BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan
pesatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan terhadap pemenuhan kebutuhan
pendanaan untuk memenuhi kegiatan pembangunan tersebut sudah jelas juga
meningkat. Tanpa adanya pendanaan sudah dapat dipastikan siapapun juga tidak
akan mampu untuk memulai suatu usaha maupun mengembangkan usaha yang sudah ada.
Di dalam perusahaan, sumber dana suatu
usaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dana yang bersumber dan modal dan
bersumber dari utang. Modal merupakan sesuatu yang sangat penting dan
menentukan akan berjalannya suatu usaha. Modal dapat berupa barang maupun dana
yang dimiliki oleh pengusaha ataupun pemasukan oleh pemodal yang menyetorkan
barang/ dana untuk suatu usaha tertentu. Sedangkan utang merupakan sumber dana
yang dapat diperoleh pengusaha dari lembaga keuangan, baik lembaga perbankan,
lembaga keuangan bukan bank, lembaga-lembaga pembiayaan maupun pasar uang.
Pihak pemberi sumber dana berupa utang ini disebut sebagai kreditur dan pihak
yang menerima pinjaman/ utang disebut sebagai peminjam atau debitur.
Salah satu sumber
pendanaan yang sudah disebutkan di atas, yaitu lembaga perbankan adalah sumber
untuk mendapatkan dana/ modal yang saat ini sangat membantu di dalam proses
pembangunan yang sangat pesat seperti sekarang ini. Lembaga perbankan atau
disebut juga bank, merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk
kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.[1]
Bank di Indonesia
dibagi menjadi 5 (lima) bagian yaitu : Bank Sentral, Bank Persero ( BUMN ),
Bank Swasta, Bank Pembangunan Daerah dan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
Salah satu bank yang masuk
di dalam kategori Bank Persero ( BUMN ) adalah PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero) Tbk (selanjutnya disebut bank BRI). Bank BRI merupakan bank yang
memiliki jaringan kerja terbanyak di Indonesia. Per Desember 2013, BRI memiliki
9.808 jaringan kerja konvensional, yang terdiri dari 7.821 jaringan mikro,
termasuk Teras BRI dan Teras BRI Keliling, serta 1.987 jaringan ritel seperti
Kantor Kas, KCP, Kantor Cabang, dan Kantor Wilayah yang kesemuanya terhubungan real time online. [2]
Dalam proses
penyaluran pinjaman/ utang kepada debitur, bank sebagai kreditur tidaklah
terlepas adanya perjanjian guna memastikan hak dan kewajiban dari masing-masing
pihak. Selain adanya suatu perjanjian, kreditur juga memerlukan adanya suatu
jaminan dari debitur guna memastikan adanya pengembalian utang yang cukup dan
terjamin.
Di dalam Seminar
Badan Pembina Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal
20 s.d 30 juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah “Menjamin
dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda”[3]
Di dalam buku H.
Salim HS, konstruksi jaminan dalam definisi ini terdapat kesamaan dengan yang dikemukakan Hartono
Hadisoeprapto dan M. Bahsan. Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan
adalah “Sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan
bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang
timbul dari suatu perikatan”[4]
Hal tersebut di atas
sangat diutamakan oleh lembaga perbankan atau pihak kreditur, karena kredit
yang diberikan kepada debitur mengandung risiko sehingga diperlukan jaminan
dalam arti untuk menimbulkan keyakinan dan kemampuan serta kesanggupan dari debitur
untuk melunasi seluruh utang dan kewajiban lainnya. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa pemberian jaminan dalam perjanjian kredit adalah diharuskan dalam
dunia perbankan, terutama di dunia perbankan konvensional. Hal ini terjadi
karena pada dasarnya, sumber dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman/ kredit
adalah berasal dari masyarakat yang sewaktu-waktu juga akan diambil kembali
oleh masyarakat. Dengan demikian pinjaman/ kredit yang disalurkan harus dilakukan
secara hati-hati (prudent). Meskipun
pada akhir-akhir ini kita sering mendengar adanya Kredit Tanpa Agunan (KTA),
Kredit Usaha Rakyat (KUR), atau kredit mikro lainnya yang diberikan kepada
debitur tanpa adanya syarat jaminan/ agunan, pemberiannya tersebut dilakukan
dengan sangat selektif. Dan biasanya diberikan dengan limit (batas jumlah) yang
tidak terlalu besar atau khusus ditujukan untuk program kepada masyarakat
ekonomi lemah atau yang merupakan bantuan dari pemerintah yang tidak ada unsur
komersialnya.
Pembahasan masalah
jaminan, dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh perbankan tidaklah terlepas
dari lima aspek penilaian yang dalam
dunia perbankan lebih dikenal dengan 5’C
of Credit. Karena dalam setiap menyalurkan kredit kepada seseorang atau badan
hukum, ada lima kriteria yang ditetapkan oleh bank yang harus dipenuhi oleh
calon debiturnya.[5]
5’C
of Credit ini
terdapat 5 (lima) kriteria yang ditetapkan oleh Bank dan harus dipenuhi oleh
calon debitur sehingga Bank tersebut yakin terhadap dana yang akan dikucurkan
kepada calon debitur dapat diyakini akan dapat dikembalikan. Lima aspek di
dalam 5’C of Credit tersebut adalah :
Pertama adalah Character ( watak ). Seseorang yang punya banyak uang dan kemampuan
untuk mengembalikan utang-utangnya, tetapi tidak memiliki watak yang baik,
tidak dapat dikatakan sebagai calon debitur yang baik. Tipe debitur seperti ini
biasanya suka ngemplang[6].
Tidak berlaku bahwa semua orang yang memiliki kemampuan untuk membayar,
juga punya itikad baik untuk mengembalikan seluruh utangnya. Oleh karena itu
biasanya Bank akan melakukan pencarian informasi terhadap calon debitur
menggunakan Sistem Informasi Debitur (SID) yang disediakan oleh Bank Indonesia
secara online. Pencarian informasi terhadap calon debitur juga dapat dilakukan
secara on site disekitar tempat tinggal debitur dan pengecekan kepada relasi
bisnisnya, sehingga dapat diketahui character
dari calon debitur tersebut.
Kedua adalah Capacity (Kemampuan Debitur). Berlaku terbalik dengan kriteria yang
pertama, Bank tidak akan memberikan pinjaman/ kredit kepada calon debitur yang
dinilai tidak memiliki kemampuan untuk mengelola usaha yang akan dijalankannya,
walaupun calon debitur tersebut memiliki character
yang sangat baik. Kemampuan mengelola usaha ini dapat dinilai dari
pengalaman calon debitur tersebut dalam mengelola usaha yang dijalankannya dan
kemampuan mengelola sumber daya yang dimilikinya. Dengan kemampuan mengelola
usaha di masa lalunya tersebut diharapkan
calon debitur juga akan mampu mengelola jika pinjaman/ kredit diberikan oleh
Bank.
Ketiga adalah Capital (Modal). Kriteria C yang ke-tiga ini dilihat dari sisi
Modal yang dimiliki oleh calon debitur. Modal ini dapat menggambarkan
kesungguhan dari calon debitur untuk memasukkan hartanya di dalam usaha yang
dijalankannya. Dengan semakin banyak jumlah modal yang ditanamkan di dalam
usahanya, akan menambah keyakinan Bank dapat memberikan pinjaman/ kredit kepada
calon debitur tersebut. Untuk calon debitur berbentuk badan hukum, misalnya
perseroan, modal ini dapat dilihat dari laporan keuangan yang diserahkan oleh
calon debitur selama 3 (tiga) periode. Hal ini untuk mengetahui bagaimana
perkembangan sisi Modal yang dimilikinya dari waktu ke waktu.
Keempat
adalah Condition of Economy (Kondisi Ekonomi).
Sebagai langkah awal dari pemberian kredit, tidak terlepas dari faktor kondisi
ekonomi dan politik pada saat akan diberikannya kredit dan juga di masa yang
akan datang sesuai dengan sektor masing-masing.
Tidak dapat diabaikan juga harus dilihat prospek dari sektor yang
dijalankan oleh debitur juga sangat menentukan layak atau tidaknya kredit
diberikan. Penilaian prospek bidang usaha yang akan dibiayai hendaknya
benar-benar memiliki prospek yang baik sehingga kemungkinan kredit tersebut
menjadi bermasalah relatif kecil dan kredit dapat diselesaikan sesuai dengan
waktu yang diperjanjikan.
Kelima adalah Collaterall (Jaminan). Dalam menerima suatu jaminan, ada dua
pertimbangan yang dilakukan oleh bank sebagai kriteria jaminan tersebut, yaitu :[7]
Marketable, maksudnya pada saat
dieksekusi, jaminan tersebut mudah dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh
utang debitur: Secured, artinya benda
jaminan kredit dapat diikat secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan
hukum dan perundang-undangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi, bank
punya kekuatan secara yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.
Salah satu unsur dari
5’C of Credit adalah Collateral atau Jaminan. Ketentuan mengenai
adanya jaminan dalam pemberian utang atau kredit ini diatur oleh Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan
bahwa: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132 KUH Perdata
memberikan penjelasan lebih rinci tentang hak didahulukannya pelunasan
hutangnya menyatakan bahwa: Barang-barang yang menjadi jaminan bersama dari
beberapa kreditur apabila barang-barang tersebut dijual maka hasil penjualannya
dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali jika diantara para
kreditur tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Ketentuan-ketentuan
tersebut di atas merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang
berlaku umum bagi semua kreditur, disini jelas para kreditur memiliki kedudukan
yang sama (paritas creditorum).
Sebenarnya dengan
ketentuan tersebut di atas sudah merupakan suatu jaminan terhadap pembayaran
utang-utang debitur, tanpa diperjanjikan dan tanpa menunjuk benda khusus atau
tertentu dari si debitur.[8]
Namun pada kenyataannya, untuk menjamin hutang yang diberikan kepada debitur pihak
kreditur tidak puas hanya dengan jaminan umum yang didasari atas Pasal 1131 dan
Pasal 1132 KUH Perdata tersebut karena jika debitur wanprestasi, maka hasil
penjualan harta kekayaan debitur akan dibagikan secara seimbang sesuai dengan
besarnya utang masing-masing kreditur, kecuali diantara kreditur memiliki
alasan-alasan yang sah untuk didahulukan (hak
preferen).
Alasan jaminan umum
dirasakan tidak cukup memberikan keyakinan dari kreditur antara lain:
Pertama, dikarenakan benda tidak khusus.
Dalam konteks ini, pasal tersebut tidak merujuk pada suatu barang khusus, namun
menunjuk pada semua barang yang dimiliki debitur:
Kedua, benda tidak diblokir. Maksudnya
adalah jika dibuat jaminan utang khusus (yang bersifat kebendaan), dapat
ditentukan bahwa benda tersebut tidak dapat dialihkan kecuali dengan seizin
pihak kreditur. Tindakan ini tidak dapat dilakukan atas jaminan umum yang
didasarkan pada pasal tersebut.
Ketiga, jaminan tidak mengikuti benda.
Setelah dibuat jaminan utang yang khusus (yang bersifat kebendaan), apabila
benda sebagai objek jaminan utang dialihkan kepada pihak lain oleh debitur,
maka hak kreditur tetap melekat pada benda tersebut, tanpa melihat di tangan
siapa benda tersebut berada. Sifat pelekatan kepada benda ini tidak dimiliki
oleh jaminan umum yang didasarkan pada Pasal tersebut.
Keempat, tidak ada kedudukan preferen bagi
kreditur. Berbeda dengan jaminan umum yang didasarkan pada pasal tersebut, pemegang
jaminan utang yang khusus (yang bersifat kebendaan) diberi hak preferen oleh
hukum. Artinya kreditur diberi kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) dalam
pembayaran utang yang diambil dari hasil penjualan benda jaminan utang. Jika
ada sisa dari hasil penjualan benda jaminan utang tersebut, baru dibagikan
kepada kreditur lainnya. Dalam jaminan umum pada pasal tersebut, tidak ada
kedudukan preferen kreditur seperti hal ini.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, pihak kreditur cenderung meminta jaminan utang khusus
dari pihak debitur, agar pembayaran utang menjadi aman.
Masih menurut Munir Fuady, yang
dimaksud dengan jaminan utang khusus adalah setiap jaminan utang yang bersifat
“kontraktual”, yaitu yang terbit dari perjanjian tertentu (berarti tidak timbul
dengan sendirinya). Ada yang khusus ditujukan terhadap barang-barang tertentu –
contohnya gadai, hipotik, cessie asuransi,
cessie tagihan, atau hak retensi:
ataupun yang tidak ditujukan terhadap barang tertentu – seperti garansi
pribadi, garansi perusahaan, atau akta pengakuan utang murni.[9]
Pada masa sekarang
ini Hak Jaminan diatur oleh undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang No 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang sering disebut sebagai Undang-undang Hak
Tanggungan (selanjutnya disebut UU No. 4/1996). Hak Tanggungan tersebut berlaku
sebagai pengganti lembaga hipotik dan Credietverband.
Sementara ketentuan tentang gadai masih tetap mengacu pada KUH Perdata.
Selain UU No. 4/1996
dan pengaturan tentang Gadai, terdapat pula ketentuan lain mengenai jaminan,
yakni tentang jaminan Fidusia yang diatur di dalam Undang-undang No. 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut dengan UU No. 42/1999).
Undang-undang lainnya yang memiliki kaitan dengan jaminan fidusia adalah Undang-undang
No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut dengan UU No.
20/2011), yaitu mengatur Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung sarusun (yang
selanjutnya disebut dengan SKBG sarusun) dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan di dalam
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) butir a. Undang-undang No. 4 Tahun 1992 Tentang
Perumahan dan Pemukiman (yang selanjutnya disebut dengan UU No. 4/1992), yang
menentukan bahwa pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang, dimana
pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh
notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan
mengenai benda tak bergerak yang dapat dijaminkan dengan menggunakan lembaga
Jaminan Fidusia terdapat dalam pasal 1 Angka 2 UU No. 42/1999 yaitu :
“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan benda tidak
bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan
bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”. [10]
Membicarakan
permasalahan jaminan, Gunawan Wijaya mengemukakan :
Ketentuan lembaga jaminan fidusia
yang ditetapkan dengan UU No. 42/ 1999 ini, menurut Gunawan Wijaya adalah
sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat Indonesia, di mana banyak orang
yang menguasai tanah dengan hak-hak yang tidak bisa dijaminkan dengan Hak
Tanggungan, seperti hak sewa, hak pakai, hak menumpang dan sebagainya.
Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tersebut tidak dapat dijaminkan
dengan Hak Tanggungan dan ini dapat diatasi dengan Jaminan Fidusia.[11]
Salah satu contoh
bangunan yang tergolong bangunan yang dapat
dijadikan jaminan adalah kios pasar. Berdasarkan pasal 1 angka 15 Peraturan
Daerah Kota Pekanbaru No. 6 Tahun 2012 (selanjutnya disebut Perda No.6/2012),
kios adalah bangunan tempat berjualan yang beratap dan dipisahkan satu sama
lainnya dengan dinding pemisah mulai dari lantai sampai dengan langit-langit
yang dipergunakan untuk berjualan. Kios pasar yang diteliti oleh penulis dalam
penelitian ini adalah kios pasar yang diperoleh berdasarkan Perjanjian Nomor
270-WK/1996 – Nomor 018/MPP/XI/1996 tanggal 30 November 1996, antara Pemerintah
Kota Pekanbaru dengan PT. Makmur Papan Permata selaku investor untuk membangun,
mengelola dan diberikan hak pengelolaan lahan selama jangka waktu tertentu.
Selanjutnya PT. Makmur Papan Permata menerbitkan Kartu Tanda Bukti Hak (selanjutnya
disebut KTBH) atas masing-masing kios dan counter yang berada di komplek Pasar
Sukaramai Kota Pekanbaru. Selanjutnya atas KTBH tersebut sebanyak 64 kios dan
98 counter dijadikan jaminan hutang kepada Bank BRI.
PT. Makmur Papan
Permata masuk di dalam kategori perusahaan dengan skala menengah. Hal ini
terlihat dari aset yang dimiliki oleh PT. Makmur Papan Permata telah melebihi
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.[12]
Di sisi lain, jaminan
fidusia merupakan hak jaminan kebendaan yang jelas-jelas memiliki ciri khusus
berupa pengalihan hak suatu benda atas dasar kepercayaan yaitu benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Di sini dapat
dilihat bahwa hak pemakaian kios merupakan hak menguasai untuk jangka waktu
tertentu yang bukan merupakan hak kebendaan melainkan hak perseorangan yang
tidak dapat dijaminkan secara fidusia yang jelas-jelas merupakan hak jaminan
kebendaan. Namun pada prakteknya, KTBH atas kios pasar ini dapat dijaminkan
terlebih lagi di dalam KTBH terdapat ketentuan-ketentuan bagi pemegang hak atas
satuan los/ kios/ toko/ counter angka 3. bahwa
KTBH ini dapat dijadikan jaminan atau Agunan Bank atas persetujuan
Pengelola. Sedangkan bangunan los/ kios/ toko/ counter tersebut senyatanya
berada di atas tanah milik Pemerintah Kota Pekanbaru yang diberikan hak untuk
jangka waktu tertentu kepada PT. Makmur Papan Permata berdasarkan Perjanjian
Nomor 270-WK/1996 – Nomor 018/MPP/XI/1996 tanggal 30 November 1996, antara
Pemerintah Kota Pekanbaru dengan PT. Makmur Papan Permata.
Beranjak dari uraian
di atas, penulis perlu memberikan penjelasan mengenai cara pengikatan kredit
dengan jaminan kartu tanda bukti hak dan cara penyelesaiannya apabila terjadi
wanprestasi di bawah sebuah judul penelitian yaitu “Kartu Tanda Bukti Hak atas Kios Pasar sebagai Jaminan Kredit Investasi
di Perbankan (Studi Kasus di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
Pekanbaru”
B. Perumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian-uraian yang dimuat dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan berupa kartu tanda bukti hak kios
pasar di Bank BRI ?
2.
Bagaimanakan
cara penyelesaian apabila terjadi wanprestasi dari debitur atas perjanjian
kredit dengan jaminan berupa kartu tanda bukti hak kios pasar di Bank BRI?
C. Tujuan
Dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang
penulisa uraikan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut
:
a.
Untuk
mengetahui pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan berupa kartu tanda
bukti hak atas kios pasar yang dilakukan di Bank BRI.
b.
Untuk
mengetahui cara penyelesaian apabila terjadi wanprestasi dari debitur atas
perjanjian kredit dengan jaminan berupa kartu tanda bukti hak atas kios pasar
di Bank BRI.
2.
Manfaat
Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian
ini adalah sebagai berikut :
a.
Secara
teoritis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis
tentang hukum perdata secara khusus serta memperdalam pengetahuan dan pemahaman
baik berupa perbendaharaan konsep-konsep pemikiran dan teori dalam ilmu hukum
yang menyangkut aspek-aspek hukum jaminan.
b.
Sebagai
bahan masukan dan sumber informasi ilmiah dalam penyempurnaan peraturan jaminan
fidusia khususnya.
c.
Secara
praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pelaku usaha
yang ingin menggunakan jaminan fidusia sebagai salah satu lembaga jaminan, dan
masukan bagi perbankan untuk mengadopsi jaminan fidusia sebagai salah satu
lembaga untuk mengamankan kredit yang diberikan kepada debitur.
D. Tinjauan
Pustaka
Berbicara tentang
utang piutang bukan hal yang asing di telinga semua orang, karena setiap hari
selalu saja nasalah yang satu ini. Utang piutang merupakan perjanjian antara
pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjkan pada
umumnya adalah uang. Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang memberikan
pinjaman, sedangkan pihak yang lainnya sebagai yang menerima uang. Uang yang
dipinjam akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Perjanjian utang
piutang uang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam meminjam, hal ini di
atur di sebagaimana diatur dalam Bab Ketigabelas Buku Ketiga KUH Perdata. Di
dalam Pasal 1756 KUH Perdata menyebutkan :[13]
Utang yang timbul karena peminjaman uang, hanya
terdiri dan sejumlah uang yang digariskan dalam perjanjian. Jika sebelum utang
dilunasi nilai mata uang naik atau turun, atau terjadi perubahan dalam
peredaran uang yang lalu, maka pengembalian uang yang dipinjam itu harus dilakukan
dengan uang yang laku pada waktu pelunasannya sebanyak uang yang telah
dipinjam, dihitung menurut nilai resmi pada waktu pelunasan itu.
Telah dijelaskan
bahwa di dalam perjanjian utang piutang, terdapat dua pihak yang melakukan
perjanjian, yaitu pihak yang memberi pinjaman uang dan pihak yang menerima
pinjaman uang. Istilah yang sering digunakan dalam perjanjian tersebut, untuk
pihak yang memberikan pinjaman adalah pihak yang berpiutang atau disebut dengan
kreditur. Sedangkan pihak yang
menerima pinjaman disebut pihak yang berhutang atau debitur.
Pada dasarnya
perjanjian utang piutang dapat terjadi karena dilatarbelakangi sejarah. Pada
pokoknya terjadinya perjanjian utang ada dua macam, yaitu karena murni
perjanjian utang piutang dan karena dilatarbelakangi perjanjian lain.[14] Kedua dasar yang melatarbelakangi perjanjian tersebut
adalah sebagai berikut:
Pertama, karena murni perjanjian utang piutang.
Perjanjian utang piutang yang dimaksud disini, tidak ada latar belakang
persoalan lain, dan perjanjian itu dibuat semata-mata untuk melakukan utang
piutang:
Kedua, karena dilatarbelakangi
perjanjian lain. Dalam perjanjian utang piutang ini, terjadinya perjanjian
tersebut karena sebelumnya telah terjadi perjanjian lama. Perjanjian sebelumnya
dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian utang piutang kedudukannya
berdiri sendiri. Perjanjian sebelumnya telah selesai dilaksanakan.
Secara nyata seringkali
dijumpai praktek perikatan di dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dipastikan
bahwa setiap ada manusia yang berhubungan dengan manusia lain akan membutuhkan
adanya suatu perikatan. Dalam hal melakukan perikatan tersebut diperlukan media
berupa perangkat hukum yang dalam hal ini disebut dengan perjanjian, sehingga
akan jelaslah kemudian batasan antara hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh para pihak untuk memberikan sesuatu dan menyerahkan sesuatu kepada pihak
yang lainnya.
Menurut pendapat Deski
Arianto, J. Satrio yang ditulis di dalam tesisnya mengemukakan :[15]
Perjanjian kredit merupakan
termasuk perjanjian tidak bernama, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal
1319 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa dua kelompok perjanjian, yaitu
perjanjian yang oleh undang-undang diberikan nama khusus, yang disebut dengan
perjanjian bernama (benoemde atau nominaatcontracten) dan perjanjian yang
dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu nama tertentu, disebut perjanjian
tak bernama (onbenoemde atau innominaatcontracten).
Di dalam tesis yang
berjudul “Perjanjian Beli Kembali Dalam Pemberian Kredit Kepemilikan Kios Pasar
Pusat Sukaramai Pekanbaru antara Bank Danamon dengan PT. Makmur Papan Permata” di
atas, dibahas tentang kesanggupan PT. Makmur Papan Permata untuk membeli
kembali atas kios pasar yang dibeli oleh pedagang pasar dengan fasilitas kredit
Bank Danamon. Sedangkan dalam pembahasan ini, penulis akan meneliti jenis
pengikatan kredit dengan jaminan Kartu Tanda Bukti Hak atas Kios Pasar dan cara
penyelesaian yang akan dilakukan oleh Bank BRI. Dalam penelitian ini PT. Makmur
Papan Permata bertindak selaku debitur dan Bank BRI selaku kreditur.
Selanjutnya dalam
konteks hukum, Abd. Thalib mengatakan :
Ada banyak sekali definisi tentang hukum, karena
memang hukum adalah sesuatu yang abstrak. Dikarenakan di dalam penafsiran
tentang definisi hukum sangatlah tergantung dari sudut pandang mana hukum itu
dilihat, apakah hukum dilihat sebagai norma, sistem hukum, sanksi atau bisa
juga hukum dipandang sebagai sebuah keputusan dari penguasa.[16]
Hal lain yang berkaitan dengan
fungsi bank dan lembaga keuangan Kasmir menyampaikan :
Di dalam utang piutang dan uang tentunya tidak akan
terlepas dari bank, dimana bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima
simpanan giro, tabungan dan deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat
untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping
itu, bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau
menerima segala bentuk pembayaran dan setoran seperti pembayaran listrik,
telepon, air, pajak, uang kuliah, dan pembayaran lainnya.[17]
Menurut Undang-undang
RI No. 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut UU No. 10/1998), yang dimaksud dengan bank adalah : [18]
“BANK adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Bank sebagai lembaga
keuangan merupakan suatu badan usaha yang berhubungan dengan uang, yaitu
menghimpun dana dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Dari pengertian
bank dapat dipahami bahwa dana perbankan dalam bentuk kredit yang diberikan
kepada masyarakat bukanlah hanya milik bank sendiri, tetapi juga dana yang
berasal dari masyarakat.
Melalui pengertian
ini pula dapat diketahui tentang fungsi perbankan. Hal ini semakin ditegaskan
dalam UU No.10/1998, di dalam Pasal 4 dinyatakan :[19]
Fungsi bank sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat atau disebut juga fungsi intermediasi ini, membuat bank juga
mempunyai fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan, sebagaimana tercantum
di dalam Pasal 4 UU No. 10/1998, yaitu “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak.”
Jika sudah berbicara
masalah utang piutang dan bank, tentunya akan sangat berkaitan erat dengan hal
yang namanya jaminan. Dalam konteks jaminan, H. Salim HS menyatakan :[20]
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa
Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie
mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhi tagihannya, di samping
pertanggungjawaban umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah
jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat dibaca di dalam Pasal
1 angka 23 UU No. 10/ 1998.
Sedangkan pandangan mengenai
agunan, Irma Devita Purnamasari di dalam bukunya menyampaikan :
“Jaminan tambahan diserahkan
nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”
Pada
dasarnya jaminan terbagi dalam dua kategori, yaitu :[21]
1.
Jaminan
perseorangan atau dalam istilah hukum disebut persoonlijke zekerheid.
Jaminan perseorangan menimbulkan hak-hak
perseorangan, sehingga terdapat hubungan hukum secara khusus antara kreditur
dengan orang yang menjamin pelunasan hutang debitur (penjamin). Dari sinilah
timbul istilah : (a) Jaminan perseorangan/
borgtocht/ personal guarantee (dalam hal penjaminnya adalah perseorangan):
(b) Jaminan perusahaan/ company guarantee
(dalam hal penjaminnya adalah perusahaan): (c) Bank Garansi (dalam hal
penjaminnya adalah bank)
2.
Jaminan
kebendaan atau dalam istilah hukum disebut zakelijke
zekerheid.
Jaminan ini merupakan hak mutlak atas suatu benda
tertentu, berupa bagian dari harta kekayaan debitur atau penjamin, sehingga
memberikan kedudukan preference
(diutamakan) kepada kreditur daripada kreditur lainnya atas benda tersebut.
Jadi jika debitur wanprestasi, ada benda yang secara khusus untuk dijual oleh
kreditur agar dapat melunasi hutang debitur tersebut.
Dengan adanya
penyerahan jaminan dari debitur kepada kreditur, tidaklah serta merta apa yang
menjadi hak kreditur dapat terpenuhi apabila debitur melakukan tindakan
wanprestasi.
Berbicara tentang perjanjian
utang piutang, Gatot Supramono di dalam bukunya mengatakan :[22]
Utang piutang sebagai sebuah perjanjian menimbulkan
hak dan kewajiban kepada kreditur dan debitur yang bertimbal balik. Inti dari
perjanjian utang piutang adalah kreditur memberikan pinjaman uang kepada
debitur yang wajib dikembalikan dalam waktu yang telah ditentukan disertai
dengan bunganya. Pada umumnya pengembalian uang dilakukan dengan cara
mengangsur setiap bulan.
Peristiwa yang banyak
terjadi di bidang utang piutang, pengembalian utang yang wajib dibayar oleh
debitur kadang tidak dilaksanakan sebagaimana yang telah diperjanjikan. Ada
yang beberapa kali membayar angsuran utang, debitur tidak lagi dapat
membayarnya. Ada juga debitur yang utangnya sudah jatuh tempo tidak dapat
membayarnya, tetapi beberapa waktu kemudian debitur mampu melunasi utangnya.
Baik utang yang hanya
dibayar sebagian maupun pelunasan utang yang dilakukan setelah jatuh tempo adalah
termasuk wanprestasi atau ingkar janji. Berbagai macam alasan debitur melakukan
wanprestasi, seperti usahanya merugi, kebijakan pemerintah, atau bencana alam.
Selanjutnya berbicara
tentang wanprestasi, Abdul Thalib menyampaikan di dalam bukunya sebagai berikut
:[23]
Istilah wanprestasi dalam buku perikatan dapat
diartikan sebagai suatu kelalaian dan atau ingkar janji. Bentuk-bentuk
wanprestasi itu antara lain adalah tidak melaksanakan prestasi (prestatie) sama sekali, melaksanakan
prestasi tetapi hanya sebagian, melaksanakan prestasi tetapi terlambat,
melaksanakan prestasi namun tidak sebagaimana mestinya.
Masih berbicara
tentang wanprestasi, melalui bukunya Sudikno Mertokusumo mengemukakan : [24]
Jika hukum perdata dilanggar,
sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilan gangguan keseimbangan
kepentingan di dalam masyarakat, dalam hal ini hukum perdata yang dilanggar
harus dipertahankan dan ditegakkan.
Sehingga dengan
adanya tindakan wanprestasi yang dilakukan debitur inilah maka pihak kreditur
akan mempertahankan haknya dengan antara lain melaksanakan ketentuan-ketentuan/
kalusula-klausula yang ada di dalam perjanjian, baik di dalam perjanjian kredit
maupun di dalam perjanjian jaminan yang mengikutinya.
E. Konsep
Operasional
Untuk menghindari
kesalahan dalam penafsiran lebih lanjut, maka penulis membatasi beberapa hal
sebagai berikut :
1.
Kartu
Tanda Bukti Hak, adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pihak pengembang dan
pengelola Pasar Pusat Sukaramai Pekanbaru yaitu PT. Makmur Papan Permata.
2.
Kios
Pasar, adalah adalah bangunan tempat jualan yang beratap dan dipisahkan satu
sama lainnya dengan dinding pemisah mulai dari lantai sampai dengan
langit-langit yang dipergunakan untuk berjualan, [25]
yang terletak di dalam komplek Pasar Pusat Sukaramai Kota Pekanbaru.
3.
Jaminan,
adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditur atas pembayaran utang-utang
yang telah diberikannya kepada debitur, dimana hal ini terjadi karena hukum
ataupun terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assesoir terhadap perjanjian
pokoknya – berupa perjanjian yang menerbitkan utang-piutang.[26]
4.
Kredit
Investasi, adalah adalah fasilitas kredit jangka menengah atau jangka panjang
untuk membiayai barang modal/ aktiva tetap perusahaan, seperti pengadaan mesin,
peralatan, kendaraan, bangunan dan lain-lain.[27]
5.
Perbankan,
lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan
deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang
(kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping itu, bank juga dikenal
sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala bentuk
pembayaran dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang
kuliah, dan pembayaran lainnya. [28]
6.
PT.
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, adalah lembaga perbankan, dalam hal ini
adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Pekanbaru dan PT.
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Wilayah Pekanbaru.
F. Metode
Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran
yang lebih luas dan mendalam untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, sehingga
dapat menjawab masalah pokok yang telah penulis rumuskan, maka penulis menyusun
secara sistematis metode yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.
Jenis
dan Sifat Penelitian
Jenis
penelitian yang penulis gunakan termasuk dalam golongan penelitian survei. [29] Sedangkan sifat penelitian ini adalah
deskriptif analitis, karena penelitian ini memberikan gambaran mengenai
pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan Kartu Tanda Bukti Hak atas Kios
Pasar di Komplek Pasar Sukaramai Pekanbaru.
Untuk mengetahui
sifat penelitian secara deskriptif, Soerjono Sukamto mengemukakan :[30]
Penelitian deskriptif yaitu
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya, dengan tujuan mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau dalam rangka menyusun
teori-teori baru.
Dalam penelitian ini,
diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas tentang pelaksanaan pengikatan
kredit dengan jaminan kartu tanda bukti hak kios pasar dan untuk mengetahui cara
penyelesaian apabila terjadi wanprestasi atas perjanjian kredit dengan jaminan
kartu tanda bukti hak kios pasar.
2.
Lokasi
penelitian
Lokasi
penelitian dilakukan di Kantor Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk
Pekanbaru. Alasan penulis melakukan penelitian di Kantor Cabang PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero) Tbk tersebut karena sebagai bank yang memberikan fasilitas
kredit dengan jaminan KTBH kepada pihak debitur.
3.
Populasi
dan Responden
Populasi
adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama. [31]
Responden adalah pihak yang dapat menjadi subjek untuk mendapatkan data pada
saat melakukan penelitian di lapangan.
Adapun
populasi dan responden dalam penelitian ini terdiri dari :
3..1.
Direktur
PT. Makmur Papan Permata, sebagai debitur yang menerima kredit dengan jaminan
Kartu Tanda Bukti Hak Kios pasar.
3..2.
Pemimpin
Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Pekanbaru, dan Pemimpin Wilayah PT.
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Pekanbaru sebagai kreditur dalam pemberian
kredit dengan jaminan Kartu Tanda Bukti Hak Kios Pasar.
3..3.
Notaris
Darmansyah, selaku Pejabat Notaris yang membuat akta perjanjian kredit dan
pengikatan jaminan berupa Kartu Tanda Bukti Hak Kios Pasar.
3..4.
Kepala
Dinas Pasar Kota Pekanbaru yang merupakan wakil Pemerintah Kota Pekanbaru di
dalam pengelolaan pasar-pasar milik pemerintah.
Mengingat
keterbatasan yang ada, maka pengambilan sampel menggunakan metode sensus.
Metode sensus maksudnya adalah bahwa sampel yang akan dijadikan responden telah
ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti meyakini dengan sampel tersebut
penelitian yang dilakukan dapat memberikan hasil yang memadai tentang objek
yang diteliti. Dan mengingat jumlah responden yang cukup sedikit tersebut, maka
penulis menjadikan seluruh responden menjadi sample yang memiliki keterkaitan
dengan objek yang penulis teliti.
4.
Jenis
dan Sumber Data
Adapun
jenis dan sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah beberapa
dokumen yang dapat dibedakan menurut sumbernya yaitu:
4.1.
Data
Primer, adalah data pokok yang penulis peroleh dari responden yang mempunyai
kaitan langsung dengan permasalahan yang penulis teliti. Data tersebut penulis
peroleh dari hasil wawancara dengan responden yaitu dengan: (1) Direktur PT.
Makmur Papan Permata: (2): Pemimpin Wilayah dan Pemimpin Cabang Bank BRI (3)
Notaris Darmasyah (4) Kepala Dinas Pasar Kota Pekanbaru.
4.2.
Data
Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan berupa
Undang-undang, buku-buku, kamus, website dan literatur lainnya yang memiliki
kaitan langsung dengan masalah yang penulis teliti.
5.
Alat
Pengumpul data
Pengumpulan
data dalam peneltian ini dilakukan dengan wawancara terhadap responden yang
sudah ditentukan terlebih dahulu dan ia adalah sebagai tokoh kunci (key
person)[32]
dalam penelitian ini, yaitu orang yang penulis anggap mengetahui tentang
permasalahan yang akan diteliti.
Wawancara
tersebut penulis lakukan secara langsung dengan responden. Maksudnya adalah
penulis bertatap muka secara langsung dengan responden dalam mengajukan
pertanyaan-pertanyaannya. Semua pertanyaan yang disampaikan berpedoman pada daftar
pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu.
6.
Analisis
Data
Analisis
data yang akan penulis lakukan adalah setelah data terkumpul, kemudian data
tersebut dikelompokkan menurut jenisnya berdasarkan masalah pokok penelitian
yang telah dirumuskan. Selanjutnya terhadap data hasil wawancara akan diolah, kemudian
disajikan dalam bentuk rangakaian-rangkaian kalimat yang jelas dan rinci serta
kemudian membandingkan dengan konsep-konsep yang ada terhadap bahan berupa
buku-buku literature lainnya.
Terhadap data yang telah disajikan tersebut kemudian dilakukan pembahasan
dengan memperhatikan teori-teori hukum atau aturan-aturan yang mengaturnya
berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dokumen-dokumen,
dan data-data lainnya serta pendapat para ahli, yang kesmuanya itu berkaitan
dengan penelitian ini.
7.
Metode
Penarikan Kesimpulan
Setelah
semua data diperoleh dan dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder,
kemudian data tersebut dikelompokkan berdasarkan jenisnya dari masalah pokok
yang diteliti. Data yang diperoleh dari wawancara yang dilakukan, disajikan
dalam bentuk pembahasan dengan uraian kalimat. Selanjutnya penulis akan
melakukan analisis dengan memberikan penafsiran dengan menghubungkan kepada
pendapat para ahli serta Peraturan Perundang-undangan yang sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Berikutnya penulis mengambil kesimpulan dengan
metode deduktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum
kepada hal-hal bersifat khusus dengan menghubungkan kesimpulan-kesimpulan
tersebut dengan aturan yang ada di Bank BRI.
[1] Undang-undang
RI No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Pasal 1 Angka 2.
[2] www.metrotvnews.com/
metronews/ read/ 2014/ 01/ 22/2/ 209923/BRI-Bukukan-Laba-Rp.2116-triliun, diakses pada
20 Februari 2014, jam 23.35 wib
[3] H. Salim
HS, Perkembangan
Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm
22.
[5] Irma Devita
Purnamasari, Hukum Jaminan Perbankan,
Kaifa, Jakarta, 2011, hlm 18.
[6] bahasapekalongan.blogspot.com/2011/04/boso-pekalongan.html.
diakses pada tanggal 04 Maret 2014, jam 22.10, Ngemplang menurut bahasa Jawa
berarti utang tidak dibayar.
[7] Irma Devita
Purnamasari, op. cit, hlm. 19.
[8] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Penerbit Erlangga,
Jakarta 2013, hlm. 8.
[9] Ibid, hlm. 9.
[10] Undang-undang
No. 42 Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia, Pasal 1 Angka 2.
[11] Gunawan
Widjaja, dkk, Jaminan Fidusia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 141.
[13] Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1756.
[14] Gatot
Supramono, Perjanjian Utang Piutang,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 11.
[15] Deski Arianto, Perjanjian Beli Kembali Dalam Pemberian
Kredit Kepemilikan Kios Pasar Pusat Sukaramai Pekanbaru antara Bank Danamon
dengan PT. makmur Papan Permata, Tesis, Universitas Sumatera Utara, 2010,
hlm. 60
[16] Abd Thalib, Arbitrase dan Hukum Bisnis, UIR Press,
Pekanbaru, 2005, hlm. 92.
[17] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT.
Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2013, hlm. 24.
[18] Undang-undang
RI No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, Pasal 1 Angka 2.
[19] Undang-undang
RI No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, Pasal 4.
[20] H. Salim HS, op. cit., hlm. 23.
[21] Irma Devita
Purnamasari, op. cit., hlm. 3.
[22] Gatot
Supramono, op. cit., hlm. 147.
[23] Abd Thalib, dkk,
Hukum Keluarga dan Perikatan, UIR
Press, Pekanbaru, 2008, hlm. 169.
[24] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia Cetakan ke XII, Liberty, Jogjakarta, hlm. 45.
[25] Peraturan
daerah Kota Pekanbaru Nomor 6 Tahun 2012, Tentang Retribusi Pelayanan Pasar,
Pasal 1 Angka 15.
[26] Munir Fuady, op. cit., hlm 8.
[27] bri.co.id/articles/36,
diakses pada 16 Februari 2014, jam 23.20
[28] Kasmir, op. cit., hlm. 24.
[29] Fakultas Hukum
Universtitas Islam Riau, Buku Panduan
Penulisan Skripsi , UIR Press, Pekanbaru, 2012, hlm.13.
[30] Soerjono
Soekamto, Metode Penelitian Hukum, UI
Press, Jakarta, 1986, hlm. 23.
[31] Bambang
Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hl.
118.
[32] Asri Wijayanti,
Strategi Penulisan Hukum, CV. Lubuk
Agung, Bandung, 2011, hlm. 107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar