Sabtu, 02 Mei 2015

KARTU TANDA BUKTI HAK ATAS KIOS PASAR SEBAGAI JAMINAN KREDIT INVESTASI DI PERBANKAN BAB I



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan pesatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan terhadap pemenuhan kebutuhan pendanaan untuk memenuhi kegiatan pembangunan tersebut sudah jelas juga meningkat. Tanpa adanya pendanaan sudah dapat dipastikan siapapun juga tidak akan mampu untuk memulai suatu usaha maupun mengembangkan usaha yang sudah ada.  Di dalam perusahaan, sumber dana suatu usaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dana yang bersumber dan modal dan bersumber dari utang. Modal merupakan sesuatu yang sangat penting dan menentukan akan berjalannya suatu usaha. Modal dapat berupa barang maupun dana yang dimiliki oleh pengusaha ataupun pemasukan oleh pemodal yang menyetorkan barang/ dana untuk suatu usaha tertentu. Sedangkan utang merupakan sumber dana yang dapat diperoleh pengusaha dari lembaga keuangan, baik lembaga perbankan, lembaga keuangan bukan bank, lembaga-lembaga pembiayaan maupun pasar uang. Pihak pemberi sumber dana berupa utang ini disebut sebagai kreditur dan pihak yang menerima pinjaman/ utang disebut sebagai peminjam atau debitur.
Salah satu sumber pendanaan yang sudah disebutkan di atas, yaitu lembaga perbankan adalah sumber untuk mendapatkan dana/ modal yang saat ini sangat membantu di dalam proses pembangunan yang sangat pesat seperti sekarang ini. Lembaga perbankan atau disebut juga bank, merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[1]
Bank di Indonesia dibagi menjadi 5 (lima) bagian yaitu : Bank Sentral, Bank Persero ( BUMN ), Bank Swasta, Bank Pembangunan Daerah dan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Salah satu bank yang masuk di dalam kategori Bank Persero ( BUMN ) adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (selanjutnya disebut bank BRI). Bank BRI merupakan bank yang memiliki jaringan kerja terbanyak di Indonesia. Per Desember 2013, BRI memiliki 9.808 jaringan kerja konvensional, yang terdiri dari 7.821 jaringan mikro, termasuk Teras BRI dan Teras BRI Keliling, serta 1.987 jaringan ritel seperti Kantor Kas, KCP, Kantor Cabang, dan Kantor Wilayah yang kesemuanya terhubungan real time online. [2]   
Dalam proses penyaluran pinjaman/ utang kepada debitur, bank sebagai kreditur tidaklah terlepas adanya perjanjian guna memastikan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Selain adanya suatu perjanjian, kreditur juga memerlukan adanya suatu jaminan dari debitur guna memastikan adanya pengembalian utang yang cukup dan terjamin.
Di dalam Seminar Badan Pembina Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 s.d 30 juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda”[3]
Di dalam buku H. Salim HS, konstruksi jaminan dalam definisi ini terdapat  kesamaan dengan yang dikemukakan Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan. Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah “Sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”[4]  
Hal tersebut di atas sangat diutamakan oleh lembaga perbankan atau pihak kreditur, karena kredit yang diberikan kepada debitur mengandung risiko sehingga diperlukan jaminan dalam arti untuk menimbulkan keyakinan dan kemampuan serta kesanggupan dari debitur untuk melunasi seluruh utang dan kewajiban lainnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pemberian jaminan dalam perjanjian kredit adalah diharuskan dalam dunia perbankan, terutama di dunia perbankan konvensional. Hal ini terjadi karena pada dasarnya, sumber dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman/ kredit adalah berasal dari masyarakat yang sewaktu-waktu juga akan diambil kembali oleh masyarakat. Dengan demikian pinjaman/ kredit yang disalurkan harus dilakukan secara hati-hati (prudent). Meskipun pada akhir-akhir ini kita sering mendengar adanya Kredit Tanpa Agunan (KTA), Kredit Usaha Rakyat (KUR), atau kredit mikro lainnya yang diberikan kepada debitur tanpa adanya syarat jaminan/ agunan, pemberiannya tersebut dilakukan dengan sangat selektif. Dan biasanya diberikan dengan limit (batas jumlah) yang tidak terlalu besar atau khusus ditujukan untuk program kepada masyarakat ekonomi lemah atau yang merupakan bantuan dari pemerintah yang tidak ada unsur komersialnya.
Pembahasan masalah jaminan, dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh perbankan tidaklah terlepas dari lima aspek  penilaian yang dalam dunia perbankan lebih dikenal dengan 5’C of Credit. Karena dalam setiap menyalurkan kredit kepada seseorang atau badan hukum, ada lima kriteria yang ditetapkan oleh bank yang harus dipenuhi oleh calon debiturnya.[5]
5’C of Credit ini terdapat 5 (lima) kriteria yang ditetapkan oleh Bank dan harus dipenuhi oleh calon debitur sehingga Bank tersebut yakin terhadap dana yang akan dikucurkan kepada calon debitur dapat diyakini akan dapat dikembalikan. Lima aspek di dalam 5’C of Credit tersebut adalah :
Pertama adalah Character ( watak ). Seseorang yang punya banyak uang dan kemampuan untuk mengembalikan utang-utangnya, tetapi tidak memiliki watak yang baik, tidak dapat dikatakan sebagai calon debitur yang baik. Tipe debitur seperti ini biasanya suka ngemplang[6]. Tidak berlaku bahwa semua orang yang memiliki kemampuan untuk membayar, juga punya itikad baik untuk mengembalikan seluruh utangnya. Oleh karena itu biasanya Bank akan melakukan pencarian informasi terhadap calon debitur menggunakan Sistem Informasi Debitur (SID) yang disediakan oleh Bank Indonesia secara online. Pencarian informasi terhadap calon debitur juga dapat dilakukan secara on site disekitar tempat tinggal debitur dan pengecekan kepada relasi bisnisnya, sehingga dapat diketahui character dari calon debitur tersebut.
Kedua adalah Capacity (Kemampuan Debitur). Berlaku terbalik dengan kriteria yang pertama, Bank tidak akan memberikan pinjaman/ kredit kepada calon debitur yang dinilai tidak memiliki kemampuan untuk mengelola usaha yang akan dijalankannya, walaupun calon debitur tersebut memiliki character yang sangat baik. Kemampuan mengelola usaha ini dapat dinilai dari pengalaman calon debitur tersebut dalam mengelola usaha yang dijalankannya dan kemampuan mengelola sumber daya yang dimilikinya. Dengan kemampuan mengelola usaha  di masa lalunya tersebut diharapkan calon debitur juga akan mampu mengelola jika pinjaman/ kredit diberikan oleh Bank.
Ketiga adalah Capital (Modal). Kriteria C yang ke-tiga ini dilihat dari sisi Modal yang dimiliki oleh calon debitur. Modal ini dapat menggambarkan kesungguhan dari calon debitur untuk memasukkan hartanya di dalam usaha yang dijalankannya. Dengan semakin banyak jumlah modal yang ditanamkan di dalam usahanya, akan menambah keyakinan Bank dapat memberikan pinjaman/ kredit kepada calon debitur tersebut. Untuk calon debitur berbentuk badan hukum, misalnya perseroan, modal ini dapat dilihat dari laporan keuangan yang diserahkan oleh calon debitur selama 3 (tiga) periode. Hal ini untuk mengetahui bagaimana perkembangan sisi Modal yang dimilikinya dari waktu ke waktu.
Keempat adalah Condition of Economy (Kondisi Ekonomi). Sebagai langkah awal dari pemberian kredit, tidak terlepas dari faktor kondisi ekonomi dan politik pada saat akan diberikannya kredit dan juga di masa yang akan datang sesuai dengan sektor masing-masing.  Tidak dapat diabaikan juga harus dilihat prospek dari sektor yang dijalankan oleh debitur juga sangat menentukan layak atau tidaknya kredit diberikan. Penilaian prospek bidang usaha yang akan dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik sehingga kemungkinan kredit tersebut menjadi bermasalah relatif kecil dan kredit dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diperjanjikan.
Kelima adalah Collaterall (Jaminan). Dalam menerima suatu jaminan, ada dua pertimbangan yang dilakukan oleh bank sebagai kriteria jaminan tersebut, yaitu :[7] Marketable, maksudnya pada saat dieksekusi, jaminan tersebut mudah dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh utang debitur: Secured, artinya benda jaminan kredit dapat diikat secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi, bank punya kekuatan secara yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.
Salah satu unsur dari 5’C of Credit adalah Collateral atau Jaminan. Ketentuan mengenai adanya jaminan dalam pemberian utang atau kredit ini diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132 KUH Perdata memberikan penjelasan lebih rinci tentang hak didahulukannya pelunasan hutangnya menyatakan bahwa: Barang-barang yang menjadi jaminan bersama dari beberapa kreditur apabila barang-barang tersebut dijual maka hasil penjualannya dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali jika diantara para kreditur tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua kreditur, disini jelas para kreditur memiliki kedudukan yang sama (paritas creditorum).
Sebenarnya dengan ketentuan tersebut di atas sudah merupakan suatu jaminan terhadap pembayaran utang-utang debitur, tanpa diperjanjikan dan tanpa menunjuk benda khusus atau tertentu dari si debitur.[8] Namun pada kenyataannya, untuk menjamin hutang yang diberikan kepada debitur pihak kreditur tidak puas hanya dengan jaminan umum yang didasari atas Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata tersebut karena jika debitur wanprestasi, maka hasil penjualan harta kekayaan debitur akan dibagikan secara seimbang sesuai dengan besarnya utang masing-masing kreditur, kecuali diantara kreditur memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan (hak preferen).
Alasan jaminan umum dirasakan tidak cukup memberikan keyakinan dari kreditur antara lain:
Pertama, dikarenakan benda tidak khusus. Dalam konteks ini, pasal tersebut tidak merujuk pada suatu barang khusus, namun menunjuk pada semua barang yang dimiliki debitur:
Kedua, benda tidak diblokir. Maksudnya adalah jika dibuat jaminan utang khusus (yang bersifat kebendaan), dapat ditentukan bahwa benda tersebut tidak dapat dialihkan kecuali dengan seizin pihak kreditur. Tindakan ini tidak dapat dilakukan atas jaminan umum yang didasarkan pada pasal tersebut.
Ketiga, jaminan tidak mengikuti benda. Setelah dibuat jaminan utang yang khusus (yang bersifat kebendaan), apabila benda sebagai objek jaminan utang dialihkan kepada pihak lain oleh debitur, maka hak kreditur tetap melekat pada benda tersebut, tanpa melihat di tangan siapa benda tersebut berada. Sifat pelekatan kepada benda ini tidak dimiliki oleh jaminan umum yang didasarkan pada Pasal tersebut.
Keempat, tidak ada kedudukan preferen bagi kreditur. Berbeda dengan jaminan umum yang didasarkan pada pasal tersebut, pemegang jaminan utang yang khusus (yang bersifat kebendaan) diberi hak preferen oleh hukum. Artinya kreditur diberi kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) dalam pembayaran utang yang diambil dari hasil penjualan benda jaminan utang. Jika ada sisa dari hasil penjualan benda jaminan utang tersebut, baru dibagikan kepada kreditur lainnya. Dalam jaminan umum pada pasal tersebut, tidak ada kedudukan preferen kreditur seperti hal ini.
Berdasarkan pertimbangan di atas, pihak kreditur cenderung meminta jaminan utang khusus dari pihak debitur, agar pembayaran utang menjadi aman.
Masih menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan jaminan utang khusus adalah setiap jaminan utang yang bersifat “kontraktual”, yaitu yang terbit dari perjanjian tertentu (berarti tidak timbul dengan sendirinya). Ada yang khusus ditujukan terhadap barang-barang tertentu – contohnya gadai, hipotik, cessie asuransi, cessie tagihan, atau hak retensi: ataupun yang tidak ditujukan terhadap barang tertentu – seperti garansi pribadi, garansi perusahaan, atau akta pengakuan utang murni.[9]

Pada masa sekarang ini Hak Jaminan diatur oleh undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang sering disebut sebagai Undang-undang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UU No. 4/1996). Hak Tanggungan tersebut berlaku sebagai pengganti lembaga hipotik dan Credietverband. Sementara ketentuan tentang gadai masih tetap mengacu pada KUH Perdata.
Selain UU No. 4/1996 dan pengaturan tentang Gadai, terdapat pula ketentuan lain mengenai jaminan, yakni tentang jaminan Fidusia yang diatur di dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut dengan UU No. 42/1999). Undang-undang lainnya yang memiliki kaitan dengan jaminan fidusia adalah Undang-undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut dengan UU No. 20/2011), yaitu mengatur Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung sarusun (yang selanjutnya disebut dengan SKBG sarusun) dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan di dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) butir a. Undang-undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman (yang selanjutnya disebut dengan UU No. 4/1992), yang menentukan bahwa pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang, dimana pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
                 Ketentuan mengenai benda tak bergerak yang dapat dijaminkan dengan menggunakan lembaga Jaminan Fidusia terdapat dalam pasal 1 Angka 2 UU No. 42/1999 yaitu :
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”. [10]
Membicarakan permasalahan jaminan, Gunawan Wijaya mengemukakan :
Ketentuan lembaga jaminan fidusia yang ditetapkan dengan UU No. 42/ 1999 ini, menurut Gunawan Wijaya adalah sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat Indonesia, di mana banyak orang yang menguasai tanah dengan hak-hak yang tidak bisa dijaminkan dengan Hak Tanggungan, seperti hak sewa, hak pakai, hak menumpang dan sebagainya. Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tersebut tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan dan ini dapat diatasi dengan Jaminan Fidusia.[11]

Salah satu contoh bangunan yang tergolong bangunan yang dapat  dijadikan jaminan adalah kios pasar. Berdasarkan pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru No. 6 Tahun 2012 (selanjutnya disebut Perda No.6/2012), kios adalah bangunan tempat berjualan yang beratap dan dipisahkan satu sama lainnya dengan dinding pemisah mulai dari lantai sampai dengan langit-langit yang dipergunakan untuk berjualan. Kios pasar yang diteliti oleh penulis dalam penelitian ini adalah kios pasar yang diperoleh berdasarkan Perjanjian Nomor 270-WK/1996 – Nomor 018/MPP/XI/1996 tanggal 30 November 1996, antara Pemerintah Kota Pekanbaru dengan PT. Makmur Papan Permata selaku investor untuk membangun, mengelola dan diberikan hak pengelolaan lahan selama jangka waktu tertentu. Selanjutnya PT. Makmur Papan Permata menerbitkan Kartu Tanda Bukti Hak (selanjutnya disebut KTBH) atas masing-masing kios dan counter yang berada di komplek Pasar Sukaramai Kota Pekanbaru. Selanjutnya atas KTBH tersebut sebanyak 64 kios dan 98 counter dijadikan jaminan hutang kepada Bank BRI.
PT. Makmur Papan Permata masuk di dalam kategori perusahaan dengan skala menengah. Hal ini terlihat dari aset yang dimiliki oleh PT. Makmur Papan Permata telah melebihi Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.[12]
Di sisi lain, jaminan fidusia merupakan hak jaminan kebendaan yang jelas-jelas memiliki ciri khusus berupa pengalihan hak suatu benda atas dasar kepercayaan yaitu benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Di sini dapat dilihat bahwa hak pemakaian kios merupakan hak menguasai untuk jangka waktu tertentu yang bukan merupakan hak kebendaan melainkan hak perseorangan yang tidak dapat dijaminkan secara fidusia yang jelas-jelas merupakan hak jaminan kebendaan. Namun pada prakteknya, KTBH atas kios pasar ini dapat dijaminkan terlebih lagi di dalam KTBH terdapat ketentuan-ketentuan bagi pemegang hak atas satuan los/ kios/ toko/ counter angka 3. bahwa  KTBH ini dapat dijadikan jaminan atau Agunan Bank atas persetujuan Pengelola. Sedangkan bangunan los/ kios/ toko/ counter tersebut senyatanya berada di atas tanah milik Pemerintah Kota Pekanbaru yang diberikan hak untuk jangka waktu tertentu kepada PT. Makmur Papan Permata berdasarkan Perjanjian Nomor 270-WK/1996 – Nomor 018/MPP/XI/1996 tanggal 30 November 1996, antara Pemerintah Kota Pekanbaru dengan PT. Makmur Papan Permata.
Beranjak dari uraian di atas, penulis perlu memberikan penjelasan mengenai cara pengikatan kredit dengan jaminan kartu tanda bukti hak dan cara penyelesaiannya apabila terjadi wanprestasi di bawah sebuah judul penelitian yaitu “Kartu Tanda Bukti Hak atas Kios Pasar sebagai Jaminan Kredit Investasi di Perbankan (Studi Kasus di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Pekanbaru”

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian yang dimuat dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan berupa kartu tanda bukti hak kios pasar di Bank BRI ?
2.      Bagaimanakan cara penyelesaian apabila terjadi wanprestasi dari debitur atas perjanjian kredit dengan jaminan berupa kartu tanda bukti hak kios pasar di Bank BRI?

C.    Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang penulisa uraikan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan berupa kartu tanda bukti hak atas kios pasar yang dilakukan di Bank BRI.
b.      Untuk mengetahui cara penyelesaian apabila terjadi wanprestasi dari debitur atas perjanjian kredit dengan jaminan berupa kartu tanda bukti hak atas kios pasar di Bank BRI.

2.      Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis tentang hukum perdata secara khusus serta memperdalam pengetahuan dan pemahaman baik berupa perbendaharaan konsep-konsep pemikiran dan teori dalam ilmu hukum yang menyangkut aspek-aspek hukum jaminan.
b.       Sebagai bahan masukan dan sumber informasi ilmiah dalam penyempurnaan peraturan jaminan fidusia khususnya.
c.       Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pelaku usaha yang ingin menggunakan jaminan fidusia sebagai salah satu lembaga jaminan, dan masukan bagi perbankan untuk mengadopsi jaminan fidusia sebagai salah satu lembaga untuk mengamankan kredit yang diberikan kepada debitur.

D.    Tinjauan Pustaka
Berbicara tentang utang piutang bukan hal yang asing di telinga semua orang, karena setiap hari selalu saja nasalah yang satu ini. Utang piutang merupakan perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjkan pada umumnya adalah uang. Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang memberikan pinjaman, sedangkan pihak yang lainnya sebagai yang menerima uang. Uang yang dipinjam akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang diperjanjikan.
Perjanjian utang piutang uang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam meminjam, hal ini di atur di sebagaimana diatur dalam Bab Ketigabelas Buku Ketiga KUH Perdata. Di dalam Pasal 1756 KUH Perdata menyebutkan :[13]
Utang yang timbul karena peminjaman uang, hanya terdiri dan sejumlah uang yang digariskan dalam perjanjian. Jika sebelum utang dilunasi nilai mata uang naik atau turun, atau terjadi perubahan dalam peredaran uang yang lalu, maka pengembalian uang yang dipinjam itu harus dilakukan dengan uang yang laku pada waktu pelunasannya sebanyak uang yang telah dipinjam, dihitung menurut nilai resmi pada waktu pelunasan itu.
Telah dijelaskan bahwa di dalam perjanjian utang piutang, terdapat dua pihak yang melakukan perjanjian, yaitu pihak yang memberi pinjaman uang dan pihak yang menerima pinjaman uang. Istilah yang sering digunakan dalam perjanjian tersebut, untuk pihak yang memberikan pinjaman adalah pihak yang berpiutang atau disebut dengan kreditur. Sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut pihak yang berhutang atau debitur.
Pada dasarnya perjanjian utang piutang dapat terjadi karena dilatarbelakangi sejarah. Pada pokoknya terjadinya perjanjian utang ada dua macam, yaitu karena murni perjanjian utang piutang dan karena dilatarbelakangi perjanjian lain.[14]  Kedua dasar yang melatarbelakangi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, karena murni perjanjian utang piutang. Perjanjian utang piutang yang dimaksud disini, tidak ada latar belakang persoalan lain, dan perjanjian itu dibuat semata-mata untuk melakukan utang piutang:
Kedua, karena dilatarbelakangi perjanjian lain. Dalam perjanjian utang piutang ini, terjadinya perjanjian tersebut karena sebelumnya telah terjadi perjanjian lama. Perjanjian sebelumnya dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian utang piutang kedudukannya berdiri sendiri. Perjanjian sebelumnya telah selesai dilaksanakan.
Secara nyata seringkali dijumpai praktek perikatan di dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dipastikan bahwa setiap ada manusia yang berhubungan dengan manusia lain akan membutuhkan adanya suatu perikatan. Dalam hal melakukan perikatan tersebut diperlukan media berupa perangkat hukum yang dalam hal ini disebut dengan perjanjian, sehingga akan jelaslah kemudian batasan antara hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak untuk memberikan sesuatu dan menyerahkan sesuatu kepada pihak yang lainnya.

Menurut pendapat Deski Arianto, J. Satrio yang ditulis di dalam tesisnya mengemukakan :[15]
Perjanjian kredit merupakan termasuk perjanjian tidak bernama, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1319 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa dua kelompok perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan nama khusus, yang disebut dengan perjanjian bernama (benoemde atau nominaatcontracten) dan perjanjian yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu nama tertentu, disebut perjanjian tak bernama (onbenoemde atau innominaatcontracten).

Di dalam tesis yang berjudul “Perjanjian Beli Kembali Dalam Pemberian Kredit Kepemilikan Kios Pasar Pusat Sukaramai Pekanbaru antara Bank Danamon dengan PT. Makmur Papan Permata” di atas, dibahas tentang kesanggupan PT. Makmur Papan Permata untuk membeli kembali atas kios pasar yang dibeli oleh pedagang pasar dengan fasilitas kredit Bank Danamon. Sedangkan dalam pembahasan ini, penulis akan meneliti jenis pengikatan kredit dengan jaminan Kartu Tanda Bukti Hak atas Kios Pasar dan cara penyelesaian yang akan dilakukan oleh Bank BRI. Dalam penelitian ini PT. Makmur Papan Permata bertindak selaku debitur dan Bank BRI selaku kreditur.
Selanjutnya dalam konteks hukum, Abd. Thalib mengatakan :
Ada banyak sekali definisi tentang hukum, karena memang hukum adalah sesuatu yang abstrak. Dikarenakan di dalam penafsiran tentang definisi hukum sangatlah tergantung dari sudut pandang mana hukum itu dilihat, apakah hukum dilihat sebagai norma, sistem hukum, sanksi atau bisa juga hukum dipandang sebagai sebuah keputusan dari penguasa.[16]




Hal lain yang berkaitan dengan fungsi bank dan lembaga keuangan Kasmir menyampaikan :

Di dalam utang piutang dan uang tentunya tidak akan terlepas dari bank, dimana bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping itu, bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala bentuk pembayaran dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah, dan pembayaran lainnya.[17]

Menurut Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU No. 10/1998), yang dimaksud dengan bank adalah : [18]
“BANK adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Bank sebagai lembaga keuangan merupakan suatu badan usaha yang berhubungan dengan uang, yaitu menghimpun dana dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Dari pengertian bank dapat dipahami bahwa dana perbankan dalam bentuk kredit yang diberikan kepada masyarakat bukanlah hanya milik bank sendiri, tetapi juga dana yang berasal dari masyarakat.

Melalui pengertian ini pula dapat diketahui tentang fungsi perbankan. Hal ini semakin ditegaskan dalam UU No.10/1998, di dalam Pasal 4 dinyatakan :[19]
Fungsi bank sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat atau disebut juga fungsi intermediasi ini, membuat bank juga mempunyai fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 4 UU No. 10/1998, yaitu “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.”

Jika sudah berbicara masalah utang piutang dan bank, tentunya akan sangat berkaitan erat dengan hal yang namanya jaminan. Dalam konteks jaminan, H. Salim HS menyatakan :[20]
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhi tagihannya, di samping pertanggungjawaban umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat dibaca di dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 10/ 1998.

Sedangkan pandangan mengenai agunan, Irma Devita Purnamasari di dalam bukunya menyampaikan :

“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”
Pada dasarnya jaminan terbagi dalam dua kategori, yaitu :[21]
1.        Jaminan perseorangan atau dalam istilah hukum disebut persoonlijke zekerheid.
Jaminan perseorangan menimbulkan hak-hak perseorangan, sehingga terdapat hubungan hukum secara khusus antara kreditur dengan orang yang menjamin pelunasan hutang debitur (penjamin). Dari sinilah timbul istilah : (a) Jaminan perseorangan/ borgtocht/ personal guarantee (dalam hal penjaminnya adalah perseorangan): (b) Jaminan perusahaan/ company guarantee (dalam hal penjaminnya adalah perusahaan): (c) Bank Garansi (dalam hal penjaminnya adalah bank)

2.        Jaminan kebendaan atau dalam istilah hukum disebut zakelijke zekerheid.
Jaminan ini merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu, berupa bagian dari harta kekayaan debitur atau penjamin, sehingga memberikan kedudukan preference (diutamakan) kepada kreditur daripada kreditur lainnya atas benda tersebut. Jadi jika debitur wanprestasi, ada benda yang secara khusus untuk dijual oleh kreditur agar dapat melunasi hutang debitur tersebut.


Dengan adanya penyerahan jaminan dari debitur kepada kreditur, tidaklah serta merta apa yang menjadi hak kreditur dapat terpenuhi apabila debitur melakukan tindakan wanprestasi.
Berbicara tentang perjanjian utang piutang, Gatot Supramono di dalam bukunya mengatakan :[22]
Utang piutang sebagai sebuah perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban kepada kreditur dan debitur yang bertimbal balik. Inti dari perjanjian utang piutang adalah kreditur memberikan pinjaman uang kepada debitur yang wajib dikembalikan dalam waktu yang telah ditentukan disertai dengan bunganya. Pada umumnya pengembalian uang dilakukan dengan cara mengangsur setiap bulan.


Peristiwa yang banyak terjadi di bidang utang piutang, pengembalian utang yang wajib dibayar oleh debitur kadang tidak dilaksanakan sebagaimana yang telah diperjanjikan. Ada yang beberapa kali membayar angsuran utang, debitur tidak lagi dapat membayarnya. Ada juga debitur yang utangnya sudah jatuh tempo tidak dapat membayarnya, tetapi beberapa waktu kemudian debitur mampu melunasi utangnya.
Baik utang yang hanya dibayar sebagian maupun pelunasan utang yang dilakukan setelah jatuh tempo adalah termasuk wanprestasi atau ingkar janji. Berbagai macam alasan debitur melakukan wanprestasi, seperti usahanya merugi, kebijakan pemerintah, atau bencana alam.
Selanjutnya berbicara tentang wanprestasi, Abdul Thalib menyampaikan di dalam bukunya sebagai berikut :[23]
Istilah wanprestasi dalam buku perikatan dapat diartikan sebagai suatu kelalaian dan atau ingkar janji. Bentuk-bentuk wanprestasi itu antara lain adalah tidak melaksanakan prestasi (prestatie) sama sekali, melaksanakan prestasi tetapi hanya sebagian, melaksanakan prestasi tetapi terlambat, melaksanakan prestasi namun tidak sebagaimana mestinya.


Masih berbicara tentang wanprestasi, melalui bukunya Sudikno Mertokusumo mengemukakan : [24]
Jika hukum perdata dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilan gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat, dalam hal ini hukum perdata yang dilanggar harus dipertahankan dan ditegakkan.

Sehingga dengan adanya tindakan wanprestasi yang dilakukan debitur inilah maka pihak kreditur akan mempertahankan haknya dengan antara lain melaksanakan ketentuan-ketentuan/ kalusula-klausula yang ada di dalam perjanjian, baik di dalam perjanjian kredit maupun di dalam perjanjian jaminan yang mengikutinya.
E.       Konsep Operasional
Untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran lebih lanjut, maka penulis membatasi beberapa hal sebagai berikut :
1.      Kartu Tanda Bukti Hak, adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pihak pengembang dan pengelola Pasar Pusat Sukaramai Pekanbaru yaitu PT. Makmur Papan Permata.
2.      Kios Pasar, adalah adalah bangunan tempat jualan yang beratap dan dipisahkan satu sama lainnya dengan dinding pemisah mulai dari lantai sampai dengan langit-langit yang dipergunakan untuk berjualan, [25] yang terletak di dalam komplek Pasar Pusat Sukaramai Kota Pekanbaru.
3.      Jaminan, adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditur atas pembayaran utang-utang yang telah diberikannya kepada debitur, dimana hal ini terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assesoir terhadap perjanjian pokoknya – berupa perjanjian yang menerbitkan utang-piutang.[26]
4.      Kredit Investasi, adalah adalah fasilitas kredit jangka menengah atau jangka panjang untuk membiayai barang modal/ aktiva tetap perusahaan, seperti pengadaan mesin, peralatan, kendaraan, bangunan dan lain-lain.[27]
5.      Perbankan, lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping itu, bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala bentuk pembayaran dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah, dan pembayaran lainnya. [28]
6.      PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, adalah lembaga perbankan, dalam hal ini adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Pekanbaru dan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Wilayah Pekanbaru.

F.       Metode Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan mendalam untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, sehingga dapat menjawab masalah pokok yang telah penulis rumuskan, maka penulis menyusun secara sistematis metode yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1.        Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan termasuk dalam golongan penelitian survei. [29]  Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, karena penelitian ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan Kartu Tanda Bukti Hak atas Kios Pasar di Komplek Pasar Sukaramai Pekanbaru.
Untuk mengetahui sifat penelitian secara deskriptif, Soerjono Sukamto mengemukakan :[30]
Penelitian deskriptif yaitu memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, dengan tujuan mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau dalam rangka menyusun teori-teori baru.

Dalam penelitian ini, diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas tentang pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan kartu tanda bukti hak kios pasar dan untuk mengetahui cara penyelesaian apabila terjadi wanprestasi atas perjanjian kredit dengan jaminan kartu tanda bukti hak kios pasar.

2.        Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Pekanbaru. Alasan penulis melakukan penelitian di Kantor Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk tersebut karena sebagai bank yang memberikan fasilitas kredit dengan jaminan KTBH kepada pihak debitur.


3.        Populasi dan Responden
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama. [31] Responden adalah pihak yang dapat menjadi subjek untuk mendapatkan data pada saat melakukan penelitian di lapangan.
Adapun populasi dan responden dalam penelitian ini terdiri dari :
3..1.          Direktur PT. Makmur Papan Permata, sebagai debitur yang menerima kredit dengan jaminan Kartu Tanda Bukti Hak Kios pasar.
3..2.          Pemimpin Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Pekanbaru, dan Pemimpin Wilayah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Pekanbaru sebagai kreditur dalam pemberian kredit dengan jaminan Kartu Tanda Bukti Hak Kios Pasar.
3..3.          Notaris Darmansyah, selaku Pejabat Notaris yang membuat akta perjanjian kredit dan pengikatan jaminan berupa Kartu Tanda Bukti Hak Kios Pasar.
3..4.          Kepala Dinas Pasar Kota Pekanbaru yang merupakan wakil Pemerintah Kota Pekanbaru di dalam pengelolaan pasar-pasar milik pemerintah.
Mengingat keterbatasan yang ada, maka pengambilan sampel menggunakan metode sensus. Metode sensus maksudnya adalah bahwa sampel yang akan dijadikan responden telah ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti meyakini dengan sampel tersebut penelitian yang dilakukan dapat memberikan hasil yang memadai tentang objek yang diteliti. Dan mengingat jumlah responden yang cukup sedikit tersebut, maka penulis menjadikan seluruh responden menjadi sample yang memiliki keterkaitan dengan objek yang penulis teliti.

4.        Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis dan sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah beberapa dokumen yang dapat dibedakan menurut sumbernya yaitu:
4.1.       Data Primer, adalah data pokok yang penulis peroleh dari responden yang mempunyai kaitan langsung dengan permasalahan yang penulis teliti. Data tersebut penulis peroleh dari hasil wawancara dengan responden yaitu dengan: (1) Direktur PT. Makmur Papan Permata: (2): Pemimpin Wilayah dan Pemimpin Cabang Bank BRI (3) Notaris Darmasyah (4) Kepala Dinas Pasar Kota Pekanbaru.
4.2.       Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan berupa Undang-undang, buku-buku, kamus, website dan literatur lainnya yang memiliki kaitan langsung dengan masalah yang penulis teliti.



5.      Alat Pengumpul data
Pengumpulan data dalam peneltian ini dilakukan dengan wawancara terhadap responden yang sudah ditentukan terlebih dahulu dan ia adalah sebagai tokoh  kunci (key person)[32] dalam penelitian ini, yaitu orang yang penulis anggap mengetahui tentang permasalahan yang akan diteliti.  
Wawancara tersebut penulis lakukan secara langsung dengan responden. Maksudnya adalah penulis bertatap muka secara langsung dengan responden dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaannya. Semua pertanyaan yang disampaikan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu.

6.        Analisis Data
Analisis data yang akan penulis lakukan adalah setelah data terkumpul, kemudian data tersebut dikelompokkan menurut jenisnya berdasarkan masalah pokok penelitian yang telah dirumuskan. Selanjutnya terhadap data hasil wawancara akan diolah, kemudian disajikan dalam bentuk rangakaian-rangkaian kalimat yang jelas dan rinci serta kemudian membandingkan dengan konsep-konsep yang ada terhadap bahan berupa buku-buku literature lainnya. Terhadap data yang telah disajikan tersebut kemudian dilakukan pembahasan dengan memperhatikan teori-teori hukum atau aturan-aturan yang mengaturnya berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dokumen-dokumen, dan data-data lainnya serta pendapat para ahli, yang kesmuanya itu berkaitan dengan penelitian ini.

7.        Metode Penarikan Kesimpulan
Setelah semua data diperoleh dan dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, kemudian data tersebut dikelompokkan berdasarkan jenisnya dari masalah pokok yang diteliti. Data yang diperoleh dari wawancara yang dilakukan, disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian kalimat. Selanjutnya penulis akan melakukan analisis dengan memberikan penafsiran dengan menghubungkan kepada pendapat para ahli serta Peraturan Perundang-undangan yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Berikutnya penulis mengambil kesimpulan dengan metode deduktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal bersifat khusus dengan menghubungkan kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan aturan yang ada di Bank BRI.



[1] Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Pasal 1 Angka 2.
[3] H. Salim HS,  Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 22.

[4] Ibid.
[5] Irma Devita Purnamasari, Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa, Jakarta, 2011,  hlm 18.
[6] bahasapekalongan.blogspot.com/2011/04/boso-pekalongan.html. diakses pada tanggal 04 Maret 2014, jam 22.10, Ngemplang menurut bahasa Jawa berarti utang tidak dibayar.
[7] Irma Devita Purnamasari, op. cit, hlm. 19.
[8] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Penerbit Erlangga, Jakarta 2013, hlm. 8.
[9] Ibid, hlm. 9.
[10] Undang-undang No. 42 Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia, Pasal 1 Angka 2.
[11] Gunawan Widjaja, dkk, Jaminan Fidusia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 141.
[12] Undang-undang RI No. 20 tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Mengah, Pasal 6 ayat (3).
[13] Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1756.

[14] Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 11.
[15] Deski Arianto, Perjanjian Beli Kembali Dalam Pemberian Kredit Kepemilikan Kios Pasar Pusat Sukaramai Pekanbaru antara Bank Danamon dengan PT. makmur Papan Permata, Tesis, Universitas Sumatera Utara, 2010, hlm. 60
[16] Abd Thalib, Arbitrase dan Hukum Bisnis, UIR Press, Pekanbaru, 2005, hlm. 92.
[17] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2013, hlm. 24.
[18] Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, Pasal 1 Angka 2.

[19] Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, Pasal 4.
[20] H. Salim HS, op. cit., hlm. 23.
[21] Irma Devita Purnamasari, op. cit., hlm. 3.
[22] Gatot Supramono, op. cit., hlm. 147.

[23] Abd Thalib, dkk, Hukum Keluarga dan Perikatan, UIR Press, Pekanbaru, 2008, hlm. 169.
[24] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Cetakan ke XII, Liberty, Jogjakarta, hlm. 45.

[25] Peraturan daerah Kota Pekanbaru Nomor 6 Tahun 2012, Tentang Retribusi Pelayanan Pasar, Pasal 1 Angka 15.
[26] Munir Fuady, op. cit., hlm 8.
[27] bri.co.id/articles/36, diakses pada 16 Februari 2014, jam 23.20
[28] Kasmir, op. cit., hlm. 24.
[29] Fakultas Hukum Universtitas Islam Riau, Buku Panduan Penulisan Skripsi , UIR Press, Pekanbaru, 2012, hlm.13.
[30] Soerjono Soekamto, Metode Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 23.

[31] Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hl. 118.
[32] Asri Wijayanti, Strategi Penulisan Hukum, CV. Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar