BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN
DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A.
Studi
Kepustakaan
1.
Studi
Kriminologi
Kriminologi
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi
yang pertama ditemukan oleh P. Topinard
seorang ahli Antropologi Perancis. Secara harfiah kriminologi berasal
dari kata “Crimen” yang bearti kejahatan atau penjahatdan “Logos” yang bearti
ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat bearti ilmu tentang kejahatan atau
penjahat.(Soesilo, 1983:2).
Pendapat J. Constant (dalam A.S Alam, 2010:2) kriminologi
adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menjadi
sebab musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.
Bonger (1934) mengemukakan bahwa kriminologi adalah
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari, meyelidik sebab-sebab kejahatan dan
gejala-gejala kejahatan seluas-luasnya termasuk patologi sosial.
Savitz dan John mengungkapkan bahwa Kriminologi adalah
suatu ilmu pengetahuan yang memperrgunakan metode ilmiah dalam mempelajari dan
menganalisa keteraturan, keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor sebab musabab
yang berhubungan dengan kejahatan dan penjahat serta sosial terhadap keduanya.
(Savitz, etc dalam Atmasasmita, 1987:83)
R. Soesilo (1987:3) mengemukakan bahwa kriminologi yaitu
pelajaran tentang sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai
gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan.
Kelahiran kriminologi yang diungkapkan oleh Abdussalam
(2007:1) sebagai ilmu pengetahuan, karena hukum pidana baik materil maupun
formal serta sistem penghukuman sudah tidak efektif lagi untuk mencegah dan
memberantas kejahatan. Tujuan adanya kriminologi adalah untuk mengetahui apa
sebab-sebabnya sehingga tersangka berbuat jahat. Apakah memang karena bakat
adan karakternya adalah jahat, ataukah ada dorongan lain yang menyebabkan
seseorang melakukan kejahatan.
Menurut G.P Hoefnagel definisi kriminologi adalah ilmu
yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan, sebagai
gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan,
tugas, kriminologi merupakan sasaran atau sarana untuk mengetahui sebab-sebab
kejahatan dan akibatnya mempelajari cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya
kejahatan. (dalam Kusumah, 1984)
Definisi yang diberikan B. Bosu (1987:15) yaitu,
“Kriminologi lebihmengutamakan tindakan prefentif, oleh karena itu ia selalu
mencari sebab-sebab timbulnya suatu kejahatan baik dibidang ekonomi, budaya,
hukum secara faktoralamiah. Dengan kriminologi dapat memberikan hasil yang
memuaskan.
Masalah
kriminalitas sebagai suatu kenyataan sosial tidak berdiri sendiri tetapi
berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, sosial dan budaya, berkembang sesuai
dengan zaman dan pertumbuhan penduduk. Hal ini sebagaimana diucapkan oleh Rr. J. Sahetapi, SH (1981:91) sebagai
berikut :bahwa kejahatan erat hubungannya dan bahkan menjadi sebahagian dari
budaya itu sendiri, ini berarti semakin tinggi tingkat suatu budaya dan semakin
modern suatu bangsa, semakin modern juga kejahatan itu dalam bentuk sifat dan
cara pelaksanaannya.
Sementara itu, Bonger memberi definisi tentang
kriminologi yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki
gejala kejahatan seluas-luasnya. (dalam Topo Santosa dan Eva Achjani Zulfa,
2001:9).
J. Michael dan M.J. Adler menyatakan : kriminologi adalah
segenap informasi mengenai perbuatan dan sifat penjahat, lingkungan dan keadaan
penjahat sewaktu dia diperlakukan secara formal atau tidak formal oleh para
anggota masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. (Kartini kartono,
2011:141).
Van Bemelen merumuskan kriminologi sebagai ilmu
mempelajari kejahatan, yaitu perbuatan yang merugikan dan kelakuan yang tidak
sopan sehingga menimbulkan adanya teguran dan tantangan. (H.M Ridwan dan
Ediwarman, 1994:1).
Frij merumuskan kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang
mempelajari kejahatan, bentuk, sebab, dan akibatnya. (H.M Ridwan dan Ediwarman,
1994 : 1). Berbicara tentang ruang lingkup kriminologi berarti berbicara
mengenai objek studi kriminologi. Bonger membagi kriminologi menjadi dua
bagian, yaitu:
-
Kriminologi murni, yaitu terdiri dari :
a) Antropologi kriminal, yaitu
pengetahuan tentang manusia yang jahat
(somatis). Ilmu pengetahuan inimemberikan jawaban atas pertanyaan
tentang
orang jahat, bagaimana tanda-tanda yang terdapat dalam tubuh dan
apakah antara kejahatan dan suku bangsa mempunyai hubungan.
b) Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu
gejala masyarakat. Pokok permasalahan yang dibahas dalam ilmu pengetahuan
inibatasan dimana letak
sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.
c) Psikologi kriminal, yaitu ilmu
pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut kejiwananya.
d) Psikologi dan neuro patologi kriminal,
yaituilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau saraf.
e) Penology, yaitu tentang tumbuh dan
berkembangnya suatu hukuman.
Sutherland (Topo Santoso dan Achjani Sulfa, 2001:10)
merumuskan kriminologi adalah sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan
perbuatan jahat sebagai gejala sosial. “The
body of knowledge regarding crime as as social phenomenom” bahwa
kriminologi mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum, dan
reaksi atas pelanggaran hukum.
Sedangkan kriminologi dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu :
a.
Sosiologi Hukum
Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan
suatu sanksi. Disini menyelidiki tentang sebab-sebab kejahatan dan
faktor-faktor penyebabnya (khususnya hukum pidana).
b.
Etiologi Kejahatan
Merupakan cabang ilmu kejahatan yang mencaru sebab-musahab dari kejahatan.
Dalam kriminologi, etilogi kejahatan merupakan kajian yang utama.
c.
Penologi
Pada dasarnya meruakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland
memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan
represif maupun preventif.
Menurut William III dan Marlyn Mcshane (Lilik Mulyadi,
2001:184) teori kriminologi diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu :
a.
Golongan teori abstrak atau teori-teori makro. Pada
asasnya, teori-teori ini mendeskripsikan korelasi antara kejahatan dan struktur
masyarakat.
b.
Teori-teori mikro yang bersifat lebih kongkret.
Teori ini ingin menjawab mengapa seseorang/kelompok dalam masyarakat melakukan
kejahatan atau kriminal.
c.
Beidging
theories yang tidak termasuk ke dalam aktegoru teori makro/mikro
dan mendeskripsikan tentang struktur sosial dan bagaimana seseorang menjadi
penjahat.
Selain klasifikasi di atas, William III dan Marlyn Mcshane (Lilik Mulyadi,
2001:84) juga mengklasifikasikan berbagai teori kriminologi menjadi 3 bagian
lagi yaitu :
a.
Teori Klasik dan Teori Posivitis
Asasnya, teori klasik tersebeut membahas legal statules, struktur
pemerintah dan hak asasi manusia (HAM). Teori Positivis terfokus kepada
patologikrminal, penanggulangan dan perbaikan prilaku kriminal individu.
b.
Teori Struktural dan Teori Proses
Teori Struktural terfokus kepada cara masyarakat terorganisasi dan dampak
dari tingkah laku. Teori struktural juga lazim disebut strain theories karena their
assumption that a disorganized society creates strain ehich leads to deviant
behavior”. Tegasnya, asumsi dasarnya adalah masyarakat yang menciptakan
ketegangan dan dapat mengarah penyimpangan terhadap tingkah laku, dan
menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat.
c.
Teori Konsensus
Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam masyarakat terjadi
konsensus/persetujuan sehingga terhadap nilai-nilai bersifat umum kemudian
disepakati secara bersama-sama.
-
Kriminologi terapan, yaitu terdiri dari :
a)
Higiene
kriminal, yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan,
misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan
Undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan
semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan.
b)
Politik
kriminal, yaitu usaha penanggulangan kejahatan dimana kejahatan telah terjadi. Disini
dilihat dari sebab-sebab melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh
faktor-faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan ketrampilan
atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.
c)
Kriminalistik,
yaitu ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan
kejahatan. (Topo Santosa dan Eva Achjani zulfa : 9-10).
Pengertian Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti
sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian
penderitaan. Namun,perlu diketahui kejahatan sangat berbeda dengan kenakalan. Perbedaan
dapat dilihat dari segi waktu, pelaku, maupun perbuatannya. Kejahatan lebih
kepada apa yang dilakukan oleh orang dewasa dan tidak dapat ditolerir oleh
masyarakat padaumumnya.
Menurut Bonger kejahatan dipandang dari sudut formil
(menurut hukum) merupakan suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini
Negara) diberi pidana, suatu uraian yang tidak memberi penjelasan lebih lanjut
seperti definisi-definisi yang formil umumnya. Ditinjau dari dalam sampai
intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan kesusilaan (J. E Sahetapy, dan Reksodiputro, 1982:21).
Suatu perbuatan pidanaadalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat
juga dikatakan perbuatan yang oleh satu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana, asal saja alam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan
(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu.(Moeljatno, 2002)
Selanjutnya adalah mengenai korban kejahatan, dalam
kajian kriminologi ilmu yang mempelajari mengenai korban kejahatan disebut
korban victimologi, dalam arti secara luas viktimologi merupakan ilmu
pengetahuan ilmiah yang mempelajari kedudukan dan peranan korban
kejahatan dalam peristiwa kejahatan, dalam hukum dan masyarakat.
Studi ilmiah tentang kejahatan, dan penjahat mencakup
analisa tentang (Soerjono Soekanto, 2001:10):
1.
Sifat dan luas kejahatan
2.
Sebab-sebab kejahatan
3.
Perkembangan hukum pidana dan pelaksanaan peradilan
pidana
4.
Ciri-ciri penjahat
5.
Pembinaan penjahat
6.
Pola-pola kriminalitas, dan akibat kejahatan atas
perubahan sosial
Objek kajian kriminologi secara umum menurut B.Bosu
(1986:103) yaitu Kejahatan, yaitu perbuatan yang memiliki kriteria suatu
perbuatan yang dinamakan kejahatan tentunya dipelajari dari peraturan
perundangan-undangan memuat perbuatan pidana :
1.
Penjahat.
Yaitu orang yang melakukan kejahatan. Studi terhadap pelaku atau penjahat
ini terutama dilakukan oleh aliran kriminologi positif dengan tujuan mencari
sebab-sebab kejahatan, kriminologi positif menyadarkan pada asusmis dasar bahwa
penjahat berbeda dengan orang yang bukan penjahat, dan perbedaan itu ada pada aspek
biologik, psikologis, maupun sosiokultural.
2.
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat
Studi mengenai masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk mempelajari
pandanagn serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala
yang timbul dimasyarakat dipandang sebagai sesuatu yang merugikan atau
membahayakan masyarakat luas, akan tetapi undang-undang belum mengaturnya.
Menurut Abdussalam (2010:2) kriminologi mencakup tiga hal
pokok yakni :
1.
Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making law), yang dibahas antara lain:
·
Definisi kejahatan
·
Unsur-unsur kejahatan
·
Revativitas pengertian kejahatan
·
Penggolongan kejahatan
·
Statistik kejahatan
2.
Etiologi kriminal, yang membahas teori-teori yang
menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking
of laws) yaitu :
·
Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminal
·
Teori-teori kriminal
·
Berbagai pesspektif kriminologi
3.
Reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa tindakan
represif tetapi juga reaksi terhadap ‘calon’ pelanggar hukum berupa upaya-upaya
pencegahan kejahatan (criminal prevention)
antara lain:
·
Teori penghukuman
·
Upaya-upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan,
baik berupa tindakan pre-entif, preventif, represif, dan rehabilitative.
Ada beberapa fase penyebab timbulnya satu perbuatan
jahat, antara lain :
a) Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari
hubungan antara sifat keserakahan (sifat manusia yang tidak pernah merasa cukup
atau puas) terhadap barang-barang atau apa yang telah ia dapat.
b)
Sebab-sebab
kejahatan yang timbul dari sifat-sifat yang datangnya dari luar diri manusia itu
sendiri, artinya tindakan kejahatan diluar kehendak sadar pelakunya. Dalam hal
ini, seseorang atau pelaku di anggap tidak bersalah, sebab tindakan yang
dilakukan bukan atas kemauan yang bersangkutan.
c) Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari
pengaruh iklim. Mengenai hal ini banyak yang menganggap kurang rasional, namun
hal ini perlu juga dipertimbangkan, sebab faktor iklim seperti cuaca panas
serta disertai faktor-faktor lain seperti kurang berpendidikan, moral,
tersinggung perasaan, dan sebagainya, maklam iklim dapat mempengaruhi seseorang
untuk mempertinggi kecenderungan untuk berbuat jahat.
d) Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari
sudut pandang yang sifatnya individualistis dan intelektual. Jika seseorang
melakukan kejahatan demi kesenangan sendiri dan kemudian tertangkap karena
dianggap mergikan orag lain, maka berarti apa yang dilakukan tersebut dapat
menimbulkan penderitaan pula bagi dirinya sendiri. Penderitaan yang diterimanya
itu oleh masyarakat dianggap pilihanyya sendiri sehingga
ia tak perlu dikasihani.
e) Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari
garis keturunan. Timbulnya kejahatan karena adanya bakat yang terdapat dalam
diri manusia.
f) Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari
kemiskinan atau kekurangan akan kebutuhan hidup. Hal tersebut dapat
menggambarkan awal timbulnya kehendak jahat dalam diri seseorang atas dorongan
dari keinginan untuk mendapat apa yang tidak dimilikinya atau menambah apa yang
telah dimilikinya.
g) Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari pengaruh
lingkungan. Faktor lingkungan memungkinkan mendorong manusia untuk dapat
mengembankan
diri dan kemampuannyam terutama dengan adanya kesempatan-kesempatan penipuan
terhadap masyarakat.
Ketujuh fase sebab-sebab yang memungkinkan timbulnya
kejahatan di atas merupakan proses perkembangan sosial, yang bisa ditambah
dengan ilmu teknologi dan ilmu pengetahuan,yang menunjukkan pengaruh terhadap
banyaknya perilaku menyimpang atau kriminalitas. Penyimpangan-penyimpangan itu
juga dapat disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang keliru, dan sebagainya
menimbulkan reaksi masyarakat.
Menurut Wolfgang, Savist dan Johnstodalam TheSosiologis Of Crime And Deliquency memberikan
definisi kriminologisebagaikesimpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang
bertujuan untuk memperolehpengertian dan pengertian tentang kejahatan dengan
jalan mempelajari
dan menganalisasecara alamiah keterangan-keterangan keseragaman-keseragaman,
pola-pola dan faktor-faktor, kausal yang berhubungandengan kejahatan, pelaku
kejahatan serta reaksimasyarakat terhadap keduanya.(Soesilo, 1983:13)
Jadi objek studi kriminologi meliputi :
a.
Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan
b.
Pelaku kejahatan
c.
Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap
perbuatan maupun terhadap pelakunya.
Ketiganya ini tidak dapat dipisahkan. Suatu perbuatan
baru dapat dikatakan sebagai kejahatan apabila ia mendapat reaksi dari
masyarakat.
2.
Pengertian Penipuan
Penipuan berasal dari kata tipu yang
berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan
sebagainya dengan maksud untukmenyesatkan, mengakali atau mencari keuntungan.
Tindakan penipuan merupakan suatu tindakan yang merugikan orang lain sehingga
termasuk kedalam tindakan yang dapat dikenakan hukuman pidana.
Penipuan adalah
tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan
keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak.
Rangkaian kebohongan ialah susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun demikian
rupa yang merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar (R. Sugandhi,
1980:396)
Pengertian penipuan di atas memberikan
gambaran bahwa tindakan penipuan memiliki beberapa bentuk, baik berupa
perkataan bohong atau berupa perbuatan yang dengan maksud untuk mencari
keuntungan sendiri dari orang lain. Keuntungan yang dimaksud baik berupa keuntungan
materil maupun keuntunan yang sifatnya abstrak, misalnya menjatuhkan
seseorang dari jabatannya.
Di dalam KUHP
tepatnya pada pasal 378 KUHP ditetapkan kejahatan penipuan (oplicthing) dalam bentuk umum, sedangkan
yang tercantum dalam Bab XXV buku II KUHP, memuat berbagai bentuk penipuan
terhadap harta benda yang dirumuskan dalam 20 pasal, yang masing-masing pasal
mempunyai nama-nama khusus (penipuan dalam bentuk khusus). Keseluruhan pasal pada Bab XXV ini
dikenal dengan namabedrog atau
perbuatan curang.
Dalam pasal 378 KUHP yang mengatur
sebagai berikut :Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu, baik dengan
akal dan tipu muslihat maupun dengan karangan-karangan perkataan bohong,
membujuk orang
supaya memberikan suatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang,
dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Berdasarkan unsur-unsur tidak pidana
penipuan yang terkandung dalam rumusan pasal 378 KUHP di atas, maka Solahuddin,
SH (2007 : 123-124) mengemukakan pengertian penipuan bahwa :Penipuan adalah
tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu
dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak. Rangkaian kebohongan
ialah susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun demikian rupa yang merupakan
cerita sesuatu yang seakan-akan benar.
Pengertian
penipuan sesuai pendapat tersebut diatas tampak secara jelas
bahwa yang dimaksud dengan penipuan
adalah tipu muslihat atau serangkaian perkataan bohong sehingga seseorang
merasa terpedaya karena omongan yang seakan-akan benar. Orang yang melakukan penipuan
menjelaskan atau memperlihatkan sebuah kejadian seolah-olah benar terjadi, tetapi
sesungguhnya perkataan itu adalah tidak sesuai dengan kenyataannya, karena tujuannya hanya untuk
meyakinkan orang lain (korban) yang menjadi sasarannya agar
diikuti keinginannya, dan
menggunakan nama atau
identitas palsu supaya yang bersangkutn tidak diketahui identitasnya,
begitupula dengan menggunakan kedudukan palsu agar orang yakin akan
perkataannya.. Di dalam
rumusan penipuan terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: (Andi Zainal
Abidin Farid, 1961:135)
a.
Unsur-unsur
Objektif penipuan
- Perbuatan menggerakkan (Bewegen)
adalah berasal dari kata bewegen yang berarti membujuk atau menggerakkan hati. Dalam
KUHP sendiri tidak memberikan keterangan apapun tentang istilah bewegen.Menggerakkan dapat di definisikan sebagain perbuatan
mempengaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain. Objek yang dipengaruhi
adalah kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan adalah berupa perbuatan yang
abstrak,dan akan terlihat secara konkret apabila dihubungkan dengan cara
melakukannya.
- Yang digerakkan adalah orang. Pada
umumnya orang yang menyerahkan benda, orang yang memberi hutang dan orang yang
menghapus piutang sebagai korban penipuan adalah orang yang digerakkan itu
sendiri. Tetapi hal itu bukan merupakan keharusan, karena dalam rumusan
Pasal 378 KUHP tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang yang menyerahkan benda,
memberi hutang maupun menghapuskan piutang bisa juga oleh selain yang
digerakkan, asalkan orang lain atau pihak ketiga menyerahkan benda itu atas
perintah atau kehendak orang yang digerakkan.
- Tujuan perbuatan agar :
a.
Menyerahkan
benda.dalam hal ini pengertian benda dalam penipuan memiliki arti yang
sama dengan benda dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai benda yang
berwujud dan bergerak. Pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi
terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung maksud
pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Pendapat ini
didasarkan pada ketentuan bahwa dalam penipuan menguntungkan diri tidak perlu
menjadi kenyataan, karena dalam hal ini hanya unsur maksudnya saja yang ditujukan
untuk menambah kekayaan.
b.
Memberi hutang dan menghapuskan piutang. dalam
hal ini perkataan hutang tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan
diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Hoge Raad menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan hutang adalah suatu perikatan, misalnya menyetor
sejumlah uang jaminan. Oleh karenanya memberi hutang tidak dapat diartikan
sebagai memberi pinjaman uang belaka, melainkan diberi pengertian yang lebih
luas sebagai membuat suatu perikatan hukum yang membawa akibat timbulnya
kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan atau membayar sejumlah uang
tertentu. Demikian juga dengan istilah utang, dalam kalimat menghapuskan
piutang mempunyai arti suatu perikatan. Sedangkan menghapuskan piutang
mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar membebaskan kewajiban dalam
hal membayar hutang atau pinjaman uang belaka, karena menghapuskan piutang
diartikan sebagai menghapuskan segala macam perikatan hukum yang sudah ada, di
mana karenanya menghilangkan kewajiban hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah
uang tertentu pada korban atau orang lain..
- Upaya-upaya penipuan dengan
menggunakan :
a.
Nama
palsudalam hal ini terdapat 2 (dua) pengertian nama palsu, antaralain:
Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain (misalnya menggunakan nama seorangteman).
Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain (misalnya menggunakan nama seorangteman).
Kedua, diartikan sebagai suatu nama
yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau tidak ada pemiliknya
(misalnya orang yang bernama A menggunakan nama samaran B). Nama B tidak ada
pemiliknya atau tidak diketahui secara pasti ada tidaknya orang tersebut. Dalam
hal ini kita harus berpegang pada nama yang dikenal oleh masyarakat luas.
Misalkan A dikenal di masyarakat dengan nama C, maka A mengenalkan diri dengan
nama C itu adalah menggunakan nama palsu. Kemudian bagaimana bila seseorang
menggunakan nama orang lain yang sama dengan namanya sendiri, tetapi orang yang
dimaksudkan itu berbeda. Misalnya seorang supir bernama A mengenalkan diri
sebagai seorang pegawai bank yang juga bernama A, si A yang terakhir
benar-benar ada dan diketahuinya sebagai seorang pegawai bank. Di sini tidak
menggunakan nama palsu, akan tetapi menggunakan martabat atau kedudukan palsu.Menggunakan martabat atau kedudukan
palsu. Suatu
kedudukan yang digunakan seseorang dan didalamnya ia mempunyai hak-hak
tertentu,padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak tertentu itu.
b.
Menggunakan
tipu muslihat dan rangkaian kebohongan. dalam hal ini terdapat beberapa
istilah yang sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan valsche
hoedanigheid yakni, keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan
kedudukan palsu. Adapun yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu adalah suatu
kedudukan yang disebut atau digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan
atau memiliki hak-hak tertentu, padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak
tertentu itu. Jadi kedudukan palsu ini jauh lebih luas pengertiannya daripada
sekedar mengaku mempunyai suatu jabatan tertentu, seperti dosen, jaksa, kepala,
notaris, dan lain sebagainya. Sudah cukup ada kedudukan palsu misalnya
seseorang mengaku seorang pewaris, yang dengan demikian menerima bagian
tertentu dari boedel waris, atau sebagai seorang wali, ayah atau ibu,
kuasa, dan lain sebagainya. Hoge Raad dalam suatu arrest-nya
(27-3-1893) menyatakan bahwa perbuatan menggunakan kedudukan palsu adalah
bersikap secara menipu terhadap orang ketiga, misalnya sebagai seorang kuasa,
seorang agen, seorang wali, seorang kurator ataupun yang dimaksud untuk
memperoleh kepercayaan sebagai seorang pedagang atau seorang pejabat.
c.
Menggunakan Tipu Muslihat dan rangkaian kebohongan,
dalam hal ini kedua cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat
menipu atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat menimbulkan kepercayaan
atau kesan bagi orang lain bahwa semua itu seolah-olah benar adanya. Namun
terdapat perbedaan, yakni pada tipu muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada
rangkaian kebohongan berupa ucapan atau perkataan. Tipu muslihat diartikan
sebagai suatu perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan atau
kepercayaan tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar.
Karenanya orang bisa menjadi percaya dan tertarik atau tergerak hatinya.
Tergerak hati orang lain itulah yang sebenarnya dituju oleh si penipu, karena
dengan tergerak hatinya atau terpengaruh kehendaknya itu adalah berupa sarana
agar si korban berbuat menyerahkan benda yang dimaksud.
b. Unsur-unsur Subjektif
-
Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, dalam hal ini maksud di pelaku dalam melakukan perbuatan
menggerakkan harus ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
yakni berupa unsur kesalahan dalam penipuan. Terhadap sebuah kesengajaan harus
ditujukan pada menguntungkan diri, juga ditujukan pada unsur lain dibelakangnya
seperti unsur melawan hukum, menggerakkan, menggunakan nama palsu dan lain sebagainya.
Kesengajaan dalam maksud ini harus sudah ada dalam diri si pelaku. Sebelum atau
setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan menggerakkan. Menguntungkan
artinya menambah kekayaan dari yang sudah ada. Menambah kekayaan ini baik bagi
diri sendiri maupun bagi orang lain.
-
Dengan melawan hukum, dalam hal ini unsur maksud
sebagaimana yang diterangkan diatas, juga ditujukan pada unsur melawan hukum. Oleh
karena itu, melawan hukum disini adalah berupa unsur subjektif. Dalam hal ini
sebelum melakukan atau setidak-tidaknya ketika memulai perbuatan menggerakkan,
pelaku telah memiliki kesadaran dalam dirinya bahwa menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melakukan perbuatan itu adalah melawan hukum. Melawan
hukum disini tidak semata-mata diartikan sekedar dilarang oleh undang-undang
atau melawan hukum formil, melainkan harus diartikan yang lebih luas yakni juga
bertentangan dengan apa yang dikehendaki masyarakat, suatu celaan masyarakat.
Karena unsur melawan hukum ini
dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, maka menjadi wajib dibuktikan dalam
persidangan. Perlu dibuktikan disini adalah si pelau mengerti maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menggerakkan orang lain
dengan cara tertentu dan seterusnya
dalam rumusan penipuan sebagai hal yang dicela masyarakat.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana penipuan menurut
Moeljatno (2002:70) adalah sebagai berikut :
1. Ada
seseorang yang dibujuk atau digerakkan untuk menyerahkan suatu barang atau
membuat hutang atau menghapus piutang. Barang diserahkan oleh yang punya dengan
jalan tipu muslihat. Barang yang diserahkan itu tidak selamanya harus kepunyaan
sendiri, tetapi juga kepunyaan orang lain.
2. Penipu
itu bermaksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain tanpa hak.
Dari maksud itu ternyata bahwa tujuannya adalah untuk merugikan orang yang
menyerahkan barang itu.
3. Yang
menjadi korban penipuan itu harus digerakkan untuk menyerahkan barang itu
dengan jalan penyerahan barang itu harus akibat dari tindakan tipu daya dan si
penipu harus memperdaya si korban dengan satu kal yang tersebut dalam Pasal 378
KUHP.
Lebih lanjut Moeljatno menyebutkan bahwa sebagai akal penipuan dalam pasal
378 KUHP adalah :
1.
Menggunakan nama palsu
Nama palsu adalah nama yang berlainan dengan nama sebenarnya, meskipun
perbedaan itu tampak kecil, misalnya orang yang sebenarnya bernama Ancis,
padahal yang sebenarnya adalah orang lain, yang hndak menipu itu mengetahui,
bahwa hanya kepada orang yang bernama Ancis orang akan percaya untuk memberikan
suatu barang. Supaya ia mendapatkan barang itu, maka ia memalsukan namanya dari
Anci menjadi Ancis. Akan tetapi kalau sipenipu itu menggunakan orang lain yang
sama dengan namanya sendiri, maka ia tidak dikatakan menggunakan nama palsu
tetapi ia tetap dipersalahkan
2.
Menggunakan kedudukan palsu
Seseorang yang dapat dipersalahkan menipu dengan menggunakan kedudukan
palsu, misalnya : X menggunakan kedudukan sebagai pengusaha dari perusahaan P,
padahal ia sudah diberhentikan, kemudian mendatangi sebuah toko unutk dipesan
kepada toko tersebut, dengan mengatakan bahwa ia X disuruh majikannya untuk
mengambil barang-barang itu. Jika toko itu menyerahkan barang-barang itu kepada
X yang dikenal sebagai kuasa dari perusahaan P, sedangkan toko iti tidak
mengetahuinya, bahwa X dapat dipersalahkan setelah menipu toko itu dengan
menggunakan kedudukan palsu.
3.
Menggunakan tipu muslihat
Yang dimaksud dengan tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang dapat
menimbulkan gambaran peristiwa yang sebenarnya dibuat-buat sedemikian rupa
sehingga kepalsuan itu dapat mengelabui orang yang biasanya hati-hati. Tipu
muslihat yang digunakan oleh seorang penipu itu harus sedemikian rupa, sehingga
orang yang mempunyai taraf pengetahuan yang umum (wajar) dapat dikelabui. Jadi
selain kelicikan penipu, harus pula diperhatikan keadaan orang yang kena tipu. Tipu
muslihat yang digunakan begitu menyerupai kebenaran sehingga menimbulkan
kepercayaan orang yang ditipu.
4.
Menggunakan susunan belit dusta (rangkaian
kebohongan)
Kebohongan itu harus sedemikian rupa berberlit-belitnya sehingga merupakan
suatu atau seluruhnya yang nampaknya seperti benar dan tidak mudah ditemukan
dimana-mana. Suatu kebohongan saja belum cukup untuk menetapkan adanya
penipuan. Bohong itu harus disertai tipu muslihat dan susunan belit dusta
3.
Pengertian Satpam
Satpam yang merupakan singkatan dari satuan pengamanan
adalah satuan kelompok petugas yang dibentuk oleh istansi/proyek/badan usaha
untuk melakukan keamanan fisik (physical security) dalam rangka penyelenggaraan
keamanan swakarya di lingkungan kerjanya. Kepolisian Negara republic Indonesia menyadari bahwa
tidak mungkin bekerja sendiri dalam mengambil fungsi kepolisian, leh karena itu
lembaga satuan pengamanan secara resmi dibentuk pada 30 Desember 1980 melalui
surat keputusan kepala kepolisian Negara.
Peranan
dalam pelaksanaan
tugasnya, anggota satpam berperan sebagai
1. Unsur pembantu pimpinan.
Institusi/proyek/badan usaha di bidang keamanan dan ketertiban lingkungan kerja.
2. Unsur pembantu kepolisian Negara di
bidang penegakan hukum dan waspada keamanan (security minded) di lingkungan
kerjanya.
Dasar
Hukum :
Peraturan Kapolri
No.Pol.24 tahun 2007 tentang sistem pengaman manajemen perusahaan/instansi
pemerintahan peraturan kapolri No.Pol.18 tahun 2006 tentang pelatihan dan
kurikulum satuan pengamanan peraturan kapolri No.Pol. 17 Tahun 2006 tentang
pedoman pembinaan badan usaha jasa pengamanan dan penyelamatan surat keputusan
Kapolri No.Pol Skep/1021/XII/2002 tentang Nomor registrsi dan KTA satpam surat
keputusan Kapolri No.Pol Skep/1019/XII/2002 tentang pakaian seragam satuan-satuan keputusan Kapolri
No.Pol Skep/302/III/1993 tentang tanda kualifikasi pendidikan anggota Satpam
surat keputusan bersama menaker No.KEP.275/Men/1989 dan Kapolri
No.Pol.Kep/04/V/1989 tentang peraturan jam kerja,shift dan jam istirahat serta
pembinaan tenaga kerja
satuan pengamanan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, anggota Satpam berperan
sebagai
a.
Unsur Pembantu Pimpinan institusi/proyek/badan
usaha di bidang keamanan dan ketertiban lingkuungan kerja.
b.
Unsur Pembantu Kepolisian Negara di bidang
penegakan hukum dan waspada keamanan (security
minded) di lingkungan kerjanya.
Kegiatan seorang petugas Satpam menurut Peraturan
Kapolri No.Pol. 24 tahun 2007 tentang Sistem Pengamanan Manajemen
Organisasi, Perusahaan
dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah terdiri dari :
1.
Mencegah dan deteksi dini penyusup, kegiatan atau
orang masuk secara tak sah, vandalisme atau penerobos/peloncat pagar di wilayah
kuasa tempat perusahaan (teritor gebied/ruimte gebied)
2.
Mencegah dan deteksi dini pencurian, kehilangan,
penyalahgunaan atau penggelapan perkakas, mesin, komputer, peralatan, sediaan
barang, uang, obligasi, saham, catatan atau dokumen atau surat-surat berharga
milik perusahaan.
3.
Melindungi (pengawalan) terhadap bahaya fisik
(orang dan barang yang menjadi aset milik perusahaan atau perorangan)
4.
Melakukan kontrol/pengendalian, pengaturan lalu
lintas (orang, kendaraan dan barang) untuk menjamin pelrindungan aset
perusahaan.
5.
Melakukan upaya kepatuhan, penegakan tata tertib
dan menerapkan kebijakan perusahaan, peraturan kerja dan praktek-praktek dalam
rangka pencegahan tindak kejahatan.
6.
Melapor dan menangani awal (TPTKP) terhadap
pelanggaran.
7.
Melapor dan menangani kejadian dan
panggilan/permintaan bantuan Satpam, termasuk konsep, pemasangan dan pemeliharaan
sistem alam.
Agar dapat menunjukkan kinerja efektif, seorang petugas
Satpam perlu perlengkapan kerja (Surat Keputusan Kapolri No.Pol.
Skep/1019/XII/2002 tentang Pakaian Seragam Satuan-Satuan Pengamanan).Perlengkapan kerja
terdiri dari :
a. Buku saku
lapangan dan alat tulis untuk mencatat kegiatan, orang dan barang yang patut
dicurigai
b. Senter
untuk perondaan malam atau patroli di wilayah yang minim pencahayaan.
c. Alat
komunikasi menjalin komunikasi dengan petugas keamanan lain atau meminta
bantuan ketika keadaan darurat (telepon seluler atau radio FRS/GMRS atau radio
trunking)
d. Alat
pelindung diri ketika bekerja di kawasan tertenti (safety helm, safety shoes,
jas hujan)
e. Seragam
atau pakaian dinas sesuai dengan regulasi yang berlaku
f. Alat bela
dir, tongkat, borgol dan perisai dan sesuai dengan sifat, lingkup tugas dan
ancaman terhadap lingkungan kerjanya, seperti bank, objek vital, kantor
bendahara, anggota Satpam dapat dilengkapi dengan senjata api berdasarkan izin
kepemilikan senjata api yang diberikan oleh Kepala Kepolisian Negara.
4. Teori Yang Berkaitan Dengan Faktor Kejahatan Penipuan Dalam Masyarakat
Marcus Felson sebagai pencetus Routine
Activities Theory (aktifitas rutin) mengungkapkan bahwa kejahatan akan terjadi
bila dalam satu tempat
dan waktu hadir dalam waktu yang bersamaan elemen berikut:
a)
A
Motivated Offender (Adanya motivasai dari penjahat)
b)
A
Suitable Target (Target atau sasaran yang menarik atau mudah)
c)
The
Absence of Capable Guardian (Kondisi yang aman untuk melakukan kejahatan)
Ketiga elemen ini harus ada secara bersamaan saat
terjadinya kejahatan. Inti dari teori ini adalah tergantung pada
kesempatan-kesempatan yag tersedia. Bila seorang target tidak cukup dilindungi,
dan bila ganjarannya cukupberharga,maka kejahatan akan tejadi. Kejahatan tidak
membutuhkan pelanggar-pelanggar kelasberat, pemangsa-pemangsa super, para
residivis atau oran-orang jahat,kejahatanhanya membutuhkan kesempatan.
Premis dasar dari teori aktifitas rutin adalah bahwa
kejahatan adalah kasus kecil (dengan jumlah kecil) yang tidak dilaporkan kepada
polisi. Kejahatan bukanlah suatu yang spekatakuler ataupun dramatis. Semuanya
itu kejadian yang umu dan terjadi setiap saat terutama saat ada tujuan
yangtidak bisa didapatkan dengan cara yang baik.
Dalam teori aktifitas rutin oleh
Markus Felson 1987 dan Robert K.Cohen ada tiga elemen yang dapat mempengaruhi
mudahnya muncuk kejahatan, diantaranya adanya pelaku yang termotivasi, adanya
target yang layak, dan ketiadaan penjaga. (Steven P. Lab,2006 : 111)
1. Adanya pelaku yang termotivasi
Adaya yang dilakukan merupakan dorongan-dorongan pribadi yang menjadikan
kejahatan sebagai sumber utama dalam mencapai tujuan tanpa ada alasan-alasan
dan sebab apapun kondisi seperti ini merupakan bakat melakukan kejahatan bawaan
sejak lahir. (Erlangga Masdiana, 2006:59)
Cara-cara melakukan kejahatan juga begitu berani.Pelaku seakan-akan
menganggap korban sebagai musuh yang harus ditaklukkan seketika.Korban tidak
diberi amun atau diberi kesempatan untuk menyatakan dirinya sebagai manusia. Korban
yang memiliki uang atau harta lain wajib menyerahkan kepada pelaku kejahatan.
Pelaku kejahatan bagaikan raja yang ebbas meminta upeti kepada korban dengan
cara-cara kekerasan. (Erlangga Masdiana, 2006:59)
2. Adanya target yang Layak
Kesempatan merupakan faktor yang menentukan bagi pelaku kejahatan untuk
melakukan kejahatan, dalam hal ini ada kalanya Karena desakan oleh kebutuhan
hidup dan ada kalanya karena kebiasaan. (Arrajid.1986:69)
Lesley 91989) menyatakan semakin banyak orang membuka diri untuk berinteraksi
dengan orang lain dan berada ditempat-tempat tertentu, maka orang itu sagat
rentan menjadi korban kejahatan (ditempat ramai) seperti di stasiun, terminal,
dan persimpangan-persimpangan jalan.Tempat-tempat yang rentan ini sebaiknya
mendapatkan perhatian pihak aparat kepolisian. (Erlangga Masdiana, 2006:20)
3. Tidak hadirnya penjagaan
Kebiasaan beraktifitas memungkinkan orang menjadi korban kejahatan.Ada
kejahatan dilakukan saat korban sedang bekerja, pergi ke pasar, bersekolah, dan
lain-lain.Pelaku kejahatan yang cerdas pasti melakukan aksinya didasarkan pada
pengamatan ilmiah tentang karakteristik individu, kebiasaan berperilaku calon
korban, dan tingkat “pengawalan” korban.Jika sistem pengamanan lingkungan tidak
memungkinkan proteksi terhadap korban atau calon korban, maka pelaku kejahatan
dapat dengan mudah melumpuhkan korban. (Erlangga Masdiana, 2006:66).
B.
Kerangka Pemikiran
Gambar : II. I. Model
Kerangka Pikiran Tinjauan Kriminologis Penipuan Yang Dilakukan Oleh Oknum
Satpam Di Wilayah Polsek Sukajadi Kota Pekanbaru
Tinjauan KejahatanPenipuan
|
Motivasi pribadi
|
a. Adanya
peluang melakukan penipuan
b. Kelemahan
fisik korban
|
Faktor yang menjadi penyebab pelaku melakukan
penipuan
|
Adanya sasaran yang
tepat
|
Tidak hadirnya
penjagaan
|
a. Kelengahan
korban
b. memanfaatkan situasi
|
a. Menipu
sengaja di pelajari
b. Menipu memenuhi kebutuhan
|
C.
Konsep
Operasional
Adapun konsep-konsep yang
akan dioperasionalkan dalam
penelitian ini adalah :
1.
Kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang
memeplajri tentang kejahatan
2.
Kejahatan,
dilihat dari sudut pandang pendekatan legal diartikan sebagai suatu perbuatan
yang melanggar hukum pidana atau Undang-undang yang berlaku di
masyarakat
3.
Penipuan adalah, perbuatan memperdaya orang lain,
yangdilakukan oleh individu itu sendiri maupun
secara berkelompok
4.
Motivasi pribadi
yaitu kehatan yang di lakukan merupakan dorongan pribadi yang menjadikan
kejahatan sebagai sumber utama dalam mencapai tujuan tanpa alasan
5.
Adanya sasaran yang tepat, merupakan faktor yang
menentukan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan.
6.
Oknum adalah perseorangan atau pribadi. Namun persepsi negatif sering muncul
karena penggunan kata ini sering sering digunakan untuk seseorang yang
melangar/berbuat kesalahan "melanggar" dalam sebuah lembaga,
organisasi atau kelompok dengan penggunaan kata oknum.
7.
Satuan Pengamanan atau sering juga disingkat Satpam
adalah satuan kelompok petugas yang dibentuk oleh instansi/proyek/badan usaha
untuk melakukan keamanan fisik (physical security) dalam rangka penyelenggaraan
keamanan swakarsa di lingkungan kerjanya.
D.
Operasional Variabel
Berasarkan dari uraian dan kerangka
pikiran diatas maka selanjutnya disini akan disajikan operasional variabel dari penelitian ini :
Tabel II.1 Operasional Variabel
Konsep
|
Variabel
|
Indikator
|
Item penelitian
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Dalam teori
aktivitas rutin oleh Felson aa tiga elemen yng dapat mempengaruhi mudahnya
muncul kejahatan : Motivasi pribadi,adanya sasaran yang tepat dan tidak
terdapatnya penjagaan yang efektif
|
Fakktor penyebab
pelaku melakukan penipuan
|
1.
Motivasi pribadi
2.
Adanya sasaran yang
tepat
3.
Tidak hadirnya penjagaan
|
-
Menipu
sengaja dipelajari
-
Menipu
memenuhi kebutuhan
-
Kelenghaan
korban
-
Memanfaatkan
situasi
-
Adanya
peluang melakukan penipuan
-
Kelemahan
dari fisik korban
|
Sumber :Modifikasi
Penulis 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar