BAB
II
STUDY
KEPUSTAKAAN
A.
Study kepustakaan
1. Studi Kepustakaan
Sebagai
suatu landasan dalam penelitian ini penulisan mengemukakan beberapa
konsep/teori pendukung yang bermanfaat untuk membantu penulis dalam menelaah
masalah yang dikaji menjadi tujuan penelitian.
Perlu
dijelaskan terlebih dahulu perumusan viktimologi yang akan digunakan untuk
membahas kekerasan terhadap anak dalam tilisan ini. Viktimologi adalah suatu
pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai
suatau permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (arif gosita;
2004: 38).
2. Pengertian
Kriminologi
Kriminologi berasal dari bahasa asing(Inggris) yakni Crime, yang terdiri dari dua kata, yaitu: Crimen yang berarti penjahat dan Logos yang berarti pengetahuan.
Dengan
demikian kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan
dan penjahat (Dermawan, 2000:1).
8
|
Pada
umumnya para sarjana kriminologi bersepakat bahwa yang merupakan objek
penelitian kriminologi adalah sebagai berikut:
a. Kejahatan
Kejahatan
dari sudut pandang sosiologi adalah salah satu perbuatan yang antisosial dan
amoral serta tidak terkendali oleh masyarakat, merugikan, menjengkelkan,
sehingga tidak boleh dibiarkan dans secara sadara harus ditentang. (Dermawan,
2002:24)
Menurut
Arief Gosita masalah kejahatan (kriminalitas) sebagai salah satu kenyataan
sosial tidak berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dengan masalah ekonomi,
politik, dan budaya sebagai fenomena yang da dalam masyarakat dan saling
memepengaruhi satu sama lain. (Arief Gosita, 2003:2)
Dilihat
dari segi kriminologisnya, kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar
undang-undnag atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi yaitu yang mencakup
perbuatan yang anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu
belum di atur tau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. (Dalam
Kriminologi, Yesmil Anwar Adang 2010:15)
Sedangkan
menurut Suterland kejahatan yang telah di tetapkan oleh Negara sebagai
kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. (Abdussalam
2007:15)
Sutherland
dalam bukunya principles of criminology
menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling
mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan di sebut kejahatan kecuali apabila
memuat semua tujuh unsur tersebut, unsur-unsur tersebut adalah:
1. Harus
terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
2. Kerugian
tersebut harus dilarang oleh udang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam
hukum pidana
3. Harus
ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuataan yang di sengaja atau
sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan.
4. Harus
ada maksud jahat.
5. harus
ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian
diantara maksud jahat dengan perbuatan.
6. Harus
ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang dengan perbuatan yang sengaja
atas keinginan diri sendiri.
7. Harus
ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.
b.
Pelaku
Pelaku
atau penjahat adalah seorang atau sekelompok orang yang mlakukan perbuatan anti
sosial walaupun belum atau tidak diatur oleh hukum undang-undang atau hukum
pidana. Dalam arti sempit, pelaku atau penjahat adalah seseorang yang melakuakn
pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu ditangkap, dituntut, dan
dibuktikan kesalahannnya didepan pengadilan, serta kemudian dijatuhkan hukuman.
(Yesmil Anwar Adang 2010:15)
Dalam
konteks yang luas pelaku atau penjahat adalah seseorang yang telah melanggar
undang-undang,akan tetapi juga mereka yang bersikap anti sosial.
c.
Korban
Korban
kejahatan merupakan objek penelitian kriminlogi yang tidak dapat dilepaskan
dari gejala kejahatan. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kejahatan pasti
akan ada korbannya, baik orang lain maupun diri sendiri.
Korban
kejahatan adalah pihak yang menanggung kesalahan dalam terjadinya kejahatan
atau orang yang menderita akibat suatu peristiwa kejahatan. (Yesmil Anwar Adang
2010:15)
Ketika
menjadi korban kejahatan, seseorang akan krisis dalam hal fisik,finansial,
sosial dan psikologis. Berat ringannya krisis tersebut bergantung pada bagian
pada setiap orang yang semula tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan.
Berhubungan adanya kesempatan atau peluang yang diberikan oleh korban
kejahatan, maka kepada orang yang semula tidak ada niat untuk melakukan
kejahatan, akhirnya orang tersebut melakukan kejahatan karena adanya kesempatan
atau peluang dari korban.
d. Reaksi
Sosial
Reaksi sosial adalah
tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul
dimasyarakat luas, tetap juga undang-undang yang belum mengaturnya.(Abdussalam
2007:18)
Reaksi
masyarakat terhadap pelaku kejahatan terhadap semua jenis kejahatan. Reaksi
masyarakat terhadap korban kejahatan baik bagi pengaman diri korban, lingkungan
yang memberikan kesempatan atau peluang 6. harus ada hubungan sebab akibat
diantara kerugian yang di larang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja
atau keinginan sendiri..
3.
Konsep
Aktivitas Rutin
Dalam
teori aktivitas rutin oleh Felson 1987, ada tiga elemen yang dapat memepengaruhi
kemudahan munculnya kejahatan diantaranya: motivasi pribadi, adanya sasaran yang tepat,
tidak terdapatnya sistem penjagaan yang efektif(Darmawan, 1994:69) diantaranya:
a. motivasi pribadi
Menurut
Noach dalam (Arrasjid, 1988:69) kejahatan yang dilakukan merupakan
dorongan-dororngan pribadi yang menjadikan kejahatan sebagai sumber utama dalam
pencapaian tujuan tanpa alasan-alasan dan sebab apapun. Kondisi seperti ini
merupakan pelaku yang memang mempunyai bakat melakuakn kejahatan bawaan sejak
lahir/born crime.
b. Adanya sasaran yang tepat
Dalam
keadaan ini, menurut Noach dalam (Arrasjid, 1988:69), kesempatan merupakan
faktor yang menentukan bagi pelaku kejahatan untuk pelaku kejahatan untuk
melakukan penjambretan, dalam hal ini adakalanya karena terdesaknya oleh
kebutuhan hidup, dan adakalanya karena kebiasaan.
Sehubungan
dengan itu, Gosita (2004:105), mengatakan: Situasi atau kondisi yang ada pada
diri si korbanlah yang kemudian merangang, mendorong pihak lain melakukan
kejahatan, karena kerap kali antara pihak pelaku dan pihak korban tidak
terdapat hubungan terlebih dahulu. Situasi dan kondisi tersebut antara lain
berkaitan dengan kelemahan fisik, dan mental pihak korban: mereka yang berusia
tua atau anak-anak juga wanita, yang cacat tubuh atau jiwa sebab secara kodrati
mereka rentan menjadi korban, tatkala keberadaan mereka lepas dari pengawasan
dan penjagaan.
c. Tidak hadirnya sistem penjagaan yang efektif
Tidak
hadirnya strategi pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh aparat maupun
masyarakat tentu memberi peluang bagi pelaku dalam melakuakn kejahatan. Pada
umumnya situasi yang memberikan kesempatan untuk dilakukannya suatu perbuatan
akan diisinya kejahatan-kejahatan yang tergolong licik dan serakah, seperti
pencurian dengan pembongkaran ditempat tinggal, pengutilan dan vandalisme, atau
juga kejahatan dengan kekerasan yang tentunya membutuhkan kesempatan yang lebih
khusus lagi. Oleh sebab itu perlu pendekatan atau langkah-langkah yang mampu
meminimalisir kesempatan dilakukan kejahatan yang bersifat situasional.
Selanjutnya
menurut Felson (Dermawan, 2000:6.11), premis dari aktifitas rutin diatas adalah
keseharian dari warga masyarakat dapat menjelaskan pola-pola vitimisasi. Dengan
demikian, cara yang paling efektif adalah mengatur penurunan dan penyaluran
hasrat-hasrat manusiawi sehingga pelaku kejahatan dan target kejahatan jarang
bertemu didaerah yang tidak ada penjagaanya.
4.
Konsep
Prilaku meyimpang
Perilaku
menyimpang mempelajari perilaku dan mereka yang dianggap sebagai pelanggar
aturan. Sedangkan kriminologi adalah studi tentang orang-orang yang melanggar
aturan-aturan resmi yang disebut hukum. Perilaku menyimpang dapat menyebabkan
terancamnya kehidupan sosial, karena tatanan sistem yang sudah ada dapat tidak
berjalan sebagaimana mestinya karena ada individu yang tidak dapat menjalankan
tugasnya dalam sistem masyarakat .
Dalam menjelaskan penyimpangan menurut
(Lemert dalam Mustofa 2007:87), satu peristiwa pelanggaran dan reaksi yang
diberikan kepada remaja tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa orang tersebut
adalah penyimpang. Seseorang untuk menjadi penyimpang harus terdapat serangkaian
tindakan, sejumlah reaksi dan sejumlah kontra-reaksi sebelum mereka dikatakan penyimpang atau
jahat.
Sosialisasi adalah proses belajar yang dilakukan oleh
seseorang (individu) untuk berbuat atau bertingkah laku berdasarkan patokan
yang terdapat dan diakui dalam masyarakat. Jika sosialisasi dipandang dari
sudut pandang masyarakat, maka sosialisasi dimasukkan sebagai usaha memasukkan
nilai-nilai kebudayaan terhadap individu sehingga individu tersebut menjadi
bagian dari masyarakat (Abdulsyani, 1999:2).
Sementara norma sosial adalah serangkaian peraturan umum,
baik tertulis maupun tidak tertulis. Mengenai tingkah laku atau perbuatan
manusia yang menurut penilaian anggota sekelompok masyarakat sebagai sesuatu
yang pantas atau tidak pantas (Abdulsyani, 1999:2).
Pada tindakan pertama atau serangkaian
tindakan awal, dapat terjadi pengingkaran atau penolakan untuk menganggap bahwa
tindakan yang di lakukan tersebut adalah wajar-wajar saja. Yang merupakan
penyebab dari tindakan-tindakan yang masih dalam kategori penyimpangan primer,
karena kurangnya sosialisasi, nilai-nilai sosialisai penyimpangan (Lemert
dalam Mustofa 2007:87).
Faktor
penyebab kenakalan remaja
Menurut
kartono (2007) factor penyebab kenakalan remaja dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu:
a.
Fakktor internal
Adapun factor penyebab kenakalan
remaja yang datang dari dirinya adalah:
1. Frustasi
negatif yaitu mekanisme pelarian dan pembelaan yang salah, lewat cara-cara
penyelesaian yang tidak rasional. Anak mencaba membela diri dan kelemahan dan
kekerdilan sendiri dengan menggunakan macam-macam dahlil, reaksi dan prilaku
yang tidak wajar.
2. Gangguan
tanggapan dan pengamatan pada remaja pengolahan yang keliru dan salah atas
kenyataan yang ada sehingga timbul interprestasi yang keliru dan salah akibat
jauhnya remaja menjadi agresif menghadapi tekanan-tekanan dan bahaya yang
timbul sehingga anak menjadi liar cepat marah dan cepat menyerang.
3. Gangguan
berfikir dan itelijensi pada diri kalangan remaja orang dewasa jiwanya
terganggu akan memperalat fikiranvya untuk membela dan membenarkan
gambaran-gambaran semu dan tanggapan-tanggapan salah. Akibat reaksi dan tingkah
laku anak menjadi salah, bisa liar dan selalu mencari jalan kekerasan.
4. Gangguan
emosional atau perasaan pada remaja jika
keinginan dan kebutuhan tidak terpenuhi maka remaja akan cendrung frustasi,
yang bisa disebabkan oleh perlakuan orang tua yang sejak kecil tidak adil, tak
pernah mendapatkan kasih saying dari orang tuanya, Kelembutan, perhatian dan
kebaikan. Sebagai akibat jauhnya anak melakukan reaksi over, gemar berkelahi
serta selalu cendrung pada kekerasan.
Proses
internalisasi yang keliru lebih lanjud di terangkan oleh kartini kartono adalah: Dalam bentuk ketidak mampuan mereka
melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya, dengan kata lain mereka
melakukan mekanisme pelarian diri dan pembelaan diri yang salah atau tidak
rasional dalam wujud : kebiasaan
agresif, pelanggaran terhadap
norma baik social maupun hukum yang diwujudkan dalam bentuk kejahatan, kekerasan
kebiasan berkelahian massal dan sebagainya.
Dalam
teori psikogenis kartini kartono menerangkan sebagai berikut: sebab tingkah
laku atau perbuatan melanggar hukum anak-anak atau remaja dari aspek psikologis
atau isi kejiwaannya. Antara lain dipengaruhi oleh faktor intergelensi, ciri
kepribadian, motifasi, konflik batin, rasional yang kontroversial dan
lain-lain.
Maka
jelaslah dari beberapa pendapat ahli tersebut bahwa kenakalan remaja juga
datang dari dalam diri, mereka mempratekkan konflik batinnya untuk mengurangi
beban-beban yang meraka rasakan dari dalam jiwa lewat tingkah laku yang
agresif, implusif, dan primitive. Karena itu kejahatan mereka berkaitan dengan
temperamen, konstitusi, jiwa, yang semrawud, konflik batin dan frutasi yang
akhirnya ditampilkan secara sepontan. Dari pendapat kartini kartono menjelaskan
keadaan psikologis remaja yang mengalami kegoncangan di bawah usia 21 tahun
yang banyak melakukan kenakalan remaja(Kartono, 2007:8).
b. Faktor
eksternal
Kartini
Kartono berpendapat bahwa factor eksternal adanya tindak kenakalan remaja
adalah semua perangsang dan pengaruh dari luar yang menimbulkan tingkah laku
tertentu pada anak-anak remaja (Kartono, 2007:111). Faktor ini disebut pula
faktor sosial yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat.
1)
Lingkungan keluarga.
Diantara
kemungkinan-kemungkinan yang dapat menimbulkan kenakalan remaja yang datangnya
dari lingkungan keluarga adalah :
a. Kurang
pengertian orang tua tentang pendidikan. Cara mendidik yang salah banyak
membawa akibat yang negatife bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian
remaja.
b. Kurangnya
pendidikan agama, pendidikan agama yang intensif diberikan remaja sejak
kecil sehingga dapat dijadikan benteng
moral yang kokoh sebagai filter dari pengaruh-pengaruh negatife dan liar.
c. Keadaan
ekonomi, keadaan ekonomi yang tinggi maupun yang rendah dapat menyebabkan
remaja menjadi nakal, pada keluarga yang berekonomi tinggi, karena orang tua
selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan luarnya bahkan terlalu asik mengejar
materi sedangkan di kalangan ekonomi rendah bisa terjadi akibat terlalu sibuk mencari nafkah tambahan
sehingga lupa menyediakan waktu untuk keperluan pendidikan anaknya.
2)
Lingkungan sekolah. Meskipun sekolah
merupakan lembaga pendidikan dimana situasinya berisikan pendidian, namun tidak
jarang menimbulkan kenakalan, karena sekolah merupakan tempat berkumpulkannya
dan barinteraksinya antara anak remaja yang berbeda sehubungan dengan ini
sudarsono (1990: 130) menjelaskan bahwa: proses pendidikan yang kurang
menguntungkan, anak dalam berkembang jiwanya kerap kali memberikan pengaruh
langsung atau tidak langsung terhadap peserta didik disekolah sehingga dapat
menimbulkan kenakalan remaja.
3)
Lingkungan sosial Masyarakat
Menurut zakiyah
Darajat (1986) apa bila golongan tua
atau dewasa dalam masyarakat mempunyai satu pendirian yang tetap yaitu
anak-anak harus tunduk dan patuh pada
peraturan-peraturan, terhadap kebiasaan yang turun temurun tanpa boleh
mengajukan bantahan dan pertanyaan, maka anak-anak akan merasa bahwa orang tua dan
orang dewasa tidak memahami dan tidak menghargai mereka. Akibatnya mereka akan
mempertahankan diri terhadap perlakuan masyarakatyang kurang menyenangkan diri
terhada perlakuan masyarakat yang kurang menyenangkan itu, bahkan mereka akan
selalu berusaha meneliti dan menyelidiki kesalahan-kesalahan orang tua dan
orang dewasa sebagai balasan terhadap perlakuan mereka. Akan hilanglah penghargaan mereka kepada
orang tua orang dewasa bukan karena kedurhakaan mereka, ataupun keburukan budi
pekerti mereka, akan tetapi sebagai akibat kurang mempunyai kemampuan mereka
mennerima dan memahami tindakan orang tua ynng menunjukan kurang pengertian dan
penghargaan kepadanya atau timbulah yang dinamakan kenakalan anak-anak remaja.
Dalam
kenyataannya anak dari kalangan miskin, memiliki rendah diri dalam masyarakat
sehingga anak tersebut melakukan perbuatan melawan hukum terhadap milik orang
lain. Terlihat adanya kompensasi dari remaja tersebut untuk hidup samadengan
orang kaya( sudarsono, 1991: 131).
5. Konsep Viktimologi
Perlu
dijelaskan terlebih dahulu perumusan viktimologi yang akan digunakan untuk
membahas masalah pelantaran terhadap anak dalam penulisan ini. Viktimologi
adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi
(kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan
sosial. (Arif Gosista: 2004 ;38).
Berikut
ini Tongat ( 2003:72-75 ), menjelaskan unsur-unsur tersebut di atas:
1. Mengaku
sebagai milik sendiri
Unsur memiliki dalam rumusan pasal ini merupakan terjemahan
dari Zich toeeigenen sebenarnya memiliki makna yang luas dari sekedar
memiliki. Oleh beberapa sarjana istilah tersebut disebut dengan
menguasai.
2. Sesuatu
barang
Makna barang sekarang ini telah mengalami perkembangan yang
pada awalnya merujuk pada pengertian barang atau benda bergerak dan berwujud
misalnya, radio, televisi, uang dan lain sebagainya termasuk binatang,
yang dalam perkembangannya pengertian barang atau benda tidak hanya terbatas
pada benda bergerak atau tidak berwujud.
3. Seluruh
atau sebagian adalah milik orang lain
Unsur ini mengandung pengertian bahwa benda yang diambil
haruslah barang/benda yang dimiliki baik seluruhnya ataupun sebagian oleh orang
lain. Jadi harus ada pemiliknya, barang atau benda yang tidak bertuan atau
tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.
Dengan demikian dalam tindak pidana pencurian, tidak
dipersyaratkan barang yang dicuri itu milik orang lain secara keseluruhan.
pencurian tetap ada meskipun itu hanya sebagian yang dimiliki oleh orang lain.
4. Berada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan
Hal pertama yang harus dibahas dalam ini adalah maksud dari
menguasai. Dalam tindak pidana pencurian, menguasai termasuk sebagai unsur
subjektif sedangkan dalam pencurian, hal ini termasuk unsur objektif. Dalam
pencurian, menguasai merupakan tujuan dari pelakunya sehingga unsur menguasai
tidak perlu terlaksana pada saat perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini, maksud
pelakulah yang harus dibuktikan. Sedangkan dalam pencurian, menguasai bukan
merupakan tujuan pelaku sehingga perbuatan menguasai dalam pencurian harus ada
pada pelaku.
Dalam tindak pidana penggelapan, perbuatan menguasai bukan
karena kejahatan, bukan merupakan ciri pokok. Unsur ini merupakan pembeda
dengan pidana pencurian.
5. Secara melawan
hukum
Sebagaimana diketahui bahwa suatu barang dapat berada dalam
kekuasaan orang, tidaklah harus terkena tindak pidana. Penguasaan barang oleh
seseorang dapat terjadi karena perjanjian sewa-menyewa, jual beli, pinjam -
meminjam dan sebagainya.
Apabila suatu barang berada dalam kekuasaan orang bukan
karena kejahatan tetapi karena perbuatan yang sah, kemudian orang yang diberi
kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk
kepentingan diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti
melakukan penggelapan.
6. Dengan maksud
Unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana dirumuskan
dengan berbagai istilah, termasuk di dalamnya dengan maksud. Persoalannya
apakah kesengajaan atau maksud itu ditujukan pada seseorang. Dalam hal ini
kesengajaan atau maksud itu ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain.
Sejak
awal perkembanganya, dalam dunia kriminologi masalah peran dan kedudukan korban
kejahatan bagi timbulnya kejahatan ini disadari. Tetapi penelitian sistematis
terhadap korban kejahatan secara serius baru dilakukan pada tahun 1940-an.
Dengan dimulainya penelitian sistematis terhadap korban kejahatan, maka
penelitian kriminologi terhadap gejala kejahatan dapat dilakukan menjadi lebih
ojektif dan memperoleh keseimbangan mempelajaran. Usaha untuk mempelajari
korban secara sistematis kemudian dikenal sebagai viktimologi (korban), yaitu ilmu pengetahuan ilmiah yang
mempelajari kedudukan dan peranan korban kejahatan dalam hukum dam masyarakat.
Melelui viktimologi (korban) maka penelitian
kejahatan dalam kriminologi yang selalu cenderung berpusat pada masalah hukum
yang telah semakin luas wawasan dan melihat gejala kejahatan sebagai masalah
yang kompleks yang menyangkut aspek sosial, budaya, politik, ekonomi masyarakat
dan berkaitan dengan masalah emosional, rasional. (Muhammad Mustofa;2007;29)
Beberapa
kriminologi mempertanyakan kehendak dari teori aktifitas rutin. Menurut Miethe,
Stafford dan long,(bambang waluyo; 2011,42), mengatakan kita mempertahankan teori
aktifitas rutin. Maka kita tidak dapat menjelaskan viktimisasi dari kejahatan kekerasan. Kejahatan kekerasan sering
kali bersifat ekspresif, irasional dan menuntut pertengkaran antara pelaku dan
korbanya. Para peneliti menemukan data bahwa, bagai manapun juga,
variabel-variabel yang mengukur dampak dari aktivitas rutin tidak menjelaskan
resiko viktimisasi (korban) kejahatan
kekerasan bagi kelompok-kelompok yang berkarateristik seperti itu adalah
kelompok yang sering kali menghabiskan waktunya di luar rumah.
Korban kekerasan seperti telah dilakukan sebelumnya,
maka perwujudan tindak kekerasan meliputi tindak perbuatan-perbuatan
penganiayaan ringan/berat, memaksa orang melakukan sesuatu yang melangar hukum,
membuat orang pingsan perkosa dan sebagainya. (Arif Gosita:2004;45)
Menurut
“perserikatan bangsa-bangsa, 1985”,(dalam arif gosita, 2004: 44), yang dimasuk
dengan korban (victim) adalah
oarng-orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan,
meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis
ataupun pengurangan substansial hak-hak asasi, meliputi perbuatan-perbuatan
atau pembiaran-pembiaran (emissions)
yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota, yang
meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalah gunaan kekuasaan.
Berikut
ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak, antara lain;
1.
Dampak kekerasan fisik, anak yang
mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan
setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua
agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi
orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan
bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang
diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung
berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap
anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal
dunia.
2.
Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986)
mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan
penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping
mechanism) seperti bulimia nervosa
(memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan
memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar
di identifikasi atau diagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata
seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang
tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa
percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri
dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh
diri.
3.
Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang
paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan
kasih sayang orang tua terhadap anak,
Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua
menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku
akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang
akan datang.
4.
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya
(dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan
menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam
pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan
lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk
keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
Pada
tanggal 23 juli 1986, Presiden RI telah mencanangkan Desawara Anak Indonesia
1986-1996, yang merupakan refleksi dan respons positif terhadap permasalahan
anak yang kurang memuaskan. Konvensi tentang hak-hak anak serta deklarasi
mengenai kelangsungan hidup, perlindungan dan pengembangan anak New York 30 Desember 1990, telah di
tanda tangani oleh indonesia.(Arif Gosita;2004;256)
Ada
beberapa pengertian anak korban kejahatan, sebagai berikut:
1. Pengertian
anak adalah mereka berusia 0-21 tahun atau belum pernah kawin. Dengan demikian,
anak sudah dilindungi sejak dari dalam kandungan.
2. Yang
dimaksud dengan anak korban kejahatan adalah anak-anak yang menderita mental,
fisik, sosial, akibat perbuatan tindak pidana oleh orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri, yang bertentangan dengan hak dan kewajiban pihak
korban. Misalnya: menjadi korban, perkosaan dan sebagainya oleh ibu dan
bapaknya, saudaranya, angota masyarakat di sekitarnya.
3. Pelayanan
antara anak korban kejahatan adalah sesuatu kegiatan pelayanan mental, fisik
dan sosial terhadap anak-anak yang telah menjadi korban tindak pidana seseorang
dan mengalami penderitaan mental, fisik, dan sosial.
Hasil
interaksi dalam pelayanan anak korban kejahatan sebenarnya dapat juga
dirumuskan sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya sesuatu interaksi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Yang penting sekarang adalah mencari
dan memahami gejala (fenomena) mana saja yang mempunyai pengaruh atas adanya
(eksitensi) pelayanan terhadap anak korban kejahatan tersebut. (Arif gosita
2004;260)
Anak
calon korban atau anak yang ditelantarkan oleh orang tua dan yang telah menjadi
korban, perlu dibantu dan mendapatkan perlindungan baik mental, maupun fisik
dan sosial yang terjadi di indonesia.
Faktor-faktor
yang mendapat dukungan pengembangan pelayanan tehadap anak korban kejahatan:
a.
Keinginan untuk mengembangkan perlakuan
adil terhadap anak dan peningkatan kesejahteraan anak.
b.
Hukum kesejahteraan yang dapat mendukung
pelaksanaan pelayanan terhadap anak korban kejahatan.
c.
Sarana yang dapat dimanfaatkan untuk
melaksanakan pelayanan terhadap anak korban kejahatan. (Arif Gosita; 2004; 66)
Hak
dan kewajiban anak korban kejahatan, bahwa seseorang yang menjadi korban
kejahatan mempunyai berbagi hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai
dengan kemampuan yang berkaitan dengan usia.
Hak-hak
anak yang menjadi korban pembuatan kriminal, sebagai berikut:
a.
Mendapat bantuan fisik (pertolongan
pertama kesehatan, pakaian, pangan).
b.
Mendapat bantuan penyelesaian
permasalahan (melapor, nasihat hukum dan pembelaan).
c.
Mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
d.
Mendapat kembali hak miliknya.
e.
Menolak menjadi saksi, bila hal ini akan
membahayakan dirinya.
f.
Memperoleh perlindungan dari ancaman
pihak pembuat korban bila melapor atau menjadi saksi.
g.
Memperoleh ganti kerugian (restitusi,
konpensasi) dari pihak pelaku (sesuai kemampuan) atau pihak lain yang
bersangkutan demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.
h.
Menolak ganti kerugian demi kepentingan
bersama.
i.
Mengunakan upaya hukum. (Arif
Gosista:2004:261).
Menurut
arif Gosita (2004: 41), manfaat dan tinjauan viktimologi adalah untuk meringan
kan kepedihan dan penderitaan manusia didunia. Penderitaan dalam arti menjadi
korban jangka pendek dan jangka panjang yang berupa kerugian fisik, mental,
maupun moral, sosial, ekonomis, kekurangan yang hampir sama sekali dilupakan,
diabaikan oleh control sosial yang
melembaga, seperti penegak hukum, penuntut umum, pengadilan, petugas probation,
pembina, pemasyarakatan dan sebagainya.
Korban
kekerasan. Seperti telah dikemukakan sebelunya, maka bentuk perwujudan tindak
kekerasan meliputi perbuatan-perbuatan penganiayaan ringan/berat, memeksa orang
melakukan suatu yang melanggar hukum, membuat orang pingsan, perkosaan dan
sebaginya.
Manfaat
dan tujuan viktimologi adalah untuk meringankan kepedihan dan penderitaan
manusia didunia. Penderitaan dalam arti menjadi korban jangka pendek dan jangka
panjang yang berupa kerugian fisik, mental maupun moral, sosial, ekonomis,
kerugian yang hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol sosial yang
melembaga, seperti penegak hukum, penuntut umum, pengadilan, petugas, pembina,
pemasyarakatan, dan sebagainya. Korban kekerasan seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya ringan/berat, memaksa orang melakukan sesuatu yang melanggar hukum,
membuat orang pingsan, perkosaan dan sebagainya. (Arif Gosita :2004;41).
B.
Kerangka
Pemikiran
Menurut
Suriasumantri (dalam Sugiyono,1986: 60), kerangka pemikiran ini merupakan
penjelasan sementara terhadap gejala-gejala yang menjadi objek permasalahan.
Kriteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan sesama ilmuan,
adalah aluran-aluran pikiran yang logis dalam membangun suatu kerangka berfikir
yang membuahkan kesimpulan yang berupa hipotesis. Jadi kerangka berfikir
merupakan sintesa temtang hubungan antara variabel yang disusun dari berbagai
teori yang telah di deskripsikan. Berdasarkan teori-teori yang telah
dideskripsikan tersebut, selanjutnya dianalisis secara kritis dan sitematis,
sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antara variabel yang diteliti.
Kerangka
pemikiran ialah menjelaskan sementara terhadap gejala yang terjadi objek
permasalahan kita. Kerangka berpikir disusun berdasarkan tinjauan pustaka dan
hasil penelitian yang relevan. Kerangka berpikir merupakan argumentasi kita
dalam merumuskan hipotesis maka argumen kerangka berpikir menggunakan logika
deduktif (untuk metode kualitatif) dengan memakai pengetahuan ilmiah sebagai
prinsip-prinsip dasarnya. Kerangka pemikiran adalah buatan kita sendiri (bukan
buatan orang lain) yaitu cara kita berargumentasi dalam merumuskan hipotesis.
Argumentasi itu harus analisis, sistematis, dan mengunakan teori yang relevan
(dalam Husani Usman, 2008:34).
Untuk
lebih jelas penulis menggambarkan tentang kejahatan dengan kekerasan terhadap
anak dalam variabel penelitian dengan teori yang dijadikan indikator yang akan
disimpulkan dalam kerangka pemikiran sebagai mana yang digambarkan, guna bisa
memahami dan menjelaskan masalah kejahatan-kejahatan kekerasan secara
faktor-faktor yang dipandang berpengaruh terhadapnya, maka dibawah ini
disajikan suatu struktur yang merupakan bangunan analisa kejahatan-kejahatan
kekerasan sebagai berikut,
Tabel II . Gambaran kerangka pemikiran
Anak
yang melakukan penjambretan
|
Faktor
penyebab prilaku menyimpang
|
Faktor
internal
|
|
Faktor
eksternal
|
a.
Frustasi negatif
b.
Gangguan tanggapan dan pengamatan
c.
Gangguan berfikir
d. Gangguan
emosional
|
|
a.lingkungan keluarga
b.lingkungan sekolah
c.lingkungan sosial masyarakat
|
Modifikasi
penulis 2014
C.
Konsep
Operasional
Konsep
merupakan defenisi yang digunakan untuk menganbarkan secara abstrak suatau
fenomena sosial atau alami. Konsep memiliki tingkat generalisasi yang
berbeda-beda. Semakin dekat konsep kepada realiti, maka semakin dekat pula
konsep itu diukur ( Masri Singaribu dan Sofian Effendi, 1989:17).
Untuk
menjelaskan konsep teoritis yang telah dicantumkan, serta untuk memperjelaskan
pengertian-pengertiannya dari beberapa konsep yang berhubungan lansung dengan
penelitian ini baik variabel maupun indikatornya, maka penulis mencoba dalam
mengoperasionalkan konsep tersebut supaya dapat mempermudahkan dalam pemahaman
penelitian ini, langkah-langkahnya sebagai berikut:
- Menurut KUHP pasal 330 (1) anak adalah mereka yang belum genap berusia 21 tahun atau belum menikah.
- Menurut UU perlindungan anak NO. 23 tahun 2002 pasal 1 (1)anak adalah seseorang yang belum belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang dalam kandungan.
- Kejahatan adalah sebagai pola tingkah laku yang merugikan masyarakat baik secara fisik maupun materi, baik yang di rumuskan dalam hukum maupun tidak.
- Sudut pandang sosiologi, kejahatan merupakan salah satu perbuatan yang anti sosial dan moral serta tidak dikehendaki oleh masyarakat, merugikan, menjengkelkan,sehingga tidak boleh dibiarkan dan secara sadar harus ditentan.(Dermawan,2000:24).
- Pencurian/jambret adalah merenggut atau merebut barang milik orang lain yang sedang dipakai atau dibawanya, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
- Dilihat dari segi Kriminologi, kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi, yaitu yang mencakup perbuatan anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum diatur atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana (Yesmil, 2010:15).
- Perilaku menyimpang adalah pola sikap dan tindakan individu/kelompok yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat
8. Pencegahan
Kejahatan adalah usaha yang terkoordinir yang bertujuan untuk mencegah agar
tingkah laku kriminal tidak benar-benar muncul, atau merupakan usaha untuk
menekan tingkat kejahatan sampai pada tingkat minimal sehingga dapat
menghindari intervensi polisi.
- Korban yang dimaksud disini adalah pihak yang menerima dampak dari suatu perbuatan pihak lain, akibatnya yang bersangkutan mengalami penderitaan atau kerugian baik secara pisik, psikis maupun materi.
- Kesempatan yang dimaksud disini adalah suatu keadaan atau situasi yang longgar dan memungkinkan bagi pelaku untuk melakukan kejahatan, atas kelemahan dalam sistem penjagaan daerah oleh aparat maupun dari sisi kelemahan korban sendiri, sehingga merangsang munculnya niat untuk melakukan kejahatan oleh pelaku.
- Adanya sasaran yang tepat adalah suatu pilihan atau kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan yang dikategorikan sebagai berikut : adanya orang yang mudah diperdaya dengan cara yang bermacam cara.
D.
Oprasional
Variabel
Dari
uraian konsep operasional diatas, maka penulis mencoba menggambarkan kedalam
sebuah table operasional variabel untuk menjelaskan suatu permasalahan kajian
tentang tindak pidana penjambretan yang diakukan oleh anak di bawah umur sebagai berikut:
Tabel III. Operasi
Variabel Tentang Tinjauan Kriminologi Terhadap kasus penjambretan yang
dilakukan oleh Anak Di bawah umur.
Konsep
|
Variael
|
Indikator
|
Item penelitian
|
Pelaku menyimpang
adalah tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri
karakteristik rata-rata dari rakyat / populasi (kartini kartono, 2005: 1)
|
Pelaku penjambretan
yang dilakukan oleh anak di bawah umur
|
Faktor internal
Faktor ekternal
|
a.Frustasi
negative
b.Gangguan
tanggapan dan pengamatan
c.Gangguan berfikir dan intelengensi
d.Gangguan emisiona
a.lingkungan keluarga
b.lingkungan sekolah
c.lingkungan sosial masyarakat.
|
Sumber : Oleh Penulis 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar