a.         Keinginan untuk mengembangkan perlakuan adil terhadap anak dan peningkatan kesejahteraan anak.
b.        Hukum kesejahteraan yang dapat mendukung pelaksanaan pelayanan terhadap anak korban kejahatan.
c.         Sarana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pelayanan terhadap anak korban kejahatan. (Arif Gosita; 2004; 66)
Hak dan kewajiban anak korban kejahatan, bahwa seseorang yang menjadi korban kejahatan mempunyai berbagi hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan kemampuan yang berkaitan dengan usia.
Hak-hak anak yang menjadi korban pembuatan kriminal, sebagai berikut:
a.       Mendapat bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan, pakaian, pangan).
b.      Mendapat bantuan penyelesaian permasalahan (melapor, nasihat hukum dan pembelaan).
c.       Mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
d.      Mendapat kembali hak miliknya.
e.       Menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayakan dirinya.
f.       Memperoleh perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor atau menjadi saksi.
g.      Memperoleh ganti kerugian (restitusi, konpensasi) dari pihak pelaku (sesuai kemampuan) atau pihak lain yang bersangkutan demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.
h.      Menolak ganti kerugian demi kepentingan bersama.
i.        Mengunakan upaya hukum. (Arif Gosista:2004:261).
Menurut arif Gosita (2004: 41), manfaat dan tinjauan viktimologi adalah untuk meringan kan kepedihan dan penderitaan manusia didunia. Penderitaan dalam arti menjadi korban jangka pendek dan jangka panjang yang berupa kerugian fisik, mental, maupun moral, sosial, ekonomis, kekurangan yang hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh control sosial yang melembaga, seperti penegak hukum, penuntut umum, pengadilan, petugas probation, pembina, pemasyarakatan dan sebagainya.
Korban kekerasan. Seperti telah dikemukakan sebelunya, maka bentuk perwujudan tindak kekerasan meliputi perbuatan-perbuatan penganiayaan ringan/berat, memeksa orang melakukan suatu yang melanggar hukum, membuat orang pingsan, perkosaan dan sebaginya.
Manfaat dan tujuan viktimologi adalah untuk meringankan kepedihan dan penderitaan manusia didunia. Penderitaan dalam arti menjadi korban jangka pendek dan jangka panjang yang berupa kerugian fisik, mental maupun moral, sosial, ekonomis, kerugian yang hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol sosial yang melembaga, seperti penegak hukum, penuntut umum, pengadilan, petugas, pembina, pemasyarakatan, dan sebagainya. Korban kekerasan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya ringan/berat, memaksa orang melakukan sesuatu yang melanggar hukum, membuat orang pingsan, perkosaan dan sebagainya. (Arif Gosita :2004;41).
B.        Kerangka Pemikiran
Menurut Suriasumantri (dalam Sugiyono,1986: 60), kerangka pemikiran ini merupakan penjelasan sementara terhadap gejala-gejala yang menjadi objek permasalahan. Kriteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan sesama ilmuan, adalah aluran-aluran pikiran yang logis dalam membangun suatu kerangka berfikir yang membuahkan kesimpulan yang berupa hipotesis. Jadi kerangka berfikir merupakan sintesa temtang hubungan antara variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah di deskripsikan. Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan tersebut, selanjutnya dianalisis secara kritis dan sitematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antara variabel yang diteliti.
Kerangka pemikiran ialah menjelaskan sementara terhadap gejala yang terjadi objek permasalahan kita. Kerangka berpikir disusun berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan. Kerangka berpikir merupakan argumentasi kita dalam merumuskan hipotesis maka argumen kerangka berpikir menggunakan logika deduktif (untuk metode kualitatif) dengan memakai pengetahuan ilmiah sebagai prinsip-prinsip dasarnya. Kerangka pemikiran adalah buatan kita sendiri (bukan buatan orang lain) yaitu cara kita berargumentasi dalam merumuskan hipotesis. Argumentasi itu harus analisis, sistematis, dan mengunakan teori yang relevan (dalam Husani Usman, 2008:34).
Untuk lebih jelas penulis menggambarkan tentang kejahatan dengan kekerasan terhadap anak dalam variabel penelitian dengan teori yang dijadikan indikator yang akan disimpulkan dalam kerangka pemikiran sebagai mana yang digambarkan, guna bisa memahami dan menjelaskan masalah kejahatan-kejahatan kekerasan secara faktor-faktor yang dipandang berpengaruh terhadapnya, maka dibawah ini disajikan suatu struktur yang merupakan bangunan analisa kejahatan-kejahatan kekerasan sebagai berikut,
 Tabel II . Gambaran kerangka pemikiran
Anak yang melakukan penjambretan
Faktor penyebab prilaku menyimpang


Faktor internal

Faktor eksternal
a.   Frustasi negatif
b.   Gangguan tanggapan dan pengamatan
c.   Gangguan berfikir
d.  Gangguan emosional

a.lingkungan keluarga
b.lingkungan sekolah
c.lingkungan sosial masyarakat
Modifikasi penulis 2014

C.    Konsep Operasional
Konsep merupakan defenisi yang digunakan untuk menganbarkan secara abstrak suatau fenomena sosial atau alami. Konsep memiliki tingkat generalisasi yang berbeda-beda. Semakin dekat konsep kepada realiti, maka semakin dekat pula konsep itu diukur ( Masri Singaribu dan Sofian Effendi, 1989:17).
Untuk menjelaskan konsep teoritis yang telah dicantumkan, serta untuk memperjelaskan pengertian-pengertiannya dari beberapa konsep yang berhubungan lansung dengan penelitian ini baik variabel maupun indikatornya, maka penulis mencoba dalam mengoperasionalkan konsep tersebut supaya dapat mempermudahkan dalam pemahaman penelitian ini, langkah-langkahnya sebagai berikut:
  1. Menurut KUHP pasal 330 (1) anak adalah mereka yang belum genap berusia 21 tahun atau belum menikah.
  2. Menurut UU perlindungan anak NO. 23 tahun 2002 pasal 1 (1)anak adalah seseorang yang belum belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang dalam kandungan.
  3. Kejahatan adalah sebagai pola tingkah laku yang merugikan masyarakat baik secara fisik maupun materi, baik yang di rumuskan dalam hukum maupun tidak.
  4. Sudut pandang  sosiologi, kejahatan merupakan salah satu perbuatan yang anti sosial dan moral serta tidak dikehendaki oleh masyarakat, merugikan, menjengkelkan,sehingga tidak boleh dibiarkan dan secara sadar harus ditentan.(Dermawan,2000:24).  
  5. Pencurian/jambret adalah merenggut atau merebut barang milik orang lain yang sedang dipakai atau dibawanya, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
  6. Dilihat dari segi Kriminologi, kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi, yaitu yang mencakup perbuatan anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum diatur atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana (Yesmil, 2010:15).
  7. Perilaku menyimpang adalah pola sikap dan tindakan individu/kelompok yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat
8.      Pencegahan Kejahatan adalah usaha yang terkoordinir yang bertujuan untuk mencegah agar tingkah laku kriminal tidak benar-benar muncul, atau merupakan usaha untuk menekan tingkat kejahatan sampai pada tingkat minimal sehingga dapat menghindari intervensi polisi.
  1. Korban yang dimaksud disini adalah  pihak yang menerima dampak dari suatu perbuatan pihak lain, akibatnya yang bersangkutan mengalami  penderitaan atau  kerugian baik secara pisik, psikis maupun materi.
  2. Kesempatan yang dimaksud disini adalah suatu keadaan atau situasi yang longgar dan memungkinkan bagi pelaku untuk melakukan kejahatan, atas kelemahan dalam sistem penjagaan daerah oleh aparat  maupun dari sisi kelemahan korban sendiri, sehingga merangsang munculnya niat untuk melakukan kejahatan oleh pelaku.
  3. Adanya sasaran yang tepat adalah suatu pilihan atau kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan yang dikategorikan sebagai berikut : adanya orang yang mudah diperdaya dengan cara yang bermacam cara.


D.    Oprasional Variabel
Dari uraian konsep operasional diatas, maka penulis mencoba menggambarkan kedalam sebuah table operasional variabel untuk menjelaskan suatu permasalahan kajian tentang tindak pidana penjambretan yang diakukan oleh anak di bawah umur  sebagai berikut:
Tabel  III.  Operasi Variabel Tentang Tinjauan Kriminologi Terhadap kasus penjambretan yang dilakukan oleh Anak Di bawah umur.

Konsep
Variael
Indikator
Item penelitian
Pelaku menyimpang adalah tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat / populasi (kartini kartono, 2005: 1)
Pelaku penjambretan yang dilakukan oleh anak di bawah umur
Faktor internal





Faktor ekternal
a.Frustasi negative
b.Gangguan tanggapan dan pengamatan
c.Gangguan berfikir dan intelengensi
d.Gangguan emisiona

a.lingkungan keluarga
b.lingkungan sekolah
c.lingkungan sosial masyarakat.
Sumber : Oleh Penulis 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar